Makalah Filsafat Ilmu Pengertian Kebenaran
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBENARAN

Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan.[2]
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu imbas dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri orisinil dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka dedikasi ilmu secara netral, tak bermuara, sanggup melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan wacana masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang menyampaikan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Kaprikornus pengetahuan benar yakni pengetahuan obyektif.[3]
Meskipun demikian, apa yang remaja ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu ketika akan hanya pendekatan garang saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan insan yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.[4]
B. TEORI-TEORI KEBENARAN
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan wacana kebenaran sudah dimulai semenjak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode obrolan Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapat banyak sekali penyempurnaan hingga kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunnyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berafiliasi erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan ? Apakah hanya acara dan kemampuan kecerdikan pikir ataukah melalui acara indra ? Yang terperinci bagi seorang skeptis pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, lantaran semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.[5]
Dalam kajian filsafat ilmu, kebenaran sanggup dibagi dalam tiga jenis berdasarkan telaah dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut :
· Kebenaran Epistemologikal : kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia, yang berkaitan antara subjek dan objek (kenyataan).
· Kebenaran Ontologikal : kebenaran sebagai sifat dasar yang menempel kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
· Kebenaran semantikal : kebenaran yang terdapat serta menempel didalam tutur kata dan bahasa.
Ada beberapa teori wacana kebenaran yang berkembang dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
1. Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar jikalau proposisi tersebut dalam keadaan saling berafiliasi dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berafiliasi dengan pengalaman kita. Biasanya, kita menyampaikan orang berbohong dalam banyak hal dan kita mengetahuinya dengan cara memperlihatkan bahwa apa yang dikatakannya tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua insan akan mati” yakni suatu pernyataan yang benar, maka “Si Dadang yakni seorang insan dan ia niscaya akan mati” yakni pernyataan yang tentunya niscaya benar (tak mungkin salah) alasannya yakni pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika lantaran matematika yakni ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma. Plato dan Aristoteles yakni dua Filsuf Yunani yang membuatkan teori koherensi berdasarkan referensi pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak digunakan para filsuf idealis.
2. Teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan dianggap benar jikalau materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan itu benar jikalau apa yang diungkapkannya merupakan fakta. Jika penulis mengatakan, “Di luar hawanya dingin” maka, memang begitulah kenyataanya berdasarkan keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur yakni Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar alasannya yakni hal itu cocok dengan objek materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini yakni Bertrand russel (1872-1870) dan para penganut anutan realis yang berpandangan bahwa fakta material itu sifatnya berdikari dan tak terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya ide, fakta tetap ada. Kalau inspirasi mau benar, ia harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
3. Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang mempunyai banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka yakni bahwa ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu konsenkuensi. William James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang hidupnya mengalami perubahan lantaran percaya adanya Tuhan. Artinya, proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita yakni benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa filafaat yang kebanyakan yakni orang Amerika, lantaran itulah filsafaat Amerika identik dengan anutan pragmatisme ini.[6]
4. Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen yang jelas. Oleh alasannya yakni itu, teori ini mempunyai kiprah untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.
5. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakan oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan mempunyai nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti hukum sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
6. Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena intinya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung kiprah dan fungsi daripada pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari yakni sumber energi’ itu telah terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari bisa digunakan sebagai sumber energi listrik. [7]
7. Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya berdasarkan teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, lantaran intinya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya mempunyai derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sebenarnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan memperlihatkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memperlihatkan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sebenarnya lantaran suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sebenarnya telah merupakan fakta atau data yang telah mempunyai evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah memperlihatkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran yakni bulat, ini telah memperlihatkan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, lantaran intinya lingkaran yakni suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.
BAB II
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan insan di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang besar lengan berkuasa dan masyarakat ilmiah Perlu waktu usang untuk menemukan kebenaran.
Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran sanggup disimpulkan :
Teori Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Kaprikornus berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu sanggup dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berafiliasi dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut sanggup dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
[2] Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985 hal. 238-239
[3] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987 hal. 16
[4] mawardiumm. Kebenaran dalam perspektif islam, 2 Juni 2008(kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu)
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008 hal: 57-58
[6] Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media. 2011 hal: 174-176
[7] Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008, hal: 59
Belum ada Komentar untuk "Makalah Filsafat Ilmu Pengertian Kebenaran"
Posting Komentar