Strukturalisme Prancis. Sejarah
Konsep lain yang telah menjadi problematis lantaran strukturalisme yakni sejarah. Dan niscaya ada perkaitan dekat antara penolakan subjek dan perilaku negatif terhadap sejarah dalam strukturalisme. Strukturalisme telah mengemukakan suatu tipe pengertian yang sama sekali bertentangan dengan tipe pengertian yang didasarkan pada sejarah. Kalau tipe pengertian yang didasarkan pada sejarah kita sebut “historisisme”, maka bagi historisisme itu mengerti adalah: mencari asal-usul, menunjukkan perkembangan, menunjukkan bentuk yang lebih dulu, memilih sumber-sumber, menetapkan arah evolusi, dan sebagainya. Sturkturalisme mengajukan suatu tipe pengertian yang sama sekali lain dari historisisme itu. Bagi strukturalisme mengerti berarti menelanjangi sistem, meneropong relasi-relasi berdasarkan interdependensinya.
Model bagi pengertian gres itu yakni penelitian Bahasa menyerupai dipelopori oleh Saussure* dengan membedakan antara langue dan parole. Hal itu menyebabkan bahwa strukturalisme menempatkan sinkroni di atas diakroni. Mempelajari Bahasa sebagai langue berarti meninggalkan perspektif historis. Sistem bahasa diselidiki dari sudut pandang ahistoris, alasannya yakni sistem sendiri bersifat atemporal. Dengan itu diakroni tidak disangkal. Penyelidikan komparatif-historis tetap mungkin. Tetapi berdasarkan strukturalisme diakroni mengambil maknanya dari sinkroni dan tidak sebaliknya.
Dengan demikian timbul kontradiksi lagi dengan pendirian fenomenologis, di mana selalu diberi prioritas kepada sejarah, jadi kepada diakroni. Bagi mereka insan ditandai oleh “historisitas” (historicite, Geshichtlichkeit). Manusia merupakan agens atau pelaku sejarah. Sejarah merupakan buah hasil “praksis” manusia, kata Sartre*, yang dalam hal ini mengulangi Marx muda. Itu berarti bahwa insan menjadi subjek dan serentak juga objek sejarah. Dalam pecahan terakhir dari buku Pemikiran Liar Levi-Strauss* mengkritik Sartre*. Ia menegaskan bahwa ia sendiri tidak menolak pengetahuan historis, tetapi ia mengingkari bahwa pengetahuan historis merupakan pengetahuan yang berprivilegi terhadap pengetahuan-pengetahuan lain. Bagi Levi-Strauss* hal itu berarti bahwa sejarah—objek pengetahuan historis—tidak memiliki kontinuitas, sebagaimana juga objek pengetahuan lain tidak memiliki kontinuitas. Pengetahuan selalu merupakan pembagian terstruktur mengenai dan hal itu berlaku juga untuk pengetahuan historis.
Apakah Foucault* dalam hal ini barangkali merupakan kekecualian di antara strukturalis-strukturalis, karena—sebagaimana sudah kita lihat—ia menyelidiki masa modern dari sudut historis? Memang benar, Foucault* mempraktekkan ilmu sejarah. Ia malah pernah dijuluki sebagai “sejarawan di antara filusuf-filusuf strukturalistis”. Tetapi itu tidak berarti bahwa di sini ia mengambil distansi terhadap prinsip-prinsip strukturalistis. Kita sanggup menyaksikan juga dalam karya-karya historisnya sinkroni tetap diutamakan Foucault*. Misalkan saja, peralihan dari satu episteme dan episteme berikutnya tidak diterangkan olehnya dan ternyata tidak sanggup diterangkan juga. Maka pertanyaan bagaimana episteme satu telah berkembang dari episteme lain, dalam persepektif Foucault* tidak relevan. Menurut beliau waktu tidaklah kontinu.
Kita sanggup membandingkan pendirian generasi filsuf-filsuf strukturalis wacana sejarah dengan pendirian generasi filsuf-filsuf menyerupai Sartre* wacana sejarah, bila kita memandang perilaku mereka terhadap dua filsuf Jerman besar dari kurun ke-19. Sartre* dan seluruh generasi eksistensialis Prancis sangat mengutamakan Hegel*.
Dan dalam filsafat Barat modern Hegel memang merupakan pemikir istimewa dibidang filsafat sejarah. Filsafat seluruhnya berdasarkan pengandaian mengenai evolusi yang kontinu. Bagi generasi filsuf-filsuf strukturalistis nama Hegel* tidak harum lagi. Pada mereka anti-eksistensialisme disertai dengan anti-hegelianisme. “Seluruh zaman kita berusaha meloloskan diri dari Hegel*, entah dengan logika atau dengan epistemologi, entah melalui Marx* atau melalui Nietzsche*”, kata Foucault dalam L’ordre du discours, pidato pengukuhannya sebagai professor di College de France. Dan dengan itu sudah kita dengar filusuf kurun ke-19 yang sangat dipentingkan dalam kalangan strukturalis. Nietzsche* yakni filsuf nomor satu bagi mereka semua. Nah, Nietzsche* boleh dianggap seorang filsuf anti-historis (kalau “historis” disamakan dengan memihak pada perkembangan kontinu). Inti pemikirannya yakni The eternal recurrence of all things, kembalinya segala sesuatu terus-menerus. Dengan demikian, Nietzsche* menjadi symbol bagi strukturalisme dan seakan mengganti kawasan yang oleh eksistensialisme dulu diberikan kepada Hegel.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Dengan demikian timbul kontradiksi lagi dengan pendirian fenomenologis, di mana selalu diberi prioritas kepada sejarah, jadi kepada diakroni. Bagi mereka insan ditandai oleh “historisitas” (historicite, Geshichtlichkeit). Manusia merupakan agens atau pelaku sejarah. Sejarah merupakan buah hasil “praksis” manusia, kata Sartre*, yang dalam hal ini mengulangi Marx muda. Itu berarti bahwa insan menjadi subjek dan serentak juga objek sejarah. Dalam pecahan terakhir dari buku Pemikiran Liar Levi-Strauss* mengkritik Sartre*. Ia menegaskan bahwa ia sendiri tidak menolak pengetahuan historis, tetapi ia mengingkari bahwa pengetahuan historis merupakan pengetahuan yang berprivilegi terhadap pengetahuan-pengetahuan lain. Bagi Levi-Strauss* hal itu berarti bahwa sejarah—objek pengetahuan historis—tidak memiliki kontinuitas, sebagaimana juga objek pengetahuan lain tidak memiliki kontinuitas. Pengetahuan selalu merupakan pembagian terstruktur mengenai dan hal itu berlaku juga untuk pengetahuan historis.
Apakah Foucault* dalam hal ini barangkali merupakan kekecualian di antara strukturalis-strukturalis, karena—sebagaimana sudah kita lihat—ia menyelidiki masa modern dari sudut historis? Memang benar, Foucault* mempraktekkan ilmu sejarah. Ia malah pernah dijuluki sebagai “sejarawan di antara filusuf-filusuf strukturalistis”. Tetapi itu tidak berarti bahwa di sini ia mengambil distansi terhadap prinsip-prinsip strukturalistis. Kita sanggup menyaksikan juga dalam karya-karya historisnya sinkroni tetap diutamakan Foucault*. Misalkan saja, peralihan dari satu episteme dan episteme berikutnya tidak diterangkan olehnya dan ternyata tidak sanggup diterangkan juga. Maka pertanyaan bagaimana episteme satu telah berkembang dari episteme lain, dalam persepektif Foucault* tidak relevan. Menurut beliau waktu tidaklah kontinu.
Kita sanggup membandingkan pendirian generasi filsuf-filsuf strukturalis wacana sejarah dengan pendirian generasi filsuf-filsuf menyerupai Sartre* wacana sejarah, bila kita memandang perilaku mereka terhadap dua filsuf Jerman besar dari kurun ke-19. Sartre* dan seluruh generasi eksistensialis Prancis sangat mengutamakan Hegel*.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Belum ada Komentar untuk "Strukturalisme Prancis. Sejarah"
Posting Komentar