Sejarah Hermeneutik

Untuk memahami apa itu hermeneutik, kita juga sanggup menemukan jawabannya dalam sejarah filsafat dan teologi, alasannya hermeneutik dikembangkan di dalam kedua disiplin ini.

Pertama-tama, sejarah perkembangan hermeneutik, khususnya hermeneutik atas teks-teks sanggup ditelusuri dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi, sejarah pemikiran teologis Yudeo-Kristiani. Dalam tradisi agama Yahudi, tafsir atas teks-teks Taurat (Tora) dilakukan oleh para jago kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum-hukum agama. Selain para jago kitab, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya yaitu para nabi. Mereka ini mendidik masyarakat sambil melontarkan kritik sosial atas praktek-praktek keagamaan yang tidak diikuti tindakan yang adil. Dalam menjalankan fungsinya ini mereka terus-menerus berupaya menunjukkan tafsir mengenai apa itu agama yang benar dan mana yang sesat dan palsu. Dasarnya ialah tradisi Yahudi dan pengalaman langsung sang nabi.


Tradisi Kristen awal juga segera menerapkan hermeneutik pada teks-teks dari Perjanjian Lama. Orang-orang Kristen purba menafsirkan teks-teks itu dengan wawasan gres yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang beragama Yahudi, yaitu pengalaman iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit. Oleh alasannya itu, teks-teks Perjanjian Lama itu dipahami ‘secara Kristiani’. Hasil tafsir tersebut termuat di dalam Perjanjian Baru.

Masalah Hermeneutik teks-teks kitab suci mulai terang dalam abad-abad pertama Masehi. Terhadap teks-teks kitab suci itu, orang-orang Kristen mencoba menunjukkan dua macam penafsiran: penafsiran simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutik ini tampil dalam kontroversi antara mazhab Antiokhia dan mazhab Aleksandria, dua sentra agama Kristen pada abad-abad pertama perkembangannya. Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan mazhab Aleksandria secara alegoris atau simbolis.

Puncak permasalahan hermeneutik teks-teks kitab suci dialami agama Kristen pada zaman Reformasi. Agama Kristen terpecah alasannya perbedaan prinsip-prinsip hermeneutis. Sementara golongan Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), gereja Kristen memegang prinsip tradisi: kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. Pada masa-masa inilah hermeneutik menjadi acara yang sangat penting dan mempunyai implikasi sosio-politis yang sangat luas. Tiap-tiap pedoman dalam agama Kristen pasca-Reformasi memperkembangkan bangunan teologisnya berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutisnya sendiri sehingga perbedaan ini juga terwujud dalam bentuk sosioreligius yang berbeda-beda.

Sumbangan yang sangat berarti dalam sejarah perkembangan hermeneutik diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann. Konsepnya yang menjadi termasyhur ialah ‘demitologisasi’. Dalam membaca dan menafsirkan teks-teks religius, contohnya Kitab Suci, kita harus mengadakan demitologisasi. Kalau mendengar kata ‘mitos’, kita cenderung menyamakan dengan dongeng atau dongeng khayal. Akan tetapi, bekerjsama mitos merupakan ungkapan simbolis mengenai kenyataan dengan mempergunakan gambaran-gambaran, kisah-kisah, dan lukisan-lukisan. Bahasa mitologis ini tidak lagi sanggup dipahami oleh ilmu pengetahuan modern. Persoalannya bukanlah bagaimana melenyapkan mitos-mitos, melainkan bagaimana menafsirkannya secara eksistensial dan mendemitologisasikannya.

Sumbangan Bultmann yang lain ialah penerapan gagasan Heidegger* ihwal pra-paham pada teologi. Untuk memahami sebuah teks kita harus mempunyai pra paham ihwal teks itu.

Hanya kalau problem yang kita pertanyakan sungguh-sungguh merupakan problem kita, teks itu mulai ‘bicara’ kepada kita. Suatu kepentingan tertentu dalam menafsirkan teks justru mengakibatkan teks itu berbicara bagi kita, maka pra-paham bukannya membatasi kemungkinan kita memahami teks, melainkan justru menciptakan penafsiran kita menjadi produktif. Di pihak lain, suatu pra-paham tidak sama dengan prasangka. Suatu prasangka sanggup lahir dari keyakinan akan kebenaran pra-paham kita sebagai sesuatu yang definitif sehingga memilih hasil-hasil penafsiran kita secara a priori. Berlainan dengan prasangka, pra-paham justru memungkinkan kita untuk terbuka terhadap hal-hal gres yang tak terduga.

Dalam filsafat, refleksi kritis mengenai hermenutik dirintis oleh Fredrich Schleiermacher. Sumbangan yang diberikannya ialah mengenai divinatorisches Verstehen (pemahaman intuitif). Sebuah tafsir membutuhkan intuisi ihwal karya yang sudah dipelajari itu. Sebuah teks yang kita hadapi tidak sama sekali aneh bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan suatu teks sanggup diatasi dengan mencoba memahami si pengarang. Kita harus mencoba menciptakan rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain, kita harus menciptakan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga sanggup mereproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleiermacher ini dikemudian hari dikritik, alasannya terlalu psikologistis dan kita mengalami kesulitan yang berarti pada dikala kita berusaha mengatasi kesenjangan waktu yang memisahkan cakrawala budaya kita dan cakrawala budaya pengarang.

Filsuf lain yang memperkenalkan gagasan filosofis mengenai hermeneutik ialah Wilhelm Dilthey*. Mengatasi psikologisme Scheiermacher, ia beropini bahwa peristiwa-peristiwa yang termuat dalam teks-teks kuno itu harus dipahami sebagai suatu lisan kehidupan sejarah, maka yang direproduksi bukanlah keadaan-keadaan psikis pengarang, melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu. Meskipun demikian, Dilthey* tetap berada pada garis yang sama dengan Scheiermacher: keduanya sama-sama memahami hermeneutik sebagai penafsiran reproduktif.

Makna hermeneutik yang radikal diberikan oleh filsuf Martin Heidegger*. Baginya, hermeneutik atau ‘pemahaman’ merupakan bab dari keberadaan insan sendiri, menempel pada manusia. Dalam memahami dunianya dan sejarahnya, insan merupakan cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna dan setiap pengertian ihwal objek gres terjadi alasannya adanya pemahaman yang mendahuluinya (pra-paham) sebagai the conditions of possibility-nya. Gagasan ini disebut ‘lingkaran hermeneutis’.

Gagasan ihwal ‘lingkaran hermeneutis’ diterima oleh Hans Georg Gadamer*, seorang filsuf yang coba menciptakan sebuah teori filosofis mengenai pemahaman, sehingga menjadi hermeneutik filosofis. Ia melontarkan kritiknya terhadap hermeneutik romantis yang dirintis oleh Scheiermacher dan Dilthey*. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarang tidak harus diatasi seperti sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawala-cakrawala pemahaman. Kita memperkaya cakrawala pemahaman kita dengan memperbandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. Oleh alasannya itu, suatu penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka, melainkan produktif. Maksudnya makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan ialah proses kreatif. 


Download


Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Hermeneutik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel