Teori-Teori Karl Marx Sebagai Model Pengembangan Paradigma Terpadu Dalam Sosiologi


Pemilahan materialisme-idealisme inilah yang merupakan kunci atau akar filosofis sosiologi modern, khususnya kesatuan objektif-subjektif atau subjectif-objectif continnum. Hegel* sebagai filsuf yang besar lengan berkuasa terhadap Karl Marx* menekankan adanya proses subjektif yang berlangsung dalam ruang lingkup ide. Marx beserta The Young Hegelian pedahulunya tidak puas atas kenyataan bahwa dialektika tidak berlangsung di dunia riil materil. Berdasarkan hasil karya Feurbach* dan lainnya, Marx* mengadopsi konsep dialektika dan memperluasnya pada dunia materil. Pada satu pihak, ini berarti Marx lebih tertarik pada yang riil, pemain film yang tampak ketimbang sistem ide. Di lain pihak, Marx memfokuskan diri kepada struktur materil masyarakat kapitalis, terutama struktur ekonomi. Meskipun ketertarikan utama Marx* pada dunia materil dari struktur kapitalis beserta kontradiksinya, bahkan sebetulnya pengertian ihwal False Consiousness dan Class Consiousnes memegang peranan pentingan dalam karyanya.

Dari uraian tersebut di atas, nampak model kesatuan analisa Marx* yang lebih mengatakan keseluruhan level analisa yang ada (makro-mikro subjektif-objektif). Di sini Ritzer* memandang model grassroot dari teori Marx yang bersifat dialektis dari level mikro-subjektif hingga level makro-objektif. Hal tersebut berdasarkan Ritzer lebih dikarenakan model fatwa dan metode dialektika yang dipakai Marx*. Sehingga fatwa teoritis yang ada lebih mengatakan interaksi yang terus-menerus dengan keempat kontinum tersebut. Ritzer* menyebutkan bahwa teori-teori Marx* ialah teori yang paling paripurna dalam sosiologi, dan pemahaman atas teori tersebut hanya sanggup dilakukan dengan menyertakan keseluruhan dari kontinum realitas sosial tersebut di atas.

Untuk mendeskripsikan fatwa Marx*, wacana konstruksi teori konflik sosial sebelumnya akan tetap dijadikan contoh dasar dalam memandang sejumlah perkiraan yang mungkin, namun dengan melaksanakan adaptasi atas konsep-konsep multiparadigma yang diuraikan oleh Ritzer* tersebut.

Hal ini dilakukan semoga terhindar dari bermacam-macam prasangka dan tercapainya analisa yang menyeluruh atas fatwa Marx* yang akan dipetakan dalam penelitian ini. Atau dengan kata lain, teori konflik yang akan diuraikan lebih lanjut dalam penelitian ini, mengacu pada teori-teori Karl Marx* yang tidak hanya terbatas pada level struktural (fakta sosial), namun mencakup segenap aspek perkembangan atau dialektika makroskofik-mikroskofik dan objektif-subjektif. Di mana analisa tersebut lebih merupakan tahap-tahap dari perkembangan fatwa Marx yang merupakan wujud dinamis dari interaksi terus-menerus dengan lingkungan sosial (konteks sosial) yang membentuknya.

Marx ialah seorang humanis dengan demikian pandangannya lebih bersifat voluntaris ketimbang positivis. Pernyataan tersebut lazim dikeluarkan melalui pendapat beberapa ahli, hal ini sekaligus menjadi semacam bukti contoh guna memandang keabsahan penggunaan empat level analisa paradigma sosiologi secara sekaligus. Demikian halnya dengan keberadaan Teori Kritis Mazhab Frankfurt* yang sering kali disebut sebagai Humanisme Marxis alasannya ialah pandangannya yang lebih mengutamakan kehidupan keseharian, contohnya dalam analisanya ihwal budaya pop atau seni sastra. Teori Kritis Mazhab Frakfurt* melaksanakan perubahan yang cukup mengejutkan dengan mengalihkan perkiraan ihwal alienasi konsep marxis yang bersifat kolektif (kelas proletariat) ke konsep analisa yang bersifat individual (person). Namun di sisi lain Teori Kritis Mazhab Frankfurt* pun mengubah teori-teori ihwal masyarakat kapitalis yang mengarah pada informasi lokal ibarat dalam karya-karya Karl Marx* ke masyarakat kapitalis yang lebih menandai sebuah peradaban dunia (global).

Jenis pembicaraan dialektis kedua tokoh tersebut merupakan tanda bahwa keduanya sanggup menganalisis banyak sekali perubahan sosial secara lebih lengkap dan menyeluruh. Ben Agger (“Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan, dan Implikasinya” 2003 hal 7-10) yang memakai penamaan bagi Teori Kritis Mazhab Frankfurt sebagai kecenderungan teoritisi marxisme di Barat semenjak Lukacs*. Agger mengungkapkan bahwa teori sosial kritis (neo-marxis/kiri baru) berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai di rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, contohnya seksualitas, tugas keluarga, dan kawasan kerja. Teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme. Demikian, Teori Kritis Mazhab Frankfurt* pun memandang bahwa dominasi bersifat struktural adanya, yakni, kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar ibarat politik, ekonomi, budaya, diskursus, gender, dan ras. Teori Kritis Mazhab Frankfurt* mengungkap struktur ini untuk membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami.

Mengikuti fatwa Marx*, Teori Kritis Mazhab Frankfurt menggambarkan korelasi antara struktur dan insan secara dialektis. Meskipun struktur mengkondisikan pengalaman sehari-hari, pengetahuan ihwal struktur sanggup membantu masyarakat mengubah kondisi sosialnya. Dengan demikian pemahaman paradigma sosiologi atas perkiraan teoritis Marxis dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt sanggup disamakan.


Download di Sini


Sumber.

Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.

Baca Juga
1. Paradigma dalam Sosiologi
2. Paradigma Sosiologi
3. Paradigma Sosiologi. Fakta Sosial
4. Paradigma Sosiologi. Definisi Sosial
5. Paradigma Sosiologi. Perilaku Sosial
6. Paradigma Terpadu

Belum ada Komentar untuk "Teori-Teori Karl Marx Sebagai Model Pengembangan Paradigma Terpadu Dalam Sosiologi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel