Strukturalisme Prancis. Ideologi Atau Metode?

Pendirian-pendirian strukturalisme menyerupai terurai pada postingan sebelumnya telah menyebabkan diskusi-diskusi hebat dengan filsuf-filsuf berhaluan lain, contohnya tokoh-tokoh Marxisme dan eksistensialisme. Dua filsuf terkemuka yang menonjol sebagai kritisi strukturalisme yaitu Jean-Paul Sartre* dan Paul Ricour*. Dari diskusi-diskusi itu kiranya telah menjadi terang arah mana yang harus ditempuh oleh kritik atas strukturalisme.

Pertama-tama harus diakui bahwa strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmiah yang sudah menunjukan hak eksistensinya. Coba kita ingat saja akan hasil yang diperoleh ilmu-ilmu menyerupai linguistik dan antropologi budaya, menurut metode strukturalistis. Tokoh-tokoh strukturalisme yang sudah dibicarakan sebelumnya, semua dinilai besar dibidang masing-masing. Sudah terpenuhi ramalan Saussure* wacana timbulnya semiologi sebagai ilmu gres yang menerapkan metode linguistik struktural atas bidang-bidang lain. Metode strukturalistis tentu sudah menunjukan gunanya.


Tetapi strukturalisme harus ditolak, bila metode strukturalistis itu menjadi suatu ideologi. Dengan istilah "ideologi" dimaksudkan di sini suatu pandangan dunia yang menilai segala sesuatu atas dasar beberapa prinsip yang diterima begitu saja. Hal itu terjadi, jika model-model yang digunakan dalam strukturalisme dijadikan sesuatu yang mutlak, sesuatu yang absolut. Hal itu terjadi pula, jika realitas seluruhnya--termasuk juga manusia--disamakan begitu saja dengan sistem. Kalau begitu, apa yang bergotong-royong merupakan abstraksi metodis saja menjadi pengingkaran pada taraf ontologis. Dari ungkapan "marilah kita memandang fenomena-fenomena kultural sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur" orang beralih pada ungkapan "tidak ada sesuatu yang lain dari struktur". Demikian umpamanya strukturalisme telah memperlihatkan peranan ketidaksadaran dalam membentuk sistem tanda. Tetapi dari inovasi itu ditarik kesimpulan bahwa subjek manusiawi serta kebebasan manusiawi hanya merupakan suatu delusi saja. Dengan kesimpulan itu strukturalisme melampaui batas-batas metodenya. Sartre* memang benar, bila ia mengajukan protes terhadap pemutlakan sedemikian itu. Dengan menyampaikan bahwa insan terdiri dari struktur-struktur, serentak juga tampak pengingkaran. Alasannya yaitu lantaran menyampaikan bahwa insan yaitu buah hasil struktur serentak juga berarti mengatasi status struktur. Subjek yaitu sumber pengingkaran itu. Dengan kata Sartre*: The initial disintegration, which makes man disappear behind the structures, evokes itself a negation: man appears behind the denial. A subject or subjectivity exists, at the very moment when the effort ia made to go beyond the given situation, by preserving it. This transition is the real problem. One must try to understand how the subject or subjectivity, on a transient basis, constitutes itself by a continual process of interiorization and renewed exteriorization. [Disintegrasi pada awal mula yang menyebabkan insan hilang lenyap di belakang struktur-struktur, menampilkan suatu pengingkaran: dan insan sendirilah tampak di balik pengingkaran itu. Suatu subjek atau subjektivitas ada, pada saat diusahakan untuk melampaui suatu situasi tertentu dan dengan demikian menyimpannya. Peralihan inilah merupakan duduk masalah yang sesungguhnya. Kita harus berusaha untuk mengerti bagaimana subjek atau subjektivitas--atas dasar suatu peralihan--mengkonstitusi dirinya melalui suatu proses interiorisasi dan eksteriorisasi yang diulangi terus-menerus]. Berbicara wacana struktur dan sistem mengandaikan adanya subjek. Struktur sendiri tidak berbicara! itu berarti bahwa insan tidak terkurung dalam struktur-struktur. Itu berarti bahwa insan yaitu lebih dari struktur-struktur. Tidak sanggup diterima bahwa strukturalisme menyingkirkan "lebih" itu. Karena itu Sartre melanjutkan: Man is prepetually 'beyond' the structures by which he is determined, because what makes him what he is, is something else again. So I fail to understand how one can stop at structures. To me, this is a logical scandal. [Manusia senantiasa melampaui struktur-struktur yang menentukannya, alasannya yaitu apa yang menciptakan beliau menjadi insan yaitu sesuatu yang lain dari struktur. Jadi, saya tidak sanggup mengerti bagaimana orang bisa berhenti pada struktur-struktur. Bagi saya, hal itu merupakan suatu skandal logis]. Subjektivitas manusiawi bagi Sartre selalu merupakan hal yang terakhir. Sia-sia saja orang menyangkal subjektivitas, alasannya yaitu penyangkalan itu sendiri sudah mengandaikan subjektivitas. Karena semua alasan itu dalam wawancara yang sama Sartre* hingga pada suatu kesimpulan yang sudah menjadi populer lantaran perumusannya yang khas Sartian. Perkataan ini patut dikutip dalam bahasa aslinya, lantaran setiap terjemahan akan melemahkan perumusannya: L'essentiel est ce qu'on fait de l'home, mais ce qu'il fait de ce qu'on a fait de lui [Yang penting bukannya apa yang insan diperbuat orang, melainkan apa yang insan perbuat dengan apa yang ia diperbuat orang]. Penyelidikan strukturalistis telah menemukan bahwa wilayah manusiawi ditandai oleh adanya struktur dan sistem. Terserah pada manusialah bagaimana ia akan menanggapi inovasi itu. Subjektivitas selalu memiliki perkataan terakhir.

Kritik Ricour* atas strukturalisme sejalan dengan kritik Sartre tadi. Bagi Ricour* pun subjektivitas merupakan titik teguh yang terakhir yang mustahil dilewati. Dalam konteks diskusi dengan Levi-Strauss* ia mengatakan:

"Suatu tata susunan yang dikemukakan sebagai tak sadar bagi saya hanya merupakan suatu tahap yang secara ajaib dilepaskan dari pengertian 'aku' oleh 'aku' itu sendiri; tata susunan pada dirinya sama saja dengan aliran yang sudah di luar pikiran". Dengan lain perkataan, hanya terdapat ketidaksadaran bagi kesadaran. Tidak mungkin bahwa tahap tak sadar merupakan hal yang terakhir. Hal itu sanggup diterapkan juga atas pembedaan antara langue dan parole yang sudah semenjak Saussure* memainkan peranan besar dalam strukturalisme. Para strukturalis, kata Ricour*, berhak mempelajari bahasa sebagai langue. Tetapi mereka melampaui batas metode strukturalistis, jika mereka menyamakan bahasa dengan langue. Disamping bahasa sebagai langue ada lagi bahasa sebagai parole, yaitu subjek yang berbicara. Bahasa sebagai langue, lepas dari bahasa sebagai parole, hanya merupakan abstraksi saja. Dengan berbicara, subjek melebihi bahasa sebagai sistem tertutup, lantaran ia bisa menyampaikan sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Aspek inilah yang paling menarik bagi Ricour*. Dan justru kesatuan antara langue dan parole itu dipilih Ricour sebagai tema pemikirannya yang khusus.

Demikian beberapa unsur kritik yang telah dikemukakan dalam diskusi dengan strukturalisme. Intinya yaitu bahwa strukturalisme sanggup dihargai sebagai metode tetapi harus ditolak bila menjadi ideologi. Atau, sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang krtikus lain, strukturalisme harus ditolak sejauh ia cenderung menjadi suatu "panstruktualisme". Tetapi jika begitu, insan belum "dileburkan". Sungguh benar, strukturalisme sanggup menyumbang untuk menyingkirkan pendapat terlampau optimistis wacana manusia, menyerupai dulu dianut oleh eksistensialisme Prancis. Tetapi dengan itu jalan tetap terbuka untuk suatu humanisme yang realistis.


Download di Sini


Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Belum ada Komentar untuk "Strukturalisme Prancis. Ideologi Atau Metode?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel