Hermeneutik Sebagai Fenomena Khas Manusia

Salah satu tanda-tanda yang membedakan insan dari binatang yakni pemakaian lambang-lambang, khususnya bahasa. Manusia adalah, meminjam istilah Ernest Cassier, animal simbolicum, atau language-using animal. Kehidupan sehari-hari kita tak pernah lepas dari bahasa, khususnya dalam percakapan kita, maka kita senantiasa melaksanakan penafsiran terus-menerus. Dengan kata lain, hermeneutik merupakan tanda-tanda khas manusia.

Apa yang terjadi pada ketika kita melangsungkan sebuah proses percakapan sehari-hari? Baik penutur maupun pendengarnya terus-menerus menafsirkan dunia luar maupun dunia batiniah dari pengalaman-pengalaman sejauh diungkapkan dalam bentuk bahasa. Bahasa, sebagaimana terwujud dalam bentuk kata-kata, kalimat, kesatuan gagasan, merupakan objektifikasi dari kesadaran kita akan kenyataan, baik kenyataan luar maupun kenyataan batiniah kita. Percakapan yakni proses pertukaran hasil-hasil objektifikasi ini dan dalam pertukaran ini gagasan-gagasan bukan hanya saling diungkapkan, melainkan juga diperluas, diperdalam, dan dipertegas serta diperjelas maknanya lewat proses penafsiran timbal-balik.

Seorang penutur mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna objektif yang sanggup dimengerti pendengarnya. Pendengarnya yang menangkap objektifikasi ini berusaha memahaminya dengan ‘melucuti’ kata-kata itu sedemikian sehingga maknanya ditangkap oleh kesadarannya: Dia melaksanakan subjektifikasi.

Dengan demikian, proses mendengarkan dan memahami kata-kata yang telah diucapkan seorang penutur merupakan proses penafsiran aktif yang mengembalikan kata-kata itu ke makna aslinya, sebagaimana dimaksudkan penuturnya sebelum dipadatkan dalam bentuk kata-kata. Demikianlah, dalam proses percakapan timbal-balik senantiasa terjadi proses objektifikasi-subjektifikasi-objektifikasi lagi, dan seterusnya.

Dalam percakapan sehari-hari tidak muncul problem hermeneutis, lantaran kita berjumpa pribadi dengan penuturnya, kita semua sebagai penutur dan pendengar tinggal di dunia yang sama, mengalami pengalaman dasar ihwal dunia yang sama, hidup dalam masa yang sama, dan seterusnya. Singkatnya, kita mempunyai dunia kehidupan (Lebenswelt), temporalitas, bahasa, dan masyarakat yang sama.

Hermeneutik atau penafsiran yakni ciri khas manusia, lantaran insan tak sanggup membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna. Man is condemned to meaning, kata Merleau Ponty*. Dunia alam material ini menjadi dunia manusiawi lantaran diberi makna manusiawi oleh insan dan itu terjadi lewat penafsiran. Memberi makna yakni sama dengan memahami.

Oleh lantaran kita di sini membahas duduk kasus pemahaman hermeneutis, kita akan melihat juga taraf-taraf pemahaman manusia. Secara garis besar ada tiga taraf pemahaman: pemahaman pribadi mengenai alam material ini, pemahaman atas kebudayaan, dan pemahaman mengenai diri kita sendiri atau memahami insan lain.

Di hadapan insan alam merupakan suatu objek. Terhadap alam lebih sempurna bila menyampaikan bahwa kita melaksanakan klarifikasi (Erklaren) daripada pemahaman (Verstehen). Penjelasan ihwal alam merupakan upaya untuk menemukan aturan sebab-akibat yang bekerja dalam proses-proses alamiah itu. Penjelasan kausal ini merupakan perjuangan penafsiran sejauh dilakukan oleh ilmu pengetahuan ihwal alam. Akan tetapi, alam juga sanggup dipahami secara berbeda dari pemahaman ilmu-ilmu alam, lantaran alam tidak hanya mengandung sebab-akibat. Alam mempunyai makna manusiawi sejauh menafsirkannya dalam hubungannya dengan dirinya. Dengan kata lain, selain mempunyai makna kosmologis sebagaimana dipahami ilmu-ilmu alam, alam juga mempunyai makna antropologis.

Objek-objek pemahaman insan yang lain menuntut proses aktif dari pihak insan yang ingin memahaminya. Objek-objek itu yakni dunia peralatan, yaitu objek-objek yang diciptakan oleh insan sendiri dalam konteks kebudayaannya. Dalam istilah Martin Heidegger*, objek-objek ini disebut Zuhandenes. Manusia berafiliasi dengan Zuhandenes ini dengan perilaku praktis, yaitu bersikap instrumental. Di dalam peralatan ini insan telah meletakan makna, maka peralatan merupakan serpihan dari dunia alamiah yang telah diubah demi tujuan mudah manusia. Pemahaman akan peralatan yakni pemahaman mengenai kegunaannya. Oleh lantaran itu, pemahaman akan alat-alat menuntut perilaku mudah dan ini bersifat aktif, berkaitan dengan tindakan.

Pemahaman akan objek-objek kebudayaan, menyerupai peralatan, juga meliputi pemahaman akan struktur masyarakat. Sejak kita kecil, kita memasuki dunia sosial yang sudah tertata: peran-peran sosial, cara interaksi masyarakat, cara menggunakan peralatan, dan juga cara berpikir orang-orang di sekitar kita. Cara dunia sosial ini ditata merupakan ungkapan dari kebudayaan. Kebudayaan ini tidak sanggup dipahami dengan perilaku mengambil jarak menyerupai terhadap alam, tetapi kita harus melibatkan diri di dalamnya sebagai pelaku-pelaku.

Salah satu unsur terpenting untuk memahami kebudayaan yakni bahasa. Bahasa gotong royong juga termasuk di dalam alat-alat, lantaran bahasa merupakan wahana bagi proses-proses batiniah manusia, menyerupai berpikir, merasa, berkehendak, untuk diobjektifikasikan ke dunia luar. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat bagi realisasi-diri manusia. Menjadi ‘manusia’ berarti bisa memberi nama bagi realitas dan bisa berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan bahasa.


Proses memahami bahasa sedikit banyak akan menjelaskan bagi kita bagaimana hermeneutik terjadi. Bahasa terdiri dari unit-unit kecil, yaitu suku-suku kata. Untuk memberi makna pada suku kata, harus terbentuk kata-kata. Kata-kata ini sanggup dipahami maknanya dalam konteks lebih luas, yaitu kalimat. Kalimat-kalimat sanggup dipahami maknanya dalam konteksnya yang lebih luas. Dua kalimat yang persis sama bunyinya bisa mempunyai makna yang berbeda jikalau diungkapkan dalam gaya bahasa yang berbeda, maka konteks yang lebih luas itu yakni gaya bahasa. Gaya bahasa ini merupakan semacam “iklim intersubjektif” dari kalimat. Konteks yang lebih luas lagi dari gaya bahasa yakni gaya sastra (literary genre). Gaya sastra atau tradisi sastra yakni sesuatu yang dihasilkan oleh semacam ‘akumulasi’ dari karya-karya sejenis dalam sejarah. Gaya sastra ini dekat kaitannya dengan konteks kehidupan sosial tertentu yang menghasilkan gaya itu. Dengan demikian, gaya sastra mengungkapkan psikologis suatu bangsa dan kedudukan karya ini dalam kehidupan masyarakat (Sitz im Leben).

Mengikuti proses pemahaman bahasa di atas, kita akan melihat sesuatu yang menarik. Suatu makna hanya sanggup dipahami dalam wawasan makna pada taraf yang lebih tinggi lagi. Sebuah kata tertentu dalam sebuah teks kuno dan asing, melalui proses penafsiran dan pemahaman kita, akan membawa kita ke arah totalitas kebudayaan yang menghasilkan kata itu. Dengan demikian, di dalam proses pemahaman bahasa, kita harus senantiasa mengatasi konteks yang lebih sempit dengan konteks yang lebih luas.

Suku kata→Kata→Kalimat→Gaya Bahasa→Gaya sastra

Taraf pemahaman yang paling mendalam yakni pemahaman akan pribadi, baik pribadi yang lain maupun pribadi sendiri. “Ada aneka macam macam pengetahuan... yang lebih fundamental lagi yakni perbedaan antara mengetahui suatu fakta dan mengetahui seorang pribadi—suatu perbedaan yang sedemikian mendalam sehingga banyak bahasa mempunyai kata-kata kerja yang terpisah untuk mengungkapkan kedua macam pengetahuan itu. Pengetahuan akan diri lagi merupakan macam pengetahuan lainnya yang penting. (John Macquarrie, 1973)”.

Pengetahuan akan pribadi yang lain tidak sanggup kita peroleh dengan perilaku berjarak menyerupai jikalau kita mengetahui alam. Pribadi lain kita pahami dengan perhati-an dan keterlibatan. Bukan hanya itu, pemahaman akan pribadi lain juga terpantul kembali kepada kita secara introspektif: dengan memahaminya kita bukan hanya mengenalnya, melainkan juga mengenal diri kita sendiri. Pemahaman diri dan pemahaman akan orang lain bersifat timbal-balik dan hanya sanggup dilakukan lewat partisipasi dan introspeksi.

“Jelaslah bahwa dalam hal pengetahuan ihwal diri, orang telah mempunyai partisipasi macam ini. Namun, hal serupa juga terjadi dalam hal mengetahui pribadi lain. Ada kekerabatan timbal-balik, memberi, dan mendapatkan yang terjadi di sini. Kita tidak mengetahui seseorang dengan mengamatinya... pengetahuan kita ihwal ia mulai berkembang ketika ia membiarkan diri dikenal dan ketika pada gilirannya kita membiarkan diri dikenalnya. (John Macquarrie, 1973)”.

Demikian, hermeneutik yakni acara eksistensial insan yang memberi ciri khas dan radikal pada manusia, maka insan sanggup didefinisikan secara hermeneutis, yaitu bahwa insan yakni makhluk yang bisa memberi makna kepada realitas dan dalam hal ini bahasa memegang peranan sentralnya. 


Download


Sejarah Hermeneutik

Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.

Belum ada Komentar untuk "Hermeneutik Sebagai Fenomena Khas Manusia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel