Ilmu Dan Teknologi Sebagai Ideologi

[Technick und Wissenschaft als Ideologie, Jurgen Habermas 1968] 
Perang Dunia II di Eropa berakhir pada tahun 1945 dengan kemenangan pihak-pihak anti fasis. Empat tahun kemudian Jerman terpecah menjadi dua negara baru, Republik Federal Jerman yang bersekutu dengan NATO dan Republik Demokrasi Jerman yang bersekutu dengan Pakta Warsawa. Universitas Frankfurt dikala itu berada di Republik Federal Jerman atau Jerman Barat, kondisi ini tentunya sangat menguntungkan sehingga Habermas dan anggota Institut Penelitian lainnya sanggup lebih bebas untuk memberikan pemikirannya. Pendidikan tinggi pertama Habermas yakni di Universitas Gottingen, di mana keberadaan Nicolai Hartman* (1882-1950) dalam hal ini sangatlah mungkin untuk diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang dikemudian hari begitu mempengaruhi fatwa dan karya-karya Habermas. Hal ini sanggup dibuktikan bahwa pada tahun 1954, Habermas meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Gestchichte (Yang Absolut dan Sejarah), suatu studi wacana fatwa Scelling. Scelling* sendiri yakni seorang filusuf kenamaan Jerman yang corak pemikirannya ibarat dengan idealisme Hegel, selain itu Scelling merupakan contoh bagi riset dan fatwa fenomenologisnya Hartman.

Beranjak ke konteks fatwa Habermas*, kondisi traumatis yang melanda hampir sebagian besar rakyat Jerman, imprastruktur dan mental masyarakat yang porak poranda akhir perang dan kekejaman Nazi dan Perang Dunia II, sanggup dijadikan sebuah argumen bahwa posisi kompromistis terhadap sistem dari fatwa Habermas* melalui wangsit “Komunikasi Tanpa Represif” berawal dari hal tersebut, selain daripada perkiraan wacana corak fenomenologisnya (Berstein : 1985). Selain itu, Habermas* yakni salah satu figur bagi intelektual yang menganut paham pluralisme pemikiran, ia banyak berkenalan dengan keilmuan sosiologi dengan paham sistemik fungsional dan interpretatif, semisal pergaulannya yang bersahabat dengan ide-ide “Mazhab Chicago School”, semisal Talcott Parson*, relativisme G.H Mead*, maupun kalangan multikulturalis lainnya, semisal Foucault*, Derrida* dan Gadamer*.

Habermas* secara intensif melibatkan diri dalam diskusi-diskusi politik, antara lain perdebatan yang hangat wacana dilema persenjataan kembali (rearmament) di Jerman setelah kalah dalam Perang Dunia II. Pada tahun 1962 Habermas mempersiapkan Habilitationsschrift-nya, juga dengan corak fatwa yang sama, yakni Strukturwandel der Oeffentlickeit (Transformasi Struktural dari Lingkup Umum) suatu studi yang mempelajari sejauh mana demokrasi masih mungkin dalam masyarakat industri modern, perhatian khusus diberikan kepada berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern.


Halnya tradisi Mazhab Frankfurt, Habermas* juga tidak abnormal di Amerika Serikat, alasannya yakni selama beberapa waktu ia mengajar di New York, kemudian ia sering kembali ke Amerika Serikat dan diakui di sana sebagai filusuf besar. Hampir semua karyanya dengan agak cepat setelah penerbitan pertama dalam bahasa Jerman diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Pemikiran Habermas dalam karyanya tersebut sanggup dimulai dengan bentuk penafsirannya (reinterpretation) pada karya-karya Hegel*, terutama pada catatan-catatan kuliah Hegel di Jena (Habermas:1990). “Karangan-karangan Hegel itu masih dipengaruhi oleh penelaahan mengenai Ekonomi Politik yang ketika itu masih dikerjakannya. Karangan-karangan itulah yang selalu dijadikan contoh dalam penyelidikan kaum Marxis wacana Hegel*. Kemudian Habermas menambahkan, “Walaupun demikian, posisi sistematis yang istimewa dari Philosophie des Geistes, yang berasal dari masa Jena itu, sampai sekarang tidak cukup diperhatikan”, padahal, “dalam dua materi kuliahnya di Jena itu Hegel telah meletakkan sistematika yang khas, yang kemudian hari ditinggalkannya lagi, bagi proses perkembangan Roh”. Hegel* mengungkapkan perkembangan Roh dalam kategori-kategori; bahasa, alat, dan keluarga, yang memberikan tiga model korelasi dialektis yang ekuivalen: representasi simbolis, proses kerja, dan interaksi berdasarkan kerja.

Menurut habermas bahwa Marcuse*, Adorno* dan Horkheimer* (Generasi Pertama Teori Kritis Mazhab Frankfurt) ibarat halnya Marx* telah mereduksi konsep dari model ‘Perkembangan Roh’ Hegel* tersebut hanya pada satu aspek saja yakni, kerja atau alat. Dengannya, mereka terjebak dalam jalan buntu teoritis, bahkan pesimistis, terlebih lantaran tidak melihat jalan keluar yang bekerjsama telah disebutkan oleh Hegel* sendiri.

Halnya dalam “Rasio Teknologis”, “Rasio Tujuan” (zwecrationalitat), serta “Administrasi Total” masih menunjukkan reduksi hakikat insan dan masyarakat sebatas “kerja yang berafiliasi dengan alat-alat produksi atau alat-alat kerja”. Padahal berdasarkan Habermas* masih terdapat satu bentuk rasio lagi yang memungkinkan “roh mencapai eksistensinya yang sempurna”, yakni keluarga yang merepresentasikan sebuah komunikasi melalui pesan-pesan simbol (bahasa) yang disepakati bersama, sehingga dengannya terdapat kemungkinan untuk terjadinya proses timbal balik yang saling menguntungkan.

Habermas menamakan rasionya tersebut sebagai ‘Rasio Komunikatif’, sebagai jenis rasio yang secara ontologia maupun epistemologia berbeda dengan rasio kerja, sehingga manifestasinya pun (aksiologia) akan sangat berlainan. Rasio kerja, objek yang dituju oleh individu yakni benda atau alat yang tak bernyawa, kepadanya diperlakukan “Rasionalitas Tujuan”, sedangkan “Rasio Komunikatif” yakni insan sebagaimana dirinya, oleh lantaran itu kepadanya diperlakukan pemahaman timbal balik.

Demikian Habermas* menyebutkan bahwa supaya ideologisasi atau pembodohan insan dalam masyarakat kapitalisme ini sanggup berakhir dan supaya perubahan itu mungkin, jalan satu-satunya yang harus ditempuh yakni dengan berbagi “nalar komunikatif yang tanpa represif”. Tekanan atau represi dalam masyarakat kapitalisme yang dikala ini telah sedemikian sistemik, maka ia harus dimulai dengan pembongkaran-pembongkaran mitos positivisme dalam badan ilmu-ilmu sosial sendiri, dengan mempraksiskannya (paradigma Teori Kritis), sehingga terdapat kemungkinan baginya untuk menjadi motor atau penggerak pembebasan atau perubahan tadi. Habermas* meletakkan momen pembebasan tersebut pada pangkuan kalangan intelektual (mahasiswa) yang secara sistem (struktural) ia yakni elemen yang bebas (tidak terlibat pribadi dengan perkiraan sistem kemasyarakatan).


Download di Sini


Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Biografi dan Karya
2. Jurgen Habermas. Melanjutkan Proyek Modernitas Melalui Rasio Komunikatif
3. Jurgen Habermas. Kolonialisasi Dunia-Kehidupan
4. Jurgen Habermas. Kritik atas Patologi Modernitas
5. Jurgen Habermas. Diskursur Filosofis wacana Modernitas (Post-Modernitas)
6. Jurgen Habermas. Teori Praksis Komunikatif
7. Jurgen Habermas. Speech Acts
8. Jurgen Habermas. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Manusia
9. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
10. "Methodenstreit" dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
11. Mazhab Frankfurt

Sumber.
Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.

Belum ada Komentar untuk "Ilmu Dan Teknologi Sebagai Ideologi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel