Menafsirkan Teks
Salah satu kesulitan yang akan kita hadapi kalau akan menafsirkan suatu teks dari masa silam ialah ‘jarak waktu’ yang membentang antara kita dan zaman teks itu ditulis. Latar belakang budaya dan sejarah pengarang tidak sama dengan situasi budaya dan sejarah kita sebagai pembacanya. Dalam menafsirkan teks-teks kuno, dunia pengarang dan dunia pembacanya sedemikian berbeda dan berjauhan satu sama lain. Struktur-struktur yang mengondisikan pengarang tidak sanggup kita pastikan dan tidak sanggup kita buktikan.
Meskipun demikian, kita perlu menginsyafi bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks ialah mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey* berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan kiprah reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat tenggang rasa dan rekonstruksi. Gadamer* mengatakan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai kiprah produktif atau kiprah kreatif: kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dengan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
Pendapat hermeneutik kontemporer itu sanggup dijelaskan sebagai berikut. Bila kita sedang menafsirkan sebuah kata, kita cukup pergi untuk mencari artinya dari kamus. Namun, memahami makna kata dalam sebuah teks kuno bukanlah hal yang mudah. Pengarang sanggup jadi memiliki pengandaian-pengandaian yang berbeda dari pengandaian-pengandaian kita sendiri, sehingga makna kata itu tidak ibarat yang kita duga. Objek pemahaman itu, kata kuno itu, berada di luar kategori ajaran kita, maka kita harus menilik kembali pra-paham kita sendiri. Ada dua kemungkinan yang sanggup terjadi: kita berpegang teguh pada pra-paham kita dan menolak pemahaman gres yang tidak terduga; atau kontradiksi antara pengandaian pengarang dan pengandaian kita itu justru menjadikan kita mempertanyakan pra-paham kita dan dengan cara ini justru memperkaya pemahaman kita. Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang kalau kita hadapi secara produktif, kreatif, dan terbuka, justru akan memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya pengetahuan kita, asalkan kiprah menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai kiprah reproduktif, melainkan kiprah produktif. Suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi keuntungannya untuk masa kini.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Meskipun demikian, kita perlu menginsyafi bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks ialah mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey* berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan kiprah reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat tenggang rasa dan rekonstruksi. Gadamer* mengatakan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai kiprah produktif atau kiprah kreatif: kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dengan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
Pendapat hermeneutik kontemporer itu sanggup dijelaskan sebagai berikut. Bila kita sedang menafsirkan sebuah kata, kita cukup pergi untuk mencari artinya dari kamus. Namun, memahami makna kata dalam sebuah teks kuno bukanlah hal yang mudah. Pengarang sanggup jadi memiliki pengandaian-pengandaian yang berbeda dari pengandaian-pengandaian kita sendiri, sehingga makna kata itu tidak ibarat yang kita duga. Objek pemahaman itu, kata kuno itu, berada di luar kategori ajaran kita, maka kita harus menilik kembali pra-paham kita sendiri. Ada dua kemungkinan yang sanggup terjadi: kita berpegang teguh pada pra-paham kita dan menolak pemahaman gres yang tidak terduga; atau kontradiksi antara pengandaian pengarang dan pengandaian kita itu justru menjadikan kita mempertanyakan pra-paham kita dan dengan cara ini justru memperkaya pemahaman kita. Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang kalau kita hadapi secara produktif, kreatif, dan terbuka, justru akan memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya pengetahuan kita, asalkan kiprah menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai kiprah reproduktif, melainkan kiprah produktif. Suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi keuntungannya untuk masa kini.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Belum ada Komentar untuk "Menafsirkan Teks"
Posting Komentar