Makalah Fatwa Filsafat Pendidikan Dan Pemikiran Filsafat Pendidikan
2.1. Pengenalan Filsafat Pendidikan
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Oleh alasannya itu, secara etimologis filsafat berarti “love of wisdom.”[1] Rene Decrates mendefinisikan filsafat sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia.[2] Adapun makna pendidikan yakni upaya yang sengaja untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan penerima didik. Pendidikan sanggup dikatakan sebagai sebuah usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengenalkan insan terhadap realita kehidupannya. Dalam hal ini terang bahwa pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan penerima didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut. Dari kedua pengertian tersebut, maka sanggup disimpulkan bahwa filsafat pendidikan yakni studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan yakni berfikir mengakar atau menuju akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk mencar ilmu filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak sanggup atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Walaupun kenyataannya aneka macam pemikiran yang hadir kemudian menjadi “mazhab” dalam penyelenggaraan pendidikan itu dicetuskan beberapa puluh tahun yang lalu, bahkan beberapa ratus tahun yang lalu, namun nampak aktual bersama-sama pemikiran tersebut sangat mensugesti penyelenggaraan pendidikan pada masa kini. Pemikiran para jago tersebut lazimnya dikatakan sebagai aliran pendidikan atau ada pula yang menamakan sebagai mazhab filsafat pendidikan. Namun, dari aneka macam aliran yang ada dalam pendidikan, aliran yang utama dipakai di Indonesia ialah filsafat pendidikan Pancasila.
2.2. Pancasila Sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia mempunyai filsafat umum atau filsafat Negara yaitu pancasila sebagai falsafah negara. Pancasila merupakan dasar dan filsafat hidup bagi negara kita, Negara Republik Indonesia. Maka sesungguhnya negara kita mempunyai filosofis pendidikan sendiri dalam sistem pendidikan. Oleh lantaran itu, kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengkaji nilai yang terkandung dalam pancasila untuk dijadikan titik balik untuk praktek pendidikan di Indonesia.
Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional menurut Pancasila dan UUD 1945. Rincian selanjutnya wacana hal itu tercantum dalam klarifikasi UU-RI No. 2 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan yakni pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan insan Pancasila sebagai insan pembangunan yang tinggi kualitasnya dan bisa mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 wacana Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu yakni jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa insan dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain, Pancasila berfungsi sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan.
Bangsa Indonesia meyakini bahwa adanya alam semesta ini tidak hanya ada begitu saja namun ada yang membuat yaitu Tuhan YME. Begitupun manusia, insan merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diberi potensi oleh Tuhan untuk sanggup beriman dan berbuat baik, akan tetapi insan pun sanggup melaksanakan kejahatan lantaran Tuhan pun memperlihatkan hawa nafsu dalam diri manusia. Manusia bisa memperoleh pengetahuan melalui utusan Tuhan ataupun lewat alam semesta dan termasuk hukum-hukumnya. Tuhan merupakan sumber pengetahuan yang utama dan sumber pertama segala nilai.
Menurut aliran ini, pendidikan yakni suatu usaha sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran biar anak didik sanggup aktif membuatkan potensi yang ada dalam diri penerima didik. Karena pendidikan merupakan usaha yang sadar, maka pendidikan niscaya mempunyai tujuan yang jelas. Menurut aliran ini, tujuan dari pendidikan yakni untuk berkembangnya potensi penerima didik biar menjadi insan yang beriman, bertaqwa, mandiri, menjadi warga negara yang baik. Tidak mirip aliran-aliran lainnya yang menerapkan kurikulum secara menyeluruh, namun di Negara kita Indonesia ini kurikulum disusun sesuai tingkatan jenjang pendidikan.
Maka untuk itu, seorang pendidik harus bisa menjadi pola bagi penerima didik dan pendidikpun harus bisa memperlihatkan siswa kesempatan untuk sanggup mencar ilmu mandiri. Pada hakikatnya, pendidikan diletakan pada usaha untuk sanggup menggali dan membuatkan potensi yang ada dalam diri penerima didik biar tidak hanya bisa mencapai perubahan namun juga dibutuhkan para penerima didik sanggup menjadi biro atau aktivis dari suatu perubahan.
Setiap aliran dalam filsafat pendidikan niscaya berusaha untuk menghasilkan pemikiran yang tepat untuk diterapkan dalam sistem pendidikan, begitupun dengan aliran filsafat pendidikan pancasila, sistemnya sudah cukup baik namun mungkin penerapannya saja yang masih banyak kekurangan, lantaran pendidik terkadang masih sulit untuk bisa mengidentifikasi potensi yang terdapat dalam diri penerima didik sehingga pendidik belum sanggup mengarahkan ataupun membuatkan potensi yang masih terpendam dalam diri penerima didik.
2.3. Masalah Seputar Pendidikan di Indonesia
Dari pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa untuk membentuk filsafat pendidikan yang khas Indonesia memamg bukan hal yang gampang dan membutuhkan usaha yang cukup besar dari semua pihak. Di lain sisi, disini kita juga perlu mengkaji hal-hal yang menjadi persoalan dalam pendidikan kita ketika ini, dimana persoalan ini memperlihatkan sikap masyarakat, khususnya penerima didik yang kaitannya dengan pemikiran pendidikan yang ada di Indonesia ketika ini.
Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, sebenarnya negara kita mempunyai tokoh pendidikan yang sangat kuat, yakni Ki Hajar Dewantara. Dengan konsep Tri-Pusat-nya (individu-sekolah-masyarakat), ia mengajarkan bahwa segala nilai dan norma yang baik yang didapatkan penerima didik di sekolah semestinyalah bisa merembes masuk ke dalam masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi, niscaya ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan itu. Terjadinya diskontinuitas itu bisa jadi disebabkan oleh orientasi pendidikan itu. Misalnya, pendidikan kini lebih menekankan NEM (Nilai Ebtanas Murni) daripada aspek humanisasi. Jika kita bertanya pada anak SD, SMP, SMA, atau bahkan tingkat universitas sekalipun, tolak ukur keberhasilan mereka pastilah NEM. Jika ini yang dikejar, maka tidak tidak mungkin mereka akan jatuh pada upaya mengejar hanya nilai saja dan lupa bahwa diri mereka yang harus dimekarkan. Pemikiran mirip ini lambat laun akan merusak tatanan pendidikan kita, lantaran jikalau semua orang hanya mementingkan NEM tanpa melihat kualitas yang dimiliki oleh seseorang, maka hasilnya yakni Indonesia ”hanya” akan menghasilkan individu yang besar dengan kuantitas/nilai tanpa mempunyai kualitas yang bisa dibanggakan.
Dalam sebuah makalah milik ketut Sumarta yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”, ia menggambarkan situasi Indonesia yang lebih ironis lagi. Ia memulai dengan memaparkan rintihannya mengenai masyarakat Indonesia yang sudah dikuasai oleh budaya kekerasan. Mungkin sebuah ironisme yang sangat menyakitkan ketika kita melihat para pelajar yang berhamburan keluar dari sekolah pribadi tawuran. Bagaimana mungkin para mahasiswa yang dilatih untuk menjadi intelektual dalam suatu demonstrasi akhirnya membalas tindakan kekerasan pegawapemerintah dengan memperabukan kendaraan beroda empat aparat? Di sinilah kiprah pendidikan untuk memberi pengertian wacana demokrasi serta budaya santun berpolitik. Berdasarkan hal-hal itulah rancangan mengenai filsafat pendidikan yang khas Indonesia harus diletakkan. Apalagi jikalau kita melihat bahwa dasar filsafat pendidikan kita yakni pancasila, maka seharusnya hal-hal mirip itu tidaklah terjadi lantaran bertentangan dengan landasan pendidikan negara kita. Maka dari sini sanggup disimpulkan bahwa pengamalan terhadap sila-sila tersebut belumlah berjalan semestinya sehingga masih terjadi penyelewengan dimana-mana. Jika begitu, sanggup dikatakan bahwa sila itu hanya berdiri sendiri sebagai suatu landasan, tapi pengimplementasian terhadap silanya belum kita dapatkan.
2.4. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Secara umum, sanggup dipahami bahwa tujuan dari filsafat ialah bermaksud untuk membangun sebuah sisitem berpikir dalam khazanah keilmuan. Dengan melihat keadaan Indonesia yang multikultural dengan aneka macam huruf yang berbeda di setiap wilayahnya, serta jikalau ditinjau dari segi politis, kata “Indonesia” gres menggumpal sebagai bangsa pada sumpah cowok tahun 1928 dan sebelum itu Indonesia lebih dikenal sebagai nusantara. Oleh lantaran itu, jikalau ingin merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang khas Indonesia, kita harus memandang dua aspek yang cukup mendasar, yakni pluralitas (kebudayaan, bahasa, agama, suku, ras, dan geografi) dan aspek antropologis-historis yakni adanya “bangsa Indonesia” (sejarah nusantara, zaman kerajaan-kerajaan, pra-penjajahan, penjajahan, masa usaha kemerdekaan, transisis menuju kemerdekaan, masa kemerdekaan awal, dan seterusnya hingga kini ini).
Jika kini ini kita mengalami sebuah kesulitan besar dalam membuat sebuah sistem pendidikan yang cocok untuk “manusia indonesia”, barangkali itu disebabkan konsep dan sistem pendidikan Indonesia tidak memahami dua aspek tersebut. Pendidikan kita lebih merupakan impor dan penerusan dari tradisi warisan belanda yang kemudian dalam proses ditambah di sana-sini dengan mengambil dari Amerika, Jerman, atau yang lainnya. Lalu dasar filsafat pendidikan yang menggumpalkan insan Indonesia dalam dimensi pluralitas dan antropologis-historisnya menjadi kabur. Maka tidak heran, jikalau pada ketika kita ditanya wacana apa itu filsafat pendidikan yang khas Indonesia, kesulitanpun muncul.
Dalam perbincangan mengenai filsafat pendidikan, ada sebuah pertanyaan menarik: apakah kita memerlukan filsafat pendidikan? Semua penerima karenanya sepakat bahwa perlu sebuah filsafat pendidikan atas alasan: tanpa filsafat pendidikan, hasil dan arah pendidikan tidak sanggup dipertanggungjawabkan. Filsafat pendidikan menjadi faktor pendorong dan memberi motivasi pada gerak pendidikan secara keseluruhan. Maka, filsafat pendidikan itu harus dibangun menurut realitas Indonesia yang murni, bukan didatangkan dari luar, lantaran intinya kita sudah punya peluang dan dasar untuk membangun filsafat itu, yakni pengalaman penderitaan yang begitu usang dialami oleh bangsa Indonesia.[3]
Dunia pendidikan di Indonesia memang belum mempunyai konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia wacana pengertian dan cara–cara mencapai tujuan pendidikan. Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia. Teori-teori tersebut biasa didapat dengan cara mencar ilmu diluar negeri, atau dengan cara melaksanakan studi banding dan yang paling banyak dilakukan yakni dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyusun sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula wacana konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian, sanggup diibaratkan membuat insan Indonesia yang dicita-citakan mirip menerpa patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya tentu tidak sama persis seperti insan yang dicita-citakan, lantaran cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.
Saat ini pendidikan di Indonesia gres dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun gres muncul disana-sini, namun belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkannya. Kondisi mirip ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri.
Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para jago pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut :
1) Lebih dari separo responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran.
2) Hampir separo responden mahasiswa dan dosen beropini bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para jago pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
3) Para mahasiswa dan dosen beropini pendidikan yakni ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para jago menyatakan ilmu pendidikan yakni ilmu terapan.
4) Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut di atas, sanggup ditarik sejumlah persoalan bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu :
(1) Belum terang pengertian pendidikan dan pengajaran.
(2) Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
(3) Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
(4) Belum terang apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
(5) Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
(6) Belum terang apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam persoalan tersebut di atas menandakan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, hingga dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan mirip ini terjadi lantaran memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk membuatkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu yakni filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan di bumi Indonesia. Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan aktivitas usaha merumuskan filsafat pendidikan Indonesia ini yang kini gres dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic? Tampaknya kiat itu perlu diubahsuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia ketika ini, yakni mirip yang telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat pendidikan hendaknya dibangun di atas realitas Indonesia yang murni dan bukan berasal dari negara lain dan ini pastilah membututuhkan intervensi pemerintah Indonesia itu sendiri. Sesuatu akan terjadi secara relatif lebih gampang bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih gampang menerima jalan dalam perkembangannya manakala pemrakarsa sanggup menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu donasi untuk materi sidang umum itu. Namun, GBHN 1993 sebagai produk sidang itu tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini memperlihatkan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada.
Di samping kunci utama untuk memulai aktivitas pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya membuatkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila biar gampang diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi pembagian terstruktur mengenai itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para jago pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih gampang diterapkan di lapangan. Sampai kini tidak setiap jago diperkenankan menjabarkan sila-sila Pancasila. Yang diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin untuk menghindari kesimpangsiuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri.
Tetapi bila para jago pendidikan yang berwewenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu, hal ini akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bila hal itu tidak bisa ditawar-tawar, mungkin dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibuat tim yang anggotanya beberapa jago pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia sanggup diatasi.
Andaikan arahan untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
(1) Apakah filsafat pendidikan yang akan dibuat yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain?
(2) Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada, dengan menentukan salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis, sehingga tinggal merevisi biar cocok dengan kondisi Indonesia?
(3) Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, mirip yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan mereka yakni Liberal, Demokrasi, dan multikultural, seperti mereka tidak mempunyai filsafat khusus wacana pendidikan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, sanggup ditarik kesimpulan bersama-sama filsafat yang diterapkan di Indonesia yakni filsafat pendidikan pancasila. Di sini pancasila menjadi landasan dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Namun dalam prakteknya di dunia pendidikan, pengamalan terhadap sila-silanya belumlah berjalan mirip yang diharapkan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kesulitan dalam mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini sanggup dilihat dari persoalan yang terjadi di dunia siswa, dimana siswa yang dididik untuk mempunyai intelektual yag tinngi malah menentukan jalan kekerasan dalam menuntaskan suatu perkara. Hal ini tentulah bukan kesalahan landasan pendidikan kita, sistem yang ada sudah sangat bagus, hanya pengimplementasiannya saja yang masih perlu diperhatikan serta penghayatan terhadap seluruh sisa-sisa yang ada.
Akhirnya, untuk persoalan ini didapatlah sebuah jalan keluar, yakni perlu adanya campur tangan pemerintah dalam memperhatikan wacana perumusan dari sila-sila ini serta diberikan kesempatan kepada para jago pendidikan yang berwewenang untuk merumuskan filsafat pendidikan dan diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila tersebut.
3.2. kritik dan Saran
Kami selaku penulis mengharapkan dengan adanya makalah sederhana ini sanggup menambah wawasan bagi para pembaca, khususnya dalam memahami keadaan serta pemikiran pendidikan kita di Indonesia. Makalah ini hanya membahas sedikit dari keseluruhan pembahasan tersebut, untuk itu jikalau pembaca ingin memperdalam pengetahuan wacana hal ini, disarankan untuk membaca di aneka macam sumber lain yang sanggup dipertanggungjawabkan.
Akhirnya kami sebagai penulis memohon maaf atas kekurangan materi yang kami paparkan dalam makalah ini serta kami mengharapkan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rachmat, Aceng, et al.. 2013. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Sindhunata (Editor). 2006. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar, H.A.R.. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
[1] Martini Djamaris, Filsafat Ilmu Lanjutan, Bab 6, ”Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu,” hal. 104.
[2] Martini Djamaris, Filsafat . . ., hal. 105
[3] Dedy Kristanto dan St. Sularto, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Rangkuman “Paradigma: Filsafat Pendidikan yang Berpijak Pada Realitas,” hal. 250
Belum ada Komentar untuk "Makalah Fatwa Filsafat Pendidikan Dan Pemikiran Filsafat Pendidikan"
Posting Komentar