Makalah Ajaran Filsafat Pendidikan Pragmatisme, Ajaran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, Filsafat Pendidikan Progresivisme




A.    Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara insan dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan sanggup berubah, sedang pengetahuan sebagai transaksi insan dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan penggalan dari pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu berubah, dan tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadullah, 2007: 125). Pembentukan langsung anak merupakan proses menata dan membangun kembali pengalaman-pengalaman anak, bukan proses pembentukan dari luar dan bukan pemerkahan potensi diri. Pendidikan yaitu kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk kehidupan. Tujuan pendidikan yaitu suatu kehidupan yang baik. Oleh alasannya pelajaran yang diberikan harus didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan dibicarakan. Dan kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan antara pengalaman di sekolah dan luar sekolah. Pendidik di sini hanya sebagai fasilitator dan memberi dorongan pada penerima didik sampai sanggup berpikir ilmiah dan logis.
Pragmatisme yaitu aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu  ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi insan untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal masa ini. Pragmatisme dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat.[1] Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada insan dalam bertindak. Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai dogma pragmatisme.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat besar lengan berkuasa dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan yaitu John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Pragmatisme tak sanggup dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya imbas dan efek baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James menyampaikan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama gres bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan ia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, menyerupai yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam banyak sekali bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme telah menjadi semacam ruh yang menghidupi badan ide-ide dalam ideologi kapitalisme yang telah disebarkan barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya usang maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme sanggup dipandang berbahaya dikarenakan telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak sanggup mengelak dari sebuah kiprah mulia yang menantang, yakni menjinakkan ancaman Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya sebagai landasan strategis untuk melaksanakan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide). Pragmatisme sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas insan dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, aturan moral pun berubah, berubah menjadi sempurna. Tidak ada batasan aturan moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laris maupun pengetahuan.
Pengalaman yaitu salah satu kunci dalam filsafat pragmatisme. Pengalaman merupakan keseluruhan kegiatan insan yang meliputi segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat pragmatisme Dewey dibangun berdasarkan perkiraan bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut dibutuhkan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk bawah umur di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang memakai pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa sanggup melaksanakan sesuatu secara bantu-membantu dan mencar ilmu untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya. Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memperlihatkan kebenaran berdasarkan keuntungannya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia beropini bahwa kiprah filsafat memperlihatkan garis-garis instruksi bagi perbuatan. Filsafat dihentikan karam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menilik serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat berdasarkan Dewey sanggup menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

B.     Aliran Filsafat Pendidikan  Eksistensialisme

Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh jago filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan penggalan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari jago filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “Bagaimanakah saya menjadi seorang diri?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam keberadaan individu yang konkret.[2]
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir saat dunia mengalami krisis eksistensial, saat insan melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan balasan untuk pertanyaan tersebut insan (aku) bisa menjadi individu yang autentik jikalau mempunyai gairah, keterlibatan, dan kesepakatan langsung dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan pandangan gres yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi insan unggul”. Jawabannya yaitu insan bisa menjadi unggul jikalau mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman insan dengan metodologi fenomenologi atau cara insan berada. Eksistensialisme yaitu suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap insan yaitu insan merupakan benda dunia, insan yaitu materi, insan yaitu sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan insan berdasarkan idealism yaitu insan hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi insan selalu berpangkalkan keberadaan sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, kesudahannya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan insan yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan duduk kasus kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu? bagaimanakah insan yang bebas itu? Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian berdasarkan Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian insan bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akhir dari adanya kebebasan eksistensialis : sejauh mana kebebasan insan itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan yaitu satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap individu yaitu kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang gres yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan yaitu inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke banyak sekali profesi menyerupai dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang renta atau kita sendiri. Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat kasus filosofis : keberadaan manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, keberadaan insan yaitu keberadaan yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif yaitu kesadaran kegiatan harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran reflektif yaitu kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif. Kesadaran ini membuat insan bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk semoga insan menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak besar lengan berkuasa pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu yaitu palsu, tidak ada sesuatu yang sanggup kita kenal dari realita.


v  Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1)      Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan insan tergantung kepada pemahamannya perihal realitas, tergantung pada interpretasi insan terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk sanggup dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah langsung anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

2)      Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu impian dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik yaitu yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus mendapatkan akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, alasannya setiap akhir akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk membuat tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menimbulkan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.


3)      Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme bekerjasama erat sekali dengan pendidikan, alasannya keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, kekerabatan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme yaitu “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.





4)      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yaitu untuk mendorong setiap individu semoga bisa berbagi semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu mempunyai kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang niscaya dan ditentukan berlaku secara umum.
5)      Kurikulum
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal yaitu kurikulum  yang memperlihatkan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan sanggup menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang sanggup memenuhi tuntutan di atas yaitu mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang sanggup membantu untuk menemukan dirinya yaitu IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya. Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyhur, memahami hakikat insan di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai pola kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu usaha insan mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus sanggup membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi penggalan dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memperlihatkan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut dibutuhkan semoga individu sanggup mengadakan instrospeksi dan mengenalkan citra dirinya. Pelajar harus didorong untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sanggup berbagi keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh alasannya itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
6)      Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep mencar ilmu mengajar eksistensialisme sanggup diaplikasikan dari pandangan Martin Buber perihal “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara langsung dengan pribadi, dimana setiap langsung merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa mengalah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya. Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya dihentikan disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan pelatih maka ia hanya akan merupakan mediator yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga insan akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses mencar ilmu mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menimbulkan kekerabatan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi penggalan dari pengalaman langsung guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara langsung dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.




7)      Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang insan temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan populer yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jikalau kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan insan yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian langsung akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memperlihatkan kebebasan kepada siswa menentukan dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melaksanakan apa saja yang mereka suka. Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan perihal ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk menentukan alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada insan melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus mencar ilmu keras menyerupai gurunya. Guru harus bisa membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa bisa berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas semoga betul-betul menghasilkan diskusi perihal mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa mempunyai hak untuk menolak interpretasi guru perihal pelajaran. Sekolah merupakan suatu lembaga dimana para siswa bisa berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.



C.     Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme

Pengertian dasar yang menjadi cirri dari aliran ini yaitu progress, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Ciri utama aliran ini ialah bahwa aliran ini memandang insan sebagai subyek yang mempunyai kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya dengan keterampilan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu insan sanggup memecahkan semua problemanya secara intelligent, dengan intelegensi aktif. Aliran progressivisme mengakui dan berusaha berbagi asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan yaitu tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus mudah dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.[3]
Progressivisme dinamakan instrumentalisme, alasannya aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi insan sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk berbagi kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, alasannya aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme alasannya aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi training kepribadian. Dalam pendapat lain, progressivisme beropini bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progressivisme mempunyai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi Ilmu hayat, bahwa insan mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa insan mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian sanggup mencari hal baru. Psikologi yaitu insan akan berpikir perihal dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, serta sanggup menguasai dan mengaturnya. Filsafat pendidikan Progressivisme dikembangkan oleh para jago pendidikan menyerupai John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal masa 20. Progressivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi aksentuasi lebih besar pada kreativitas, aktivitas, mencar ilmu "naturalistik", hasil mencar ilmu "dunia nyata" dan juga pengalaman sahabat sebaya.
Salah seorang bapak pendiri filsafat progressivisme, Dewey berbagi progressivisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun pandangan gres filsafatnya yang utama, berkisar dalam kekerabatan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam pemberian pikirannya terhadap filsafat pendidikan Progressivisme Amerika. Dewey tidak hanya besar lengan berkuasa dalam kalangan jago filsafat profesional, akan tetapi juga alasannya perkembangan idenya yang mendasar dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa.




























BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan

Filsafat Pendidikan yaitu ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan mempunyai kekerabatan erat yang tidak sanggup dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan. Senada juga filsafat dan pendidikan mempunyai kekerabatan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat.
Demikian pula filsafat pendidikan dan pendidikan mempunyai kekerabatan timbal-balik yang saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus berkembang pesat, filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi materi pemecahan filsafat pendidikan. Paham pragmatis memandang bahwa realita merupakan interaksi antara insan dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan menyampaikan bahwa yang nyata yaitu yang dialaminya bukan diluar kita.  Jika insan bisa menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya.
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha berbagi asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan yaitu tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus mudah dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.

2.      Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh alasannya itu, kami mengharapkan sumbangsi pikiran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini.



                                                    DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro (2003). Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Amri, Amsal (2009). Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.
           
Purba Edward, Yusnadi (2013). Filsafat Pendidikan. Medan: Univesitas Negeri Medan.

Sadulloh, Uyoh (2003). Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Soedojo, Peter (2004). Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.









[1] Peter Soedojo, Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hal.59.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 123.
[3] Amsal amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2009), hal.61-62.

Belum ada Komentar untuk "Makalah Ajaran Filsafat Pendidikan Pragmatisme, Ajaran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, Filsafat Pendidikan Progresivisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel