Xenophanes. Anutan Ihwal Agama

Nama Xenophanes menjadi masyur, lantaran untuk pertama kalinya dalam sejarah Yunani dialah yang mensinyalir konflik yang sedang berlangsung antara pemikiran filsafat dan tanggapan-tanggapan mitologis yang tradisional. Dengan menggunakan istilah-istilah yang sudah dipergunakan lebih dahulu, boleh dikatakan bahwa pada Xenophanes tampak dengan terperinci pergumulan antara logos dan mythos dalam alam pikiran Yunani. Dengan kritiknya Xenophanes terutama perihal Homeros dan Hesiodos. Menurut dia, kedua penyair Yunani tersebut menceritakan perihal dewa-dewa berbagai-bagai perbuatan yang memalukan, mirip contohnya pencurian, zinah, dan penipuan satu sama lain. Jadi, Xenophanes tidak menolak Homeros dan Hesiodos sendiri. Bahkan ia mengakui bahwa Homeros pada khususnya memiliki kewibawaan besar dalam masyarakat Yunani. Tetapi ia berkeyakinan bahwa seorang penyair memiliki kiprah selaku pendidik rakyat.
Oleh karenanya, ia merasa terdorong untuk mengkritik tanggapan-tanggapan yang kurang pantas itu. Kritik ini sangat menarik, lantaran dengan itu sudah terperinci bahwa Xenophanes menginsyafi adanya hubungan antara anggapan etis yang luhur dengan Allah. Rupanya ia menganggap Allah sebagai ideal dalam bidang etis. Dengan kata lain, Allah dianggapnya sempurna.

Dengan kritik lain Xenophanes membantah antropomorfhisme perihal Allah, artinya balasan seolah-olah Allah berupa manusia. Ia menyampaikan bahwa insan selalu cenderung berpikir bahwa dewa-dewa dilahirkan mirip halnya dengan insan dan bahwa mereka memiliki pakaian, suara, dan rupa mirip makhluk insani. Karena Xenophanes mengkritik pendapat bahwa dewa-dewa dilahirkan, maka harus disimpulkan bahwa berdasarkan ia Allah tidak memiliki permulaan; dengan kata lain, bahwa Allah bersifat kekal. Kritiknya atas antropomorfhisme Allah dikemukakan lagi dalam dua fragmen berikut ini. “Kalau seandainya sapi, kuda dan singa memiliki tangan dan cendekia menggambar mirip manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewa ibarat kuda, sapi akan menggambarkan yang kuasa ibarat sapi dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama dengan dewa-dewa mirip terdapat pada diri mereka sendiri”. “Orang Ethiopia memiliki dewa-dewa hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Thrake menyampaikan bahwa dewa-dewa mereka bermata biru dan berambut merah”

Disini juga kita mesti menyimpulkan: lantaran Xenophanes mengkritik balasan perihal Allah yang berdasarkan sifat-sifat daerah, dengan sendirinya ia mewartakan suatu universalisme dalam bidang keagamaan. Universalisme religious itu diambil alih—eksplisit atau sekurang-kurangnya implisit—oleh semua filusuf selanjutnya. Tetapi pendapat ini dalam praktek keagamaan belum mendarahdaging pada masyarakat Yunani, selagi polis merupakan sentra ibadah. Tiap-tiap polis memiliki dewa-dewa sendiri. Baru pada final kebudayaan Yunani, ketika dalam kerajaan Alexander Agung polis sudah kehilangan keunggulannya, universalisme religious diterima juga dalam praktek keagamaan.

Xenophanes menolak juga adanya banyak yang kuasa dengan menekankan keesaan Allah. Itulah kritik lain atas anggapan-anggapan mitologis. Katanya, “Allah itu satu adanya, yang terbesar diantara dewa-dewa dan orang-orang manusia, tidak serupa dengan makhluk insani dan tidak pula berpikiran mirip mereka”. Sudah pernah disimpulkan bahwa di sini kita bertemu dengan monotheisme yang paling murni. Akan tetapi, kesimpulan mirip itu niscaya melebih-lebihkan. Kita dihentikan menyisipkan pikiran kita ke dalam perkataan Xenophanes. Maksudnya tentu tidak sama dengan maksud orang Nasrani dan Islam, kalau mereka menyampaikan “Allah yang Maha Esa”. Dalam sejarah selanjutnya kita akan melihat bahwa problem “monotheisme dan politheisme” tidak muncul dalam alam pikiran Yunani. Apalagi, dalam fragmen 23 tadi Xenophanes sendiri berkata “dewa-dewa dan orang-orang manusia” dan juga pada kesempatan lain lagi ia menggunakan kata “dewa-dewa” dalam bentuk jamak. Rupanya pendirian Xenophanes perihal Allah tidak merupakan alasan untuk menyimpang dari cara berbicara yang tradisional.

Aristoteles* mengetengahkan bahwa Xenophanes “dengan menunjuk kepada seluruh dunia, menyampaikan bahwa yang Satu ialah Allah”. Dengan kata lain, berdasarkan Aristoteles* Xenophanes memaksudkan bahwa Allah itu sama saja dengan dunia. Kalau begitu, pedoman Xenophanes boleh disebut Pantheisme. Pendapat ini sebagian besar cocok dengan pedoman filsafat Ionia hingga ketika ini (bagi Anaximandros* contohnya to apeiron memiliki ciri-ciri ilahi). Tetapi perihal interpretasi Aristoteles* itu juga ada juga keberatan-keberatan. Pertama-tama boleh dicatat bahwa Aristoteles menyampaikan begitu, lantaran ia menganggap Xenophanes sebagai pendiri mazhab Elea, di mana “yang Satu” memiliki peranan penting. Tetapi kita sudah melihat bahwa tidak ada dasar historis untuk anggapan itu. Alasan lebih berpengaruh untuk mewaspadai anggapan Aristoteles* dihidangkan oleh Xenophanes sendiri. Dalam beberapa fragmen pendek ia melukiskan sifat-sifat Allah yang tidak praktis diadaptasi dengan pendapat bahwa Allah sama dengan dunia. “Ia melihat seluruhnya, Ia berpikir seluruhnya, Ia mendengar seluruhnya”. (“Seluruhnya” berarti bukan dengan organ badani tertentu). “Secara praktis Ia menguasai segala sesuatu, hanya dengan kuasa pikirannya saja”. Kita tidak bias terlepas dari kesan bahwa Xenophanes mengenakan kepada Allah ciri-ciri yang bersifat personal. Dalam fragmen lain lagi ia mengatakan:

“Senantiasa Ia menetap pada tempat yang sama, tanpa gerak apapun; dan tidak pantas baginya berkeliling ke sana-sini”. Agaknya ini dimaksudkan untuk mengkritik Homeros, lantaran dalam syair-syairnya Ilias dan Odyssea pada yang kuasa sering-sering dengan kecepatan yang besar berlari-lari dari satu tempat ke tempat yang lain.

Akhirnya, kita mesti menyimpulkan bahwa banyak pertanyaan mengenai pedoman Xenophanes perihal Allah tidak sanggup dijawab. Istilah-istilah modern mirip monotheisme, politheisme, panteisme tidak cocok untuk menangkap maksud Xenophanes. Apalagi, rupanya bagi Xenophanes sendiri pun masih banyak tanda tanya perihal Allah, lantaran ia menyampaikan pada fragmen 34 bahwa pengetahuan insan perihal Allahtidak pernah pasti. Lebih terperinci apa yang ditolak daripada apa yang diajarkan secara positif. Atas nama pemikiran filsafat ia menolak tanggapan-tanggapan mitologis perihal para dewa. Walaupun lebih sulit untuk memilih pendirian Xenophanes sendiri, namun sudah faktual bahwa ia memiliki pandangan luhur perihal Allah. Buktinya, ia menyampaikan bahwa tanggapan-tanggapan mitologis itu tidak “pantas” (epiprepei) untuk Allah.


Download di Sini


Sumber.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Belum ada Komentar untuk "Xenophanes. Anutan Ihwal Agama"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel