Tradisi, Autoritas, Dan Pseduo-Komunikasi
Tradisi—yang di sini dimaksudkan sebagai tradisi kultural—mencakup praktek-praktek komunikasi sosial, dengan menggunakan apa yang oleh Wittgenstein* disebut language-games sehari-hari. Jadi, untuk saling memahami maksud masing-masing, anggota masyarakat mengadakan pertukaran simbol-simbol, baik dalam bentuk bahasa percakapan sehari-hari maupun dalam bentuk tindakan-tindakan. Dalam praktek komunikasi, “maksud” yang tidak sanggup disampaikan dalam tuturan dilengkapi dengan tindakan, dan maksud tindakan dijelaskan dalam tuturan. Dengan kata lain, antara tuturan dan tindakan terjadi saling interpretasi, hingga “maksud” yang ingin disampaikan itu dipahami bersama. Dalam proses itu, orang sanggup bertukar posisi komunikasi, sehingga tidak hanya melihat dalam perspektif dirinya sendiri, tetapi juga dalam perspektif orang lain. Melalui proses komunikasi intersubjektif semacam ini, terbentuklah kesepakatan-kesepakatan mengenai norma-norma tindakan. Pada taraf ini, nilai-nilai yang melatarbelakangi maksud-maksud para partisipan komunikasi itu mencapai status objektifnya, menjadi apa yang oleh Habermas disebut “struktur-struktur normatif”, contohnya tampil dalam wujud pranata-pranata sosial. Dalam kondisi ideal, demikian Habermas*, struktur-struktur normatif bukan hanya hasil komunikasi para anggota masyarakat dengan kedudukan sejajar dan bebas paksaan, melainkan juga terus-menerus berkembang di bawah kontrol kesadaran mereka. Akan tetapi, dalam kenyataan, struktur-struktur normatif itu juga hasil dari suatu pseduo-komunikasi, suatu komunikasi yang terdistorsi secara sistematis, suatu konsensus semu dengan paksaan-paksaan autoritas. Unsur paksaan ini juga terkandung dalam apa yang disebut “tradisi”.
Dalam sebuah komunikasi dengan paksaan autoritas, terjadi distorsi-distorsi sistematis yang menciptakan maksud-maksud komunikasi tidak disampaikan secara autentik, sehingga apa yang terungkap dalam tuturan dan tindakan tidak pribadi menampilkan maksudnya. Misalnya, pada aras bahasa, terjadi degramatisasi, ialah pemakaian hukum bahasa yang menyimpang dari bahasa publik; pada aras perilaku; berlangsung kekakuan-kekakuan dan pengulangan-pengulangan yang dipaksakan oleh yang bersangkutan; dan pada susunan komunikasi itu sendiri, terdapat ketidaksesuaian antara simbolisme bahasa, tindakan, dan ekspresi-ekspresi. Ini terjadi sebab adanya self-censorship yang terlalu berpengaruh dari para partisipan komunikasi untuk melindungi survival masing-masing. Sensor-sensor diri itu berlangsung secara tak sadar, dan ada hubungannya dengan kuatnya sensor-sensor sosial. Jadi, di sini matra autoritas sosial diperpanjang ke dalam dunia batiniah anggota masyarakat. Karena itu, pikiran-pikiran pun, menyerupai juga tindakan-tindakan, dalam struktur komunikasi terdistorsi ‘kesadaran palsu’ atau ‘ideologi’, ialah suatu simbolisasi kenyataan sosial yang kelihatannya saja rasional.
Sangat menarik menggunakan tilikan kritis itu untuk melihat aspek sikap tradisi feodal Jawa. Apakah tata-krama atau unggah-ungguh bahasa Jawa sanggup ditunjuk sebagai fenomena distorsi atau sebuah bentuk pseduo-komunikasi? Tentu kita membutuhkan penelitian saksama mengenai ini. Unggah-ungguh itu, dalam kacamata modern, mencerminkan ketidaksamaan posisi komunikasi, sekaligus menampilkan macam-macam bentuk ketidaklangsungan-ketidaklangsungan atau selubung-selubung simbolis, yang bernada eufemistis terutama bila diarahkan pada autoritas. Di samping mengatakan kuatnya sensor sosial, language-games ini juga merupakan pelestarian bentuk kehidupan yang terstratifikasi. Apakah simbolisme linguistik yang terstratifikasi ini merupakan distorsi atau pseduo-komunikasi sangat tergantung pada autensitas dan kebenaran penyampaian pesan berdasarkan batas-batas yang dimungkinkan oleh komunikasi tradisional itu. Segala selubung dan kelitan-kelitan lewat simbol-simbol linguistik terstratifikasi itu sanggup saja sangat bermakna, dan dikomunikasikan secara “bebas” dalam arti cocok sebagaimana dihayati para pelaku feodal itu. Masalah pseduo-komunikasi yang sebenarnya gres disadari dalam masyarakat Indonesia modern yang sudah mendapatkan “kategori kebebasan dan kesamaan sosial”, namun menyisakan elemen tradisi ini, dan menggunakannya secara strategis atau tak sadar. Kesenjangan antara konsep dan penghayatan ini penipuan-penipuan diri tak sadar, merupakan hasil suatu pseduo-komunikasi. Baru dalam masyarakat yang sadar akan kebebasannya dan demokrasi, unggah-ungguh tampil sebagai pseduo-komunikasi, dan pelestariannya dipersoalkan secara kritis.
Dalam tanggapannya terhadap Gadamer*, Habermas* menghasilkan bantuan yang sangat bermanfaat, untuk melengkapi pendirian Gadamer* wacana ciri historis pemahaman. Pemahaman itu historis berarti mempunyai titik tolaknya pada konsensus yang telah dicapai sebelumnya dalam keadaan objektifnya, dan ini meliputi tradisi yang sanggup juga berarti persetujuan rahasia dan pra-reflektif. Akan tetapi, sifat historis ini sama sekali tidak berarti bahwa pemahaman kita tidak sanggup melampaui the conversation that we are, jadi juga bukan berarti penerimaan tradisi secara naif. Berdasarkan uraian di atas, kita sanggup menemukan bahwa konsensus dalam tradisi juga sanggup merupakan sebuah pseduo-komunikasi. Conversation juga merupakan sebuah jaringan paksaan-paksaan, sehingga tidak lagi merupakan conversation. Di dalam kritik modern inilah “kewarasan” suatu tradisi dipersoalkan. Ini sama sekali tidak berarti eliminasi total tradisi—seperti pernah dibayangkan dalam model linier—melainkan mengadakan pengujian kesahihan rasional suatu tradisi. Kita tetap sanggup mendapatkan elemen-elemen tradisi dalam pengetahuan dan praktek sosial kita, namun tidak semua elemen. Menurut Habermas*, hanya elemen-elemen tradisi yang menjamin kebebasan dari kendala-kendala dan pembatasan-pembatasan dalam pencapaian persetujuanlah yang berhak hidup dan menerima status pengetahuan. Syarat kesahihan ini dikenakan juga dalam persetujuan mengenai tradisi itu sendiri. Dengan kata lain, meski kritik berlatar belakang tradisi, tradisi itu harus tetap berada dalam kontrol kritik.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Dalam sebuah komunikasi dengan paksaan autoritas, terjadi distorsi-distorsi sistematis yang menciptakan maksud-maksud komunikasi tidak disampaikan secara autentik, sehingga apa yang terungkap dalam tuturan dan tindakan tidak pribadi menampilkan maksudnya. Misalnya, pada aras bahasa, terjadi degramatisasi, ialah pemakaian hukum bahasa yang menyimpang dari bahasa publik; pada aras perilaku; berlangsung kekakuan-kekakuan dan pengulangan-pengulangan yang dipaksakan oleh yang bersangkutan; dan pada susunan komunikasi itu sendiri, terdapat ketidaksesuaian antara simbolisme bahasa, tindakan, dan ekspresi-ekspresi. Ini terjadi sebab adanya self-censorship yang terlalu berpengaruh dari para partisipan komunikasi untuk melindungi survival masing-masing. Sensor-sensor diri itu berlangsung secara tak sadar, dan ada hubungannya dengan kuatnya sensor-sensor sosial. Jadi, di sini matra autoritas sosial diperpanjang ke dalam dunia batiniah anggota masyarakat. Karena itu, pikiran-pikiran pun, menyerupai juga tindakan-tindakan, dalam struktur komunikasi terdistorsi ‘kesadaran palsu’ atau ‘ideologi’, ialah suatu simbolisasi kenyataan sosial yang kelihatannya saja rasional.
Sangat menarik menggunakan tilikan kritis itu untuk melihat aspek sikap tradisi feodal Jawa. Apakah tata-krama atau unggah-ungguh bahasa Jawa sanggup ditunjuk sebagai fenomena distorsi atau sebuah bentuk pseduo-komunikasi? Tentu kita membutuhkan penelitian saksama mengenai ini. Unggah-ungguh itu, dalam kacamata modern, mencerminkan ketidaksamaan posisi komunikasi, sekaligus menampilkan macam-macam bentuk ketidaklangsungan-ketidaklangsungan atau selubung-selubung simbolis, yang bernada eufemistis terutama bila diarahkan pada autoritas. Di samping mengatakan kuatnya sensor sosial, language-games ini juga merupakan pelestarian bentuk kehidupan yang terstratifikasi. Apakah simbolisme linguistik yang terstratifikasi ini merupakan distorsi atau pseduo-komunikasi sangat tergantung pada autensitas dan kebenaran penyampaian pesan berdasarkan batas-batas yang dimungkinkan oleh komunikasi tradisional itu. Segala selubung dan kelitan-kelitan lewat simbol-simbol linguistik terstratifikasi itu sanggup saja sangat bermakna, dan dikomunikasikan secara “bebas” dalam arti cocok sebagaimana dihayati para pelaku feodal itu. Masalah pseduo-komunikasi yang sebenarnya gres disadari dalam masyarakat Indonesia modern yang sudah mendapatkan “kategori kebebasan dan kesamaan sosial”, namun menyisakan elemen tradisi ini, dan menggunakannya secara strategis atau tak sadar. Kesenjangan antara konsep dan penghayatan ini penipuan-penipuan diri tak sadar, merupakan hasil suatu pseduo-komunikasi. Baru dalam masyarakat yang sadar akan kebebasannya dan demokrasi, unggah-ungguh tampil sebagai pseduo-komunikasi, dan pelestariannya dipersoalkan secara kritis.
Dalam tanggapannya terhadap Gadamer*, Habermas* menghasilkan bantuan yang sangat bermanfaat, untuk melengkapi pendirian Gadamer* wacana ciri historis pemahaman. Pemahaman itu historis berarti mempunyai titik tolaknya pada konsensus yang telah dicapai sebelumnya dalam keadaan objektifnya, dan ini meliputi tradisi yang sanggup juga berarti persetujuan rahasia dan pra-reflektif. Akan tetapi, sifat historis ini sama sekali tidak berarti bahwa pemahaman kita tidak sanggup melampaui the conversation that we are, jadi juga bukan berarti penerimaan tradisi secara naif. Berdasarkan uraian di atas, kita sanggup menemukan bahwa konsensus dalam tradisi juga sanggup merupakan sebuah pseduo-komunikasi. Conversation juga merupakan sebuah jaringan paksaan-paksaan, sehingga tidak lagi merupakan conversation. Di dalam kritik modern inilah “kewarasan” suatu tradisi dipersoalkan. Ini sama sekali tidak berarti eliminasi total tradisi—seperti pernah dibayangkan dalam model linier—melainkan mengadakan pengujian kesahihan rasional suatu tradisi. Kita tetap sanggup mendapatkan elemen-elemen tradisi dalam pengetahuan dan praktek sosial kita, namun tidak semua elemen. Menurut Habermas*, hanya elemen-elemen tradisi yang menjamin kebebasan dari kendala-kendala dan pembatasan-pembatasan dalam pencapaian persetujuanlah yang berhak hidup dan menerima status pengetahuan. Syarat kesahihan ini dikenakan juga dalam persetujuan mengenai tradisi itu sendiri. Dengan kata lain, meski kritik berlatar belakang tradisi, tradisi itu harus tetap berada dalam kontrol kritik.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Belum ada Komentar untuk "Tradisi, Autoritas, Dan Pseduo-Komunikasi"
Posting Komentar