Thomas Aquinas. Rahmat

Apakah insan sanggup memandang Tuhan? Apakah insan sanggup mengusahakan pemandangan Tuhan dengan kekuatannya sendiri? Dalam pengertian Thomas Aquinas, nalar budi (intellectus) merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terhingga. Meskipun objek nalar budi dianggap berdasarkan rujukan objek indriawi, nalar budi sanggup mengatasi keterbatasan objek indriawi dan memahami yang tak terhingga. Karena itu, insan pintar budi, dan hewan tidak.

Akal budi sanggup dianggap sebagai keterbukaan tak terhingga atau sebagai cakrawala tak terhingga. Dalam cakrawala itu semua objek terhingga, tetapi lantaran cakrawala tak terhingga, insan menangkap objek terhingga sebagai terhingga dan dengan demikian sudah mengatasi keterhinggaan (Hegel*). Karena itu, Tuhan dengan mewahyukan diri kepada manusia, tetapi tidak kepada binatang. Binatang tidak memiliki cakrawala tak terhingga sehingga Tuhan mustahil masuk ke dalam wawasannya. Namun, cakrawala pengertian insan ialah tak terhingga sehingga Yang Tak Terhingga sanggup mewahyukan diri kepada manusia. Manusia secara terbuka bagi Allah dan hanya Allah yang sanggup memenuhi keterbukaan itu. Itulah sebabnya insan hanya sanggup senang apabila ia memandang Tuhan, jadi apabila ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan insan yang terarah kepada Yang Tak Terhingga.

Namun, insan memang hanyalah keterbukaan atau potensialitas tak terhingga. Ia bukan aktualitas tak terhingga. Oleh lantaran itu, insan dari kekuatannya sendiri tidak sanggup mencapai Tuhan. Ia hanya sanggup mendapatkan Tuhan lantaran Tuhan menunjukkan diri sendiri. Pemberian diri Tuhan itu sama sekali bukan suatu hak manusia, melainkan tindakan bebas Tuhan. Atasnya, insan tidak memiliki klaim apa-apa. Ia hanya sanggup menerimanya.

Dalam tradisi Kristiani kerelaan Tuhan untuk membuka diri kepada insan disebut Rahmat (gratia). Kata “rahmat” itu memuat arti bahwa dukungan diri Tuhan itu seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri, dan bahwa dasarnya ialah kasih sayang Tuhan. Bahwa Tuhan menunjukkan diri, bahwa Tuhan bersifat Maharahim, itu diketahui dengan niscaya hanya lantaran Wahyu, lantaran Tuhan sendiri memberitahukannya.

Di sini kita melihat bahwa Thomas Aquinas tidak lagi bicara murni sebagai filsuf, melainkan sebagai teolog. Karena itu, dalam etikanya Thomas Aquinas memang melampaui metode filosofis murni dan bicara sebagai orang beriman, sebagai orang Kristen. Namun, tentu tidak dalam arti eksklusif. Pandangan yang membahagiakan (visio beatifica) ialah tujuan selesai segenap orang, sebagai manusia, dan segenap orang dipanggil ke pandangan itu. Agama-agama lain pun menyadari bahwa Tuhan bersifat Maharahim. Namun, kenyataan itu bukan hasil aliran nalar budi insan saja. Bahwa tujuan insan yang terakhir dan paling luhur bukan sekedar kemungkinan berpikir yang kabur (dan perlu diingat bahwa Aristoteles* sedikit pun tidak berpikir ke arah itu: paling-paling Neoplatoisme yang menuju ke arah itu), melainkan suatu proposal nyata, tidak diketahui insan dari filsafat murni, melainkan dari nalar budi yang telah diterangi oleh cahaya Sabda Allah sendiri, sebagaimana disadari dalam agama-agama yang tahu bahwa Tuhan memang menyapa manusia.

Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Thomas Aquinas
2. Thomas Aquinas (1225-1274)
3. Aliran Filsafat. Thomisme
4. Thomas Aquinas. Tujuan Terakhir Manusia: Pandangan yang Membahagiakan
5. Thomas Aquinas. Kehendak Bebas Manusia
6. Thomas Aquinas. Hukum Kodrat
7. Thomas Aquinas. Hukum Kodrat dan Hukum Abadi
8. Thomas Aquinas. Suara Hati

Belum ada Komentar untuk "Thomas Aquinas. Rahmat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel