Makalah Pengertian Fiqh Indonesia
Praktik keberagamaan kaum muslimin pasca Nabi didasarkan pada pandangan para sobat dan para penafsir al-Qur’an maupun tradisi Nabi, generasi sesudahnya hingga sekarang. Sebagai produk penafsiran atau pemikiran, maka tafsir atas teks suci itu hampir selalu tidaklah tunggal, alasannya ialah banyak faktor. Antara lain, pengetahuan, pengalaman, ruang, waktu dan situasi sosial, ekonomi,budaya dan politik. Banyak ulama dan para cendikia yang menyampaikan bahwa pandangan para hebat aturan Islam itu merupakan refleksi mereka atas perkembangan kehidupan sosial-budaya mereka masing-masing. (Al-Syari’ah al-Islamiyah Baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin,16).
Tetapi ialah menarik bahwa para hebat aturan Islam sungguh arif. Mereka sangat memahami benar perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan atas perbedaan-perbedaan itu pula mereka saling menghargai dan menghormati. Mereka selalu mengutip pernyataan Nabi Saw : “Jika seseorang telah berusaha maksimal menggali (berijtihad) kemudian menemukan aturan Syari’ah dan ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan kalau keliru ia memperoleh satu pahala”. Dari sini mereka menyampaikan : “pendapat kami benar, meskipun boleh jadi keliru, dan pendapat orang lain keliru, meskipun boleh jadi benar”. Bahkan mungkin absurd bahwa Umar bin Abd al-Aziz, seorang khalifah Islam yang sukses, justeru menyatakan dengan lebih tegas :“Aku tidaklah cukup bergembira kalau para sobat Nabi tidak berbeda pendapat. Jika mereka tak beda pendapat, kita tak punya pilihan, dan ini menyulitkan hidup”. Para ulama sering mengutip sebuah hadits Nabi yang mereka anggap sahih : “Ikhtilaf al-Aimmah Rahmah li al-Ummah” (perbedaan di antara para Imam ialah rahmat bagi umat). Mereka juga membedakan antara kata “Ikhtilaf” (berbeda pendapat) dengan kata “iftiraq” (perpecahan).
Satu pemikiran yang sangat menarik dikemukakan oleh Imam Malik bin Anas (w. 796 M), pendiri mazhab fiqh Maliki. Suatu ketika ia diminta oleh Khalifah Abbasiyah ; Abu Ja’far al Manshur, biar buku kumpulan hadits-hadits hukum; Al Muwattha’, karyanya, bisa dijadikan anutan perundang-undangan yang akan diberlakukan bagi seluruh rakyat di kekhilafahannya. Sang Imam dengan tegas menolaknya sambil menyampaikan : “Anda tentu tahu bahwa di banyak sekali wilayah negeri ini telah berkembang bermacam-macam tradisi aturan dengan pemimpinnya masing-masing”. Sang Khalifah pada kesempatan lain mengulangi permintaannya, dan sekali lagi sang Imam tetap menolaknya. Permintaan yang sama disampaikan khalifah penggantinya ; Harun al Rasyid. Dan jawaban yang sama disampaikan Imam Malik. Ia bergeming, tak beranjak dari pendiriannya. (Baca : Subhi Mahmashani, Falsafah al Tasyri’, 89-90).
Imam Malik bin Anas ialah tokoh yang populer dengan teori “Amal Ahli Madinah” (tradisi penduduk Madinah). Pendapat-pendapatnya banyak didasarkan atas tradisi Madinah. Lebih dari empat puluh problem di mana Imam Malik mendasarkan pandangannya pada tradisi dan mengabaikan hadits Ahad, meskipun sahih. Katanya “Al ‘Amal Atsbat min al Hadits” (Tradisi Madinah lebih kokoh daripada hadits). (Baca : Al Hajwi, Al Fikr al Sami fi al Fiqh al Islamy, I/388-390).
Pengalaman Indonesia
Maka ialah terang bahwa multikulturalisme telah menerima apresiasi yang berpengaruh dalam Islam. Para ulama besar masa kemudian juga telah mengakibatkan budaya atau tradisi masyarakat sebagai dasar hukum. Atas dasar itu mereka mengatakan:”Al-‘Adah Muhakkamah”. Cara-cara melaksanakan syari’ah menyerupai ini juga telah dilakukan para ulama, terutama para penyebar agama Islam di Indonesia (para Wali). Beberapa tumpuan contohnya praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan kentongan atau bedug untuk memanggil/mengajak orang untuk shalat, di samping Adzan, penggunaan kain sarung dan peci. Demikian pula sistem pendidikan pesantren, bahkan juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid yang didirikan para walisanga. Ini semua terang bukanlah cara-cara yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya, tetapi justeru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya masyarakat Hindu atau lainnya. Para ulama Indonesia masa kemudian tak menganggap penggunaan atribut dan instrument-instrumen budaya asing dan non Islam tersebut sebagai kesesatan, apalagi kekafiran. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, seorang ulama besar ; Syeikh Muhammad Arsyad, telah memperkenalkan aturan pembagian harta waris antara suami-isteri berdasarkan watak yang disebut “Adat Perpantangan”. Menurut watak ini harta peninggalan mayat dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri. Setelah itu harta hasil pembagian ini gres dibagi berdasarkan aturan waris Islam. Pemikiran aturan ini dilakukan dalam rangka merespon tradisi masyarakat Banjar, di mana para isteri di sana juga bekerja bersama suaminya. Maka harta yang terkumpul tanggapan perkawinan keduanya menjadi harta bersama. (Baca; Abdurrahman Wahid, majalah Pesantren, 2 vol. II/1985).Cara pembagian menyerupai ini telah menjadi bab dari sistem aturan waris di Indonesia dengan sebutan harta “gono-gini”, menggantikan sistem pembagian “sepikul-segendong”.
Perceraian di Indonesia bagi suami-isteri yang beragama Islam gres dianggap sah kalau telah diproses dalam sidang di Pengadilan Agama. “La Yaqa’ al-Thalaq Illa’Inda al-Qadhi”. Hukum menyerupai ini tidak ada dalam kitab-kitab fiqh, karya para ulama hebat aturan Islam itu. Ini juga aturan yang ada dan berlaku di Indonesia. Boleh jadi juga ada dan diberlakukan di beberapa negara Islam yang lain. Pada masa Nabi masih hidup juga tidak ada aturan menyerupai ini.
Tanpa Amarah
Kehendak untuk melaksanakan syari’at Islam dalam konteks kebudayaan masyarakat yang beragam, bersama-sama bukanlah masalah, sepanjang sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Syari’at. Yakni dalam kerangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan sosial, seraya selalu menghargai pandangan-pandangan dan tradisi-tradisi yang bermacam-macam dalam masyarakat tersebut. Dengan begitu, upaya ke arah itu tidak bisa dilakukan dengan memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan golongan, suku, ras, jenis kelamin dan bahkan agama. Ia juga dihentikan dilakukan dengan mendiskriditkan atau menstigmatisasi, membid’ahkan (mencap sesat) apalagi mengkafirkan atau memusyrikkan pihak-pihak yang tidak sependapat pada sisi yang lain.
Jika kita melihat ada orang yang beropini berbeda dari kita atau melaksanakan sesuatu tindakan yang salah berdasarkan kita, maka jalan yang terbaik ialah mengajaknya bicara menunjukkan kekeliruannya, dengan cara baik-baik, santun, bukan dengan marah-marah, dan membodoh-bodohinya. Cara yang terakhir ini tidak ada gunanya. Lebih tidak berkhasiat nlagi ialah memaksakan kehendak. Pepatah menyampaikan ; Al-Ikrah Yutsmiru Nifaqan wa La Yutsmiru Imanan”, (pemaksaan itu akan membuahkan kemunafikan bukan membuahkan keimanan). Ada kata-kata bijak lain yang juga sangat menarik : “Jika kita sungguh-sungguh ingin melaksanakan sesuatu untuk mewujudkan kebebasan dan keadilan, maka cara yang terbaik ialah melakukannya dengan tanpa amarah dan permusuhan”.
Pada masa nabi ada kasus menarik terkait dengan cara memperbaiki perilaku seseorang yang melalukan kekeliruan. Ada seorang Arab badui mampir ke masjid Nabi, kemudian buang air kecil di halamannya yang merupakan bab dari masjid itu. Seorang sobat yang melihat insiden itu memarahinya. Ia merasa tindakan memarahi itu sebagai bab dari “rasa cemburu” kepada agamanya. Nabi yang melihat cara sobat itu kemudian menyampaikan : “biarkan ia merampungkan kencingnya, jangan kamu putus (La Taqtha’). Ambil saja air se ember, kemudian siramkan ke bekas air kencing itu. Sesudah itu beritahukan kepadanya bahwa masjid itu tempat suci, tempat shalat dan membaca al-Qur’an”. Cerita ini disebutkan dalam kitab Sahih Bukhari.
Mengacu pada Sistem Hukum Negara
Dalam sistem ketatanegaraan kita, proses penyusunan aturan harus ditempuh melalui cara-cara yang demokratis dan dalam kerangka keadilan sosial. Akan tetapi segera harus dikemukakan bahwa cara-cara yang demokratis tersebut tidak hanya dalam artian prosedural melainkan juga dalam arti substantif. Yang dimaksud dengan demokratis ialah bahwa perumusan aturan perundang-undangan harus dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai janji bersama. Musyawarah dalam Islam merupakan prinsip dalam merampungkan problem dan ketidaksamaan pandangan dalam segala relasi. Meskipun kata demokrasi tidak sama dengan musyawarah, namun secara substantif ialah sama. La Musyahah fi al-Ishthilah” (terma itu tidaklah pelit).
Pada sisi yang lain, kita juga mengetahui bahwa aturan-aturan aturan dan regulasi-regulasi harus mengacu pada dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. Sebuah produk peraturan tertentu dihentikan dibentuk dengan rumusan yang secara substansinya bertentangan dengan produk peraturan di atasnya. Dalam arti ini, maka produk aturan tempat (Perda), misalnya, dihentikan bertentangan dengan Undang-Undang, dan produk UU juga dihentikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dasar negara Pancasila. Undang-Undang Dasar ialah aturan tertinggi yang kepadanya semua perundang-undangan dalam semua bentuknya harus didasarkan dan bermuara.
Para ulama NU dalam keputusan Muktamarnya di Situbondo tahun 1984, memandang bahwa Pancasila ialah dasar negara Indonesia dengan kedudukan final. Ia tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Sila-sila Pancasila sejalan dengan prinsip-prinsip humanisme Universal Islam. Sampai hari ini Pancasila telah bisa menyatukan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Makalah Pengertian Fiqh Indonesia"
Posting Komentar