Aliran Filsafat. Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata keberadaan dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri berasal dari bahasa ex: keluar, dan sister: berdiri. Jadi, keberadaan berarti bangun dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat keberadaan tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme lebih sulit ketimbang eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia menciptakan benda, tumbuhan, binatang, dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, dingklik menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita sanggup membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum niscaya apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah tugas eksistensia.
Eksistensia menciptakan yang ada dan bersosok terperinci bentuknya, bisa berada, eksis. Oleh eksistensia dingklik sanggup berada di tempat. Pohon mangga sanggup tertanam, tumbuh, dan berkembang.
Harimau sanggup hidup dan merajai hutan. Manusia sanggup hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama insan lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada sanggup ada, hidup, tampil, hadir. Namun, saat eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya sanggup konkret ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya, segala sesuatu tidak konkret ada, apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme ialah filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi ialah kursi. Pohon mangga ialah pohon mangga. Harimau ialah harimau. Manusia ialah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh alasannya ialah itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran perihal eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa ia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang sanggup dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, berdasarkan kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi ialah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup sanggup ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, aturan harus diubahsuaikan atau, kalau perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, aturan dengan sendirinya tidak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu menciptakan orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, dan sekaligus menciptakan praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, alasannya ialah hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, insan bisa menjadi seoptimal mungkin. Untuk menuntaskan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, aturan tidak menjadi materi pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian keinginan proyek hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tidak memedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang ialah tanggung jawab langsung dan siap menanggung segala konsekuensi yang tiba dari masyarakat, negara, atau forum agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan ialah situasi.
Dalam menghadapi perkara untuk menuntaskan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka ialah apa yang paling baik yang menuntut pertimbangan dan tanggung jawab langsung seharusnya dilakukan dalam situasi itu. yang baik ialah yang baik berdasarkan pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkara dan norma masyarakat, negara atau agama. Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik budpekerti eksistensialis ialah pandangan perihal hidup, perilaku dalam hidup, penghargaan atas tugas situasi, penglihatannya perihal masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima menyerupai apa adanya dan tidak perlu diubah, budpekerti eksistensialis beropini bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya dan sanggup diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup insan sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan dunia seanteronya.
Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai perilaku hidup pasrah dan “menerima”, sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai belum tamat mempunyai perilaku berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus diperbaiki. Faktor penting bagi perbaikan hidup itu ialah tanggung jawab. Setiap orang harus bertanggung jawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa tanggapan untuk kemajuan kehidupan. Oleh alasannya ialah itu, setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi laba bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang mendapatkan hidup sudah mencapai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan alasannya ialah masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itulah perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.
Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi positif budpekerti eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Ada beberapa kelemahan budpekerti eksistensialis. Pertama, budpekerti eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, alih-alih melakukan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut pedoman eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik berdasarkan dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu sanggup merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi insan yang anti-sosial. Tidak sanggup disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan logika sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak begitu saja gampang ditiadakan. Jika tidak sanggup dipakai sepenuhnya, paling sedikit masih sanggup bermanfaat sebagai materi pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, perilaku para penganut pedoman eksistensialis yang asosial merugikan perjuangan perbaikan hidup dan dunia. Karena perjuangan itu merupakan perjuangan raksasa sehingga tidak sanggup diselesaikan secara perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.
Ketiga, dengan mengambil perilaku bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang tanpa batas. Karena dalam perwujudannya akan selalu dibatasi. Pembatasan itu berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak mungkinlah ia bisa mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga tiba dari masyarakat. Selama orang hidup dalam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat orang harus mau “memberi” dan “menerima”, alias berkompromi.
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi gampang goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh perilaku individualistis yang dipegang kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh. Begitulah, budpekerti eksistensialis mempunyai unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, kalau tidak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, maka eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang sangat berharga tersebut.
Tokoh-tokoh pedoman ini ialah Immanuel Kant*, Jean- Paul Sartre*, S. Kierkegaard* (1813-1855), Friedrich Nietzsche* (1844-1900), Karl Jaspers* (1883-1969), Martin Heidegger* (1889-1976), Gabriel Marcel* (1889-1973), Ren Le Senne, dan M. Merleau- Ponty* (1908-1961).
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia menciptakan benda, tumbuhan, binatang, dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, dingklik menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita sanggup membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum niscaya apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah tugas eksistensia.
Eksistensia menciptakan yang ada dan bersosok terperinci bentuknya, bisa berada, eksis. Oleh eksistensia dingklik sanggup berada di tempat. Pohon mangga sanggup tertanam, tumbuh, dan berkembang.
Eksistensialisme ialah filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi ialah kursi. Pohon mangga ialah pohon mangga. Harimau ialah harimau. Manusia ialah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh alasannya ialah itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran perihal eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa ia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang sanggup dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, berdasarkan kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi ialah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup sanggup ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, aturan harus diubahsuaikan atau, kalau perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, aturan dengan sendirinya tidak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu menciptakan orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, dan sekaligus menciptakan praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, alasannya ialah hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, insan bisa menjadi seoptimal mungkin. Untuk menuntaskan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, aturan tidak menjadi materi pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian keinginan proyek hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tidak memedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang ialah tanggung jawab langsung dan siap menanggung segala konsekuensi yang tiba dari masyarakat, negara, atau forum agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan ialah situasi.
Dalam menghadapi perkara untuk menuntaskan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka ialah apa yang paling baik yang menuntut pertimbangan dan tanggung jawab langsung seharusnya dilakukan dalam situasi itu. yang baik ialah yang baik berdasarkan pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkara dan norma masyarakat, negara atau agama. Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik budpekerti eksistensialis ialah pandangan perihal hidup, perilaku dalam hidup, penghargaan atas tugas situasi, penglihatannya perihal masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima menyerupai apa adanya dan tidak perlu diubah, budpekerti eksistensialis beropini bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya dan sanggup diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup insan sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan dunia seanteronya.
Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai perilaku hidup pasrah dan “menerima”, sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai belum tamat mempunyai perilaku berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus diperbaiki. Faktor penting bagi perbaikan hidup itu ialah tanggung jawab. Setiap orang harus bertanggung jawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa tanggapan untuk kemajuan kehidupan. Oleh alasannya ialah itu, setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi laba bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang mendapatkan hidup sudah mencapai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan alasannya ialah masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itulah perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.
Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi positif budpekerti eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Ada beberapa kelemahan budpekerti eksistensialis. Pertama, budpekerti eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, alih-alih melakukan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut pedoman eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik berdasarkan dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu sanggup merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi insan yang anti-sosial. Tidak sanggup disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan logika sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak begitu saja gampang ditiadakan. Jika tidak sanggup dipakai sepenuhnya, paling sedikit masih sanggup bermanfaat sebagai materi pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, perilaku para penganut pedoman eksistensialis yang asosial merugikan perjuangan perbaikan hidup dan dunia. Karena perjuangan itu merupakan perjuangan raksasa sehingga tidak sanggup diselesaikan secara perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.
Ketiga, dengan mengambil perilaku bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang tanpa batas. Karena dalam perwujudannya akan selalu dibatasi. Pembatasan itu berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak mungkinlah ia bisa mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga tiba dari masyarakat. Selama orang hidup dalam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat orang harus mau “memberi” dan “menerima”, alias berkompromi.
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi gampang goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh perilaku individualistis yang dipegang kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh. Begitulah, budpekerti eksistensialis mempunyai unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, kalau tidak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, maka eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang sangat berharga tersebut.
Tokoh-tokoh pedoman ini ialah Immanuel Kant*, Jean- Paul Sartre*, S. Kierkegaard* (1813-1855), Friedrich Nietzsche* (1844-1900), Karl Jaspers* (1883-1969), Martin Heidegger* (1889-1976), Gabriel Marcel* (1889-1973), Ren Le Senne, dan M. Merleau- Ponty* (1908-1961).
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Belum ada Komentar untuk "Aliran Filsafat. Eksistensialisme"
Posting Komentar