Aliran Filsafat. Pragmatisme
Istilah pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “Isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya, yaitu aliran atau anutan atau paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti anutan yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya ialah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan kata lain, suatu teori ialah benar if it works (apabila teori sanggup diaplikasikan). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat biar filsafat sanggup menjadi ilmiah dan mempunyai kegunaan bagi kehidupan mudah manusia. Sehubungan dengan perjuangan tersebut, pragmatisme kesudahannya berubah menjadi suatu metode untuk memecahkan banyak sekali perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat semenjak zaman Yunani kuno (Guy W. Stroh:1968).
Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar terhadap budaya Amerika dari lewat kurun ke-19 hingga kini. Falsafah in telah dipengaruhi oleh teori Charles Darwin* dengan teori evolusinya dan Albert Enstein dengan teori relativitasnya. Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi dan sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan irasionalisme. Idea tradisional telah menyampaikan bumi ini tetap dan insan mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni, sementara nihilisme dan irasionalisme ialah menolak semua dugaan dan ketentuan. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metode yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi mudah dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme ialah suatu filsafat wacana tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan insan menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini.
Karena metode yang digunakan sangat terkenal untuk digunakan dalam mengambil keputusan melaksanakan tindakan tertentu, dan menyangkut pengalaman insan sendiri, filsafat ini pun segera menjadi populer. Filsafat yang berkembang di Amerika pada kurun ke-19 ini sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya menyerupai Charles Sander Peirce, William James*, dan John Dewey* menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat memengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.
Namun, filsafat ini kesudahannya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melaksanakan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, lantaran filsafat ini merupakan filsafat yang klas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model mudah Amerika. Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, inspirasi atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melaksanakan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak sanggup dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama insan mempunyai inspirasi atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan inspirasi atau keyakinan itu, insan mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi inspirasi atau keyakinan tadi.
Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak sanggup diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain ialah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi mudah dari tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini, pragmatisme tidak lain ialah suatu metode untuk memilih konsekuensi mudah dari suatu inspirasi atau tindakan. Karena itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat wacana tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus menunjukkan tanggapan terakhir atas masalah-masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha memilih konsekuensi mudah dari masalah-masalah itu, bukan menunjukkan tanggapan final atas masalah-masalah itu.
Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang menunjukan dirinya sebagai yang benar dengan memerhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh aliran ini ialah William James*. Ia termasuk tokoh sangat kuat di Amerika Serikat. Tokoh lainnya ialah John Dewey*, Charles Sanders Peirce, dan F.C.S. Schiller.
Bagi William James* (1842-1910), pengertian atau putusan itu benar jikalau pada praktik sanggup dipergunakan. Putusan yang tidak sanggup dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jikalau terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jikalau bertindak dalam lingkungan ilmu, seni, dan agama. Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Dalam bidang tersebut ia berhasil membantah pemikiran usang wacana kesadaran. Di dalam filsafat, kata James*, nalar dengan segala perbuatannya ditaklukkan perbuatan. Ia tak lebih pemberi isu bagi praktik hidup dan sebagai pembuka jalan gres bagi perbuatan-perbuatan kita.
Dalam bukunya The Meaning of Truth, James* mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari nalar yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu disebabkan lantaran dalam perkembangannya ia sanggup dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Pemikiran James* ternyata juga sejalan dengan pemikiran John Dewey*. Bagi Dewey*, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia mengalami kesulitan maka ia segera akan menghadapi kesulitan dengan mencari solusinya. Kegiatan berpikir tersebut merupakan salah satu acara untuk mengubah keadaan sebelumnya menuju keadaan berikutnya.
Pandangan Dewey* mengenai filsafat sangat terang bahwa filsafat memberi efek global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pengalaman, mengusut dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis. Oleh lantaran itu, filsafat dihentikan karam dalam pemikiran yang metafisis. Lanjut Dewey*, pemikiran kita intinya berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman.
Menurut Dewey*, penyelidikan ialah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh lantaran itu, penyelidikan dengan penilaiannya ialah alat (instrumental). Makara yang dimaksud dengan instrumentalisme ialah suatu perjuangan untuk menyusun suatu teori yang logis dan sempurna dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang majemuk itu. Muara dari semua proses tersebut ialah apa yang pada kesudahannya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Pada tokoh Dewey* ini, Sutrisno menjelaskan bahwa berlainan dengan gaya empirisme James, Dewey juga termasuk tokoh empirisme yang bersangkutan pula dengan pragmatisme. Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” diterangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey* nalar budi bukanlah satu-satunya pemrosesan istimewa dari realitas objektif secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pengakalan perbedaan antara subjek yang memandang objek. Dewey* lebih mau memandang proses intelektual insan sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey*, nalar budi ialah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan pancaindra pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, insan mula-mula bertindak berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.
Dewey* menyebut situasi kawasan insan hidup sebagai situasi problematis. Cara insan bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun nalar budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Barus sehabis orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud. Dari dasar di atas, Dewey* mempunyai gagasan wacana sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus menerus kekerabatan organisme dengan lingkungannya”.
Dari pandangan tersebut kita sanggup menggolongkan Dewey* sebagai seorang empiris lantaran ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali ke pengalaman. Si subjek bergumul dengan situasi problematika yang empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses doing dan undergoing, suatu kekerabatan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey* tidak membedakan antara subjek dan objek, antara tindak dengan benda material. Meskipun demikian, di dalam pengalaman kedua hal tadi tercakup dalam ketotalan yang manfaat.
Dalam menunjukkan patokan wacana kebenaran, Dewey* mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila sanggup diterapkan dan dilaksanakan berdasarkan tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus ditafsirkan dalam konteks Dewey*, yaitu proses transformasi situasi problematis menyerupai telah diterangkan di atas (Sutrisno, 1977:99). Seperti apa yang telah dijelaskan wacana gagasan atau anutan Peirce terhadap pragmatisme di atas. Horton dan Edwards di dalam buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme:
a. Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bekerjsama tidak lebih daripada kemurnian opini manusia
b. Bahwa apa yang kita namakan “universal” ialah opini-opini yang pada kesudahannya baiklah dan mendapatkan keyakinan dari “Community of knowers”
c. Bahwa filsafat dan matematika harus dibentuk lebih mudah dengan menunjukan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang kasatmata bagi masyarakat (komunitas).
Walaupun penggunaan istilah “universal” menunjukkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan “Pre-existing truths” di mana semua opini insan harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktif oleh kumpulan nalar (pikiran) menunjukkan William James* dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James* mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti, dan tak sanggup diprediksi, tetapi dunia benar adanya
b. Bahwa kebenaran tidaklah menempel pada ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang digunakan dalam situasi kehidupan nyata
c. Bahwa insan bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya
d. Bahwa nilai final kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain wacana dunia kawasan kita tinggal di dalamnya (Horton dan Edwards, 1974:172)
James* telah berhasil menciptakan satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakikatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagat raya ini sebagai biro yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui intelegensia praktisnya. Semua pengalaman ialah hal yang nyata, James beropini bahwa “manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin”. Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu ialah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan dihentikan melebihinya.
Dalam buku Some Problem of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme. Menurut James*, para rasionalis ialah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris ialah orang-orang fakta. Seorang filsuf rasionalis sebagaimana dilihat James* ialah orang yang bekerja dan mengusut sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya, filsuf empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju ke menyeluruh. Ia lebih bahagia menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memusatkan suatu kebenaran yang total dan final ialah aneh bagi filsuf empiris.
Pendapat ini diperketat dengan pendapatnya wacana arti kebenaran sebagaimana terdapat dalam bukunya The Meaning of Truth (1909). Di dalamnya ia mengartikan kebenaran merupakan suatu postulat yang sanggup ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Di lain pihak siap diuji dengan diskusi. Kedua arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya, segala hal yang ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James* mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode. Suatu metode untuk memastikan atau menuntaskan kontradiksi teori A dan B.
Dengan demikian, pragmatisme James ialah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita wacana suatu objek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat mudah yang dikandung objek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekuensi praktisnya, kita sanggup melihat garis pementingan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi belakang layar umum di antara para ilmuwan dan filosof bahwa James berutang budi banyak pada Peirce. Malahan secara terang-terangan ia mengungkapkan bahwa “nilai prinsip Peirce ialah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907) ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup hingga ketika saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James* menerapkannya dalam bidang agama, hal ini kasatmata kelihatan dalam buku The Will to Believe maupun Varieties of Religious Experince (1902:98).
Last but not least, yang paling fundamental dari pembahasan aliran pragmatisme ini ialah bahwa filsafat ini dimaknai sebagai alat untuk menolong insan dalam hidup sehari-hari dan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknis (praktis). Dengan kata lain, pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting, bukan pendapat atau teori. Yang pokok ialah insan berbuat dan bukan berpikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang hanya mempunyai kegunaan untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut memperkuat dan menyebarkan hidup insan dalam praktik pelaksanaannya. Demikianlah pragmatisme beropini bahwa yang benar itu hanyalah yang memengaruhi hidup insan serta yang mempunyai kegunaan dalam praktik, yang sanggup memenuhi tuntutan hidup manusia. Filsafat pragmatisme penting diterapkan di Indonesia apalagi kita sedang hangat-hangatnya melaksanakan pembangunan nasional jangka panjang.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Dengan kata lain, suatu teori ialah benar if it works (apabila teori sanggup diaplikasikan). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat biar filsafat sanggup menjadi ilmiah dan mempunyai kegunaan bagi kehidupan mudah manusia. Sehubungan dengan perjuangan tersebut, pragmatisme kesudahannya berubah menjadi suatu metode untuk memecahkan banyak sekali perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat semenjak zaman Yunani kuno (Guy W. Stroh:1968).
Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar terhadap budaya Amerika dari lewat kurun ke-19 hingga kini. Falsafah in telah dipengaruhi oleh teori Charles Darwin* dengan teori evolusinya dan Albert Enstein dengan teori relativitasnya. Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi dan sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan irasionalisme. Idea tradisional telah menyampaikan bumi ini tetap dan insan mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni, sementara nihilisme dan irasionalisme ialah menolak semua dugaan dan ketentuan. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metode yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi mudah dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme ialah suatu filsafat wacana tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan insan menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini.
Karena metode yang digunakan sangat terkenal untuk digunakan dalam mengambil keputusan melaksanakan tindakan tertentu, dan menyangkut pengalaman insan sendiri, filsafat ini pun segera menjadi populer. Filsafat yang berkembang di Amerika pada kurun ke-19 ini sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya menyerupai Charles Sander Peirce, William James*, dan John Dewey* menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat memengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.
Namun, filsafat ini kesudahannya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melaksanakan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, lantaran filsafat ini merupakan filsafat yang klas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model mudah Amerika. Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, inspirasi atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melaksanakan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak sanggup dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama insan mempunyai inspirasi atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan inspirasi atau keyakinan itu, insan mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi inspirasi atau keyakinan tadi.
Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak sanggup diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain ialah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi mudah dari tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini, pragmatisme tidak lain ialah suatu metode untuk memilih konsekuensi mudah dari suatu inspirasi atau tindakan. Karena itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat wacana tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus menunjukkan tanggapan terakhir atas masalah-masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha memilih konsekuensi mudah dari masalah-masalah itu, bukan menunjukkan tanggapan final atas masalah-masalah itu.
Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang menunjukan dirinya sebagai yang benar dengan memerhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh aliran ini ialah William James*. Ia termasuk tokoh sangat kuat di Amerika Serikat. Tokoh lainnya ialah John Dewey*, Charles Sanders Peirce, dan F.C.S. Schiller.
Bagi William James* (1842-1910), pengertian atau putusan itu benar jikalau pada praktik sanggup dipergunakan. Putusan yang tidak sanggup dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jikalau terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jikalau bertindak dalam lingkungan ilmu, seni, dan agama. Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Dalam bidang tersebut ia berhasil membantah pemikiran usang wacana kesadaran. Di dalam filsafat, kata James*, nalar dengan segala perbuatannya ditaklukkan perbuatan. Ia tak lebih pemberi isu bagi praktik hidup dan sebagai pembuka jalan gres bagi perbuatan-perbuatan kita.
Dalam bukunya The Meaning of Truth, James* mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari nalar yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu disebabkan lantaran dalam perkembangannya ia sanggup dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Pemikiran James* ternyata juga sejalan dengan pemikiran John Dewey*. Bagi Dewey*, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia mengalami kesulitan maka ia segera akan menghadapi kesulitan dengan mencari solusinya. Kegiatan berpikir tersebut merupakan salah satu acara untuk mengubah keadaan sebelumnya menuju keadaan berikutnya.
Pandangan Dewey* mengenai filsafat sangat terang bahwa filsafat memberi efek global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pengalaman, mengusut dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis. Oleh lantaran itu, filsafat dihentikan karam dalam pemikiran yang metafisis. Lanjut Dewey*, pemikiran kita intinya berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman.
Menurut Dewey*, penyelidikan ialah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh lantaran itu, penyelidikan dengan penilaiannya ialah alat (instrumental). Makara yang dimaksud dengan instrumentalisme ialah suatu perjuangan untuk menyusun suatu teori yang logis dan sempurna dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang majemuk itu. Muara dari semua proses tersebut ialah apa yang pada kesudahannya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Pada tokoh Dewey* ini, Sutrisno menjelaskan bahwa berlainan dengan gaya empirisme James, Dewey juga termasuk tokoh empirisme yang bersangkutan pula dengan pragmatisme. Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” diterangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey* nalar budi bukanlah satu-satunya pemrosesan istimewa dari realitas objektif secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pengakalan perbedaan antara subjek yang memandang objek. Dewey* lebih mau memandang proses intelektual insan sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey*, nalar budi ialah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan pancaindra pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, insan mula-mula bertindak berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.
Dewey* menyebut situasi kawasan insan hidup sebagai situasi problematis. Cara insan bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun nalar budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Barus sehabis orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud. Dari dasar di atas, Dewey* mempunyai gagasan wacana sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus menerus kekerabatan organisme dengan lingkungannya”.
Dari pandangan tersebut kita sanggup menggolongkan Dewey* sebagai seorang empiris lantaran ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali ke pengalaman. Si subjek bergumul dengan situasi problematika yang empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses doing dan undergoing, suatu kekerabatan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey* tidak membedakan antara subjek dan objek, antara tindak dengan benda material. Meskipun demikian, di dalam pengalaman kedua hal tadi tercakup dalam ketotalan yang manfaat.
Dalam menunjukkan patokan wacana kebenaran, Dewey* mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila sanggup diterapkan dan dilaksanakan berdasarkan tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus ditafsirkan dalam konteks Dewey*, yaitu proses transformasi situasi problematis menyerupai telah diterangkan di atas (Sutrisno, 1977:99). Seperti apa yang telah dijelaskan wacana gagasan atau anutan Peirce terhadap pragmatisme di atas. Horton dan Edwards di dalam buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme:
a. Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bekerjsama tidak lebih daripada kemurnian opini manusia
b. Bahwa apa yang kita namakan “universal” ialah opini-opini yang pada kesudahannya baiklah dan mendapatkan keyakinan dari “Community of knowers”
c. Bahwa filsafat dan matematika harus dibentuk lebih mudah dengan menunjukan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang kasatmata bagi masyarakat (komunitas).
Walaupun penggunaan istilah “universal” menunjukkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan “Pre-existing truths” di mana semua opini insan harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktif oleh kumpulan nalar (pikiran) menunjukkan William James* dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James* mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti, dan tak sanggup diprediksi, tetapi dunia benar adanya
b. Bahwa kebenaran tidaklah menempel pada ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang digunakan dalam situasi kehidupan nyata
c. Bahwa insan bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya
d. Bahwa nilai final kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain wacana dunia kawasan kita tinggal di dalamnya (Horton dan Edwards, 1974:172)
James* telah berhasil menciptakan satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakikatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagat raya ini sebagai biro yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui intelegensia praktisnya. Semua pengalaman ialah hal yang nyata, James beropini bahwa “manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin”. Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu ialah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan dihentikan melebihinya.
Dalam buku Some Problem of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme. Menurut James*, para rasionalis ialah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris ialah orang-orang fakta. Seorang filsuf rasionalis sebagaimana dilihat James* ialah orang yang bekerja dan mengusut sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya, filsuf empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju ke menyeluruh. Ia lebih bahagia menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memusatkan suatu kebenaran yang total dan final ialah aneh bagi filsuf empiris.
Pendapat ini diperketat dengan pendapatnya wacana arti kebenaran sebagaimana terdapat dalam bukunya The Meaning of Truth (1909). Di dalamnya ia mengartikan kebenaran merupakan suatu postulat yang sanggup ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Di lain pihak siap diuji dengan diskusi. Kedua arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya, segala hal yang ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James* mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode. Suatu metode untuk memastikan atau menuntaskan kontradiksi teori A dan B.
Dengan demikian, pragmatisme James ialah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita wacana suatu objek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat mudah yang dikandung objek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekuensi praktisnya, kita sanggup melihat garis pementingan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi belakang layar umum di antara para ilmuwan dan filosof bahwa James berutang budi banyak pada Peirce. Malahan secara terang-terangan ia mengungkapkan bahwa “nilai prinsip Peirce ialah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907) ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup hingga ketika saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James* menerapkannya dalam bidang agama, hal ini kasatmata kelihatan dalam buku The Will to Believe maupun Varieties of Religious Experince (1902:98).
Last but not least, yang paling fundamental dari pembahasan aliran pragmatisme ini ialah bahwa filsafat ini dimaknai sebagai alat untuk menolong insan dalam hidup sehari-hari dan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknis (praktis). Dengan kata lain, pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting, bukan pendapat atau teori. Yang pokok ialah insan berbuat dan bukan berpikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang hanya mempunyai kegunaan untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut memperkuat dan menyebarkan hidup insan dalam praktik pelaksanaannya. Demikianlah pragmatisme beropini bahwa yang benar itu hanyalah yang memengaruhi hidup insan serta yang mempunyai kegunaan dalam praktik, yang sanggup memenuhi tuntutan hidup manusia. Filsafat pragmatisme penting diterapkan di Indonesia apalagi kita sedang hangat-hangatnya melaksanakan pembangunan nasional jangka panjang.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Belum ada Komentar untuk "Aliran Filsafat. Pragmatisme"
Posting Komentar