Hermeneutika. Metafora Dan Simbol

Metapora dan simbol sering juga dinamai dengan istilah "surplus meaning" atau makna yang berlebihan. Didalam Symbolism and Evil dan Freud and Philosophy, Ricour* secara pribadi mengartikan hermeneutika dengan sebuah objek yang nampak seluas dan setepat mungkin diartikan dengan simbol. Dalam kaitannya dengan simbol, Ricour* mendefendensikannya secara fungsional melalui struktur semantik yang memiliki double meaning (makna ganda). Apabila kita mengartikan teori metafor sebagai analisis pendahuluan yang mengarah pada teori simbol, dengannya memungkinkan kita memperluas teori signifikasi tidak hanya double-meaning verbal, namun juga double meaning non-verbal.

Teori Metafora
Monroe Beardsley menyampaikan metafora ialah "sebuah puisi miniatur". Dengan demikian korelasi antara makna literal dan makna figuratif dalam sebuah metafora ialah menyerupai sebuah versi penjembatan dalam sebuah kalimat tunggal dari harmonisasi signifikansi kompleks yang menunjukkan abjad pada karya literer sebagai sebuah keutuhan. Karya literer disini ialah sebuah karya wacana yang berbeda dari karya wacana lainnya (wacana sains), dimana karya wacana jenis ini membawa dua jenis makna yaitu makna eksplisit dan makna implisit ke dalam suatu korelasi yang utuh.

Bagaimanakah hubungannya dengan status kognitif kedua makna tersebut? Dalam tradisi positivisme logis perbedaan antara makna eksplisit dan makna implisit dipandang sebagai perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif. Tradisi postivisme tersebut lebih lanjut mentransporsisi distingsi antara bahasa kognitif dan emotif tersebut kedalam perbendaharaan istilah denotasi dan konotasi.

Dalam sebuah posisi tertentu hanya denotasi yang bersifat kognitif, yang dengan begitu ia berbentuk semantik. Sementara konotasi bersifat ekstra semantik alasannya ialah ia meliputi rajutan rangsangan emosi, yang kurang bernilai kognitif. Untuk itu makna figuratif teks (konotasi) harus dipandang hilang dari segala signifikansi kognitif. Namun apakah pembatasan signigikansi kongnitif terhadap semata aspek denotatif kalimat sanggup dibenarkan?

Dalam retorika tradisional metafora digolongkan sebagai sebuah kiasan, yakni sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata  dan, lebih tepatnya dalam proses denominasi. Metafora milik permainan bahasa yang menata penamaan sesuatu.Makanya kita baca dalam karya Aristoteles* Poetics bahwa sebuah metafora ialah "pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain, suatu transfer yang terjadi genus ke spesies, dari spesies ke genus, dari spesies ke spesies atau secara proporsional". Dalam karya yang lain Rhetoric berkaitan dengan penggunaan gambaran komparatif yang dikarakterisasikan sebagai sebuah bentuk khusus metafora proporsional dimana perbandingan ditandai secara eksplisit oleh suatu terma komparatif contohnya "seperti...". Dengan kata lain perbandingan merupakan sebuah bentuk ekspansi metafora. Demikian hal Cicero dan Quintilian menyampaikan bahwa sebuah metafora secara mudah ialah sebuah komparasi yang menjembatani.

Pre-supposisi yang bersifat implisi dalam penelusuran retorika metafora, pertama, kata-kata harus dipandang terpisah dari satu kata ke kata lainnya, dimana setiap kata tersebut memiliki makna dalm sebuah signifikansinya sendiri, sebagaimana disebut Aristoteles* sebagai makna "aktual". Para pakar retorika kuno secara umum memandang bahwa penggunaan retorika ialah untuk mengisi suatu daerah kosong semantik dalam tanda baca leksikal ataupun untuk menunjukkan ornamen pada wacana semoga lebih menarik. Hal tersebut dikarenakan dalam kenyataannya kita memiliki lebih banyak ide-ide daripada kata-kata yang hendak diekspresikan, maka kita dituntut untuk melenturkan signifikansi apa-apa yang kita miliki dibalik penggunaan biasa ide-ide tersebut. Atau, dalam hal dimana sebuah kata yang cocok sudah tersedia, kita sanggup menentukan untuk memakai kata figuratif untuk menarik atau menggairahkan audien kita. Kedua, gambaran retorik ini merefleksikan salah satu dari aspek-aspek fungsi umum retorika, yaitu persuasi. Dalam artian bahwa retorika merupakan sebuah media menghipnotis audien melalui penggunaan media wacana yang bukan merupakan suatu tindakan kekerasan, tujuan dari hal ini ialah menciptakan hal yang benar menjadi lebih atraktif.


Hal diatas ialah pre-suppoisi retorika klasik (tradisonal) di mana semantik modern mempertanyakannya kembali dalam menelusuri metafora secara mendalam. Semantik gres ini mendapat ekspresi terbaiknya dalam karya-karya pengarang menyerupai I.A. Richards, Max Black, Monroe Beardley, Colin Turbayne dan Philip Wheelwright. Dan diantara pengarang-pengarang ini, ialah karya Richards yang betul-betul menjadi aktivis dikarenakan ia yang menandai pengahpusan problema tradisional (retorika tradisonal).

Pre-suposisi pertama yang ia tolak ialah bahwa metafora hanya semata insiden denominasi, suatu pergeseran dalam signifikansi kata. Metafora ialah hasil dari ketegangan antara dua terma dalam sebuah ungkapan metaforis. Bila sebuah metafora hanya fokus terhadap kata, maka fenomena pertama yang harus dipikirkan ialah bukan adanya deviasi apapun dari makna literal kata, namun justru fungsi pemberlakuan predikat pada level kalimat. Apa yang kita sebut sebagai ketegangan dalam sebuah ungkapan metaforis bergotong-royong bukanlah sesuatu yang terjadi antara dua terma dalam ungkapan tersebut, namun lebih pada dua penafsiran yang berlawanan atas ungkapan tersebut. Bidadari tidaklah berwarna biru, kalau biru dikatakan sebagai. Kesedihan bukanlah jubah, kalau jubah dipahami sebagai pakaian yang terbuat dari kain. Makara metafora tidaklah ada dalam dirinya sendiri, namun ada dalam dan melalui sebuah interpretasi.

Interpretasi metaforis mempre-supposisikan suatu interpretasi literal yang merusak dirinya sendiri dalam sebuah pertentangan signifikan. Proses destruksi diri atau transformasi inilah yang membebani bentuk berputarnya kata. Sebuah metafora muncul sebagai suatu bentuk tanggapan cepat atas inkonsistensi tertentu dalam ungkapan metaforis yang diinterpretasikan secara literer, demikian Jean Cohen menyebut inkonsistensi tersebut sebagai sebuah 'keterputusan semantik'.

Ketika Shakespeare berbicara perihal waktu bagaikan seorang peminta-minta, ia mengajarkan kita semoga melihat waktu sebagai halnya melihat seorang pengemis. Dengan begitu, Aristoteles* benar dalam hal ini, saat ia menyampaikan bahwa untuk menemukan makna metafora ialah dengan memiliki mata (pengamatan) akan penyerupaan.

Kesimpulannya, sebuah metafora bukanlah ornamen wacana. Ia lebih dari sekedar sebuah nilai emotif dikarenakan ia mengupayakan adanya info baru. Singkatnya, sebuah metafora menyampaikan sesuatu yang gres perihal realitas kepada kita.


Download di Sini


Sumber
Paul Ricour, Teori Interpretasi; Membelah Makna dalam Anatomi Teks,IRCiSoD, Yogyakarta, 2014

Belum ada Komentar untuk "Hermeneutika. Metafora Dan Simbol"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel