Aliran Filsafat. Rasionalisme
Rasionalisme yaitu paham atau fatwa yang berdasar rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan kurun ke-XVII hingga kurun ke-XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan yaitu penggunaan pribadi daya nalar budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan nalar budi yang demikian tidak sia-sia, melihat perhiasan ilmu pengetahuan yang besar sekali akhir perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam.
Maka tidak mengherankan pada abad-abad berikutnya orang-orang berilmu makin percaya pada nalar budi mereka sebagai sumber kebenaran ihwal hidup dan manusia. Hal ini jadi menampak lagi pada pecahan kedua kurun ke-XVII, dan lebih lagi pada kurun ke-XVIII lantaran pandangan gres terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643-1727). Menurut sarjana genial Inggris ini, fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang bekerjasama satu sama lain berdasarkan aturan alasannya yaitu akibat.
Semua tanda-tanda alam harus diterangkan berdasarkan jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri mempunyai suatu keinsyafan yang mendalam ihwal batas nalar budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin berpengaruh akan kekuasaan nalar budi, usang kelamaan orang-orang kurun itu berpandangan dalam kegelapan.
Dan saat mereka bisa menaikkan obor terperinci yang membuat insan dan masyarakat modern yang telah dirindukan pada kurun XVIII, maka kurun itu disebut juga zaman aufklarung (pencerahan).
Sebagai fatwa dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran, rasionalisme selalu beropini bahwa nalar merupakan faktor mendasar dalam suatu pengetahuan. Dan berdasarkan rasionalisme, pengalaman mustahil sanggup menguji kebenaran aturan “sebab akibat”, lantaran kejadian yang tak terhingga dalam kejadian alam ini mustahil sanggup diobservasi. Bagi fatwa ini kekeliruan pada fatwa empirisme disebabkan kelemahan alat indra tadi, dan sanggup dikoreksi seandainya nalar digunakan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra dipakai untuk merangsang nalar dan memperlihatkan bahan-bahan yang menyebabkan nalar sanggup bekerja. Akan tetapi, nalar juga sanggup menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan materi indra sama sekali. Jadi, nalar sanggup juga menghasilkan pengetahuan ihwal objek yang betul-betul abstrak.
Indra dan nalar yang bekerja sama belum juga sanggup mendapatkan amanah bisa mengetahui bagian-bagian tertentu ihwal suatu objek. Manusia bisa menangkap keseluruhan objek berserta intuisinya. Jika yang bekerja hanya rasio, yang menjadi andalan rasionalisme, maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri ialah pengetahuan yang logis tanpa didukung oleh data empiris. Jadi, pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang sifatnya logis saja.
Rasionalisme mempunyai kritik terhadap empirisme, bahwa:
a. Metode empiris tidak memberi kepuasan, tetapi hanya hingga pada probabilitas yang tinggi
b. Metode empiris baik dalam sains maupun dalam kehidupan sehari-hari, yang biasanya sifat-sifatnya sepotong-potong
Tokoh-tokoh fatwa ini yaitu Rene Descartes* (1596-1650), Nicholas Malerbrance (1638-1775), B. De Spinoza* (1632-1677), G.W. Leibniz* (1946-1716), Christian Wolff (1679-1754), dan Blaise Pascal* (1623-1662).
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Maka tidak mengherankan pada abad-abad berikutnya orang-orang berilmu makin percaya pada nalar budi mereka sebagai sumber kebenaran ihwal hidup dan manusia. Hal ini jadi menampak lagi pada pecahan kedua kurun ke-XVII, dan lebih lagi pada kurun ke-XVIII lantaran pandangan gres terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643-1727). Menurut sarjana genial Inggris ini, fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang bekerjasama satu sama lain berdasarkan aturan alasannya yaitu akibat.
Semua tanda-tanda alam harus diterangkan berdasarkan jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri mempunyai suatu keinsyafan yang mendalam ihwal batas nalar budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin berpengaruh akan kekuasaan nalar budi, usang kelamaan orang-orang kurun itu berpandangan dalam kegelapan.
Sebagai fatwa dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran, rasionalisme selalu beropini bahwa nalar merupakan faktor mendasar dalam suatu pengetahuan. Dan berdasarkan rasionalisme, pengalaman mustahil sanggup menguji kebenaran aturan “sebab akibat”, lantaran kejadian yang tak terhingga dalam kejadian alam ini mustahil sanggup diobservasi. Bagi fatwa ini kekeliruan pada fatwa empirisme disebabkan kelemahan alat indra tadi, dan sanggup dikoreksi seandainya nalar digunakan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra dipakai untuk merangsang nalar dan memperlihatkan bahan-bahan yang menyebabkan nalar sanggup bekerja. Akan tetapi, nalar juga sanggup menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan materi indra sama sekali. Jadi, nalar sanggup juga menghasilkan pengetahuan ihwal objek yang betul-betul abstrak.
Rasionalisme mempunyai kritik terhadap empirisme, bahwa:
a. Metode empiris tidak memberi kepuasan, tetapi hanya hingga pada probabilitas yang tinggi
b. Metode empiris baik dalam sains maupun dalam kehidupan sehari-hari, yang biasanya sifat-sifatnya sepotong-potong
Tokoh-tokoh fatwa ini yaitu Rene Descartes* (1596-1650), Nicholas Malerbrance (1638-1775), B. De Spinoza* (1632-1677), G.W. Leibniz* (1946-1716), Christian Wolff (1679-1754), dan Blaise Pascal* (1623-1662).
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Belum ada Komentar untuk "Aliran Filsafat. Rasionalisme"
Posting Komentar