Pengertian Postmodernisme
Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard* mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala teladan kemodernan. David Griffin, mengartikan sekadar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens*, mengartikannya sebagai wajah terpelajar kemodernan yang sadar diri. Sementara Habermas*, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhirnya “isme” berarti anutan atau sistem pemikiran yang menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas citra dunia, epistemologi, dan ideologi modern.
Istilah postmodernisme kali pertama dipakai oleh Federico de Onis pada 1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan tahap postmodernisme antara tahun 1905-1914 yang ia sebut “periode intermezzo” atau pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya—dalam tahap ultramodern antara tahun 1914-1932.
Kemudian pada tahun 1947, sejarawan Arnold Toynbee* menggunakan kata postmodern dalam buku A Study of History. Bagi Toynbee*, pengertian postmodern ialah masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Pada tahun yang sama, Rudolf Panwitz menggunakan istilah postmodern dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur. Dalam buku ini Panwitz menyebut “manusia postmodern” sebagai insan sehat, kuat, nasionalis, dan religius yang muncul dari nihilisme Eropa. Dan postmodernisme ialah puncak modernisme.
Pada 1957, Peter Drucker menulis subjudul Laporan perihal Dunia Pascamodern dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow. Drucker memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan gres dalam bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pascaindustri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga.
Pada tahun 1960-an, Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern Fiction. Hole menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra modern. Menurutnya, sastra postmodern mengatakan kemerosotan disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya, sastra postmodern harus meninggalkan model modern-klasik, dan orang bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru. Kemudian sastra postmodernisme gres mengatakan prestasinya yang penting yaitu dikala berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dengan kebudayaan massa (pop culture).
Daniel Bell* mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, bersamaan dengan makin terbebasnya daya-daya instingtual dan kian membubungnya kesenangan dan harapan yang kesannya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat. Frederic Jameson* mengartikan postmodernisme ialah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca perang dunia kedua. Menurutnya, postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional kini.
Sedangkan Jean Baudrillard* beranggapan bahwa jikalau modernisme ditandai oleh eksplosi (komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar), maka masyarakat postmodern ditandai implosi (ledakan ke dalam), yakni peleburan segala batas, wilayah dan perbedaan antara budaya universal dan partikular, penampilan dan kenyataan, dan beberapa oposisi biner lainnya. Kalau modernitas bisa disebut sebagai proses meningkatnya diferensiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya, postmodernitas sanggup ditafsirkan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi peleburan segala bidang.
Tahun 1970-an, di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard* dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan “postmodernisme” sebagai “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi—seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, dan isme-isme lainnya. Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga “menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya kemudian bukanlah homologi para ahli, melainkan paralogi para pencipta. Sejak buku ini terbit, perdebatan postmodernisme mencuat sampai dikala ini.
Pemikiran Lyotard* berkisar perihal posisi pengetahuan di kurun ilmiah kita, khususnya perihal cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” menyerupai kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Metanarasi itu, berdasarkan Lyotard*, telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya menyerupai religi, negara-kebangsaan, keunggulan Barat, dan sebagainya yang sulit dipercaya. Dengan kata lain, dalam kurun ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi perihal peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan kini ialah kepekaan gres terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme.
Dengan pandangan macam itulah, Lyotard* membawa istilah “postmodernisme” ke dalam medan diskusi filsafat yang lebih luas. Sejak dikala itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan “postmodern”. Oleh lantaran itu, istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekadar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian, istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.
Download
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Baca Juga
Filsuf Awal Postmodernisme
Istilah postmodernisme kali pertama dipakai oleh Federico de Onis pada 1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan tahap postmodernisme antara tahun 1905-1914 yang ia sebut “periode intermezzo” atau pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya—dalam tahap ultramodern antara tahun 1914-1932.
Pada 1957, Peter Drucker menulis subjudul Laporan perihal Dunia Pascamodern dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow. Drucker memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan gres dalam bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pascaindustri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga.
Pada tahun 1960-an, Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern Fiction. Hole menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra modern. Menurutnya, sastra postmodern mengatakan kemerosotan disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya, sastra postmodern harus meninggalkan model modern-klasik, dan orang bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru. Kemudian sastra postmodernisme gres mengatakan prestasinya yang penting yaitu dikala berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dengan kebudayaan massa (pop culture).
Daniel Bell* mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, bersamaan dengan makin terbebasnya daya-daya instingtual dan kian membubungnya kesenangan dan harapan yang kesannya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat. Frederic Jameson* mengartikan postmodernisme ialah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca perang dunia kedua. Menurutnya, postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional kini.
Sedangkan Jean Baudrillard* beranggapan bahwa jikalau modernisme ditandai oleh eksplosi (komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar), maka masyarakat postmodern ditandai implosi (ledakan ke dalam), yakni peleburan segala batas, wilayah dan perbedaan antara budaya universal dan partikular, penampilan dan kenyataan, dan beberapa oposisi biner lainnya. Kalau modernitas bisa disebut sebagai proses meningkatnya diferensiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya, postmodernitas sanggup ditafsirkan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi peleburan segala bidang.
Tahun 1970-an, di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard* dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan “postmodernisme” sebagai “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi—seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, dan isme-isme lainnya. Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga “menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya kemudian bukanlah homologi para ahli, melainkan paralogi para pencipta. Sejak buku ini terbit, perdebatan postmodernisme mencuat sampai dikala ini.
Pemikiran Lyotard* berkisar perihal posisi pengetahuan di kurun ilmiah kita, khususnya perihal cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” menyerupai kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Metanarasi itu, berdasarkan Lyotard*, telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya menyerupai religi, negara-kebangsaan, keunggulan Barat, dan sebagainya yang sulit dipercaya. Dengan kata lain, dalam kurun ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi perihal peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan kini ialah kepekaan gres terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme.
Dengan pandangan macam itulah, Lyotard* membawa istilah “postmodernisme” ke dalam medan diskusi filsafat yang lebih luas. Sejak dikala itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan “postmodern”. Oleh lantaran itu, istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekadar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian, istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.
Download
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Baca Juga
Filsuf Awal Postmodernisme
Belum ada Komentar untuk "Pengertian Postmodernisme"
Posting Komentar