Arthur Schopenhauer. Etika
Titik tolak budbahasa Schopenhauer yakni situasi di mana insan menemukan diri. Situasi itu pada hakikatnya ditandai oleh penderitaan yang tak ada putus-putusnya. Hidup yakni Menderita. Seluruh pesimisme Schopenhauer terungkap dalam gaya Schopenhauer melukiskan keadaan itu. Sumber penderitaan yakni bahwa kita tidak pernah merasa tenang, tidak pernah puas. Kita penuh kerinduan, hasrat, harapan, dan kekhawatiran. Begitu sebuah tujuan tercapai, kita merasa kosong. Tak ada tujuan yang sanggup memuaskan kita. Apabila kita sampai, kita merasa bosan; apabila kita tidak sampai, kita kecewa. Kita bergerak antara penderitaan dan perasaan bosan.
Dinamika kehendak kita selalu merentangkan diri ke tujuan-tujuan baru. Kita senantiasa resah. Dasar keresahan kita yakni ketidaksesuaian dinamika kehendak yang semesta dengan tujuan-tujuan empiris yang terbatas, yang kepadanya kehendak kita arahkan. Karena itu, setiap tujuan yang telah tercapai terasa dingin dan mengecewakan. Karena dinamika kita yakni pembagian terstruktur mengenai kehendak transendental yang menyeluruh, tak mungkin kita menemukan kepuasan di alam fenomenal. Karena itu, kita juga tidak pernah sanggup bahagia.
Ketidakseimbangan hakiki itu yakni titik tolak budbahasa Schopenhauer. Berhadapan dengan situasi itu budbahasa bertanya: bagaimana kita sanggup bebas dari penderitaan itu? Karena penderitaan itu akhir ketergantungan kita pada dinamika kehendak dalam diri kita, pertanyaan itu sanggup dirumuskan begini: bagaimana kita sanggup lepas dari perbudakan keinginan dan kecondongan-kecondongan yang tak mau hening dalam diri kita itu? Etika Schopenhauer yakni Etika Penebusan; ia mau menebus kita dari penderitaan.
Untuk penebusan itu, Schopenhauer memperlihatkan dua jalan: yang pertama hanya untuk sementara, yang kedua sebagai jalan definitif. Yang pertama yakni seni. Orang genial, sang jenius, bisa untuk kontemplasi estetik. Tanpa pamrih, ia memandang karya seni. Melalui kemampuan imajinasi pemandangan estetik itu membukanya terhadap idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni. Kontemplasi estetik tanpa pamrih merenggut orang genial dari cengkeraman keinginan dan kecondongan yang mengacaukan itu. Di sini Schopenhauer kembali kepada impian filsafat Yunani wacana theoria, pemandangan idea-idea dan realitas awet yang oleh Aristoteles* dan Plato* dianggap aktivitas paling luhur yang sanggup dicapai manusia. Schopenhauer memang secara eksplisit mengacu kepada Plato*. Dapat ditambahkan bahwa puncak pengalaman estetik bagi Schopenhauer yakni musik. Melalui musik kehendak semesta eksklusif bicara kepada kita. Seakan-akan cabang seni lain hanya mengatakan konsep-konsep pengertian kepada kita, sedangkan dalam musik realitas di belakang konsep-konsep itu secara eksklusif memperlihatkan diri. Inilah gagasan Schopenhauer yang paling mengesan pada komponis besar Richard Wagner.
Bagaimana idea-idea itu sanggup ditempatkan ke dalam kerangka metafisikanya di mana segala-galanya jadinya hanya satu, yaitu kehendak, memang tidak menjadi jelas. Dapat diandaikan bahwa Schopenhauer tidak peduli akan konsistensi sistemnya. Ia terkesan oleh theoria estetis dan oleh lantaran itu menggambarkannya meskipun sulit diubahsuaikan dengan kerangka pola teoretisnya.
Namun, kontemplasi estetik memang hanya mungkin untuk sementara waktu saja (sebagaiman sudah diketahui Aristoteles*). Ia sanggup seperti untuk sementara melindungi kita terhadap prahara keresahan dorongan dan keinginan, tetapi kita tidak sanggup mengunci diri di dalamnya untuk selamanya. Jalan aktual keluar dari penderitaan harus menghadapi tantangan keresahan itu secara langsung. Bagaimana situasi kita kalau kita berani melihatnya tanpa tedeng aling-aling?
Dilihat secara terbuka insan itu budak kehendak, dan kehendak itu yakni sama dengan kehendak dan dorongan yang kita saksikan di seluruh alam, kehendak untuk hidup. Kita mau hidup, itulah kesalahan kita; itulah sumber segala keresahan. Kita yakni budak dari kehendak untuk hidup. Itulah sebabnya kita tak pernah “sampai”; kita harus bergerak terus lantaran berhenti dan menikmati berarti mati. Kehendak transendental yang terjabarkan dalam segala gerakan dan dorongan hidup di alam itulah yang terus-menerus mendesak kita, yang menciptakan kita tidak sanggup tenang, yang menjadi sumber penderitaan. Hakikat kehidupan yakni penderitaan lantaran kehidupan yakni ketaktersampaian. Hidup berarti maju terus (dan kita sanggup membayangkan bahwa hewan yang akan mati pun masih kurang jelas mau bergerak dan merentangkan diri, seperti dorongan mendalam itu masih tidak mau mendapatkan bahwa ia akan berakhir). Sumber segala musibah yakni hidup itu sendiri. Hidup sendiri, dalam bahasa Schopenhauer, yakni “dosa asal”.
Oleh lantaran itu, bagi makhluk yang cendekia budi hanya ada satu jalan keluar (yang bagi hewan tercapai dengan sendirinya; lantaran makhluk tak cendekia budi tidak sanggup merefleksikan dirinya, pertentangan dasar eksistensi antara gapaian hati yang mencari tujuan terakhir dan dorongan instingtual yang tak pernah kesampaian, sumber penderitaan kita, tidak dihayatinya, maka ia secara subjektif tidak menderita): penolakan terhadap kehendak untuk hidup! Penebusan insan yakni penyangkalan diri. Kita harus berhenti mau hidup.
Analisis Schopenhauer ini memperlihatkan betapa ia mengagumi dan mengikuti insight dasar Sang Gautama Buddha. Sang Buddha memang mengajarkan penebusan melalui penyangkalan kehendak sendiri. Dengan melepaskan kehendak sendiri dengan tenang, insan menemukan ketenangan, ia masuk keadaan moksha atau nirwana.
Bagaimana insan sanggup hingga pada kesadaran bahwa ia perlu menyangkal diri? Dengan memahami principium individuationis tadi, Prinsip Individuasi, dengan memahami bahwa segala kemajemukan di alam fenomenal—yang bagi insan yang polos yakni identik dengan realitas, sedangkan sang filsuf memahaminya sebagai fenomenal, artinya sebagai bayangan atau pengungkapan alam noumenal—hanyalah pembagian terstruktur mengenai kehendak transendental yang ada di belakangnya. Artinya kita memahami bahwa secara metafisik atau noumenal tidak ada kemajemukan sama sekali, melainkan hanya ada kesatuan. Kita memahami bahwa eksistensi individual kita sendiri hanya fenomenal, hanya berupa bayangan, dan bukan definitif. Dengan demikian, kita sekaligus menemukan diri dalam sesama manusia. Secara noumenal, kita ini satu dengan mereka. Aku tidak mempunyai keunggulan terhadap sesamaku, saya yakni saudaranya yang sederajat, dan ia yakni saudaraku.
Kesadaran ini membebaskan kita dari pamrih. Kita melihat bahwa tak ada dasar untuk lebih mendahulukan kita daripada sesama. Kita melihat bahwa malahan lebih sempurna kalau kita mendahulukan saudara lantaran dengan demikian kita semakin lepas dari diri kita sendiri, jadi semakin bebas, bebas pula dari penderitaan. Hal ini sanggup dibayangkan begini: kalau kita betul-betul meminati sesama—kita bangga kalau ia gembira, menderita kalau ia menderita—penderitaan dan frustrasi kita sendiri akan kehilangan kepahitannya, menjadi kurang penting, jadi kita de facto lebih bebas dari penderitaan.
Di sini sekali lagi Schopenhauer mengikuti Sang Buddha. Bagi Sang Buddha, keutamaan terpenting—terpenting lantaran paling ampuh dalam membebaskan kita—adalah perilaku belas kasih. Menurut Schopenhauer, kesadaran bahwa kita semua sama, semua saudara, akan terungkap dalam keadilan dan belas kasih; keadilan lantaran kita akan memperlakukan saudara kita sama dengan diri kita sendiri, dan belas kasih lantaran kita ikut mencicipi dengan saudara. Bagi Schopenhauer, perilaku belas kasih yakni dasar moralitas. Dalam bahasa Schopenhauer, melalui perasaan belas kasih—yang juga menyangkut binatang—kita menembus selubung Sang Maya, kefanaan; kita hingga pada realitas yang sebenarnya, kita menjadi nyata.
Dengan mengikuti agama Kristen—yang dipahami melalui kacamata Buddhisme—Schopenhauer membedakan antara kasih sayang dalam arti agape atau caritas dan cinta dalam arti eros dan amor. Agape yakni cinta tanpa pamrih, cinta berbelas kasih. Adapun eros yakni cinta yang mau memiliki; jadi eros hanyalah ungkapan egoisme, nafsu yang mencari dirinya sendiri. Eros memperbudak; agape membebaskan.
Dengan memahami prinsip individuasi kita menembus “selubung Maya” dan hingga pada realitas noumenal, realitas sebenarnya. Dengan demikian, kita juga melihat diri kita secara benar; kita yang selalu menganggap diri sebagai sentra dunia (egoisme kita yang alami) ternyata tidak berarti, tidak mempunyai keistimewaan sama sekali. Karena itu, kita akan “kaget” terhadap keadaan kita yang palsu itu; kita akan mencicipi horror terhadap diri kita sendiri; kita menyadari bahwa jalan ke kebenaran dan kebebasan yakni penyangkalan diri. Jadi, dan itu pun mengikuti Sang Buddha, perilaku belas kasih disertai oleh perilaku penyangkalan diri. Karena itu, budbahasa menuntut semoga insan melaksanakan matiraga, semoga ia bertapa. Dengan demikian, ia membebaskan diri dari keterikatan pada dirinya sendiri.
Lalu apa? Melalui perilaku berbelas kasih dan penyangkalan diri, orang menyertai proses pelepasan alami yang tak terhindari. Kita akan mati, tetapi secara lepas bebas, tidak sebagai pengalaman yang menentang. Dalam janjkematian insan individual menghilang, tanpa jejak, kembali ke kehendak semesta, menyerupai setetes air menyatu dalam air samudra tanpa jejak. Ia masuk nirwana, tetapi surga itu, sesuai dengan nirwana Sang Buddha, bukanlah surga, melainkan ketiadaan sebagai eksistensi individual.
Mengapa tidak membunuh diri saja? Schopenhauer menolak bunuh diri. Ia menganggap bunuh diri sebagai tindakan yang dimotivasi oleh ketakutan, justru bukan penjelmaan perilaku pelepasan diri. Bunuh diri merupakan pemaksaan, tidak melepaskan kehendak individual, melainkan mau memenangkannya terhadap kehendak transendental, maka bukan merupakan jalan pembebasan dari penderitaan (meskipun kalau sudah berhasil membunuh diri, kita habis dan dengan demikian tentu tidak menderita lagi; Schopenhauer tidak mengenal anutan reinkarnasi).
Sebagai epilog uraian wacana budbahasa Schopenhauer, kita melihat sebentar kritiknya terhadap budbahasa Kant*. Schopenhauer menolak budbahasa Kant dengan tajam. Ada dua butir dalam kritik itu yang cukup menarik. Yang pertama, Schopenhauer mengkritik formalisme Kant*. Menurut Schopenhauer, Kant sama sekali tidak mengenal nilai-nilai moral. Apakah kritik itu kena, masih perlu dipertanyakan. Namun, maksud Schopenhauer cukup jelas: kalau hanya kewajibanlah yang ditekankan, buat apa orang kemudian hidup secara moral? Di mana rasionalitasnya? Schopenhauer sendiri sanggup menjawab pertanyaan itu: rasionalitas etikanya terletak dalam kebebasan dari penderitaan yang dijanjikan. Kritik kedua Schopenhauer terhadap budbahasa Kant* yakni bahwa Kant, sehabis memurnikan budbahasa terhadap eudemonisme melalui formalisme itu, menyelundupkan kembali eudemonisme itu ke dalamnya melalui pintu belakang lantaran ia mengakui bahwa tanpa idea kebahagiaan (yang merupakan postulat nalar budi mudah ketiga), moralitas tidak masuk akal. Schopenhauer menegaskan bahwa budbahasa harus higienis dari harapan atas ganjaran: budbahasa itu semata-mata perilaku heroik orang yang menyadari bahwa kehidupannya sendirilah kesalahan terbesar dan oleh lantaran itu bersedia memusuhinya. Moralitas berdasarkan Schopenhauer yakni Musuh Kehidupan; memang seharusnya begitu, dan hal itu hendaknya jangan dicairkan kembali dengan melirik ganjaran di hidup akhirat.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Arthur Schopenhauer
2. Schopenhauer
3. Arthur Schopenhauer. Dunia sebagai Kehendak dan Bayangan
Ketidakseimbangan hakiki itu yakni titik tolak budbahasa Schopenhauer. Berhadapan dengan situasi itu budbahasa bertanya: bagaimana kita sanggup bebas dari penderitaan itu? Karena penderitaan itu akhir ketergantungan kita pada dinamika kehendak dalam diri kita, pertanyaan itu sanggup dirumuskan begini: bagaimana kita sanggup lepas dari perbudakan keinginan dan kecondongan-kecondongan yang tak mau hening dalam diri kita itu? Etika Schopenhauer yakni Etika Penebusan; ia mau menebus kita dari penderitaan.
Untuk penebusan itu, Schopenhauer memperlihatkan dua jalan: yang pertama hanya untuk sementara, yang kedua sebagai jalan definitif. Yang pertama yakni seni. Orang genial, sang jenius, bisa untuk kontemplasi estetik. Tanpa pamrih, ia memandang karya seni. Melalui kemampuan imajinasi pemandangan estetik itu membukanya terhadap idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni. Kontemplasi estetik tanpa pamrih merenggut orang genial dari cengkeraman keinginan dan kecondongan yang mengacaukan itu. Di sini Schopenhauer kembali kepada impian filsafat Yunani wacana theoria, pemandangan idea-idea dan realitas awet yang oleh Aristoteles* dan Plato* dianggap aktivitas paling luhur yang sanggup dicapai manusia. Schopenhauer memang secara eksplisit mengacu kepada Plato*. Dapat ditambahkan bahwa puncak pengalaman estetik bagi Schopenhauer yakni musik. Melalui musik kehendak semesta eksklusif bicara kepada kita. Seakan-akan cabang seni lain hanya mengatakan konsep-konsep pengertian kepada kita, sedangkan dalam musik realitas di belakang konsep-konsep itu secara eksklusif memperlihatkan diri. Inilah gagasan Schopenhauer yang paling mengesan pada komponis besar Richard Wagner.
Bagaimana idea-idea itu sanggup ditempatkan ke dalam kerangka metafisikanya di mana segala-galanya jadinya hanya satu, yaitu kehendak, memang tidak menjadi jelas. Dapat diandaikan bahwa Schopenhauer tidak peduli akan konsistensi sistemnya. Ia terkesan oleh theoria estetis dan oleh lantaran itu menggambarkannya meskipun sulit diubahsuaikan dengan kerangka pola teoretisnya.
Namun, kontemplasi estetik memang hanya mungkin untuk sementara waktu saja (sebagaiman sudah diketahui Aristoteles*). Ia sanggup seperti untuk sementara melindungi kita terhadap prahara keresahan dorongan dan keinginan, tetapi kita tidak sanggup mengunci diri di dalamnya untuk selamanya. Jalan aktual keluar dari penderitaan harus menghadapi tantangan keresahan itu secara langsung. Bagaimana situasi kita kalau kita berani melihatnya tanpa tedeng aling-aling?
Dilihat secara terbuka insan itu budak kehendak, dan kehendak itu yakni sama dengan kehendak dan dorongan yang kita saksikan di seluruh alam, kehendak untuk hidup. Kita mau hidup, itulah kesalahan kita; itulah sumber segala keresahan. Kita yakni budak dari kehendak untuk hidup. Itulah sebabnya kita tak pernah “sampai”; kita harus bergerak terus lantaran berhenti dan menikmati berarti mati. Kehendak transendental yang terjabarkan dalam segala gerakan dan dorongan hidup di alam itulah yang terus-menerus mendesak kita, yang menciptakan kita tidak sanggup tenang, yang menjadi sumber penderitaan. Hakikat kehidupan yakni penderitaan lantaran kehidupan yakni ketaktersampaian. Hidup berarti maju terus (dan kita sanggup membayangkan bahwa hewan yang akan mati pun masih kurang jelas mau bergerak dan merentangkan diri, seperti dorongan mendalam itu masih tidak mau mendapatkan bahwa ia akan berakhir). Sumber segala musibah yakni hidup itu sendiri. Hidup sendiri, dalam bahasa Schopenhauer, yakni “dosa asal”.
Oleh lantaran itu, bagi makhluk yang cendekia budi hanya ada satu jalan keluar (yang bagi hewan tercapai dengan sendirinya; lantaran makhluk tak cendekia budi tidak sanggup merefleksikan dirinya, pertentangan dasar eksistensi antara gapaian hati yang mencari tujuan terakhir dan dorongan instingtual yang tak pernah kesampaian, sumber penderitaan kita, tidak dihayatinya, maka ia secara subjektif tidak menderita): penolakan terhadap kehendak untuk hidup! Penebusan insan yakni penyangkalan diri. Kita harus berhenti mau hidup.
Analisis Schopenhauer ini memperlihatkan betapa ia mengagumi dan mengikuti insight dasar Sang Gautama Buddha. Sang Buddha memang mengajarkan penebusan melalui penyangkalan kehendak sendiri. Dengan melepaskan kehendak sendiri dengan tenang, insan menemukan ketenangan, ia masuk keadaan moksha atau nirwana.
Bagaimana insan sanggup hingga pada kesadaran bahwa ia perlu menyangkal diri? Dengan memahami principium individuationis tadi, Prinsip Individuasi, dengan memahami bahwa segala kemajemukan di alam fenomenal—yang bagi insan yang polos yakni identik dengan realitas, sedangkan sang filsuf memahaminya sebagai fenomenal, artinya sebagai bayangan atau pengungkapan alam noumenal—hanyalah pembagian terstruktur mengenai kehendak transendental yang ada di belakangnya. Artinya kita memahami bahwa secara metafisik atau noumenal tidak ada kemajemukan sama sekali, melainkan hanya ada kesatuan. Kita memahami bahwa eksistensi individual kita sendiri hanya fenomenal, hanya berupa bayangan, dan bukan definitif. Dengan demikian, kita sekaligus menemukan diri dalam sesama manusia. Secara noumenal, kita ini satu dengan mereka. Aku tidak mempunyai keunggulan terhadap sesamaku, saya yakni saudaranya yang sederajat, dan ia yakni saudaraku.
Kesadaran ini membebaskan kita dari pamrih. Kita melihat bahwa tak ada dasar untuk lebih mendahulukan kita daripada sesama. Kita melihat bahwa malahan lebih sempurna kalau kita mendahulukan saudara lantaran dengan demikian kita semakin lepas dari diri kita sendiri, jadi semakin bebas, bebas pula dari penderitaan. Hal ini sanggup dibayangkan begini: kalau kita betul-betul meminati sesama—kita bangga kalau ia gembira, menderita kalau ia menderita—penderitaan dan frustrasi kita sendiri akan kehilangan kepahitannya, menjadi kurang penting, jadi kita de facto lebih bebas dari penderitaan.
Di sini sekali lagi Schopenhauer mengikuti Sang Buddha. Bagi Sang Buddha, keutamaan terpenting—terpenting lantaran paling ampuh dalam membebaskan kita—adalah perilaku belas kasih. Menurut Schopenhauer, kesadaran bahwa kita semua sama, semua saudara, akan terungkap dalam keadilan dan belas kasih; keadilan lantaran kita akan memperlakukan saudara kita sama dengan diri kita sendiri, dan belas kasih lantaran kita ikut mencicipi dengan saudara. Bagi Schopenhauer, perilaku belas kasih yakni dasar moralitas. Dalam bahasa Schopenhauer, melalui perasaan belas kasih—yang juga menyangkut binatang—kita menembus selubung Sang Maya, kefanaan; kita hingga pada realitas yang sebenarnya, kita menjadi nyata.
Dengan mengikuti agama Kristen—yang dipahami melalui kacamata Buddhisme—Schopenhauer membedakan antara kasih sayang dalam arti agape atau caritas dan cinta dalam arti eros dan amor. Agape yakni cinta tanpa pamrih, cinta berbelas kasih. Adapun eros yakni cinta yang mau memiliki; jadi eros hanyalah ungkapan egoisme, nafsu yang mencari dirinya sendiri. Eros memperbudak; agape membebaskan.
Dengan memahami prinsip individuasi kita menembus “selubung Maya” dan hingga pada realitas noumenal, realitas sebenarnya. Dengan demikian, kita juga melihat diri kita secara benar; kita yang selalu menganggap diri sebagai sentra dunia (egoisme kita yang alami) ternyata tidak berarti, tidak mempunyai keistimewaan sama sekali. Karena itu, kita akan “kaget” terhadap keadaan kita yang palsu itu; kita akan mencicipi horror terhadap diri kita sendiri; kita menyadari bahwa jalan ke kebenaran dan kebebasan yakni penyangkalan diri. Jadi, dan itu pun mengikuti Sang Buddha, perilaku belas kasih disertai oleh perilaku penyangkalan diri. Karena itu, budbahasa menuntut semoga insan melaksanakan matiraga, semoga ia bertapa. Dengan demikian, ia membebaskan diri dari keterikatan pada dirinya sendiri.
Lalu apa? Melalui perilaku berbelas kasih dan penyangkalan diri, orang menyertai proses pelepasan alami yang tak terhindari. Kita akan mati, tetapi secara lepas bebas, tidak sebagai pengalaman yang menentang. Dalam janjkematian insan individual menghilang, tanpa jejak, kembali ke kehendak semesta, menyerupai setetes air menyatu dalam air samudra tanpa jejak. Ia masuk nirwana, tetapi surga itu, sesuai dengan nirwana Sang Buddha, bukanlah surga, melainkan ketiadaan sebagai eksistensi individual.
Mengapa tidak membunuh diri saja? Schopenhauer menolak bunuh diri. Ia menganggap bunuh diri sebagai tindakan yang dimotivasi oleh ketakutan, justru bukan penjelmaan perilaku pelepasan diri. Bunuh diri merupakan pemaksaan, tidak melepaskan kehendak individual, melainkan mau memenangkannya terhadap kehendak transendental, maka bukan merupakan jalan pembebasan dari penderitaan (meskipun kalau sudah berhasil membunuh diri, kita habis dan dengan demikian tentu tidak menderita lagi; Schopenhauer tidak mengenal anutan reinkarnasi).
Sebagai epilog uraian wacana budbahasa Schopenhauer, kita melihat sebentar kritiknya terhadap budbahasa Kant*. Schopenhauer menolak budbahasa Kant dengan tajam. Ada dua butir dalam kritik itu yang cukup menarik. Yang pertama, Schopenhauer mengkritik formalisme Kant*. Menurut Schopenhauer, Kant sama sekali tidak mengenal nilai-nilai moral. Apakah kritik itu kena, masih perlu dipertanyakan. Namun, maksud Schopenhauer cukup jelas: kalau hanya kewajibanlah yang ditekankan, buat apa orang kemudian hidup secara moral? Di mana rasionalitasnya? Schopenhauer sendiri sanggup menjawab pertanyaan itu: rasionalitas etikanya terletak dalam kebebasan dari penderitaan yang dijanjikan. Kritik kedua Schopenhauer terhadap budbahasa Kant* yakni bahwa Kant, sehabis memurnikan budbahasa terhadap eudemonisme melalui formalisme itu, menyelundupkan kembali eudemonisme itu ke dalamnya melalui pintu belakang lantaran ia mengakui bahwa tanpa idea kebahagiaan (yang merupakan postulat nalar budi mudah ketiga), moralitas tidak masuk akal. Schopenhauer menegaskan bahwa budbahasa harus higienis dari harapan atas ganjaran: budbahasa itu semata-mata perilaku heroik orang yang menyadari bahwa kehidupannya sendirilah kesalahan terbesar dan oleh lantaran itu bersedia memusuhinya. Moralitas berdasarkan Schopenhauer yakni Musuh Kehidupan; memang seharusnya begitu, dan hal itu hendaknya jangan dicairkan kembali dengan melirik ganjaran di hidup akhirat.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Arthur Schopenhauer
2. Schopenhauer
3. Arthur Schopenhauer. Dunia sebagai Kehendak dan Bayangan
Belum ada Komentar untuk "Arthur Schopenhauer. Etika"
Posting Komentar