Peter L. Berger; Modernisasi Sebagai Pembangunan Alam Artifisial
Triad Berger* sanggup dimengerti dalam wawasan sebuah pandangan antropologis tertentu mengenai manusia. Manusia yaitu sejenis binatang yang tidak terspesialisasikan. Secara biologis, struktur organis dan fisiologis insan tidak ditentukan oleh lingkungannya. Lebih khusus lagi ini tampak dari naluri-nalurinya yang ternyata kurang begitu responsif terhadap lingkungannya. Sementara naluri-naluri hewan-hewan lain cocok dengan rangsangan lingkungan luarnya, naluri-naluri insan sering kali tidak tanggap terhadapnya. Bagi manusia, lingkungan lahiriahnya bukanlah data yang tinggal diterima. Dia mengambil jarak dengannya dengan menunda nalurinya, dan di sini berperan sebuah mediasi antara naluri dan lingkungan itu, yaitu rasio atau kesadarannya. Karena mediasi ini justru membuatnya tidak lagi cocok dengan lingkungannya, beliau justru mengerjakan hal yang sebaliknya; mencocokkan lingkungan itu dengan apa yang menjadi kesadarannya, yaitu lingkungan batiniahnya. Meski demikian, ketidakcocokan atau ketaknormalan tersebut tak pernah diatasinya sehingga membuatnya menjadi seekor binatang yang “belum selesai”. Kebelumselesaian ini membuat insan menjadi makhluk budaya. Kebudayaan yaitu perjuangan tak kunjung final untuk melengkapi ketaknormalan antropologis tersebut.
Di samping menghadapi alam, insan juga menghadapi manusia-manusia lain sebagai eksternalitas sekaligus interioritas. Manusia lain yaitu eksternalitas lantaran perilakunya bersifat lahiriah, tetapi beliau yaitu interioritas lantaran sebagian besar perilakunya mempunyai alasan dan motif yang menjadi isi kesadarannya. Karena itu, berkomunikasi dan berinteraksi melibatkan tukar-menukar antara tanda lahiriah sikap dan maksud-maksud batiniah. Dengan cara ini, aktivitas insan bukan sekedar sikap naluriah yang mekanis dan buta, melainkan sebuah tindakan yang disadari dan mengandung makna. Demikianlah, makan, berbiak, bekerja, dan seterusnya selalu dimuati makna dan maksud. Berhadapan dengan kehidupan bersama yang disebut “masyarakat”, insan menjadi makhluk ganda yang aneh. Mengacu kepada peristilahan Martin Luther, Anton Zijderveld, dalam bukunya The abstract Society, membedakan homo externus dan homo internus. Di satu pihak insan itu unik dalam cara beradanya. Dia bersifat batiniah, internus. Namun di lain pihak, beliau yaitu anggota suatu spesies yang harus memainkan peran-peran yang sudah digariskan sebelumnya. Dia juga makhluk-makhluk lahiriah yang tunduk pada hukum-hukum objektif: externus. Makna yang dihasilkan insan itu unik sekaligus umum, diciptakan sekaligus sudah tersedia. Karena itu, dalam kehidupan sosialnya insan tampil sebagai makhluk yang belum selesai.
Kalau kita membicarakan kenyataan kultural, kebelumselesaian dan ketaknormalan insan tampak dalam sifat artifisial kebudayaan. Kebudayaan meliputi transformasi lingkungan lahiriah semoga semakin sesuai dengan lingkungan batiniah atau isi kesadaran manusia. Dari segi ini, insan mengubah alam menjadi semakin manusiawi.
Demikianlah antropologi Marxian memahami kebudayaan sebagai pemanusiaan alam lewat kerja. Kebudayaan juga meliputi penciptaan makna sikap dan teladan sikap dalam sosoknya sebagai pranata-pranata sosio-kultural. Perilaku naluriah dalam interaksi antarmanusia dimanusiawikan dengan makna yang juga berarti penundaan naluri itu. Baik sebagai pengubahan alam maupun sebagai pemaknaan interaksi, kebudayaan tetap merupakan sesuatu yang artifisial bila dibandingkan dengan ciri alamiah manusia. Kebudayaan itu dibentuk manusia, dan menjadi “alam kedua”nya. Karena artifisial, kebudayaan juga labil sesuai dengan sifat labil penciptanya yang serba belum selesai. Kebudayaan juga menjadi kenyataan yang “setengah jadi”.
Apa yang kita sebut sejarah tak lain dari pergulatan masyarakat untuk mempertahankan atau memperkembangkan kebudayaan semoga semakin sesuai dengan tuntutan lingkungan lahiriah maupun batiniah manusia. Sangat menarik menyelidiki secara fenomenologis fenomen sejarah yang disebut modernisasi. Makhluk yang berjulukan insan ini, melalui modernisasi, menjadi semakin jauh dari “alam pertama”nya, yaitu kenyataan naluriah dan alamiahnya, lantaran beliau membangun sebuah artifisial “alam kedua”nya yang semakin kompleks. Perbandingan umum dan fundamental wacana masyarakat-masyarakat pra-modern dan masyarakat-masyarakat modern barangkali akan berkhasiat untuk menawarkan artifisialitas itu.
Yang diacu dengan masyarakat-masyarakat pra-modern di sini yaitu semua bentuk masyarakat yang belum menganut “kesadaran modern”. Mereka mengadaptasi diri dengan alam lahiriahnya lebih secara naluriah daripada secara rasional. Masyarakat pra-modern bersifat kosmosentris. Antara lingkungan lahiriah dan lingkungan batiniahnya tak terdapat jarak yang tegas. Alam lahiriah terpantul dalam alam batiniah dan sebaliknya, sehingga kita sanggup berbicara mengenai harmoni antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kalaupun mereka sudah membuat peralatan hidup, artifisialitas kebudayaan ini lebih merupakan keberadaan “alam pertama” dan bukan substitusinya. Peralatan tidak anti-lingkungan lahiriah, dan juga memuaskan untuk lingkungan batiniahnya lantaran bekerjasama dengan makna-makna religius yang mengutuhkan penghayatan harmoni makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam segala keterbatasannya, cara bicara dengan “tipe ideal” ala Max Weber* ini sanggup menjelaskan pola-pola dasar fenomen masyarakat pra-modern itu. Beberapa ciri lain yang khas sering disebut oleh para filsuf kebudayaan, contohnya C. A. van Peursen, sebagai teladan kebudayaan mitis. Pertama-tama dijelaskan bahwa mereka menyadari lingkungan lahiriahnya tanpa membuat pemisahan antara subjek dan objek pengetahuan. Pemahaman mengenai alam luar tercampur dengan pemahaman mengenai alam dalam dan sebaliknya, sehingga alam luar itu berpikir, merasa, dan berkehendak sebagaimana alam dalam. Dalam arti ini alam luar dan alam dalam saling berpenetrasi; subjek berpartisipasi dalam objek. Lalu, lantaran kesadaran bersesuaian dengan alam luar, ritme alamiah, menyerupai musim-musim, datangnya siang dan malam, atau pasang surutnya bahari yang kembali secara teratur, membuat mereka menghayati waktu sebagai suatu daur yang berulang lagi dan lagi. Sejarah yaitu suatu daur, maka setiap insiden tak kurang dari repetisi atau imitasi dari peristiwa-peristiwa primordial, sedangkan masa kini menjadi—meminjam istilah Margaret Mead—pra-figurasi bagi masa depan.
Ciri yang kedua yaitu bahwa masyarakat pra-modern itu merupakan sebuah masyarakat kolektivis. Ikatan-ikatan primordial masih begitu kuat, menyerupai kekerabatan darah, bahasa, lokasi, dan seterusnya. Kelompok yaitu lingkungan lahiriah dan menyerupai alam fisik, alam sosial ini juga berpenetrasi ke dalam alam dalam, yaitu dengan menemukan jati diri individu. Di luar kelompoknya, individu bukan hanya menjadi “bukan siapa-siapa”, melainkan juga mati menyerupai embrio yang dipaksa keluar dari rahim. Dalam arti ini, individu sebetulnya belum bereksistensi. Yang bereksistensi yaitu kelompok. Sebagai ciri ketiga sanggup dikatakan bahwa mereka tidak memisahkan yang sakral dari yang profan. Seluruh lingkungan alamiah dan sosialnya yaitu sebuah totalitas yang sakral. Pranata religius bukan sekedar satu dari pranata-pranata lain, melainkan bahwa semua pranata itu sendiri religius. Agama menjadi—meminjam istilah Berger—prinsip kosmisasi yang mengubah khaos dalam pengalaman dan interaksi menjadi suatu kosmos yang tertata.
Ketiga ciri yang bekerjasama dengan epistemis, sosial, dan religius tersebut menawarkan bahwa masyarakat pra-modern menghayati kepungan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Hanya ada satu jalan bagi mereka untuk berdamai dengan kekuatan-kekuatan itu: melarutkan diri ke dalamnya. Kalau remaja ini kita menilai bahwa mereka berada dalam bahaya lingkungannya dan teror emosi-emosinya sendiri, barangkali evaluasi itu bersifat anakronis, lantaran kita menggunakan parameter-parameter modern semoga sanggup melihatnya sebagai dominasi mitologis. Bukankah dominasi disadari sebagai dominasi hanya kalau terjadi pengambilan jarak atasnya? Demikianlah kalau kita kini berbicara mengenai modernisasi, kita sebetulnya berbicara mengenai pengambilan jarak itu yang kini menjadi kesadaran yang mengemansipasi masyarakat dari kekuatan-kekuatan alam lahiriahnya. Kita berbicara mengenai lingkungan lahiriah yang tidak lagi diimitasi, melainkan ditransformasikan oleh lingkungan batiniah insan atau kesadarannya.
Download
Peter L. Berger; Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Peter L. Berger. Biografi
2. Peter L. Berger. Refleksi Atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi
3. Peter L. Berger. Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
4. Peter L. Berger. Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern
5. Peter L. Berger. The Sacred Canopy
6. Peter L. Berger. Pembentukan Realitas Secara Sosial
7. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial
8. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Subjektif
9. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Objektif
10. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial dan Legitimasinya
11. Peter L. Berger. Momen Internalisasi yang Susah Payah
12. Peter L. Berger. Perkawinan
13. Pokok Bahasan Sosiologi
14. Mirror On The Wall. Gambaran Realitas Sosial yang Terdistorsi
Kalau kita membicarakan kenyataan kultural, kebelumselesaian dan ketaknormalan insan tampak dalam sifat artifisial kebudayaan. Kebudayaan meliputi transformasi lingkungan lahiriah semoga semakin sesuai dengan lingkungan batiniah atau isi kesadaran manusia. Dari segi ini, insan mengubah alam menjadi semakin manusiawi.
Apa yang kita sebut sejarah tak lain dari pergulatan masyarakat untuk mempertahankan atau memperkembangkan kebudayaan semoga semakin sesuai dengan tuntutan lingkungan lahiriah maupun batiniah manusia. Sangat menarik menyelidiki secara fenomenologis fenomen sejarah yang disebut modernisasi. Makhluk yang berjulukan insan ini, melalui modernisasi, menjadi semakin jauh dari “alam pertama”nya, yaitu kenyataan naluriah dan alamiahnya, lantaran beliau membangun sebuah artifisial “alam kedua”nya yang semakin kompleks. Perbandingan umum dan fundamental wacana masyarakat-masyarakat pra-modern dan masyarakat-masyarakat modern barangkali akan berkhasiat untuk menawarkan artifisialitas itu.
Yang diacu dengan masyarakat-masyarakat pra-modern di sini yaitu semua bentuk masyarakat yang belum menganut “kesadaran modern”. Mereka mengadaptasi diri dengan alam lahiriahnya lebih secara naluriah daripada secara rasional. Masyarakat pra-modern bersifat kosmosentris. Antara lingkungan lahiriah dan lingkungan batiniahnya tak terdapat jarak yang tegas. Alam lahiriah terpantul dalam alam batiniah dan sebaliknya, sehingga kita sanggup berbicara mengenai harmoni antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kalaupun mereka sudah membuat peralatan hidup, artifisialitas kebudayaan ini lebih merupakan keberadaan “alam pertama” dan bukan substitusinya. Peralatan tidak anti-lingkungan lahiriah, dan juga memuaskan untuk lingkungan batiniahnya lantaran bekerjasama dengan makna-makna religius yang mengutuhkan penghayatan harmoni makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam segala keterbatasannya, cara bicara dengan “tipe ideal” ala Max Weber* ini sanggup menjelaskan pola-pola dasar fenomen masyarakat pra-modern itu. Beberapa ciri lain yang khas sering disebut oleh para filsuf kebudayaan, contohnya C. A. van Peursen, sebagai teladan kebudayaan mitis. Pertama-tama dijelaskan bahwa mereka menyadari lingkungan lahiriahnya tanpa membuat pemisahan antara subjek dan objek pengetahuan. Pemahaman mengenai alam luar tercampur dengan pemahaman mengenai alam dalam dan sebaliknya, sehingga alam luar itu berpikir, merasa, dan berkehendak sebagaimana alam dalam. Dalam arti ini alam luar dan alam dalam saling berpenetrasi; subjek berpartisipasi dalam objek. Lalu, lantaran kesadaran bersesuaian dengan alam luar, ritme alamiah, menyerupai musim-musim, datangnya siang dan malam, atau pasang surutnya bahari yang kembali secara teratur, membuat mereka menghayati waktu sebagai suatu daur yang berulang lagi dan lagi. Sejarah yaitu suatu daur, maka setiap insiden tak kurang dari repetisi atau imitasi dari peristiwa-peristiwa primordial, sedangkan masa kini menjadi—meminjam istilah Margaret Mead—pra-figurasi bagi masa depan.
Ciri yang kedua yaitu bahwa masyarakat pra-modern itu merupakan sebuah masyarakat kolektivis. Ikatan-ikatan primordial masih begitu kuat, menyerupai kekerabatan darah, bahasa, lokasi, dan seterusnya. Kelompok yaitu lingkungan lahiriah dan menyerupai alam fisik, alam sosial ini juga berpenetrasi ke dalam alam dalam, yaitu dengan menemukan jati diri individu. Di luar kelompoknya, individu bukan hanya menjadi “bukan siapa-siapa”, melainkan juga mati menyerupai embrio yang dipaksa keluar dari rahim. Dalam arti ini, individu sebetulnya belum bereksistensi. Yang bereksistensi yaitu kelompok. Sebagai ciri ketiga sanggup dikatakan bahwa mereka tidak memisahkan yang sakral dari yang profan. Seluruh lingkungan alamiah dan sosialnya yaitu sebuah totalitas yang sakral. Pranata religius bukan sekedar satu dari pranata-pranata lain, melainkan bahwa semua pranata itu sendiri religius. Agama menjadi—meminjam istilah Berger—prinsip kosmisasi yang mengubah khaos dalam pengalaman dan interaksi menjadi suatu kosmos yang tertata.
Ketiga ciri yang bekerjasama dengan epistemis, sosial, dan religius tersebut menawarkan bahwa masyarakat pra-modern menghayati kepungan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Hanya ada satu jalan bagi mereka untuk berdamai dengan kekuatan-kekuatan itu: melarutkan diri ke dalamnya. Kalau remaja ini kita menilai bahwa mereka berada dalam bahaya lingkungannya dan teror emosi-emosinya sendiri, barangkali evaluasi itu bersifat anakronis, lantaran kita menggunakan parameter-parameter modern semoga sanggup melihatnya sebagai dominasi mitologis. Bukankah dominasi disadari sebagai dominasi hanya kalau terjadi pengambilan jarak atasnya? Demikianlah kalau kita kini berbicara mengenai modernisasi, kita sebetulnya berbicara mengenai pengambilan jarak itu yang kini menjadi kesadaran yang mengemansipasi masyarakat dari kekuatan-kekuatan alam lahiriahnya. Kita berbicara mengenai lingkungan lahiriah yang tidak lagi diimitasi, melainkan ditransformasikan oleh lingkungan batiniah insan atau kesadarannya.
Download
Peter L. Berger; Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Peter L. Berger. Biografi
2. Peter L. Berger. Refleksi Atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi
3. Peter L. Berger. Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
4. Peter L. Berger. Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern
5. Peter L. Berger. The Sacred Canopy
6. Peter L. Berger. Pembentukan Realitas Secara Sosial
7. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial
8. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Subjektif
9. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Objektif
10. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial dan Legitimasinya
11. Peter L. Berger. Momen Internalisasi yang Susah Payah
12. Peter L. Berger. Perkawinan
13. Pokok Bahasan Sosiologi
14. Mirror On The Wall. Gambaran Realitas Sosial yang Terdistorsi
Belum ada Komentar untuk "Peter L. Berger; Modernisasi Sebagai Pembangunan Alam Artifisial"
Posting Komentar