Immanuel Kant. Otonomi Kehendak
Apakah dasarnya sehingga insan sanggup bertindak sesuai dengan imperatif kategoris? Jawabannya yakni Otonomi Kehendak. Imperatif kategoris merupakan paham dan tolok ukur tertinggi segala tindakan moral. Otonomi kehendak memungkinkan pemenuhan tuntutan-tuntutannya. Otonomi kehendak berarti bahwa kehendak sendiri menunjukkan hukum. Dalam Contract Social, Rousseau* sudah mencatat bahwa ketaatan terhadap undang-undang yang diberikan sendiri yakni kebebasan. Kant mengakibatkan pikiran ini sebagai prinsip dasar seluruh etika.
Kant mulai dengan menyingkirkan semua prinsip (maksim) yang berasal dari kehendak yang tidak bermoral. Semua prinsip ini, alasannya yakni tidak ditetapkan oleh kehendak sendiri, melainkan mendahuluinya dan mau menentukannya dari luar, bersifat Heteronom. Artinya, di sini kehendak berhadapan dengan aturan yang bukan hukumnya sendiri (heteros=lain, nomos=hukum). Di sini termasuk semua objek, keadaan, atau acara yang diinginkan alasannya yakni menjanjikan nikmat, apakah itu perasaan-perasaan lezat dan tidak lezat (yang mau dihindari), perasaan moral, perhatian kepada kepentingan sendiri, juga tuntutan kesempurnaan realitas (sebagaimana menjadi prinsip Stoa*), segala apa yang dilakukan alasannya yakni tunduk kepada pihak lain, contohnya alasannya yakni kita takut atau mengharapkan ganjaran, atau yang dilakukan untuk menjadi bahagia. Semua motivasi itu oleh Kant ditolak sebagai heteronom dan bertentangan dengan hakikat moralitas.
Kant bukan hanya berpikir ihwal perasaan-perasaan jasmani menyerupai makan, minum, seksualitas, melainkan juga kegembiraan rohani sebagaimana kita mengalaminya dalam acara yang kreatif atau apabila kita menciptakan bangga orang lain. Kant juga menyatakan bahwa orang yang hanya menaati perintah-perintah Allah alasannya yakni ia mau mendapatkan pahala dan masuk surga, atau alasannya yakni takut neraka, tidak bersifat moral alasannya yakni itu tidak pantas. Adapun kebahagiaan mustahil menjadi prinsip moralitas alasannya yakni pencapaiannya tergantung pada faktor-faktor empiris.
Semua pertimbangan heteronom dari luar itu oleh Kant disebut Materi Kehendak. Begitu bahan menentukan kehendak, bahan apa pun, kehendak berada di bawah aturan dari luar dan oleh alasannya yakni itu terkena heteronomi dan tidak lagi berstatus moral alasannya yakni tidak lagi universal dan tak bersyarat.
Apabila segenap bahan ditolak sebagai unsur penentu kehendak moral, hanya tinggal satu, yaitu Formanya atau bentuknya. Kehendak otonom yakni kehendak yang semata-mata ditentukan oleh bentuk prinsip-prinsipnya. Apa yang dimaksud dengan Bentuk prinsip tindakan? Bentuk prinsip tindakan yakni keharusan atau hukum—sebagaimana telah kita sanggup dalam imperatif kategoris. Dengan lain kata, kehendak otonom hanya mengakui diri berada di bawah keharusan yang berasal dari aturan atau kewajiban yang disadari dan diakuinya sendiri sebagai aturan dan kewajibannya. Apa yang disadari sebagai kewajiban, itulah yang dilakukan kehendak otonom.
Jadi, otonomi, atau sumbangan aturan kepada dirinya sendiri, tidak bermaksud seperti orang seenaknya sanggup menentukan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang bukan. Melainkan, insan melalui logika kebijaksanaan mudah murni menyadari—menurut kriteria imperatif kategoris—bahwa sesuatu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu menjadi kewajiban bagi saya yakni sama dengan mengakui bahwa sudah sepatutnya saya melakukannya. Jadi, kewajiban itu saya iyakan dan dengan demikian beliau bukan lagi sesuatu yang dibebankan dari luar kepada saya (seperti tadi sudah dijelaskan: yang saya taati alasannya yakni saya takut, atau mencari untung dan sebagainya, bukan alasannya yakni saya meyakininya), melainkan aturan yang saya berikan sendiri alasannya yakni saya betul-betul sadar dan membenarkan bahwa saya harus bertindak begitu.
Lepas dari argumentasi Kant yang cukup ruwet, dan biar maksud Kant menjadi lebih jelas, ada baiknya kita sekedar merefleksikan kewajaran posisi Kant. Atau lebih tepat, merefleksikan bahwa, sebaliknya, tidak masuk akal insan menaati aturan atau peraturan apa pun yang prinsipnya tidak sanggup diakuinya sendiri. Bisa saja saya menganggap suatu peraturan kemudian lintas salah, atau bodoh, atau tidak perlu.
Namun, bahwa negara harus memutuskan peraturan kemudian lintas yang berlaku bagi semua, bahwa mustahil negara bertanya kepada segenap warga negara dulu apakah ia keberatan atau tidak, dan bahwa oleh alasannya yakni itu wajarlah ada peraturan kemudian lintas dan wajarlah kita mau tak mau harus menaatinya, itu semua sanggup kita setujui. Dengan demikian, peraturan itu bukan lagi sesuatu yang heteronom, melainkan otonom alasannya yakni saya mengakui perlunya. Sebaliknya, memaksakan sesuatu kehendak kepada orang sampaumur tanpa mengajak pengertian dan persetujuan dasar, semata-mata alasannya yakni kita bisa mengancam atau membujuk, secara moral bersifat rendah.
Seperti ditulis Otfried Hoffe, “pendasaran tindakan dalam otonomi menunjukkan ketajaman gres kepada rasionalitas dan tanggung jawab praktek. Bukan yang pada hasilnya ditentukan oleh kekuatan dorongan dan hawa nafsu, perasaan simpati dan antipati atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada, juga bukan yang mencari sarana terbaik untuk mencapai sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan dialah yang bertindak betul-betul rasional. Dalam arti setepatnya paham itu, yaitu dalam arti moral, orang hanya bertanggung jawab apabila ia mengikuti patokan-patokan hidup yang berasal dari kehendak otonom dan bukan heteronom”, jadi yang diyakini sendiri.
Sikap otonom tidak berarti menyangkal bahwa kita memiliki kebutuhan dan banyak sekali ketergantungan pribadi, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, tetapi berarti menyangkal bahwa kita ditentukan olehnya. Berhadapan dengan kondisi-kondisi itu, kita menentukan apa yang kita yakini sendiri sebagai sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab kita.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Immanuel Kant
2. Immanuel Kant (1724-1804 M)
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Apa itu Moralitas?
5. Immanuel Kant. Imperatif Kategoris
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat
Kant mulai dengan menyingkirkan semua prinsip (maksim) yang berasal dari kehendak yang tidak bermoral. Semua prinsip ini, alasannya yakni tidak ditetapkan oleh kehendak sendiri, melainkan mendahuluinya dan mau menentukannya dari luar, bersifat Heteronom. Artinya, di sini kehendak berhadapan dengan aturan yang bukan hukumnya sendiri (heteros=lain, nomos=hukum). Di sini termasuk semua objek, keadaan, atau acara yang diinginkan alasannya yakni menjanjikan nikmat, apakah itu perasaan-perasaan lezat dan tidak lezat (yang mau dihindari), perasaan moral, perhatian kepada kepentingan sendiri, juga tuntutan kesempurnaan realitas (sebagaimana menjadi prinsip Stoa*), segala apa yang dilakukan alasannya yakni tunduk kepada pihak lain, contohnya alasannya yakni kita takut atau mengharapkan ganjaran, atau yang dilakukan untuk menjadi bahagia. Semua motivasi itu oleh Kant ditolak sebagai heteronom dan bertentangan dengan hakikat moralitas.
Kant bukan hanya berpikir ihwal perasaan-perasaan jasmani menyerupai makan, minum, seksualitas, melainkan juga kegembiraan rohani sebagaimana kita mengalaminya dalam acara yang kreatif atau apabila kita menciptakan bangga orang lain. Kant juga menyatakan bahwa orang yang hanya menaati perintah-perintah Allah alasannya yakni ia mau mendapatkan pahala dan masuk surga, atau alasannya yakni takut neraka, tidak bersifat moral alasannya yakni itu tidak pantas. Adapun kebahagiaan mustahil menjadi prinsip moralitas alasannya yakni pencapaiannya tergantung pada faktor-faktor empiris.
Semua pertimbangan heteronom dari luar itu oleh Kant disebut Materi Kehendak. Begitu bahan menentukan kehendak, bahan apa pun, kehendak berada di bawah aturan dari luar dan oleh alasannya yakni itu terkena heteronomi dan tidak lagi berstatus moral alasannya yakni tidak lagi universal dan tak bersyarat.
Apabila segenap bahan ditolak sebagai unsur penentu kehendak moral, hanya tinggal satu, yaitu Formanya atau bentuknya. Kehendak otonom yakni kehendak yang semata-mata ditentukan oleh bentuk prinsip-prinsipnya. Apa yang dimaksud dengan Bentuk prinsip tindakan? Bentuk prinsip tindakan yakni keharusan atau hukum—sebagaimana telah kita sanggup dalam imperatif kategoris. Dengan lain kata, kehendak otonom hanya mengakui diri berada di bawah keharusan yang berasal dari aturan atau kewajiban yang disadari dan diakuinya sendiri sebagai aturan dan kewajibannya. Apa yang disadari sebagai kewajiban, itulah yang dilakukan kehendak otonom.
Jadi, otonomi, atau sumbangan aturan kepada dirinya sendiri, tidak bermaksud seperti orang seenaknya sanggup menentukan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang bukan. Melainkan, insan melalui logika kebijaksanaan mudah murni menyadari—menurut kriteria imperatif kategoris—bahwa sesuatu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu menjadi kewajiban bagi saya yakni sama dengan mengakui bahwa sudah sepatutnya saya melakukannya. Jadi, kewajiban itu saya iyakan dan dengan demikian beliau bukan lagi sesuatu yang dibebankan dari luar kepada saya (seperti tadi sudah dijelaskan: yang saya taati alasannya yakni saya takut, atau mencari untung dan sebagainya, bukan alasannya yakni saya meyakininya), melainkan aturan yang saya berikan sendiri alasannya yakni saya betul-betul sadar dan membenarkan bahwa saya harus bertindak begitu.
Lepas dari argumentasi Kant yang cukup ruwet, dan biar maksud Kant menjadi lebih jelas, ada baiknya kita sekedar merefleksikan kewajaran posisi Kant. Atau lebih tepat, merefleksikan bahwa, sebaliknya, tidak masuk akal insan menaati aturan atau peraturan apa pun yang prinsipnya tidak sanggup diakuinya sendiri. Bisa saja saya menganggap suatu peraturan kemudian lintas salah, atau bodoh, atau tidak perlu.
Seperti ditulis Otfried Hoffe, “pendasaran tindakan dalam otonomi menunjukkan ketajaman gres kepada rasionalitas dan tanggung jawab praktek. Bukan yang pada hasilnya ditentukan oleh kekuatan dorongan dan hawa nafsu, perasaan simpati dan antipati atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada, juga bukan yang mencari sarana terbaik untuk mencapai sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan dialah yang bertindak betul-betul rasional. Dalam arti setepatnya paham itu, yaitu dalam arti moral, orang hanya bertanggung jawab apabila ia mengikuti patokan-patokan hidup yang berasal dari kehendak otonom dan bukan heteronom”, jadi yang diyakini sendiri.
Sikap otonom tidak berarti menyangkal bahwa kita memiliki kebutuhan dan banyak sekali ketergantungan pribadi, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, tetapi berarti menyangkal bahwa kita ditentukan olehnya. Berhadapan dengan kondisi-kondisi itu, kita menentukan apa yang kita yakini sendiri sebagai sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab kita.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Immanuel Kant
2. Immanuel Kant (1724-1804 M)
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Apa itu Moralitas?
5. Immanuel Kant. Imperatif Kategoris
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat
Belum ada Komentar untuk "Immanuel Kant. Otonomi Kehendak"
Posting Komentar