Giorgio Agamben. Konsep Dasar
Kita perlu memahami sejumlah konsep dasar sebelum kita sanggup hingga pada pembahasan pokok wacana teori Agamben. Ia memulai dengan konsep Yunani zoe dan bios. Zoe ialah badan biologis kita (atau “fakta sederhana wacana hidup yang sama pada semua makhluk hidup” [Agamben, 1995/1998:1]), sedangkan bios ialah badan politik kita (Agamben, 1995/1998:184). Kedua hal tersebut, bagi filsafat klasik dan bagi Agamben, secara inheren merupakan hal yang terpisah dan fenomena yang sanggup dipisahkan. Namun seiring waktu, zoe kemudian menjadi dipolitisasi; yakni, batas antara zoe dan bios telah menjelma semakin tidak kentara atau telah hilang sama sekali. Sebagaimana dinyatakan Agamben (1995/1998:188), tidak lagi tersisa perbedaan klasik atas mereka; pembedaan tersebut telah “direnggut dari kita semua untuk selamanya”. Sebagaimana yang segera akan kita lihat, ini bukan sekedar info filosofis atau terminologis, melainkan sebuah info yang sangat penting artinya bagi dunia modern.
Gagasan yang bersahabat dengan zoe ialah kehidupan mendasar, fakta murni kelahiran (Agamben, 1995/1998:127), yang memainkan peranan penting dalam pemikirannya. Dalam sebuah argumen yang serupa dengan pernyataan di atas, Agamben menyatakan bahwa kehidupan mendasar, ibarat zoe menjadi semakin dipolitisasi dan bahwa hal itu “merupakan insiden modernitas yang memilih dan menandai sebuah transformasi radikal” anutan klasik. Kehidupan fundamental telah selalu bersifat politis, meski hal itu telah ada semenjak usang di tepian entitas politik. Seiring waktu, kehidupan fundamental semakin ditarik masuk ke dalam entitas politik dan itu “menjadi inti yang sesungguhnya—jika tersembunyi—dari kekuasaan yang berdaulat” (Agamben, 1995/1998:6).
Kaum Yahudi Jerman pada masa pemerintahan Nazi merupakan pola kehidupan mendasar. Dengan kata lain, mereka ialah Yahudi hanya oleh fakta murni bahwa mereka terlahir sebagai Yahudi. Lebih lanjut, mereka menjadi Yahudi sangat dipolitisasi oleh Nazi. Nazi membuat Yahudi, atau setidak-tidaknya simbol tertentu dari kaum Yahudi, dan kemudian mendefinisikan mereka sebagai seseorang “yang keberadaannya [mereka] tidak sanggup lagi ditoleransi dengan cara apa pun.
Kehidupan fundamental sangat bersahabat kaitannya dengan konsep lain yang juga cukup sentral dalam anutan Agamben (1995/1998:8), yakni homo sacer (atau insan suci); kehidupan fundamental ialah “kehidupan homo sacer”. Zoe merujuk pada kehidupan fundamental secara umum, sedangkan homo sacer ialah “kehidupan fundamental sejauh ia tercakup dalam tatanan politik” (DeCaroli, 2007:52). Dengan demikian, zoe setidaknya secara teoritis dan historis sanggup dipisahkan dan terpisah dari entitas politik, sedangkan homo sacer alasannya definisinya tercakup dalam politik.
Menempati posisi sentral dalam konsep homo sacer ialah gagasan bahwa konsep ini melibatkan seseorang “yang mungkin terbunuh, tetapi belum dikurbankan” (Agamben, 1995/1998:8). Hal itu memang demikian alasannya homo sacer telah dipisahkan secara politis dari semua insan lainnya oleh keadaannya yang menempati tepi luar batas-batas politik. Karena homo sacer berada di luar batas-batas tersebut, banyak hal yang bisa dikenakan pada orang ini yang tidak sanggup dikenakan pada insan lain, termasuk dibunuh orang lain atas kehendaknya. Lebih lanjut, siapa pun yang melaksanakan hal itu tidak bisa disebut melaksanakan pembunuhan dan tidak sanggup dipersalahkan atas kejahatan tersebut, alasannya homo sacer berada di luar aturan dan lebih jauh entitas politik. Kenyataan tersebut membawa kita pada pola wacana kaum Yahudi Jerman pada masa kekuasaan Nazi yang dalam pandangan Agamben merupakan sebuah “kasus homo sacer yang sangat menggemparkan”. Jadi, kita sanggup melihat bab pertama dari definisi homo sacer—seseorang yang sanggup dibunuh, tetapi bagaimana dengan anutan bahwa homo sacer tidak sanggup dikurbankan? Di sini Agamben mempunyai pemahaman tradisional wacana pengorbanan, terutama gagasan bahwa untuk sanggup dikurbankan, seseorang harus merupakan bab dari suatu masyarakat tersebut. Karena berdasarkan definisinya homo sacer bukan merupakan bab dari masyarakat (politik), ia tidak bisa dikurbankan dalam pengertian tradisional dari istilah itu. Mengapa seseorang semacam itu “suci”? sebagaimana yang dikatakan Antonio Negri (2007:121), ia “suci dalam pengertian perkiraan sebuah sanksi yang membuatnya dipisahkan dari orang biasa lainnya”. Kondisi dipisahkan dan dieksekusi itulah yang membuat homo sacer suci.
Kondisi pengecualian ialah zona topologis;sebuah “ruang tanpa hukum” (Agamben, 2002/2005:51). Itulah ruang kawasan homo sacer tinggal di dalamnya; ruang itu ialah ruang abstrak, kawasan kaum Yahudi Jerman pada masa kekuasaan Nazi tersituasikan. Karena keberadaan ruang semacam itu, kekuasaan mutlak (misalnya, Hitler sebagai Fuhler) sanggup memutuskan berdasarkan kehendaknya siapa yang sanggup dan akan dibunuh. Lebih lanjut, alasannya mereka yang dibunuh berada di luar cakupan hukum, tindakan menghabisi nyawa mereka bukanlah pembunuhan. Dengan demikian, dalam konteks Jerman Nazi dan zona pengecualian mereka, enam juta orang Yahudi sanggup dibunuh tanpa anggapan bahwa itu ialah pembunuhan, setidaknya oleh Nazi. Lebih lanjut, kondisi pengecualian bersifat unik tidak hanya dalam hal yang menyangkut maut saja, tetapi yang menjadi semakin penting di masa kini juga dalam hubungannya dengan kehidupan. Dengan demikian, orang yang “sangat koma” dengan mesin-mesin yang menyokong hidupnya berada dalam sebuah zona pengecualian dikala sangat lah mungkin untuk memutuskan apakah orang itu harus hidup (menjaga tetap bekerjanya mesin-mesin tersebut) atau mati (mematikan mesin-mesin tersebut dan melaksanakan hal itu tidak sanggup disebut melaksanakan pembunuhan). Hal yang disebut terakhir sangat lah penting bagi Agamben, alasannya hal itu mencerminkan fakta bahwa tidak saja kematian, tetapi juga kehidupan kini berada dalam kondisi pengecualian; fakta itu memperlihatkan kepada mereka yang berkuasa kekuasaan tidak hanya atas kematian, tetapi juga semakin bersangkutan dengan kehidupan. Sebagaimana yang akan kita lihat, anutan tersebut berhutang sangat besar pada teori-teori yang dirumuskan Foucault*, khususnya biopolitik.
Walaupun berada di luar hukum, kondisi pengecualian penting artinya bahkan sangat fundamental bagi hukum. Hukum bisa mendefinisikan dirinya, dan memungkinkan validitasnya dengan merujuk pada hal itu yang berada di luar cakupan hukum. Hal lain yang juga menjadi ciri-ciri zona pengecualian ialah bahwa dimungkinkan untuk melaksanakan sesuatu di dalam zona itu yang mustahil dilakukan di kawasan lain dalam dunia politik—yakni, peniadaan pembedaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif (misalnya, Hitler sebagai Fuhrer Jerman) untuk memperoleh kendali atas aneka macam cabang kekuasaan lainnya; untuk melembagakan pemerintahan totaliter. Lebih lanjut, zona pengecualian mempunyai ciri-ciri dari aneka macam aspek anutan Agamben alasannya zona itu berada di dalam maupun di luar hukum; zona itu tercakup dalam aturan sebatas oleh fakta bahwa aturan menolaknya. Sebagaimana dikatakan Agamben (1995/1998:17-18): “Pengecualian ialah semacam penolakan... tetapi... apa yang ditolak di dalamnya bukanlah berdasarkan penolakan atasnya, sepenuhnya tanpa kaitan dengan hukum... aturan berlaku pada pengecualian dalam kondisi tidak lagi berlaku, dalam penarikan diri darinya”. Dengan demikian terdapat kekerabatan dialektis antara zona yang di dalamnya aturan bertempat dan kondisi pengecualian, yang hampa dari hukum.
Agamben menarik konseptualisasinya wacana kedaulatan dari karya Carl Schmitt yang menyatakan: “Daulat ialah ia yang bisa memilih wacana kondisi pengecualian”. Dengan demikian, daulat dan gagasan inti Agamben wacana kondisi pengecualian secara mutlak saling terkait; “pengecualian ialah struktur kedaulatan” (Agamben, 1995/1998:28).
Daulat mempunyai aneka macam kekuasaan aturan termasuk kekuasaan untuk membuat kondisi pengecualian; “untuk menunda validitas hukum” (Agamben, 1995/1998:15). Secara lebih menggelisahkan Agamben beropini bahwa “daulat ialah sebuah titik tidak ada pembedaan antara kekerasan dan hukum, yang pada mulanya kekersan menembus ke dalam aturan dan aturan menembus ke dalam kekerasan”. Pada tingkatan itulah Nazi, dengan Hitler sebagai daulat melintas dengan impunitas yang sangat besar. Walaupun kedaulatan biasanya dibahas dalam terminologi politik, Agamben memperluasnya hingga meliputi banyak yang lain, ibarat dokter dan ilmuwan.
Totalitarianisme setidaknya dalam bentuk yang modern, didefinisikan “sebagai penciptaan, dengan memakai kondisi pengecualian, suatu perang sipil legal yang membolehkan eliminasi fisik tidak hanya terhadap musuh-musuh politik, tetapi juga seluruh kategori penduduk” (Agamben, 2002/2005:2). Nazi, tentu saja, membuat sebuah pola paradigmatik wacana sebuah rezim totaliter dan mereka memakai kekuasaan mereka tidak hanya membunuh siapa pun yang bertentangan dengan mereka secara politis, tetapi juga berusaha menghabisi Yahudi sebagai suatu kategori penduduk, tidak hanya di Jerman tetapi di seluruh Eropa. Dalam melaksanakan hal tersebut, Nazi membuat “sebuah perang sipil legal” terhadap Yahudi dan kategori lainnya yang mereka tentukan (gipsi dan homoseksual) dari penduduk Jerman dan pada kesudahannya semua orang di Eropa.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
Giorgio Agamben. Gagasan Pos-Modern
Gagasan yang bersahabat dengan zoe ialah kehidupan mendasar, fakta murni kelahiran (Agamben, 1995/1998:127), yang memainkan peranan penting dalam pemikirannya. Dalam sebuah argumen yang serupa dengan pernyataan di atas, Agamben menyatakan bahwa kehidupan mendasar, ibarat zoe menjadi semakin dipolitisasi dan bahwa hal itu “merupakan insiden modernitas yang memilih dan menandai sebuah transformasi radikal” anutan klasik. Kehidupan fundamental telah selalu bersifat politis, meski hal itu telah ada semenjak usang di tepian entitas politik. Seiring waktu, kehidupan fundamental semakin ditarik masuk ke dalam entitas politik dan itu “menjadi inti yang sesungguhnya—jika tersembunyi—dari kekuasaan yang berdaulat” (Agamben, 1995/1998:6).
Kaum Yahudi Jerman pada masa pemerintahan Nazi merupakan pola kehidupan mendasar. Dengan kata lain, mereka ialah Yahudi hanya oleh fakta murni bahwa mereka terlahir sebagai Yahudi. Lebih lanjut, mereka menjadi Yahudi sangat dipolitisasi oleh Nazi. Nazi membuat Yahudi, atau setidak-tidaknya simbol tertentu dari kaum Yahudi, dan kemudian mendefinisikan mereka sebagai seseorang “yang keberadaannya [mereka] tidak sanggup lagi ditoleransi dengan cara apa pun.
Kehidupan fundamental sangat bersahabat kaitannya dengan konsep lain yang juga cukup sentral dalam anutan Agamben (1995/1998:8), yakni homo sacer (atau insan suci); kehidupan fundamental ialah “kehidupan homo sacer”. Zoe merujuk pada kehidupan fundamental secara umum, sedangkan homo sacer ialah “kehidupan fundamental sejauh ia tercakup dalam tatanan politik” (DeCaroli, 2007:52). Dengan demikian, zoe setidaknya secara teoritis dan historis sanggup dipisahkan dan terpisah dari entitas politik, sedangkan homo sacer alasannya definisinya tercakup dalam politik.
Menempati posisi sentral dalam konsep homo sacer ialah gagasan bahwa konsep ini melibatkan seseorang “yang mungkin terbunuh, tetapi belum dikurbankan” (Agamben, 1995/1998:8). Hal itu memang demikian alasannya homo sacer telah dipisahkan secara politis dari semua insan lainnya oleh keadaannya yang menempati tepi luar batas-batas politik. Karena homo sacer berada di luar batas-batas tersebut, banyak hal yang bisa dikenakan pada orang ini yang tidak sanggup dikenakan pada insan lain, termasuk dibunuh orang lain atas kehendaknya. Lebih lanjut, siapa pun yang melaksanakan hal itu tidak bisa disebut melaksanakan pembunuhan dan tidak sanggup dipersalahkan atas kejahatan tersebut, alasannya homo sacer berada di luar aturan dan lebih jauh entitas politik. Kenyataan tersebut membawa kita pada pola wacana kaum Yahudi Jerman pada masa kekuasaan Nazi yang dalam pandangan Agamben merupakan sebuah “kasus homo sacer yang sangat menggemparkan”. Jadi, kita sanggup melihat bab pertama dari definisi homo sacer—seseorang yang sanggup dibunuh, tetapi bagaimana dengan anutan bahwa homo sacer tidak sanggup dikurbankan? Di sini Agamben mempunyai pemahaman tradisional wacana pengorbanan, terutama gagasan bahwa untuk sanggup dikurbankan, seseorang harus merupakan bab dari suatu masyarakat tersebut. Karena berdasarkan definisinya homo sacer bukan merupakan bab dari masyarakat (politik), ia tidak bisa dikurbankan dalam pengertian tradisional dari istilah itu. Mengapa seseorang semacam itu “suci”? sebagaimana yang dikatakan Antonio Negri (2007:121), ia “suci dalam pengertian perkiraan sebuah sanksi yang membuatnya dipisahkan dari orang biasa lainnya”. Kondisi dipisahkan dan dieksekusi itulah yang membuat homo sacer suci.
Kondisi pengecualian ialah zona topologis;sebuah “ruang tanpa hukum” (Agamben, 2002/2005:51). Itulah ruang kawasan homo sacer tinggal di dalamnya; ruang itu ialah ruang abstrak, kawasan kaum Yahudi Jerman pada masa kekuasaan Nazi tersituasikan. Karena keberadaan ruang semacam itu, kekuasaan mutlak (misalnya, Hitler sebagai Fuhler) sanggup memutuskan berdasarkan kehendaknya siapa yang sanggup dan akan dibunuh. Lebih lanjut, alasannya mereka yang dibunuh berada di luar cakupan hukum, tindakan menghabisi nyawa mereka bukanlah pembunuhan. Dengan demikian, dalam konteks Jerman Nazi dan zona pengecualian mereka, enam juta orang Yahudi sanggup dibunuh tanpa anggapan bahwa itu ialah pembunuhan, setidaknya oleh Nazi. Lebih lanjut, kondisi pengecualian bersifat unik tidak hanya dalam hal yang menyangkut maut saja, tetapi yang menjadi semakin penting di masa kini juga dalam hubungannya dengan kehidupan. Dengan demikian, orang yang “sangat koma” dengan mesin-mesin yang menyokong hidupnya berada dalam sebuah zona pengecualian dikala sangat lah mungkin untuk memutuskan apakah orang itu harus hidup (menjaga tetap bekerjanya mesin-mesin tersebut) atau mati (mematikan mesin-mesin tersebut dan melaksanakan hal itu tidak sanggup disebut melaksanakan pembunuhan). Hal yang disebut terakhir sangat lah penting bagi Agamben, alasannya hal itu mencerminkan fakta bahwa tidak saja kematian, tetapi juga kehidupan kini berada dalam kondisi pengecualian; fakta itu memperlihatkan kepada mereka yang berkuasa kekuasaan tidak hanya atas kematian, tetapi juga semakin bersangkutan dengan kehidupan. Sebagaimana yang akan kita lihat, anutan tersebut berhutang sangat besar pada teori-teori yang dirumuskan Foucault*, khususnya biopolitik.
Walaupun berada di luar hukum, kondisi pengecualian penting artinya bahkan sangat fundamental bagi hukum. Hukum bisa mendefinisikan dirinya, dan memungkinkan validitasnya dengan merujuk pada hal itu yang berada di luar cakupan hukum. Hal lain yang juga menjadi ciri-ciri zona pengecualian ialah bahwa dimungkinkan untuk melaksanakan sesuatu di dalam zona itu yang mustahil dilakukan di kawasan lain dalam dunia politik—yakni, peniadaan pembedaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif (misalnya, Hitler sebagai Fuhrer Jerman) untuk memperoleh kendali atas aneka macam cabang kekuasaan lainnya; untuk melembagakan pemerintahan totaliter. Lebih lanjut, zona pengecualian mempunyai ciri-ciri dari aneka macam aspek anutan Agamben alasannya zona itu berada di dalam maupun di luar hukum; zona itu tercakup dalam aturan sebatas oleh fakta bahwa aturan menolaknya. Sebagaimana dikatakan Agamben (1995/1998:17-18): “Pengecualian ialah semacam penolakan... tetapi... apa yang ditolak di dalamnya bukanlah berdasarkan penolakan atasnya, sepenuhnya tanpa kaitan dengan hukum... aturan berlaku pada pengecualian dalam kondisi tidak lagi berlaku, dalam penarikan diri darinya”. Dengan demikian terdapat kekerabatan dialektis antara zona yang di dalamnya aturan bertempat dan kondisi pengecualian, yang hampa dari hukum.
Agamben menarik konseptualisasinya wacana kedaulatan dari karya Carl Schmitt yang menyatakan: “Daulat ialah ia yang bisa memilih wacana kondisi pengecualian”. Dengan demikian, daulat dan gagasan inti Agamben wacana kondisi pengecualian secara mutlak saling terkait; “pengecualian ialah struktur kedaulatan” (Agamben, 1995/1998:28).
Totalitarianisme setidaknya dalam bentuk yang modern, didefinisikan “sebagai penciptaan, dengan memakai kondisi pengecualian, suatu perang sipil legal yang membolehkan eliminasi fisik tidak hanya terhadap musuh-musuh politik, tetapi juga seluruh kategori penduduk” (Agamben, 2002/2005:2). Nazi, tentu saja, membuat sebuah pola paradigmatik wacana sebuah rezim totaliter dan mereka memakai kekuasaan mereka tidak hanya membunuh siapa pun yang bertentangan dengan mereka secara politis, tetapi juga berusaha menghabisi Yahudi sebagai suatu kategori penduduk, tidak hanya di Jerman tetapi di seluruh Eropa. Dalam melaksanakan hal tersebut, Nazi membuat “sebuah perang sipil legal” terhadap Yahudi dan kategori lainnya yang mereka tentukan (gipsi dan homoseksual) dari penduduk Jerman dan pada kesudahannya semua orang di Eropa.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
Giorgio Agamben. Gagasan Pos-Modern
Belum ada Komentar untuk "Giorgio Agamben. Konsep Dasar"
Posting Komentar