Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme bergotong-royong sanggup dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard* (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk budi yang memilih keabsahan dan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern ialah yang rasional dan objektif. Kierkegaard* justru beropini sebaliknya, bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, “Truth is Subjectivity”. Pendapat perihal “kebenaran subjektif” ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu.
Sementara itu, Horkheimer* dan Adorno* dalam bukunya Dialectic of Enlightment (1979), menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan ialah budi dominasi dan penindasan”. Disinyalir bahwa di dalam rasionalitas—melalui sains—yang membawa misi untuk menguasai alam, terkandung hasrat untuk mengendalikan dan menguasai umat insan lain. Lewat penemuan-penemuan, contohnya mesiu dan kompas, suatu negara sanggup menginvasi negara-negara lain, inovasi mesin uap dan revolusi industri telah menyebabkan penderitaan begitu banyak orang yang harus menjadi pekerja pabrik, inovasi bidang listrik, minyak bumi, dan telegraf, justru digunakan untuk memperkuat kontrol dari sentra sekaligus melenyapkan inisiatif dari bawah, dan masih banyak lagi.
Horkheimer* dan Adorno* mengungkapkan dilema rasionalitas dengan pernyataan mirip ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas dan penipuan alasannya ia memberangus cara berpikir yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran. Bukan imbas pencerahan yang diragukan, tetapi juga klaim terhadap kebenaran yang bersifat universal pun ditolak. Misalnya, Nietzsche* tidak ragu-ragu dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan terhadap adanya pengetahuan murni tidak sanggup diterima alasannya budi dan kebenaran tidak lebih dari sesuatu yang cocok bagi suatu ras dan spesies tertentu.
Di sini Nietzsche* (1844-1900) terperinci menolak pengetahuan yang mengandung kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, alasannya pengetahuan itu bukan soal inovasi sejati, melainkan perkara konstruksi interpretasi-interpretasi perihal dunia yang dianggap benar. Kebenaran juga bukan merupakan sekumpulan fakta alasannya yang mungkin dilakukan hanyalah interpretasi dalam cara-cara yang terbatas jumlahnya.
Keraguan Nietzsche* untuk mengakui universalitas pengetahuan sanggup kita telusuri ke masa sebelumnya hingga pada kaum skeptis. Kaum skeptis, contohnya kaum sophis, memang menolak adanya pengetahuan universal. Bagi mereka, man is the measure of all things (manusia norma dari segala sesuatu). Baik dan jahat, manis dan jelek tergantung pada kebutuhan, kondisi, kepribadian orang tersebut. Tidak ada norma umum untuk memilih itu. Jika sering kali fakta dijadikan bukti atas kepastian suatu pengetahuan, namun keyakinan kaum skeptis tetap tidak tergoyahkan alasannya mereka tetap mencurigai cara kita tahu bahwa bukti itu benar dan bukan hanya tipuan. Intinya, secara radikal kaum skeptis menolak adanya pengetahuan. Demikian juga dengan Nietzsche* yang menolak budi pencerahan dan pengetahuan universal.
Lewat tulisan-tulisannya, Nietzsche* menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas. Pandangan Nietzsche* terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting sejak zaman renaissacne dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan mirip pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-kekuatan tersebut merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya ialah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa di penghujung kala ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Pembahasan Nietzsche* yang paling tajam terhadap nihilisme modern terdapat dalam catatan-catatan yang sebagian diungkapkan dalam buku The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa, 1901). Menurut Nietzsche*, nihilisme ialah kondisi di mana “nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri”. Sebagaimana dipaparkan Nietzsche* dalam Thus Spake Zarathustra, dalam kaitannya dengan kebudayaan Barat, pertama-tama, ini berarti Tuhan telah mati. Singkatnya, nihilisme tidak lain ialah “kondisi postmodern”, yakni berakhirnya segala metanarasi.
Nietzsche* memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya”. Ucapan yang kemudian menjadi termasyhur ini digunakan Nietzsche* untuk mengawali perang terhadap setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yang pertama ialah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh Kristen. Jaminan-jaminan kepastian lainnya, berdasarkan Nietzsche*, ialah model-model Tuhan mirip ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan. Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche* cukup menyampaikan dengan kalimat “Tuhan sudah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh krisis ialah “Tuhan sudah mati”.
Dengan memproklamasikan “Tuhan sudah mati”, Nietzsche* berpandangan tidak ada kebenaran absolut. Manusia harus bebas dari segala makna diktatorial yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus membuat dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, insan harus meninggalkannya. Nietzsche* mengibaratkan, bila sampan kita sudah aus dan tidak sanggup lagi digunakan berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti sampan yang baru. Menurut Nietzsche*, hanya dengan cara ini kita sanggup bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu.
Edmund Husserl* (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl* mencoba mengatasi problem “subjek-objek” dengan cara membongkar secara efektif paham perihal “subjek epistemologis” dan “dunia objektif”. Sejak itu, problem epistemologi dan juga perihal “ilmu” dan “keilmiahan” terus-menerus dipertanyakan. Dalam pencarian ini, Husserl* menemukan fondasi diktatorial pengetahuan yang murni, yakni dalam subjektivitas transendental. Subjektivitas transendental, berdasarkan Husserl, terletak pada lebenswelt, yakni fatwa kehidupan yang pribadi sebelum direfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoretisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan “dunia objektif” sebelumnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Gagasan Husserl* perihal “dunia-hidup” tadi menggerogoti klaim-klaim ilmu dan keilmiahan yang seolah tak tergoyahkan. Metode ilmiah yang dirancang sebagai hasil dari rasionalitas proyek pencerahan (The Enlightenment project) yang dibanggakan dan diperlukan ke kehidupan yang diidam-idamkan, terus dilucuti satu persatu sehingga keterbatasan-keterbatasan metode ilmiah berhasil ditemukan. Penerus-penerus Husserl berhasil menemukan lebih dari yang terpikirkan olehnya.
Di samping Kierkegaard*, Nietzsche*, dan Husserl*, Martin Heidegger* (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger* sangat kritis terhadap filsafat modern perihal manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal ikhwal; tetapi insan ialah dasein, ia “ada dalam dunia”. Hubungan insan dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek memahami objek.
Kontribusi pokok pemikiran Heidegger* bagi postmodernisme ialah langkah awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang intinya berpuncak pada filsafat modern. Universalisme, representasionalisme, dualisme, dan dialektika ialah pilar-pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger*. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu bagi lahirnya “pemikiran lain” yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapat penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapat patokan universal, jalan yang dilalui harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada dua tema. Pertama, Heidegger* memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yakni penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara subjek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger* sebagian besar ialah pencarian terhadap autensitas, atau apa yang mungkin lebih sempurna dilukiskan sebagai ‘kepunyaan sendiri’, yang sanggup dimengerti dengan klarifikasi tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap autensitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan infinit perihal hakikat diri dan arti kehidupan.
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum sanggup dipahami sebagai gerakan untuk menuntut semoga narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan mempunyai ruang kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, mirip munculnya konsepsi heterogenitas, perbedaan, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Sementara itu, Horkheimer* dan Adorno* dalam bukunya Dialectic of Enlightment (1979), menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan ialah budi dominasi dan penindasan”. Disinyalir bahwa di dalam rasionalitas—melalui sains—yang membawa misi untuk menguasai alam, terkandung hasrat untuk mengendalikan dan menguasai umat insan lain. Lewat penemuan-penemuan, contohnya mesiu dan kompas, suatu negara sanggup menginvasi negara-negara lain, inovasi mesin uap dan revolusi industri telah menyebabkan penderitaan begitu banyak orang yang harus menjadi pekerja pabrik, inovasi bidang listrik, minyak bumi, dan telegraf, justru digunakan untuk memperkuat kontrol dari sentra sekaligus melenyapkan inisiatif dari bawah, dan masih banyak lagi.
Horkheimer* dan Adorno* mengungkapkan dilema rasionalitas dengan pernyataan mirip ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas dan penipuan alasannya ia memberangus cara berpikir yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran. Bukan imbas pencerahan yang diragukan, tetapi juga klaim terhadap kebenaran yang bersifat universal pun ditolak. Misalnya, Nietzsche* tidak ragu-ragu dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan terhadap adanya pengetahuan murni tidak sanggup diterima alasannya budi dan kebenaran tidak lebih dari sesuatu yang cocok bagi suatu ras dan spesies tertentu.
Di sini Nietzsche* (1844-1900) terperinci menolak pengetahuan yang mengandung kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, alasannya pengetahuan itu bukan soal inovasi sejati, melainkan perkara konstruksi interpretasi-interpretasi perihal dunia yang dianggap benar. Kebenaran juga bukan merupakan sekumpulan fakta alasannya yang mungkin dilakukan hanyalah interpretasi dalam cara-cara yang terbatas jumlahnya.
Keraguan Nietzsche* untuk mengakui universalitas pengetahuan sanggup kita telusuri ke masa sebelumnya hingga pada kaum skeptis. Kaum skeptis, contohnya kaum sophis, memang menolak adanya pengetahuan universal. Bagi mereka, man is the measure of all things (manusia norma dari segala sesuatu). Baik dan jahat, manis dan jelek tergantung pada kebutuhan, kondisi, kepribadian orang tersebut. Tidak ada norma umum untuk memilih itu. Jika sering kali fakta dijadikan bukti atas kepastian suatu pengetahuan, namun keyakinan kaum skeptis tetap tidak tergoyahkan alasannya mereka tetap mencurigai cara kita tahu bahwa bukti itu benar dan bukan hanya tipuan. Intinya, secara radikal kaum skeptis menolak adanya pengetahuan. Demikian juga dengan Nietzsche* yang menolak budi pencerahan dan pengetahuan universal.
Lewat tulisan-tulisannya, Nietzsche* menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas. Pandangan Nietzsche* terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting sejak zaman renaissacne dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan mirip pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-kekuatan tersebut merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya ialah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa di penghujung kala ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Pembahasan Nietzsche* yang paling tajam terhadap nihilisme modern terdapat dalam catatan-catatan yang sebagian diungkapkan dalam buku The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa, 1901). Menurut Nietzsche*, nihilisme ialah kondisi di mana “nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri”. Sebagaimana dipaparkan Nietzsche* dalam Thus Spake Zarathustra, dalam kaitannya dengan kebudayaan Barat, pertama-tama, ini berarti Tuhan telah mati. Singkatnya, nihilisme tidak lain ialah “kondisi postmodern”, yakni berakhirnya segala metanarasi.
Nietzsche* memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya”. Ucapan yang kemudian menjadi termasyhur ini digunakan Nietzsche* untuk mengawali perang terhadap setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yang pertama ialah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh Kristen. Jaminan-jaminan kepastian lainnya, berdasarkan Nietzsche*, ialah model-model Tuhan mirip ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan. Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche* cukup menyampaikan dengan kalimat “Tuhan sudah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh krisis ialah “Tuhan sudah mati”.
Dengan memproklamasikan “Tuhan sudah mati”, Nietzsche* berpandangan tidak ada kebenaran absolut. Manusia harus bebas dari segala makna diktatorial yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus membuat dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, insan harus meninggalkannya. Nietzsche* mengibaratkan, bila sampan kita sudah aus dan tidak sanggup lagi digunakan berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti sampan yang baru. Menurut Nietzsche*, hanya dengan cara ini kita sanggup bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu.
Edmund Husserl* (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl* mencoba mengatasi problem “subjek-objek” dengan cara membongkar secara efektif paham perihal “subjek epistemologis” dan “dunia objektif”. Sejak itu, problem epistemologi dan juga perihal “ilmu” dan “keilmiahan” terus-menerus dipertanyakan. Dalam pencarian ini, Husserl* menemukan fondasi diktatorial pengetahuan yang murni, yakni dalam subjektivitas transendental. Subjektivitas transendental, berdasarkan Husserl, terletak pada lebenswelt, yakni fatwa kehidupan yang pribadi sebelum direfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoretisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan “dunia objektif” sebelumnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Gagasan Husserl* perihal “dunia-hidup” tadi menggerogoti klaim-klaim ilmu dan keilmiahan yang seolah tak tergoyahkan. Metode ilmiah yang dirancang sebagai hasil dari rasionalitas proyek pencerahan (The Enlightenment project) yang dibanggakan dan diperlukan ke kehidupan yang diidam-idamkan, terus dilucuti satu persatu sehingga keterbatasan-keterbatasan metode ilmiah berhasil ditemukan. Penerus-penerus Husserl berhasil menemukan lebih dari yang terpikirkan olehnya.
Di samping Kierkegaard*, Nietzsche*, dan Husserl*, Martin Heidegger* (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger* sangat kritis terhadap filsafat modern perihal manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal ikhwal; tetapi insan ialah dasein, ia “ada dalam dunia”. Hubungan insan dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek memahami objek.
Kontribusi pokok pemikiran Heidegger* bagi postmodernisme ialah langkah awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang intinya berpuncak pada filsafat modern. Universalisme, representasionalisme, dualisme, dan dialektika ialah pilar-pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger*. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu bagi lahirnya “pemikiran lain” yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapat penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapat patokan universal, jalan yang dilalui harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada dua tema. Pertama, Heidegger* memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yakni penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara subjek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger* sebagian besar ialah pencarian terhadap autensitas, atau apa yang mungkin lebih sempurna dilukiskan sebagai ‘kepunyaan sendiri’, yang sanggup dimengerti dengan klarifikasi tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap autensitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan infinit perihal hakikat diri dan arti kehidupan.
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum sanggup dipahami sebagai gerakan untuk menuntut semoga narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan mempunyai ruang kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, mirip munculnya konsepsi heterogenitas, perbedaan, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Belum ada Komentar untuk "Filsuf Awal Postmodernisme"
Posting Komentar