Aristoteles. Metafisika
Nama metafisika
Nama “metafisika” tidak digunakan oleh Aristoteles sendiri. Sampai usang berselang, orang mengandaikan bahwa nama ini berasal dari Andronikos dan Rhodos, yang telah menerbitkan karya-karya Aristoteles sekitar tahun 40 SM. Andronikos memasang Metaphysica sesudah Physica. Orang berpikir bahwa itulah asal undangan nama metafisika, lantaran nama Yunani ta meta ta physica berarti “hal-hal sehabis hal-hal fisis”. Kalau memang demikian halnya, nama Metaphysica ditempatkan sehabis Physica dalam edisi Andronikos. Tetapi semenjak kira-kira tahun 1950 pendirian ini tidak sanggup dipertahankan lagi. Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1951, sarjana Prancis yang berjulukan P. Moraux telah membuktikan bahwa nama “metafisika” lazim digunakan dalam kalangan mazhab Arsitotelian, sudah usang sebelum Andronikos. Oleh karenanya sudah nyata bahwa tidak mungkin nama ini berasal dari Andronikos.
P. Moraux menyangka, nama “metafisika” untuk pertama kalinya diberikan oleh Ariston dari keos yang menjadi kepala mazhab Arsitotelian sekitar tahun 226. Bahkan ada sarjana lain, H. Reiner namanya, yang memperkirakan bahwa nama ini sudah muncul pada generasi pertama sehabis Aristoteles. Bagaimanapun juga, yang niscaya ialah bahwa nama “metafisika” sudah digunakan pada kurun ke-3 SM dan memiliki kekerabatan erat dengan mazhab Aristotelian. Tentang artinya sanggup dikatakan bahwa istilah metafisika agaknya dipilih untuk menunjukkan bahwa bahannya harus dipelajari sehabis karya mengenai fisika, lantaran metafisika membahas aspek-aspek yang paling mendasar dari kenyataan, sedangkan fisika membicarakan aspek-aspek yang lebih simpel didekati.
Nama-nama lain
Aristoteles sendiri menggunakan beberapa nama untuk menunjukkan ilmu yang menjadi pokok pembicaraan dalam Metaphysica. Tetapi kesulitannya ialah bahwa nama-nama ini tidak selalu diterangkan oleh Arsitoteles dengan cara yang sama. Dapat ditanyakan, apakah Aristoteles memaksudkan hal yang sama dengan menggunakan nama-nama yang berlainan itu. Persoalan itu ramai didiskusikan dalam kalangan para ahli. Ada sarjana-sarjana yang menyampaikan bahwa Aristoteles sendiri tidak konsekuen dalam keterangan-keterangan yang diberikannya perihal ilmu ini. Sarjana-sarjana lain mengikuti jejak W. jaeger dengan menegaskan bahwa nama-nama yang berlain-lainan ini menunjuk kepada suatu perkembangan dalam pemikiran Aristoteles. Akhirnya, ada ahli-ahli lagi yang menjelaskan bahwa nama-nama dan konsepsi-konsepsi itu sanggup diperdamaikan tanpa kesulitan apa pun, asal ditafsirkan dengan tepat. Bagi kita tidak mungkin menyelami seluk beluknya. Di sini kami hanya menyebutkan nama-nama beserta keterangannya yang disajikan oleh Aristoteles.
a. Dalam buku I Aristoteles menamakan metafisika sebagai “kebijaksanaan” (Sophia). Ilmu pengetahuan selalu mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab. Karena kecerdikan merupakan ilmu yang tertinggi, maka ilmu ini akan mencari prinsip-prinsip yang paling mendasar dan penyebab-penyebab pertama. Prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab itu yakni keempat penyebab yang sudah disebut dalam Physica. Aristoteles menyidik fatwa filsuf-filsuf yang mendahuluinya dan ia menyimpulkan bahwa mereka pun tidak mengenal penyebab lain daripada keempat penyebab tersebut.
b. Dalam buku IV Aristoteles menyampaikan bahwa ada suatu ilmu yang bertugas mempelajari “yang ada, sejauh ada” (to on hei on; “being as being” atau “being as such”). Maksudnya tidak lain daripada metafisika, biarpun di sini ia tidak memberi nama khusus kepada ilmu ini. Mempelajari “yang ada sejauh ada” berarti menyidik kenyataan seluruhnya (jadi, objek yang paling luas) berdasarkan aspek yang paling umum (yakni “sejauh ada”). Dengan itu metafisika berbeda dengan ilmu kedokteran umpamanya yang hanya mempelajari sebagian realitas saja (kesehatan tubuh). Metafisika juga berbeda dengan fisika dan matematika yang memang mempelajari seluruh kenyataan, tetapi hanya berdasarkan aspek tertentu saja. Karena, fisika mempelajari gerak benda-benda dan matematika menyidik benda-benda berdasarkan aspek kuantitas. Tetapi metafisika menelaah kenyataan seluruhnya sejauh “yang ada” merupakan sesuatu. Dengan lain perkataan, metafisika mempelajari kenyataan sebagai “adaan” (“being”). Karena sifatnya sama sekali umum, metafisika dalam arti ini boleh disebut ilmu yang tertinggi.
c. Dalam buku VI dikatakan bahwa ilmu yang tertinggi memiliki objek yang paling luhur dan paling sempurna. Karena itu, kalau terdapat suatu substansi yang tak terubahkan dan abadi, maka ilmu yang menyidik substansi itu boleh dinamakan “ilmu pertama” atau “filsafat pertama”. Dengan suatu nama lain lagi ilmu ini sebagai theologia.
Kritik atas Plato
Di antara semua karya Aristoteles, terutama dalam Metaphysica terdapat kritik Aristoteles atas fatwa gurunya mengenai Ide-ide atau bentuk-bentuk. Bahkan buku XIII dan XIV seluruhnya diisi dengan diskusi yang terperinci perihal fatwa ini. Tetapi sering kali kita mengalami kesulitan untuk menangkap argumen-argumen Aristoteles, terlebih lantaran ia tidak memaksudkan fatwa Plato yang diuraikan dalam dialog-dialog melainkan fatwa ekspresi Plato yang dilanjutkan oleh murid-muridnya dalam Akademia pada waktu itu. Di sini kami menyebut dua argumen yang disajikan Aristoteles melawan fatwa mengenai Ide-ide.
Dalam satu argumen Aristoteles menjelaskan bahwa Plato* dan murid-muridnya memperduakan realitas dengan cara berlebihan, lantaran tidak ada gunanya untuk mendapatkan Bentuk-bentuk yang bangun sendiri di samping banyak benda yang konkret. Pluralitas benda-benda tidak diartikan dengan menambah banyak hal lain (Ide-ide). Plato* mirip seseorang—demikian katanya—yang tidak bisa berhitung dengan bilangan kecil dan karenanya menganggap lebih simpel berhitung dengan bilangan besar.
Suatu argumen lain menandaskan bahwa Ide atau Bentuk mau tidak mau bersifat individual dan tidak mungkin bersifat umum, sebagaimana dikehendaki Plato*. Kalau bentuk “manusia” umpamanya memang bangun sendiri, maka bentuk ini merupakan individu, sebagaimana juga individu kasatmata yang berjulukan Sokrates*. Oleh karenanya, kita harus mendapatkan “manusia ketiga” (tritos anthropos) yang merupakan contoh, baik bagi Bentuk “manusia” tadi maupun bagi individu Sokrates*. Tetapi “manusia yang ketiga” ini bersifat individual pula, sehingga harus diterima pola lain lagi dan seterusnya begitu hingga tak berhingga. Kesulitan ini tidak pernah sanggup diatasi.
Aristoteles sendiri berpendirian bahwa setiap bentuk tertuju kepada materi dan tidak sanggup dilepaskan dari padanya. Bentuk itu merupakan esensi suatu benda. Aristoteles menyetujui pendapat Plato* bahwa ilmu pengetahuan berbicara perihal yang umum dan bukan perihal yang individual. Matematika umpamanya membahas bukan suatu segitiga tertentu, melainkan segitiga pada umumnya, terlepas dari sifat-sifat yang individual. Tetapi esensi itu (segitiga pada umumnya misalnya) tidak bangun sendiri. Yang ada dalam kenyataan hanya benda-benda kasatmata saja. Tetapi rasio insan memiliki kemampuan untuk seolah-olah “melepaskan” esensi dari benda-benda konkret. Proses ini disebut abstraksi. Karena adanya proses abstraksi ini ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan Ide-ide gaya Plato*.
“Yang ada” memiliki banyak sekali arti
Metafisika menyidik “yang ada sejauh ada” atau “adaan sebagai adaan” (“being as being”). Akan tetapi kata “ada” (atau “adaan”) sanggup digunakan dengan majemuk arti. Apakah metafisika memaksudkan semua arti itu? Atau kah barangkali ada satu arti istimewa, sehingga semua arti yang lain didasarkan pada arti itu? Untuk menjelaskan bahwa kata “ada” memang memiliki banyak arti, marilah kita memandang pola berikut ini. Kita sanggup menyampaikan bahwa Sokrates* yakni seorang manusia, bahwa beliau masih muda atau sudah bau tanah usianya, bahwa ia duduk atau berdiri. Dengan semua tuturan ini kita menyatakan sesuatu yang ada, sesuatu yang real. Dengan semua tuturan ini kita menunjuk kepada suatu “adaan”. Tetapi caranya berlain-lainan. Semua tuturan itu merupakan putusan di mana Sokrates* memainkan peranan subjek. Tetapi predikat-predikat dikenakan pada subjek ini atas banyak sekali cara dan berdasarkan banyak sekali arti. Namun demikian, ada satu arti yang primer dan semua arti lain sanggup dianggap sekunder lantaran tergantung pada arti primer itu.
Apakah berdasarkan Aristoteles arti primer atau utama dari kata “ada”? Arti utama yakni “substansi” (bahasa Yunani: usia). Kata substansi berarti “yang bangun sendiri”. Suatu hal merupakan “substansi”, jikalau hal itu sanggup mendapatkan keterangan-keterangan, sedangkan hal itu sendiri tidak sanggup ditambah sebagai keterangan pada suatu hal lain. Di samping substansi-substansi terdapat lagi “aksiden-aksiden” (symbebekos) yaitu suatu hal yang tidak bangun sendiri, tetapi hanya sanggup dikenakan pada sesuatu yang lain yang bangun sendiri. Aksiden-aksiden hanya bisa berada dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas daripadanya. Warna merah contohnya tidak sanggup bangun sendiri, lepas dari suatu substansi. Kita tidak pernah bertemu dengan “merah” begitu saja, tetapi kita melihat suatu gambar merah, menggunakan topi merah dan sebagainya. Jadi, kata “merah” hanya sanggup berfungsi sebagai keterangan yang dikenakan pada suatu substansi. Dalam pola di atas perihal Sokrates*, kata “manusia” digunakan sebagai substansi, tetapi “muda”, “tua”, “duduk” semua merupakan aksiden-aksiden yang dikenakan pada suatu substansi.
Menurut Aristoteles, terdapat sepuluh kategori (kategoriai). Maksudnya ialah bahwa ada sepuluh cara kata “ada” sanggup digunakan. Di satu pihak kata “ada” sanggup digunakan sebagai substansi. Di lain pihak ada Sembilan cara untuk menggunakan kata “ada” sebagai aksiden. Di antara sembilan aksiden itu yang paling penting ialah kualitas (misalnya “kain yang berwarna merah”), kuantitas (misalnya “sehelai kain tiga meter panjangnya” atau “tiga orang terpelajar”), kekerabatan (misalnya “x yakni anak dari y” atau “y yakni bapak dari x”), daerah (misalnya “di Athena”), waktu (misalnya “kemarin”). Metafisika secara khusus menyidik “yang ada” sebagai substansi. Arti-arti kata “ada” yang lain hanya diselidiki dalam hubungannya dengan substansi.
Ajaran perihal Allah
Dalam penyelidikan Aristoteles perihal substansi, yang menerima perhatian khusus yakni suatu pokok yang sudah dibicarakan pula dalam Physica, yaitu struktur bentuk materi dan aktus potensi. Buku VII, VIII dan IX dari Metaphysica seluruhnya diisi dengan uraian-uraian mengenai struktur bentuk materi dan aktus potensi itu. Akan tetapi, lantaran kedua struktur ini sudah dibahas dengan panjang lebar dikala kita mempelajari fatwa Aristoteles mengenai gerak, maka di sini kita tidak usah mengulangi uraian itu. Seluk beluk lebih lanjut dari fatwa itu bagi maksud kita tidak begitu penting.
Tentang pandangan lain yang juga sudah disinggung dalam uraian kita mengenai fatwa Aristoteles dalam bidang fisika, di sini kami hendak menambah beberapa baris, lantaran pandangan ini juga menjadi pokok pembicaraan dalam Methaphysica. Yang kami maksudkan yakni fatwa Aristoteles perihal Allah sebagai “Penggerak Pertama yang tidak digerakkan”. Dalam Methaphysica pun Penggerak Pertama diterima untuk mengartikan gerak infinit yang terdapat di dunia. Menurut Aristoteles gerak dalam jagat raya tidak memiliki permulaan maupun penghabisan. Karena setiap hal yang bergerak digerakkan oleh suatu hal lain, perlulah mendapatkan satu Penggerak Pertama yang menjadikan gerak itu tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Dapat dimengerti bahwa Penggerak Pertama ini harus bersifat abadi, sebagaimana juga gerak yang disebabkan olehnya. Penggerak ini sama sekali terlepas dari materi, lantaran segalanya yang memiliki materi, memiliki potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak memiliki potensi apa pun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni.
Apakah kegiatan Allah sebagai Aktus Murni? Buat Aristoteles, kegiatan itu tidak bisa lain daripada pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial atau tak badani, Ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikiran. Dan aktivitasnya tidak bisa lain daripada berpikir saja, lantaran segala kegiatan jenis lain selalu menuntut juga ketergantungan (jadi, potensi). Aktus pemikiran selalu berlangsung terus dan tidak sanggup berhenti, lantaran tidak mungkin berada dalam keadaan potensi saja. Apakah objek pemikiran itu? Objeknya yakni yang paling tinggi dan yang paling sempurna. Itulah sebabnya objek pemikiran itu yakni pemikiran tuhan sendiri. Aristoteles mengatakan: Allah yakni “pemikiran yang memandang pemikiran” (noesis neoseos; “thought of thought”). Dengan demikian Allah menikmati kebahagiaan tepat dengan tiada henti-hentinya menjalankan kegiatan yang tertinggi yang diarahkan kepada objek yang tertinggi.
Pertanyaan berikut yang perlu dijawab ialah bagaimana Penggerak Pertama itu menjadikan gerak yang terdapat dalam jagat raya? Bukan sebagai penyebab efisien, ujar Aristoteles. Alasannya bahwa penyebab efisien akan dipengaruhi oleh kesannya dan karenanya akan memiliki potensi. Allah menjadikan sebagai penyebab final. Aristoteles sendiri mengungkapkan hal itu dengan suatu perkataan yang mashyur sekali: “Ia menggerakkan lantaran dicintai” (kinei de hos eromenon: “He produces motion as being loved”). Segala sesuatu yang ada mengejar Penggerak yang tepat itu. Gerak dalam jagat raya sama saja dengan menuju Allah. Tetapi Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenal atau menyayangi sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Karena, berdasarkan Aristoteles, jikalau Allah mengenal dunia. Dia harus memiliki potensi juga. Kalau begitu, Dia bukan lagi Aktus Murni.
Apakah pandangan Aristoteles perihal Allah itu boleh disebut monotheisme? Rupanya ya. Karena pada selesai buku XII, dalam kritiknya atas Speusippos, Aristoteles menegaskan bahwa hanya ada satu Penggerak yang tidak digerakkan. Namun demikian dalam karya-karya lain Aristoteles juga berbicara perihal “Allah-Allah” dengan menggunakan bentuk jamak. Tidak ada satu mengambarkan apa pun yang menyatakan bahwa ia menolak politheisme Yunani yang tradisional. Oleh karenanya perihal Aristoteles pun harus dikatakan hal yang sama yang sudah dikemukakan perihal filsuf-filsuf Yunani lain, yaitu bahwa masalah “monoteisme dan politeisme” bersama-sama tidak merupakan dilema bagi seorang Yunani pada waktu itu. Masalah ini tidak muncul dalam perspektif pemikiran mereka. Tetapi dilain pihak harus dikatakan juga bahwa filsuf-filsuf Yunani menghidangkan pandangan perihal Allah yang semakin murni sifatnya. Perkembangan ini memuncak pada Aristoteles. Pendiriannya perihal Allah boleh dianggap benar-benar luhur. Selain uraian di atas tadi, perkataan berikut ini sanggup menyatakan hal itu: “Dari prinsip itu (=Penggerak Pertama) tergantunglah langit dan alam semesta”. Pasti ada teks-teks lain lagi yang sanggup dikutip, misalnya. Akan tetapi, kita harus menginsafi juga perbedaan antara pendapat Aristoteles perihal Allah dengan pandangan agama-agama besar mirip agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Sekalipun berdasarkan Aristoteles segala sesuatu tergantung pada Allah, namun ia tidak mengakui Allah sebagai “Khalik” atau “Pencipta”. Buat Aristoteles, jagat raya berada semenjak kekal dan hanya geraknya disebabkan oleh Allah (sebagai penyebab final). Jadi, harus disimpulkan bahwa berdasarkan Aristoteles dunia tidak diciptakan. Dalam pandangan Aristoteles juga tidak ada daerah untuk penyelenggaraan Allah (God’s Providence). Dalam pikiran Aristoteles mustahillah bahwa Allah menyelenggarakan dunia, lantaran Ia tidak mengenal sesuatu pun di luar Dia. Dalam Abad Pertengahan filsuf-filsuf Katolik telah menafsirkan Aristoteles demikian rupa sehingga cocok dengan fatwa agama Katolik perihal Penciptaan dan Penyelenggaraan Tuhan. Tetapi harus diketahui bahwa itu bukan pendapat Aristoteles sendiri.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta
Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Psikologi
5. Aristoteles. Etika
6. Aristoteles. Logika
7. Aristoteles. Fisika
Nama “metafisika” tidak digunakan oleh Aristoteles sendiri. Sampai usang berselang, orang mengandaikan bahwa nama ini berasal dari Andronikos dan Rhodos, yang telah menerbitkan karya-karya Aristoteles sekitar tahun 40 SM. Andronikos memasang Metaphysica sesudah Physica. Orang berpikir bahwa itulah asal undangan nama metafisika, lantaran nama Yunani ta meta ta physica berarti “hal-hal sehabis hal-hal fisis”. Kalau memang demikian halnya, nama Metaphysica ditempatkan sehabis Physica dalam edisi Andronikos. Tetapi semenjak kira-kira tahun 1950 pendirian ini tidak sanggup dipertahankan lagi. Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1951, sarjana Prancis yang berjulukan P. Moraux telah membuktikan bahwa nama “metafisika” lazim digunakan dalam kalangan mazhab Arsitotelian, sudah usang sebelum Andronikos. Oleh karenanya sudah nyata bahwa tidak mungkin nama ini berasal dari Andronikos.
Nama-nama lain
Aristoteles sendiri menggunakan beberapa nama untuk menunjukkan ilmu yang menjadi pokok pembicaraan dalam Metaphysica. Tetapi kesulitannya ialah bahwa nama-nama ini tidak selalu diterangkan oleh Arsitoteles dengan cara yang sama. Dapat ditanyakan, apakah Aristoteles memaksudkan hal yang sama dengan menggunakan nama-nama yang berlainan itu. Persoalan itu ramai didiskusikan dalam kalangan para ahli. Ada sarjana-sarjana yang menyampaikan bahwa Aristoteles sendiri tidak konsekuen dalam keterangan-keterangan yang diberikannya perihal ilmu ini. Sarjana-sarjana lain mengikuti jejak W. jaeger dengan menegaskan bahwa nama-nama yang berlain-lainan ini menunjuk kepada suatu perkembangan dalam pemikiran Aristoteles. Akhirnya, ada ahli-ahli lagi yang menjelaskan bahwa nama-nama dan konsepsi-konsepsi itu sanggup diperdamaikan tanpa kesulitan apa pun, asal ditafsirkan dengan tepat. Bagi kita tidak mungkin menyelami seluk beluknya. Di sini kami hanya menyebutkan nama-nama beserta keterangannya yang disajikan oleh Aristoteles.
a. Dalam buku I Aristoteles menamakan metafisika sebagai “kebijaksanaan” (Sophia). Ilmu pengetahuan selalu mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab. Karena kecerdikan merupakan ilmu yang tertinggi, maka ilmu ini akan mencari prinsip-prinsip yang paling mendasar dan penyebab-penyebab pertama. Prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab itu yakni keempat penyebab yang sudah disebut dalam Physica. Aristoteles menyidik fatwa filsuf-filsuf yang mendahuluinya dan ia menyimpulkan bahwa mereka pun tidak mengenal penyebab lain daripada keempat penyebab tersebut.
b. Dalam buku IV Aristoteles menyampaikan bahwa ada suatu ilmu yang bertugas mempelajari “yang ada, sejauh ada” (to on hei on; “being as being” atau “being as such”). Maksudnya tidak lain daripada metafisika, biarpun di sini ia tidak memberi nama khusus kepada ilmu ini. Mempelajari “yang ada sejauh ada” berarti menyidik kenyataan seluruhnya (jadi, objek yang paling luas) berdasarkan aspek yang paling umum (yakni “sejauh ada”). Dengan itu metafisika berbeda dengan ilmu kedokteran umpamanya yang hanya mempelajari sebagian realitas saja (kesehatan tubuh). Metafisika juga berbeda dengan fisika dan matematika yang memang mempelajari seluruh kenyataan, tetapi hanya berdasarkan aspek tertentu saja. Karena, fisika mempelajari gerak benda-benda dan matematika menyidik benda-benda berdasarkan aspek kuantitas. Tetapi metafisika menelaah kenyataan seluruhnya sejauh “yang ada” merupakan sesuatu. Dengan lain perkataan, metafisika mempelajari kenyataan sebagai “adaan” (“being”). Karena sifatnya sama sekali umum, metafisika dalam arti ini boleh disebut ilmu yang tertinggi.
c. Dalam buku VI dikatakan bahwa ilmu yang tertinggi memiliki objek yang paling luhur dan paling sempurna. Karena itu, kalau terdapat suatu substansi yang tak terubahkan dan abadi, maka ilmu yang menyidik substansi itu boleh dinamakan “ilmu pertama” atau “filsafat pertama”. Dengan suatu nama lain lagi ilmu ini sebagai theologia.
Kritik atas Plato
Di antara semua karya Aristoteles, terutama dalam Metaphysica terdapat kritik Aristoteles atas fatwa gurunya mengenai Ide-ide atau bentuk-bentuk. Bahkan buku XIII dan XIV seluruhnya diisi dengan diskusi yang terperinci perihal fatwa ini. Tetapi sering kali kita mengalami kesulitan untuk menangkap argumen-argumen Aristoteles, terlebih lantaran ia tidak memaksudkan fatwa Plato yang diuraikan dalam dialog-dialog melainkan fatwa ekspresi Plato yang dilanjutkan oleh murid-muridnya dalam Akademia pada waktu itu. Di sini kami menyebut dua argumen yang disajikan Aristoteles melawan fatwa mengenai Ide-ide.
Dalam satu argumen Aristoteles menjelaskan bahwa Plato* dan murid-muridnya memperduakan realitas dengan cara berlebihan, lantaran tidak ada gunanya untuk mendapatkan Bentuk-bentuk yang bangun sendiri di samping banyak benda yang konkret. Pluralitas benda-benda tidak diartikan dengan menambah banyak hal lain (Ide-ide). Plato* mirip seseorang—demikian katanya—yang tidak bisa berhitung dengan bilangan kecil dan karenanya menganggap lebih simpel berhitung dengan bilangan besar.
Suatu argumen lain menandaskan bahwa Ide atau Bentuk mau tidak mau bersifat individual dan tidak mungkin bersifat umum, sebagaimana dikehendaki Plato*. Kalau bentuk “manusia” umpamanya memang bangun sendiri, maka bentuk ini merupakan individu, sebagaimana juga individu kasatmata yang berjulukan Sokrates*. Oleh karenanya, kita harus mendapatkan “manusia ketiga” (tritos anthropos) yang merupakan contoh, baik bagi Bentuk “manusia” tadi maupun bagi individu Sokrates*. Tetapi “manusia yang ketiga” ini bersifat individual pula, sehingga harus diterima pola lain lagi dan seterusnya begitu hingga tak berhingga. Kesulitan ini tidak pernah sanggup diatasi.
Aristoteles sendiri berpendirian bahwa setiap bentuk tertuju kepada materi dan tidak sanggup dilepaskan dari padanya. Bentuk itu merupakan esensi suatu benda. Aristoteles menyetujui pendapat Plato* bahwa ilmu pengetahuan berbicara perihal yang umum dan bukan perihal yang individual. Matematika umpamanya membahas bukan suatu segitiga tertentu, melainkan segitiga pada umumnya, terlepas dari sifat-sifat yang individual. Tetapi esensi itu (segitiga pada umumnya misalnya) tidak bangun sendiri. Yang ada dalam kenyataan hanya benda-benda kasatmata saja. Tetapi rasio insan memiliki kemampuan untuk seolah-olah “melepaskan” esensi dari benda-benda konkret. Proses ini disebut abstraksi. Karena adanya proses abstraksi ini ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan Ide-ide gaya Plato*.
“Yang ada” memiliki banyak sekali arti
Metafisika menyidik “yang ada sejauh ada” atau “adaan sebagai adaan” (“being as being”). Akan tetapi kata “ada” (atau “adaan”) sanggup digunakan dengan majemuk arti. Apakah metafisika memaksudkan semua arti itu? Atau kah barangkali ada satu arti istimewa, sehingga semua arti yang lain didasarkan pada arti itu? Untuk menjelaskan bahwa kata “ada” memang memiliki banyak arti, marilah kita memandang pola berikut ini. Kita sanggup menyampaikan bahwa Sokrates* yakni seorang manusia, bahwa beliau masih muda atau sudah bau tanah usianya, bahwa ia duduk atau berdiri. Dengan semua tuturan ini kita menyatakan sesuatu yang ada, sesuatu yang real. Dengan semua tuturan ini kita menunjuk kepada suatu “adaan”. Tetapi caranya berlain-lainan. Semua tuturan itu merupakan putusan di mana Sokrates* memainkan peranan subjek. Tetapi predikat-predikat dikenakan pada subjek ini atas banyak sekali cara dan berdasarkan banyak sekali arti. Namun demikian, ada satu arti yang primer dan semua arti lain sanggup dianggap sekunder lantaran tergantung pada arti primer itu.
Apakah berdasarkan Aristoteles arti primer atau utama dari kata “ada”? Arti utama yakni “substansi” (bahasa Yunani: usia). Kata substansi berarti “yang bangun sendiri”. Suatu hal merupakan “substansi”, jikalau hal itu sanggup mendapatkan keterangan-keterangan, sedangkan hal itu sendiri tidak sanggup ditambah sebagai keterangan pada suatu hal lain. Di samping substansi-substansi terdapat lagi “aksiden-aksiden” (symbebekos) yaitu suatu hal yang tidak bangun sendiri, tetapi hanya sanggup dikenakan pada sesuatu yang lain yang bangun sendiri. Aksiden-aksiden hanya bisa berada dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas daripadanya. Warna merah contohnya tidak sanggup bangun sendiri, lepas dari suatu substansi. Kita tidak pernah bertemu dengan “merah” begitu saja, tetapi kita melihat suatu gambar merah, menggunakan topi merah dan sebagainya. Jadi, kata “merah” hanya sanggup berfungsi sebagai keterangan yang dikenakan pada suatu substansi. Dalam pola di atas perihal Sokrates*, kata “manusia” digunakan sebagai substansi, tetapi “muda”, “tua”, “duduk” semua merupakan aksiden-aksiden yang dikenakan pada suatu substansi.
Menurut Aristoteles, terdapat sepuluh kategori (kategoriai). Maksudnya ialah bahwa ada sepuluh cara kata “ada” sanggup digunakan. Di satu pihak kata “ada” sanggup digunakan sebagai substansi. Di lain pihak ada Sembilan cara untuk menggunakan kata “ada” sebagai aksiden. Di antara sembilan aksiden itu yang paling penting ialah kualitas (misalnya “kain yang berwarna merah”), kuantitas (misalnya “sehelai kain tiga meter panjangnya” atau “tiga orang terpelajar”), kekerabatan (misalnya “x yakni anak dari y” atau “y yakni bapak dari x”), daerah (misalnya “di Athena”), waktu (misalnya “kemarin”). Metafisika secara khusus menyidik “yang ada” sebagai substansi. Arti-arti kata “ada” yang lain hanya diselidiki dalam hubungannya dengan substansi.
Ajaran perihal Allah
Dalam penyelidikan Aristoteles perihal substansi, yang menerima perhatian khusus yakni suatu pokok yang sudah dibicarakan pula dalam Physica, yaitu struktur bentuk materi dan aktus potensi. Buku VII, VIII dan IX dari Metaphysica seluruhnya diisi dengan uraian-uraian mengenai struktur bentuk materi dan aktus potensi itu. Akan tetapi, lantaran kedua struktur ini sudah dibahas dengan panjang lebar dikala kita mempelajari fatwa Aristoteles mengenai gerak, maka di sini kita tidak usah mengulangi uraian itu. Seluk beluk lebih lanjut dari fatwa itu bagi maksud kita tidak begitu penting.
Tentang pandangan lain yang juga sudah disinggung dalam uraian kita mengenai fatwa Aristoteles dalam bidang fisika, di sini kami hendak menambah beberapa baris, lantaran pandangan ini juga menjadi pokok pembicaraan dalam Methaphysica. Yang kami maksudkan yakni fatwa Aristoteles perihal Allah sebagai “Penggerak Pertama yang tidak digerakkan”. Dalam Methaphysica pun Penggerak Pertama diterima untuk mengartikan gerak infinit yang terdapat di dunia. Menurut Aristoteles gerak dalam jagat raya tidak memiliki permulaan maupun penghabisan. Karena setiap hal yang bergerak digerakkan oleh suatu hal lain, perlulah mendapatkan satu Penggerak Pertama yang menjadikan gerak itu tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Dapat dimengerti bahwa Penggerak Pertama ini harus bersifat abadi, sebagaimana juga gerak yang disebabkan olehnya. Penggerak ini sama sekali terlepas dari materi, lantaran segalanya yang memiliki materi, memiliki potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak memiliki potensi apa pun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni.
Apakah kegiatan Allah sebagai Aktus Murni? Buat Aristoteles, kegiatan itu tidak bisa lain daripada pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial atau tak badani, Ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikiran. Dan aktivitasnya tidak bisa lain daripada berpikir saja, lantaran segala kegiatan jenis lain selalu menuntut juga ketergantungan (jadi, potensi). Aktus pemikiran selalu berlangsung terus dan tidak sanggup berhenti, lantaran tidak mungkin berada dalam keadaan potensi saja. Apakah objek pemikiran itu? Objeknya yakni yang paling tinggi dan yang paling sempurna. Itulah sebabnya objek pemikiran itu yakni pemikiran tuhan sendiri. Aristoteles mengatakan: Allah yakni “pemikiran yang memandang pemikiran” (noesis neoseos; “thought of thought”). Dengan demikian Allah menikmati kebahagiaan tepat dengan tiada henti-hentinya menjalankan kegiatan yang tertinggi yang diarahkan kepada objek yang tertinggi.
Pertanyaan berikut yang perlu dijawab ialah bagaimana Penggerak Pertama itu menjadikan gerak yang terdapat dalam jagat raya? Bukan sebagai penyebab efisien, ujar Aristoteles. Alasannya bahwa penyebab efisien akan dipengaruhi oleh kesannya dan karenanya akan memiliki potensi. Allah menjadikan sebagai penyebab final. Aristoteles sendiri mengungkapkan hal itu dengan suatu perkataan yang mashyur sekali: “Ia menggerakkan lantaran dicintai” (kinei de hos eromenon: “He produces motion as being loved”). Segala sesuatu yang ada mengejar Penggerak yang tepat itu. Gerak dalam jagat raya sama saja dengan menuju Allah. Tetapi Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenal atau menyayangi sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Karena, berdasarkan Aristoteles, jikalau Allah mengenal dunia. Dia harus memiliki potensi juga. Kalau begitu, Dia bukan lagi Aktus Murni.
Apakah pandangan Aristoteles perihal Allah itu boleh disebut monotheisme? Rupanya ya. Karena pada selesai buku XII, dalam kritiknya atas Speusippos, Aristoteles menegaskan bahwa hanya ada satu Penggerak yang tidak digerakkan. Namun demikian dalam karya-karya lain Aristoteles juga berbicara perihal “Allah-Allah” dengan menggunakan bentuk jamak. Tidak ada satu mengambarkan apa pun yang menyatakan bahwa ia menolak politheisme Yunani yang tradisional. Oleh karenanya perihal Aristoteles pun harus dikatakan hal yang sama yang sudah dikemukakan perihal filsuf-filsuf Yunani lain, yaitu bahwa masalah “monoteisme dan politeisme” bersama-sama tidak merupakan dilema bagi seorang Yunani pada waktu itu. Masalah ini tidak muncul dalam perspektif pemikiran mereka. Tetapi dilain pihak harus dikatakan juga bahwa filsuf-filsuf Yunani menghidangkan pandangan perihal Allah yang semakin murni sifatnya. Perkembangan ini memuncak pada Aristoteles. Pendiriannya perihal Allah boleh dianggap benar-benar luhur. Selain uraian di atas tadi, perkataan berikut ini sanggup menyatakan hal itu: “Dari prinsip itu (=Penggerak Pertama) tergantunglah langit dan alam semesta”. Pasti ada teks-teks lain lagi yang sanggup dikutip, misalnya. Akan tetapi, kita harus menginsafi juga perbedaan antara pendapat Aristoteles perihal Allah dengan pandangan agama-agama besar mirip agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Sekalipun berdasarkan Aristoteles segala sesuatu tergantung pada Allah, namun ia tidak mengakui Allah sebagai “Khalik” atau “Pencipta”. Buat Aristoteles, jagat raya berada semenjak kekal dan hanya geraknya disebabkan oleh Allah (sebagai penyebab final). Jadi, harus disimpulkan bahwa berdasarkan Aristoteles dunia tidak diciptakan. Dalam pandangan Aristoteles juga tidak ada daerah untuk penyelenggaraan Allah (God’s Providence). Dalam pikiran Aristoteles mustahillah bahwa Allah menyelenggarakan dunia, lantaran Ia tidak mengenal sesuatu pun di luar Dia. Dalam Abad Pertengahan filsuf-filsuf Katolik telah menafsirkan Aristoteles demikian rupa sehingga cocok dengan fatwa agama Katolik perihal Penciptaan dan Penyelenggaraan Tuhan. Tetapi harus diketahui bahwa itu bukan pendapat Aristoteles sendiri.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta
Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Psikologi
5. Aristoteles. Etika
6. Aristoteles. Logika
7. Aristoteles. Fisika
Belum ada Komentar untuk "Aristoteles. Metafisika"
Posting Komentar