Makalah Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis, Serta Yuridis Berlakunya Syariat Islam Di Aceh - Studi Syariat Islam Di Aceh
DOWNLOAD THIS FILE FOR FULL VERSION
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam yaitu salah satu agama samawi yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil’alamin. Islam hadir bukan hanya untuk menyempurnakan hubungan kita dengan Sang Pencipta, akan tetapi Islam hadir untuk menyempurnakan kehidupan insan dari kehidupan yang amat sangat jahiliyah kepada kehidupan yang lebih bermartabat menyerupai ketika ini. Islam juga agama terakhir yang diturunkan Allah SWT untuk membimbing umat insan semoga mencapai kebahagiaan didunia maupun diakhirat.
Seorang ulama kontemporer yang berkebangsaan mesir dan juga mantan Syaikhul Azhar ia yaitu Ustadz Mahmud Syalthut membagi pedoman islam menjadi dua pecahan besar, yaitu: Aqidah dan Syariah. Dalam hal ini terlihat terang bahwa syariat yaitu pecahan dari pokok pedoman islam.
Seperti yang kita ketahui, Aceh yaitu tempat keistimewaan yang diberikan wewenang untuk menjalankan syariat islam. Akan tetapi syariat islam yang dijalankan belum sepenuhnya, sehingga banyak sekali terlihat di dalam kehidupan syariat islam belum menyatu dengan masyarakat dan mengakibatkan kejahatan, perzinahan atau pelaku khalwat masi saja terlihat terang di Aceh.
Oleh lantaran itu, dengan mengkaji kembali landasan historis, filsofis, sosiologis dan yuridis syariat islam di Aceh sanggup menumbuhkan kembali semangat kita untuk menjalankan syariat islam di Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Historis Syariat Islam di Aceh
Syariat Islam di Aceh mengalami pasang surut mulai dari pemerintahan Bandar Khalifah (Kerajaan Aceh) hingga sekarng. Pada zaman kekhalifahan kerajaan Aceh banyak sudah tercapainya syariat Islam. Namun, tidak pernah juga terealisasi dengan sempurna, meski Aeh pada ketika itu telah dakui oleh kerajaan Islam lainnya didunia.
Setelah datangnya Belanda dan seiiring runtuhnya kerajaan Aceh. Syariat Islam mengalami kemunduran, baik lantaran imbas dari budaya aneh maupun kesulitan para Ulama dan Umara dalam menjalankannya. Karena ditekan oleh pemeritahan Hindia Belanda. Pada ketika itu rakyat Aceh lebih memperhatinkan perihal perang sabil atau perang dijalan Allah untuk mengusir para penjajah.
Setelah Indonesia merdeka. Aceh tidak juga mendapat kewenangan untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Sehingga banyak mengakibatkan konflik antara DI/TI yang dipimpin oleh Daud Berue’euh. Kemudian juga berdirinya GAM. Namun, pada tahun 2004 terjadinya janji antara kedua belah pihak yang lebih dikenal dengan MOU Helsingki.
Termasuk didalam butir-butir MOU yaitu memperbolehkan kepada pemerintahan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Sayangnya hingga kini pelaksanaan syariat Islam masih mempunyai perdebatan baik dalam penetapan qanun-qanun maupun penentang keras terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Syariat islam memang merupakan tuntutan masyarakat, dikarenakan penduduk Aceh lebih banyak didominasi muslim dan orang Aceh 100% muslim. Seorang antropolog belanda B.J. Boland, sesudah melaksanakan penelitian di Aceh menyampaikan “being an Acehnese is equivalent to being a muslim” (menjadi orang Aceh identik dengan menjadi Muslim).[1] Sejak zaman kesultanan, periode ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan syariat islam sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. Undang-undang itu disusun oleh ulam atas perintah atau kolaborasi dengan umara[2].
Lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua abdnegara penegak aturan di Aceh pada waktu itu. Di antara para ulama yang berkiprah pada waktu itu yaitu Nuruddin Ar-Raniry (w. 1685 M) Syamsuddin al-Sumatrani (w.1661 M) dan Abdurrauf al-Singkili (1615-1691 M). sebuah karya yang lebih selesai yaitu safinat al-hukam yang ditulis oleh Jalal Al-din Al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah Sultan Alaidin Johansyah (1735-1760 M / 1147-1175 H) dan isi kitab ini yaitu aturan-aturan aturan perdata dan pidana serta banyak sekali klarifikasi perihal ihwal penyelesaian kasus dan pokok-pokok aturan program dalam sebuah peradilan, sasaran utama buku ini sangat terang yaitu untuk menjadi pegangan para hakim[3].
Judul lengkap kitab tersebut yaitu safinat al-hukum fi takhlish al-khashshan, (bahtera para hakim dalam menuntaskan kasus segala orang yang bertikai). Di samping itu, populer pula Qanun Al-asyi (Adat Meukuta Alam) yang mengandung hukum-hukum dusturiyat dan ‘Alaqah Dauliyah yang ditulis dalam abjad jawi yang menjadi Undang-undang kerajaan.
Semua karya tersebut menjadi saksi atas keberadaban dan tugas yang dimainkan Syariat isam di Aceh semenjak zaman silam dan betapa hal tersebut telah bisa mengantarkan masyarakat negri ini dalam membangun peradabannya hingga diperhitungkan secara internasional sebagai sebuah kerajaan yang besar lengan berkuasa dan makmur.
B. Landasan Filosofis Syariat Islam di Aceh
Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar harapan sewaktu menuangkan suatu duduk kasus ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari kontradiksi peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, contohnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
filosofi eksistensi syariah juga yaitu sebagai penyeimbang di antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia, dan juga untuk mendidik insan menjadi suci lahir dan batin.
Dalam konteks ini, eksistensi syariah bagi kehidupan insan yaitu sesuatu yang substansial dan lantaran itu pula ketika dicoba untuk ditransformasikan kedalam nilai-nilai kehidupan akan mendapat tantangan yang disebabkan oleh keragaman pemikiran dan luasnya wawasan pemaknaan dasar dari syariat itu sendiri. Disinilah, ketika tataran aplikasi syariah telah memunculkan pro dan kontra sehingga acapkali mendapat somasi dari apa yang terjadi, misalnya, komunitas di aceh mencicipi bahwa penerapan syariat masih jauh dari harapan. Meskipun untuk memenuhi harapan pemberlakuan syariat secara kaffah bukanlah sesuatu yang gampang apalagi kecenderungan era glolalisasi yang menuntut kearifan, toleransi dan kebersamaan untuk menuju kemaslahatan.
C. Landasan Sosiologis Syariat Islam di Aceh
Konsep gradualisme yang diaplikasikan terhadap pengharaman khamar dan praktek riba, menggambarkan bahwa Al-Qur’an memperhatikan kondisi sosial dan tradisi kebudayaan yang telah berakar dalam masyarakat. Al-Qur’an tidak mengharamkan secara pribadi suatu praktek yang telah menmbudaya, tetapi ia sangat akomodatif terhadap praktek tersebut.
Secara umum insan ini membutuhkan syariat Islam. Al-Qur’an pada mulanya menjelaskan sisi positif dan sisi negatif terhadap praktek riba dan meminum khamar, semoga masyrakat memahami kemudharatan dari suatu larangan tersebut. Bila masyarakat benar-benar telah mencicipi praktek tersebut membawa kemudharatan yang akan mengancam eksistensi insan di dunia, maka pada ketika itu lah Al-Qur’an menyatakan secara tegas haramnya praktek riba dan meminum khamar. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa hakikat adanya kewajiban dan pengharaman sesuatu ditentukan oleh tingkat kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia.
Nilai sosiologis yang menempel pada hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur’an sudah semestinya dipahami secara mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan tidak akan kehilangan ruh sosiologis yang mendasarinya. Oleh lantaran itu, asbab an-nuzul dan asbab al-wurud memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan kondisi sosial ketika aturan itu disyariatkan. Peran yang dimainkan oleh teori asbab an-nuzul dan asbab al-wurud tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang terekam dalam satu ayat atau hadits, tetapi sanggup menjelaskan banyak sekali realitas secara integral dalam suatu tema tertentu. Oleh lantaran itu prinsip analisis sosiologis berkaitan erat dengan pendekatan tematis.
Melalui dua pendekatan ini diharapkan akan bisa dibumikan pedoman Tuhan yang bersifat normatif-sakralitas. Dalam konteks kehidupan masa kini, dalam bahasa lugas, sanggup dikatakan bahwa analisis sosiologis menjadikan realitas sosial sebagai pertimbangan utama dalam merumuskan banyak sekali aturan aturan Islam. Atau sanggup pula diartikan bahwa selain dari eksistensi UU No. 44 tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah spesial Aceh dan UU no. 18 tahun 2001 perihal Otonomi Khusus Propinsi Daerah spesial Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai legitimasi yuridis, maka diharapkan pendekatan sosiologis yang akan mengkaji sosio-kultural, latar belakang sejarah dari masyarakat Aceh.
Namun bukan berarti mengabaikan satu kesatuan aturan nasional, tetapi juga dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (ius contituendum), alasannya aturan sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari norma nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan sanggup dikatakan bahwa aturan itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu ketika berlaku dalam masyarakat.
Beberapa masalah kekerasan yang telah diuraikan sebelumnya merupakan rujukan bagaimana ketengangan-ketegangan terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh terkait pelaksanaan Syariat Islam, padahal nilai esensial dan tujuan luhur pemberlakuan Syariat Islam yaitu rahmatan lil alamin. Untuk menghindari konflik berkepanjangan dalam rangka penerapam Syariat Islam ini, kita memerlukan metode interpretasi nilai lokal.
Metode ini memakai kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran teks baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Paradigma dasar metode ini yaitu bahwa setiap teks Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak sanggup dilepas dari suasana sosial masyarakat ketika teks-teks itu muncul, lantaran pemberlakuan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits sasarannya yaitu masyarakat. Metode ini semestinya juga sanggup diterapkan dalam kerangka pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Di sini nilai-nilai lokal masyarakat Aceh sanggup diadopsi oleh banyak sekali Qanun sebagai bentuk kongkrit penerjemahan Syariat Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan Syariat Islam yang khas secara kontekstual dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik Hukum Islam pada tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan demokratis.[4]
D. Landasan Yuridis Syariat Islam di Aceh
Landasan yuridis yaitu landasan yang menurut kepada aturan yang dinyatakan di dalam Undang-undang yang telah diresmikan oleh tubuh yang berwenang, menyerupai yang kita ketahui, aceh telah mendapat wewenang untuk secara leluasa melaksanakan syariat islam secara kaffah di daerahnya. Sesuai dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang berbunyi:
Isi keputusan perdana menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 perihal keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 perihal Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan tugas ulama dalam memilih kebijakan Daerah, untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan mengenai keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu nndang-undang
Undang-undang yang mengatur mengenai penyeenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah spesial Aceh ini dimaksud untuk menawarkan landasan bagi provinsi Daerah spesial Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya menawarkan kebebasan kepada Daeah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan tempat lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. [5]
Dari isi Undang-undang di atas kita sanggup mengetahui secara umum bahwa:
1. Pada awalnya pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh di bidang pendidikan, agama dan peradatan pada taun 1959 dahulu tidak mempunyai peraturan pelaksanaan yang memungkinkannya dijalankan ditengah masyarakat. ketiadaan peraturan pelaksanaan ini yang ingin diatasi, yaitu dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, lebih kurang sesudah keistimewaan atau kewenangan itu diberikan.
2. Syariat Islam telah didefinisikan secara relatif lengkap, yaitu meliputi seluruh ajaannya. Makara undang-undang ini telah menawarkan pemahamam yang kaffah kepada Syariat Islam, meliputi ibadat, mu’amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu, Syariat Islam juga meliputi aqidah serta watak dan semua pedoman dan tuntunan di banyak sekali bidang lainnya.
3. Umat Islam di Aceh memporoleh izin untuk melaksanakan atau menjalankan syariat islam di dalam keidupannya.
Seperti yang telah disinggung di atas, adanya aturan perihal penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang pendidikan, kehidupan dan adat semakin memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan Syariat Islam dalam keidupan masyarakat Aceh.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah syariat islam di Aceh begitu mearik perhatian lantaran ceritanya yang sangat mempunyai kegunaan untuk kita sebagai masyarakat yang hidup di masa keterpurukan islam. Karena, dengan membaca sejarah kegemilangan syariat islam pada masa kemudian di Aceh sanggup menumbuhkan kembali semangat kita untuk kembali menegakkan syariat yang kaffah. Selain sejarah, ada banyak sekali macam landasan yang mengkokohkan syariat islam untuk ditegakkan di Aceh.
Sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti “Tidak ada kekerasan dalam beragama”, menciptakan agama islam dengan gampang masuk dan berkembang didalam masayarakat Aceh diwaktu itu.
Selain itu landasan yuridis juga membantu untuk memperkuat syariat islam yang ditegakkan di Aceh. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 meyakinkan masyarakat aceh untuk menjalankan syariat islam dengan penuh ketenangan dan kesejahteraan.
B. Saran-saran
Saran kami selaku penulis adalah, jangan tinggalkan syariat islam. Karena dengan mengikuti syariat islam maka kita akan semakin erat Surga yang telah Allah SWT telah sediakan kepada calon penghuninya. Dan semoga kita menjadi salah satu dari calon penghuni tersebut. Amin
Daftar Pustaka
Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Aceh: Ar-Ranirry Pres, 2003).
Abu Bakar Al-Yasa’, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005).
https://rodaduniailmu.blogspot.com//search?q=pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh
[1] Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Ar-Ranirry Pres, Aceh, 2003), hlm 48
[2] Penguasa atau sultan
[4] https://rodaduniailmu.blogspot.com//search?q=pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh
[5] Abu Bakar Al-Yasa’, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh, 2005, Dinas Syariat Islam) hlm 41
[6] Abu Bakar Al-Yasa’, (Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2005, Dinas Syariat Islam) hlm 43-44
Belum ada Komentar untuk "Makalah Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis, Serta Yuridis Berlakunya Syariat Islam Di Aceh - Studi Syariat Islam Di Aceh"
Posting Komentar