Emmanuel Levinas. Metafisika Wacana “Yang Lain”
Karya filosofis besar dari tahun 1961 berjudul lengkap Totalite et infini. Essai sur l’exteriorite (Totalitas dan Tak Berhingga. Esai perihal Eksterioritas). Untuk sanggup mengerti maksud pemikiran Levinas, sebaiknya kita berpangkal pada tiga istilah yang tercantum dalam judul ini: totalitas, tak berhingga, dan eksterioritas.
Istilah yang pertama, totalitas, bagi Levinas memiliki nada yang kurang baik. Seluruh filsafat Barat selama ini mengejar totalitas; artinya filsafat ingin membangun suatu keseluruhan yang berpangkal pada “ego” sebagai pusatnya. Karena tradisi filosofis ini selalu bertolak dari “aku” dan kembali pada “aku”, maka cara berpikir serupa itu oleh Levinas disebut juga la philosophie du meme (the philosophy of the same).
Plotinos sudah menyampaikan bahwa jiwa tidak pernah pergi ke sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri dan tidak berada dalam sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Dalam filsafat modern titik tolak ini menerima kedudukan besar lengan berkuasa semenjak pernyataan Descartes* tentang cogito ergo sum (aku berpikir, jadi saya ada). Dengan Descartes* filsafat modern menjadi “egologi”. Dan egologi itu berkembang terus hingga dengan Husserl dan murid-muridnya (Husserl sendiri memakai istilah egologi untuk menunjuk filsafatnya). Sartre contohnya masih melukiskan acara khas manusiawi sebagai “totalisasi”. Tendensi ini tampak dengan terperinci sekali dalam idealism. Bagi idealism Ada dimengerti sebagai “imanensi” atau “interioritas”. Bagi idealism Ada itu sama dengan kesadaran yang mengkonstitusikan dirinya sendiri. Yang lain hanya ada lantaran dan bagi kesadaran-diri. Filsafat yang ditandai oleh totalisasi itu oleh Levinas disebut “ontology”.
Totalitas itu didobrak oleh “yang Tak Berhingga”. Dengan Tak Berhingga dimaksudkan di sini suatu realitas yang secara prinsipial mustahil dimasukan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan saya. Yang Tak Berhingga itu ialah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Totalitas yang saya susun dengan seksama, pribadi pecah dalam perjumpaan dengan Orang Lain. Untuk merumuskan pengalaman itu Levinas membuat suatu istilah filosofis yang baru: Wajah. Saya berjumpa dengan yang Tak Berhingga lantaran penampakan Wajah (l’epiphanie du visage). Penampakan Wajah itu merobohkan egoism saya. Jika Levinas menyampaikan “Wajah”, ia tidak memaksudkan suatu hal fisis atau empiris, menyerupai keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, dan seterusnya. Seandainya sama dengan sesuatu yang bersifat empiris begitu saja, Wajah akan termasuk totalitas juga. Tetapi yang dimaksudkannya ialah orang lain sebagai lain, orang lain berdasarkan keberlainannya. Jadi, kualitas-kualitas fisis atau psikis yang bisa tampak pada sebuah wajah (tampan, muda, cemerlang, dan lain-lain) tidak penting bagi dia. Yang dimaksudkan ialah le visage nu: Wajah telanjang; artinya wajah begitu saja, Wajah dalam keadaan polos. Wajah itu menyatakan diri sebagai visage signifiant, Levinas menyampaikan lagi: Wajah yang memiliki makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.
Menurut Levinas, dalam filsafat Barat hingga kini adanya sesama insan belum pernah dipikirkan dengan semestinya. Adanya sesama insan merupakan suatu fenomena sui generis, suatu fenomena yang sama sekali unik, yang tidak sanggup diasalkan dari atau kepada sesuatu yang lain. Orang Lain tidak merupakan bab dari suatu totalitas; ia tidak sanggup dimasukan dalam suatu keseluruhan. Ia selalu tinggal tersendiri, selalu mempertahankan otonomi, dan kepadatan yang tak terselami. Dengan Orang Lain tampak suatu eksteriorits, suatu transendensi. Untuk sanggup menjumpai dia, saya harus keluar dari imanensi saya. Ia membuka suatu dimensi tak berhingga bagi saya. Jadi, Orang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan dimasa lampau, bukan saya yang lain. Saya tidak sanggup mendekati beliau dengan bertitik tolak dari “aku”. Dia lain sama sekali. Orang lain ialah si Pendatang, Orang Asing (l’Etranger).
Penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis. Itulah satu langkah penting sekali dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya dihentikan tinggal tak hirau saja. Ia mewajibkan saya. Ia mengadakan apel kepada saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia mengimbau saya biar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan yatim piatu” kata Levinas dengan logat yang mengingatkan pada nabi-nabi Israel kuno. Karena penampilan Wajah saya diinterpelasi “dari atas” dan dipanggil untuk bertanggungjawab. Orang lain ialah guru dan tuan saya. Imbauan Wajah kepada saya pada pokoknya ialah “jangan membunuh”. Bila Kain bertanya: “apakah saya penjaga adikku” (Kejadian 4:9), maka lantaran penampilan Wajah harus saya akui bahwa saya memang penjaga saudaraku. Kewajiban etis yang timbul dengan Wajah harus dianggap asimetris. Yang harus saya berikan kepada orang lain, dihentikan saya tuntut dari dia. Saya boleh menawarkan hidup saya bagi sesama, tetapi saya tidak berhak untuk membuat beliau menjadi laba dan kegunaan saya. Relasi saya dengan sesama dihentikan didasarkan pada do ut des atau balas jasa. Asimetris etis ini disertai suatu asimetri metafisis: saya tidak sanggup melihat diri saya dari luar dan berbicara perihal diri saya serta orang lain dalam arti yang sama. Totalisasi semacam itu secara prinsipial tidak mungkin.
Seperti diketahui, dalam filsafat Martin Buber* pun kekerabatan antar-manusia menerima perhatian khusus. Dan pandangannya dalam hal ini niscaya dilatarbelakangi juga oleh alam pikiran Yahudi. Buber* melukiskan kekerabatan antar-manusia sebagai kekerabatan Aku—Engkau. Tetapi filsafat dialogis Buber ini tidak sanggup memuaskan Levinas. Keberatan mendasar Levinas ialah bahwa kekerabatan dengan Orang Lain tidak ditandai resiprositas, melainkan asimetri. Tampilnya Orang lain menjadikan saya bertanggung jawab. Inilah kejadian yang sama sekali menentukan. Relasi Aku—Engkau pada Buber* melewati begitu saja ciri etis tersebut dan itulah kelemahannya yang utama. Di samping itu ia memiliki keberatan juga bahwa adanya imanensi dan transendensi dalam kekerabatan intersubjektif pada Buber* tidak dipikirkan dengan semestinya. Namun, selain kritik ini, ia sangat menghargai perjuangan filosofis Buber dan merasa pemikirannya sendiri bersahabat dengan dia.
Pemikiran yang membuka diri bagi dimensi tak berhingga yang tampak dengan adanya “yang lain”, oleh Levinas disebut metafisika; sedangkan ontologi ialah istilah yang—sudah kita lihat—dikhususkan untuk memperlihatkan pemikiran perihal yang sama. Salah satu tesis pokok pada Levinas ialah bahwa kepada metafisika harus diberi prioritas di atas ontologi. Dan lantaran penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis, maka kiranya sudah terperinci bahwa metafisika itu berdasarkan kodratnya bersifat etis; metafisika dan moral tidak sanggup dipisahkan. Etika ialah “filsafat pertama”, kata Levinas. Prioritas metafisika terhadap ontologi diungkapkan Levinas juga dengan suatu perkataan Plato yang sangat digemarinya, yaitu ide “Baik” harus ditempatkan di seberang ide “Ada”. Perkataan Plato ini sudah dikutip sebagai fatwa bagi jalan pemikirannya dalam buku kecil De l’existence a l’existant dari tahun 1947 dan sanggup menjadi kunci untuk mengerti judul karya besar dari tahun 1974 Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi.
Beberapa kali Levinas menandaskan bahwa filsafat Barat sanggup dibandingkan dengan Odysseus, pengembara yang sudah banyak petualangan pulang kembali ke kampung halamannya: pulang ke apa yang dikenal. Yang dimaksudkannya ialah tokoh utama dalam epos Homeros yang berjudul Odyssea. Bagi kita di Indonesia boleh ditambah: menyerupai juga dalam Ramayana hasilnya Rama pulang ke daerah asalnya. Tetapi perjalanan yang harus kita ikuti—katanya—ialah perjalanan menyerupai ditempuh oleh Abraham, orang yang dipanggil oleh “yang lain”, supaya ia meninggalkan tanah tumpah darahnya dan untuk selama-lamanya keluar dari rumahnya menuju negeri gila yang dijanjikan: exodus (keluaran) ke apa yang tidak dikenal. Kalau kita dengan demikian membuka pemikiran bagi transendensi yang tampak dengan Wajah, maka semua pengertian mendasar dari tradisi filsafat Barat harus dipikirkan kembali. Salah satu referensi ialah titik tolak bagi filsafat modern semenjak Descartes, yaitu cogito atau kesadaran. Bagi Levinas bukan kesadaran (la conscience theorique) melainkan hati nurani (la conscience morale) merupakan titik tolak dan dasar filsafat. Bukan refleksi perihal diri saya menyingkapkan bagi saya “aku” yang sejati, melainkan kejutan yang saya alami dalam perjumpaan dengan “Orang Lain”. Di bawah ini kami kembali lagi pada pandangan Levinas perihal cogito ini.
Pemikiran Levinas perihal bahasa pula tidak sanggup dilepaskan dari konteks filosofis yang sama. Di sini juga hanya sanggup kami berikan beberapa catatan saja. Bahasa intinya ialah percakapan atau obrolan dan dalam obrolan itu saya menyapa sesama. Apa yang dibicarakan (tema percakapan) selalu dilatarbelakangi oleh orang yang disapa. Mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang. Tema dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Dari alasannya itu orang lain bergotong-royong tidak sanggup menjadi tema. Saya memang sanggup berbicara perihal dia, tetapi—kalau begitu—di balik tema ia masih tampil sebagai orang yang disapa. Dalam apa saja yang saya katakana, orang lain disapa, pun pula jikalau saya berbicara perihal dia. Hakikat Bahasa ialah interpelasi, penyapaan. Vocaticus mendasari indicaticus. Bahasa mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk memberikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan moral sebelum memiliki kaitan dengan teori.
Pemikiran Levinas perihal Allah berafiliasi erat dengan apa yang sudah kita lihat hingga sekarang. Dalam pendahuluan bukunya Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi ia menyampaikan bahwa yang penting ialah mendengar bunyi Allah yang tidak dinodai oleh Ada. Maksudnya ialah bahwa Allah tidak sanggup dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Dan itulah yang senantiasa diusahakan dalam filsafat Barat. Levinas mau membicarakan Allah dengan berpegang pada prinsipnya bahwa pengertian “Baik” terletak di seberang Ada. Dengan lain perkataan, ia ingin berbicara perihal Allah dalam rangka metafisika, di mana yang Tak Berhingga menampakkan diri dengan tampilnya Wajah. Dimensi yang kuasa membuka diri dalam Wajah Orang Lain, kata Levinas. Melalui Wajah Orang Lain saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan. Tetapi ini tidak berlangsung pada taraf pengenalan teoretis, melainkan dalam konteks praktek etis. Tuhan hadir bagi saya sejauh saya mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Relasi saya dengan Tuhan tidak sanggup dilepaskan dari kekerabatan etis saya dengan sesama. Mengenal Allah berarti mengetahui apa yang harus saya perbuat terhadap sesama. Sifat-sifat Allah tidak diberikan dalam modus indicaticus tetapi dalam modus imperativus. “Allah itu murah hati” berati “Hendaklah engkau murah hati menyerupai Dia”.
Sepatah kata lagi perihal kekerabatan antara kedua karya filosofis yang besar Totalitas dan Tak Berhingga dan Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi. Dalam karya kedua Levinas merumuskan pemikirannya dengan lebih radikal lagi. Kalau karya pertama di sana-sini masih terlalu dipengaruhi oleh pemikiran ontologis, maka karya kedua berusaha berpikir lebih konsekuen dalam suasana metafisis. Dalam hal ini ia memberanikan diri bergumul dengan kemungkinan dan ketidakmungkinan Bahasa kita, alasannya Bahasa yang kita pakai dan mengerti masih diselimuti oleh alam pikiran ontologis. Dalam Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi secara khusus diusahakan untuk berpikir lebih radikal perihal subjektivitas. Kalau dalam karya yang pertama ia terutama memperhatikan dan menafsirkan tampilnya Wajah itu sendiri, kini ia khususnya menyoroti pertanggungjawaban yang dituntut lantaran penampakan Wajah tersebut. Soalnya ialah apakah subjektivitas masih sanggup dimengerti sebagai kesadaran atau eksistensi? Ternyata tidak. Subjek bukanlah pour-soi (bagi dirinya), katanya sekarang, melainkan l’un pour-l’autre (seorang-untuk-orang-lain). Subjek menjadi subjek lantaran bertanggungjawab atas orang lain. Dimensi etis tidak ditambah pada suatu subjek yang sudah ada. Saya tidak lebih dulu sudah berdiri sendiri sebagai subjek dan gres kemudian bertanggung jawab. Saya tidak “”mengambil” pertanggungjawaban; seakan-akan sebelumnya saya sudah ada sebagai subjek. Dalam pertanggungjawaban atas orang lain, saya dikonstitusikan sebagai subjek. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja. Tetapi berdasarkan Levinas, saya bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, malah saya bertanggungjawab atas pertanggungjawaban orang lain itu. Mendengar semuanya ini tidak sedikit orang segera akan bertanya: tetapi apakah orang lain itu sendiri tidak bertanggungjawab? Levinas akan menjawab: barangkali, tetapi itu urusannya sendiri; jangan kita lupa, kekerabatan etis itu asimetris.
Dalam konteks ini kerap kali Levinas memakai suatu pengertian yang amat sulit, yaitu substitution (mengganti daerah orang lain; menjadi sandera bagi orang lain). Bab IV dari Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi membicarakan substitusi ini dan berdasarkan keterangan Levinas dalam pendahuluan itulah bab sentral bukunya. Maksudnya barangkali sanggup dijelaskan sebagai berikut. Saya bertanggung jawab atas orang lain, malah saya bersalah (dalam arti guilty) lantaran perbuatan orang lain. Dalam pemikiran ontologis tidak ada daerah untuk pengertian menyerupai "substitusi" itu. Ontologi hanya mengenal dilema: menguasai atau menaklukkan diri, tuan atau hamba. Bagi ontologi pertanggungjawaban didasarkan pada kebebasan: pertanggungjawaban tidak melebihi batas-batas kebebasan. Bagi ontologi saya hanya bertanggungjawab atas diri saya sendiri. Tetapi--kalau tetap begitu--menurut Levinas persaudaraan universal tidak sanggup diharapkan. Pertanyaan dari Kain memang harus dijawab afirmatif. Apa yang tidak sanggup dipikirkan oleh ontologi merupakan kenyataan juga. Sebagai referensi beberapa kali Levinas menunjuk kepada protes kaum muda pada tahun 70-an melawan ketidakadilan dalam dunia (dan untuk itu mereka tentu tidak bersalah dalam arti ontologi). Menurut Levinas pertanggungjawaban saya tidak sanggup diukur berdasarkan kebebasan saya. Saya juga bertanggung jawab atas apa yang tidak saya perbuat, malah atas apa yang diperbuat orang terhadap saya. "Aku" ialah Mesias, katanya dalam Kebebasan Penuh Kesukaran. Demikian, dengan mencari ide pada paham alkitabiah perihal Mesias yang menderita bagi orang lain (Yesaya 53), ia berusaha menawarkan suatu pendasaran filosofis bagi subjektivitas yang sama sekali berlainan dari cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seorang-untuk-orang-lain. Cogito ergo sum dari Descartes* seharusnya diganti dengan Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi saya ada).
Sebagaimana Levinas sering menunjuk kepada contoh-contoh dari bidang sastra untuk menjelaskan pemikiran filosofisnya, demikian juga bila ia berbicara perihal "substitusi". Ia mengutip penyair Jerman, Paul Celan, yang antara lain menyampaikan Ich bin du, wenn ich ich bin (Aku ialah engkau, bila saya ialah aku). Dan lebih menarik lagi, ia menunjuk kepada buku novel karangan Dostoyevsi Karamazov Bersaudara di mana Starets (rahib) Zosima mengatakan: "Setiap orang di antara kita bersalah terhadap semua orang lain dan saya lebih bersalah daripada siapa pun". Tetapi sang Starets ditertawakan oleh para pendengarnya: "Masakan saya bersalah terhadap setiap orang lain--seorang di antara mereka katakan--; apakah contohnya kebersalahan saya terhadap anda?". Anggapan perihal subjektivitas ini memang tidak cocok dengan pemikiran yuridis kita yang selalu menyetarafkan pertanggungjawaban dengan kebebasan. Dalam hal ini Levinas tidak bermaksud menyampaikan bahwa substitusi merupakan suatu kewajiban umum. Maksudnya ialah menggambarkan situasi manusiawi yang khas etis di mana tampak suatu dimensi dalam subjektivitas yang belum pernah dipikirkan dalam filsafat Barat. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa kekerabatan etis ditandai oleh asimetri: kekerabatan ini tidak sanggup dibalik. Sayalah yang bertanggung jawab bukan saja atas perbuatan-perbuatan saya, tetapi juga atas perbuatan-perbuatan orang lain; tetapi saya tidak sanggup menyampaikan bahwa orang lain bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan saya. Memang benar menyerupai yang dikatakan Starets: "Saya lebih bersalah daripada siapa pun".
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Emmanuel Levinas. Biografi
1. Emmanuel Levinas. Pemikiran Filosofis
Istilah yang pertama, totalitas, bagi Levinas memiliki nada yang kurang baik. Seluruh filsafat Barat selama ini mengejar totalitas; artinya filsafat ingin membangun suatu keseluruhan yang berpangkal pada “ego” sebagai pusatnya. Karena tradisi filosofis ini selalu bertolak dari “aku” dan kembali pada “aku”, maka cara berpikir serupa itu oleh Levinas disebut juga la philosophie du meme (the philosophy of the same).
Totalitas itu didobrak oleh “yang Tak Berhingga”. Dengan Tak Berhingga dimaksudkan di sini suatu realitas yang secara prinsipial mustahil dimasukan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan saya. Yang Tak Berhingga itu ialah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Totalitas yang saya susun dengan seksama, pribadi pecah dalam perjumpaan dengan Orang Lain. Untuk merumuskan pengalaman itu Levinas membuat suatu istilah filosofis yang baru: Wajah. Saya berjumpa dengan yang Tak Berhingga lantaran penampakan Wajah (l’epiphanie du visage). Penampakan Wajah itu merobohkan egoism saya. Jika Levinas menyampaikan “Wajah”, ia tidak memaksudkan suatu hal fisis atau empiris, menyerupai keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, dan seterusnya. Seandainya sama dengan sesuatu yang bersifat empiris begitu saja, Wajah akan termasuk totalitas juga. Tetapi yang dimaksudkannya ialah orang lain sebagai lain, orang lain berdasarkan keberlainannya. Jadi, kualitas-kualitas fisis atau psikis yang bisa tampak pada sebuah wajah (tampan, muda, cemerlang, dan lain-lain) tidak penting bagi dia. Yang dimaksudkan ialah le visage nu: Wajah telanjang; artinya wajah begitu saja, Wajah dalam keadaan polos. Wajah itu menyatakan diri sebagai visage signifiant, Levinas menyampaikan lagi: Wajah yang memiliki makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.
Menurut Levinas, dalam filsafat Barat hingga kini adanya sesama insan belum pernah dipikirkan dengan semestinya. Adanya sesama insan merupakan suatu fenomena sui generis, suatu fenomena yang sama sekali unik, yang tidak sanggup diasalkan dari atau kepada sesuatu yang lain. Orang Lain tidak merupakan bab dari suatu totalitas; ia tidak sanggup dimasukan dalam suatu keseluruhan. Ia selalu tinggal tersendiri, selalu mempertahankan otonomi, dan kepadatan yang tak terselami. Dengan Orang Lain tampak suatu eksteriorits, suatu transendensi. Untuk sanggup menjumpai dia, saya harus keluar dari imanensi saya. Ia membuka suatu dimensi tak berhingga bagi saya. Jadi, Orang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan dimasa lampau, bukan saya yang lain. Saya tidak sanggup mendekati beliau dengan bertitik tolak dari “aku”. Dia lain sama sekali. Orang lain ialah si Pendatang, Orang Asing (l’Etranger).
Penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis. Itulah satu langkah penting sekali dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya dihentikan tinggal tak hirau saja. Ia mewajibkan saya. Ia mengadakan apel kepada saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia mengimbau saya biar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan yatim piatu” kata Levinas dengan logat yang mengingatkan pada nabi-nabi Israel kuno. Karena penampilan Wajah saya diinterpelasi “dari atas” dan dipanggil untuk bertanggungjawab. Orang lain ialah guru dan tuan saya. Imbauan Wajah kepada saya pada pokoknya ialah “jangan membunuh”. Bila Kain bertanya: “apakah saya penjaga adikku” (Kejadian 4:9), maka lantaran penampilan Wajah harus saya akui bahwa saya memang penjaga saudaraku. Kewajiban etis yang timbul dengan Wajah harus dianggap asimetris. Yang harus saya berikan kepada orang lain, dihentikan saya tuntut dari dia. Saya boleh menawarkan hidup saya bagi sesama, tetapi saya tidak berhak untuk membuat beliau menjadi laba dan kegunaan saya. Relasi saya dengan sesama dihentikan didasarkan pada do ut des atau balas jasa. Asimetris etis ini disertai suatu asimetri metafisis: saya tidak sanggup melihat diri saya dari luar dan berbicara perihal diri saya serta orang lain dalam arti yang sama. Totalisasi semacam itu secara prinsipial tidak mungkin.
Seperti diketahui, dalam filsafat Martin Buber* pun kekerabatan antar-manusia menerima perhatian khusus. Dan pandangannya dalam hal ini niscaya dilatarbelakangi juga oleh alam pikiran Yahudi. Buber* melukiskan kekerabatan antar-manusia sebagai kekerabatan Aku—Engkau. Tetapi filsafat dialogis Buber ini tidak sanggup memuaskan Levinas. Keberatan mendasar Levinas ialah bahwa kekerabatan dengan Orang Lain tidak ditandai resiprositas, melainkan asimetri. Tampilnya Orang lain menjadikan saya bertanggung jawab. Inilah kejadian yang sama sekali menentukan. Relasi Aku—Engkau pada Buber* melewati begitu saja ciri etis tersebut dan itulah kelemahannya yang utama. Di samping itu ia memiliki keberatan juga bahwa adanya imanensi dan transendensi dalam kekerabatan intersubjektif pada Buber* tidak dipikirkan dengan semestinya. Namun, selain kritik ini, ia sangat menghargai perjuangan filosofis Buber dan merasa pemikirannya sendiri bersahabat dengan dia.
Pemikiran yang membuka diri bagi dimensi tak berhingga yang tampak dengan adanya “yang lain”, oleh Levinas disebut metafisika; sedangkan ontologi ialah istilah yang—sudah kita lihat—dikhususkan untuk memperlihatkan pemikiran perihal yang sama. Salah satu tesis pokok pada Levinas ialah bahwa kepada metafisika harus diberi prioritas di atas ontologi. Dan lantaran penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis, maka kiranya sudah terperinci bahwa metafisika itu berdasarkan kodratnya bersifat etis; metafisika dan moral tidak sanggup dipisahkan. Etika ialah “filsafat pertama”, kata Levinas. Prioritas metafisika terhadap ontologi diungkapkan Levinas juga dengan suatu perkataan Plato yang sangat digemarinya, yaitu ide “Baik” harus ditempatkan di seberang ide “Ada”. Perkataan Plato ini sudah dikutip sebagai fatwa bagi jalan pemikirannya dalam buku kecil De l’existence a l’existant dari tahun 1947 dan sanggup menjadi kunci untuk mengerti judul karya besar dari tahun 1974 Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi.
Beberapa kali Levinas menandaskan bahwa filsafat Barat sanggup dibandingkan dengan Odysseus, pengembara yang sudah banyak petualangan pulang kembali ke kampung halamannya: pulang ke apa yang dikenal. Yang dimaksudkannya ialah tokoh utama dalam epos Homeros yang berjudul Odyssea. Bagi kita di Indonesia boleh ditambah: menyerupai juga dalam Ramayana hasilnya Rama pulang ke daerah asalnya. Tetapi perjalanan yang harus kita ikuti—katanya—ialah perjalanan menyerupai ditempuh oleh Abraham, orang yang dipanggil oleh “yang lain”, supaya ia meninggalkan tanah tumpah darahnya dan untuk selama-lamanya keluar dari rumahnya menuju negeri gila yang dijanjikan: exodus (keluaran) ke apa yang tidak dikenal. Kalau kita dengan demikian membuka pemikiran bagi transendensi yang tampak dengan Wajah, maka semua pengertian mendasar dari tradisi filsafat Barat harus dipikirkan kembali. Salah satu referensi ialah titik tolak bagi filsafat modern semenjak Descartes, yaitu cogito atau kesadaran. Bagi Levinas bukan kesadaran (la conscience theorique) melainkan hati nurani (la conscience morale) merupakan titik tolak dan dasar filsafat. Bukan refleksi perihal diri saya menyingkapkan bagi saya “aku” yang sejati, melainkan kejutan yang saya alami dalam perjumpaan dengan “Orang Lain”. Di bawah ini kami kembali lagi pada pandangan Levinas perihal cogito ini.
Pemikiran Levinas perihal bahasa pula tidak sanggup dilepaskan dari konteks filosofis yang sama. Di sini juga hanya sanggup kami berikan beberapa catatan saja. Bahasa intinya ialah percakapan atau obrolan dan dalam obrolan itu saya menyapa sesama. Apa yang dibicarakan (tema percakapan) selalu dilatarbelakangi oleh orang yang disapa. Mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang. Tema dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Dari alasannya itu orang lain bergotong-royong tidak sanggup menjadi tema. Saya memang sanggup berbicara perihal dia, tetapi—kalau begitu—di balik tema ia masih tampil sebagai orang yang disapa. Dalam apa saja yang saya katakana, orang lain disapa, pun pula jikalau saya berbicara perihal dia. Hakikat Bahasa ialah interpelasi, penyapaan. Vocaticus mendasari indicaticus. Bahasa mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk memberikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan moral sebelum memiliki kaitan dengan teori.
Pemikiran Levinas perihal Allah berafiliasi erat dengan apa yang sudah kita lihat hingga sekarang. Dalam pendahuluan bukunya Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi ia menyampaikan bahwa yang penting ialah mendengar bunyi Allah yang tidak dinodai oleh Ada. Maksudnya ialah bahwa Allah tidak sanggup dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Dan itulah yang senantiasa diusahakan dalam filsafat Barat. Levinas mau membicarakan Allah dengan berpegang pada prinsipnya bahwa pengertian “Baik” terletak di seberang Ada. Dengan lain perkataan, ia ingin berbicara perihal Allah dalam rangka metafisika, di mana yang Tak Berhingga menampakkan diri dengan tampilnya Wajah. Dimensi yang kuasa membuka diri dalam Wajah Orang Lain, kata Levinas. Melalui Wajah Orang Lain saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan. Tetapi ini tidak berlangsung pada taraf pengenalan teoretis, melainkan dalam konteks praktek etis. Tuhan hadir bagi saya sejauh saya mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Relasi saya dengan Tuhan tidak sanggup dilepaskan dari kekerabatan etis saya dengan sesama. Mengenal Allah berarti mengetahui apa yang harus saya perbuat terhadap sesama. Sifat-sifat Allah tidak diberikan dalam modus indicaticus tetapi dalam modus imperativus. “Allah itu murah hati” berati “Hendaklah engkau murah hati menyerupai Dia”.
Sepatah kata lagi perihal kekerabatan antara kedua karya filosofis yang besar Totalitas dan Tak Berhingga dan Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi. Dalam karya kedua Levinas merumuskan pemikirannya dengan lebih radikal lagi. Kalau karya pertama di sana-sini masih terlalu dipengaruhi oleh pemikiran ontologis, maka karya kedua berusaha berpikir lebih konsekuen dalam suasana metafisis. Dalam hal ini ia memberanikan diri bergumul dengan kemungkinan dan ketidakmungkinan Bahasa kita, alasannya Bahasa yang kita pakai dan mengerti masih diselimuti oleh alam pikiran ontologis. Dalam Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi secara khusus diusahakan untuk berpikir lebih radikal perihal subjektivitas. Kalau dalam karya yang pertama ia terutama memperhatikan dan menafsirkan tampilnya Wajah itu sendiri, kini ia khususnya menyoroti pertanggungjawaban yang dituntut lantaran penampakan Wajah tersebut. Soalnya ialah apakah subjektivitas masih sanggup dimengerti sebagai kesadaran atau eksistensi? Ternyata tidak. Subjek bukanlah pour-soi (bagi dirinya), katanya sekarang, melainkan l’un pour-l’autre (seorang-untuk-orang-lain). Subjek menjadi subjek lantaran bertanggungjawab atas orang lain. Dimensi etis tidak ditambah pada suatu subjek yang sudah ada. Saya tidak lebih dulu sudah berdiri sendiri sebagai subjek dan gres kemudian bertanggung jawab. Saya tidak “”mengambil” pertanggungjawaban; seakan-akan sebelumnya saya sudah ada sebagai subjek. Dalam pertanggungjawaban atas orang lain, saya dikonstitusikan sebagai subjek. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja. Tetapi berdasarkan Levinas, saya bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, malah saya bertanggungjawab atas pertanggungjawaban orang lain itu. Mendengar semuanya ini tidak sedikit orang segera akan bertanya: tetapi apakah orang lain itu sendiri tidak bertanggungjawab? Levinas akan menjawab: barangkali, tetapi itu urusannya sendiri; jangan kita lupa, kekerabatan etis itu asimetris.
Dalam konteks ini kerap kali Levinas memakai suatu pengertian yang amat sulit, yaitu substitution (mengganti daerah orang lain; menjadi sandera bagi orang lain). Bab IV dari Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi membicarakan substitusi ini dan berdasarkan keterangan Levinas dalam pendahuluan itulah bab sentral bukunya. Maksudnya barangkali sanggup dijelaskan sebagai berikut. Saya bertanggung jawab atas orang lain, malah saya bersalah (dalam arti guilty) lantaran perbuatan orang lain. Dalam pemikiran ontologis tidak ada daerah untuk pengertian menyerupai "substitusi" itu. Ontologi hanya mengenal dilema: menguasai atau menaklukkan diri, tuan atau hamba. Bagi ontologi pertanggungjawaban didasarkan pada kebebasan: pertanggungjawaban tidak melebihi batas-batas kebebasan. Bagi ontologi saya hanya bertanggungjawab atas diri saya sendiri. Tetapi--kalau tetap begitu--menurut Levinas persaudaraan universal tidak sanggup diharapkan. Pertanyaan dari Kain memang harus dijawab afirmatif. Apa yang tidak sanggup dipikirkan oleh ontologi merupakan kenyataan juga. Sebagai referensi beberapa kali Levinas menunjuk kepada protes kaum muda pada tahun 70-an melawan ketidakadilan dalam dunia (dan untuk itu mereka tentu tidak bersalah dalam arti ontologi). Menurut Levinas pertanggungjawaban saya tidak sanggup diukur berdasarkan kebebasan saya. Saya juga bertanggung jawab atas apa yang tidak saya perbuat, malah atas apa yang diperbuat orang terhadap saya. "Aku" ialah Mesias, katanya dalam Kebebasan Penuh Kesukaran. Demikian, dengan mencari ide pada paham alkitabiah perihal Mesias yang menderita bagi orang lain (Yesaya 53), ia berusaha menawarkan suatu pendasaran filosofis bagi subjektivitas yang sama sekali berlainan dari cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seorang-untuk-orang-lain. Cogito ergo sum dari Descartes* seharusnya diganti dengan Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi saya ada).
Sebagaimana Levinas sering menunjuk kepada contoh-contoh dari bidang sastra untuk menjelaskan pemikiran filosofisnya, demikian juga bila ia berbicara perihal "substitusi". Ia mengutip penyair Jerman, Paul Celan, yang antara lain menyampaikan Ich bin du, wenn ich ich bin (Aku ialah engkau, bila saya ialah aku). Dan lebih menarik lagi, ia menunjuk kepada buku novel karangan Dostoyevsi Karamazov Bersaudara di mana Starets (rahib) Zosima mengatakan: "Setiap orang di antara kita bersalah terhadap semua orang lain dan saya lebih bersalah daripada siapa pun". Tetapi sang Starets ditertawakan oleh para pendengarnya: "Masakan saya bersalah terhadap setiap orang lain--seorang di antara mereka katakan--; apakah contohnya kebersalahan saya terhadap anda?". Anggapan perihal subjektivitas ini memang tidak cocok dengan pemikiran yuridis kita yang selalu menyetarafkan pertanggungjawaban dengan kebebasan. Dalam hal ini Levinas tidak bermaksud menyampaikan bahwa substitusi merupakan suatu kewajiban umum. Maksudnya ialah menggambarkan situasi manusiawi yang khas etis di mana tampak suatu dimensi dalam subjektivitas yang belum pernah dipikirkan dalam filsafat Barat. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa kekerabatan etis ditandai oleh asimetri: kekerabatan ini tidak sanggup dibalik. Sayalah yang bertanggung jawab bukan saja atas perbuatan-perbuatan saya, tetapi juga atas perbuatan-perbuatan orang lain; tetapi saya tidak sanggup menyampaikan bahwa orang lain bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan saya. Memang benar menyerupai yang dikatakan Starets: "Saya lebih bersalah daripada siapa pun".
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Emmanuel Levinas. Biografi
1. Emmanuel Levinas. Pemikiran Filosofis
Belum ada Komentar untuk "Emmanuel Levinas. Metafisika Wacana “Yang Lain”"
Posting Komentar