Al-Kindi. Perihal Roh Dan Akal
Fuad Al-Ahwani menyebutkan bahwa Al-Kindi dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Plato*, Aristoteles*, dan Plotinus perihal roh. Pengaruh tersebut terlihat alasannya yaitu ia merevisi bagian-bagian yang diterjemahkan dari Enneads Plotinus, sebuah buku, yang secara salah, dianggap sebagai karya Aristoteles*. Ia meminjam pedoman Plotinus perihal roh dan mengikuti contoh Aristoteles dalam berteori perihal akal. Dalam sebuah risalah pendek “Tentang Roh”, sebagaimana dikatakannya, ia meringkas pandangan-pandangan Aristoteles*, Plato*, dan filsuf lainnya. Sebenarnya, gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari Enneads.
Roh yaitu wujud sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Roh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Apabila dipisahkan dari tubuh, roh memperoleh pengetahuan perihal segala hal yang ada di dunia dan melihat hal yang dialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju alam akal, kembali ke roh Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya. Roh tidak pernah tidur, tetapi saat badan tertidur, ia tidak memakai indra-indranya. Apabila disucikan, roh sanggup melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan sanggup berbicara dengan roh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Gagasan serupa terpaparkan dalam goresan pena Al-Kindi: bahwa “Tidur ialah menghentikan penggunaan indriawi. Apabila roh berhenti memakai indra, dan hanya memakai nalar, ia bermimpi”.
Pemikiran Aristoteles* perihal budi meliputi dua macam, yaitu budi mungkin dan budi agen. Akal mungkin mendapatkan pikiran, sedangkan budi distributor menghasilkan objek pemikiran. Akal distributor dilukiskan oleh Aristoteles* sebagai tersendiri, tidak bercampur, selalu aktual, kekal, dan tidak akan rusak. Sementara Alexander menyatakan bahwa ada tiga macam akal: budi materi, budi terbiasa, dan budi agen. Dengan demikian, ia menambahkan satu budi baru, yaitu intellectus habitus atau adeptus. Akal bahan yaitu daya murni dan sanggup rusak. Ia yaitu daya insan untuk mendapatkan bentuk-bentuk. Adapun budi terbiasa yaitu budi yang memperoleh dan mempunyai pengetahuan, yaitu budi yang telah berlaku dari daya menjadi aktual, menciptakan daya menjadi aktual, memerlukan agen. Inilah budi ketiga, yang juga disebut intelligencia agens, dan beberapa penafsir menafsirkannya sebagai “intelegensia ketuhanan” yang mengalir ke dalam roh kita.
Berbeda dengan Al-Kindi yang membagi budi dalam empat macam: (1) budi yang selalu bertindak; (2) budi yang secara potensial berada di dalam roh; (3) budi yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual; (4) budi yang kita sebut budi kedua. Akal “kedua”, yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya mempunyai pengetahuan dan yang mempraktikkannya.
Perjalanan budi ini diuraikan kembali oleh Al-Kindi dalam risalahnya “Filsafat Awal”. Ia berkata, “Apabila genus-genus dan spesies menyatu dengan roh, mereka menjadi terakali. Roh benar-benar menjadi rasional sesudah menyatu dengan spesies. “Sebelum menyatu, roh berdaya rasional. Segala suatu yang maujud dalam bentuk daya tidak sanggup menjadi aktual, kecuali bila dibentuk oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus dan spesies itulah yang mengakibatkan roh, yang berupa daya rasional, menjadi benar-benar nyata yang menyatu dengannya. Di sinilah Al-Kindi merupakan orang pertama yang memindahalihkan filsafat Yunani secara sistematis dari sumber-sumber literer gila dan menyalurkannya ke dalam lingkungan Islam yang dilanjutkan oleh Al-Farabi.
Al-Kindi termasuk salah satu penggemar filsafat Aristoteles* yang sanggup terlihat dalam risalahnya, Risalah Fi Hudud Al-Asyya dan Fi Al-Falsafah Al-Ula. Dalam dua risalah ini Al-Kindi banyak mengutip metaphysics Aristoteles*. Selain metafisika, ia juga tertarik pada matematika dan ilmu-ilmu kealaman. Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu semakin mengambarkan bahwa ia merupakan pengikut Aristoteles*. Hal itu terlihat saat Al-Kindi membagi pengetahuan dalam dua bagian. Pertama, ‘ilm Ilahiy (Pengetahuan Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan pribadi yang diperoleh Nabi dari Allah. Dasar pengetahuan ini yaitu keyakinan. Kedua, ‘ilm insani (pengetahuan manusiawi) atau filsafat. Dasarnya yaitu pemikiran (ratio-reason).
Al-Kindi menyakini tugas penting filsafat dalam mendampingi agama. Menurutnya, kebenaran wahyu (yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. yang diterima dari Allah), sanggup dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional. Hal ini dikarenakan untuk memahami tujuan Nabi Muhammad SAW. dalam Al-Qur’an dibutuhkan penafsiran atau penjajakan atas makna taksa (ambigous) yang terkandung dalam beberapa ayat Al-Qur’an dengan perilaku menyerupai “orang-orang yang beragama dan berakal-budi yang benar”. Dengan prinsip kesesuaian wahyu dan ‘aql ini, Al-Kindi memelopori perkembangan penafsiran hermeneutis (ta’wil) pada ayat-ayat taksa dalam Al-Qur’an.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Kindi. Riwayat Hidup
2. Al-Kindi. Karya Filsafat
3. Al-Kindi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Kindi. Filsafat Ketuhanan
5. Al-Kindi. Filsafat Jiwa
6. Arah dan Pembagian Filsafat Al-Kindi
7. Al-Kindi. Tentang Alam
8. Al-Kindi. Tuhan Yang Maha Esa Menjadi Topik Utama
Roh yaitu wujud sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Roh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Apabila dipisahkan dari tubuh, roh memperoleh pengetahuan perihal segala hal yang ada di dunia dan melihat hal yang dialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju alam akal, kembali ke roh Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya. Roh tidak pernah tidur, tetapi saat badan tertidur, ia tidak memakai indra-indranya. Apabila disucikan, roh sanggup melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan sanggup berbicara dengan roh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Gagasan serupa terpaparkan dalam goresan pena Al-Kindi: bahwa “Tidur ialah menghentikan penggunaan indriawi. Apabila roh berhenti memakai indra, dan hanya memakai nalar, ia bermimpi”.
Pemikiran Aristoteles* perihal budi meliputi dua macam, yaitu budi mungkin dan budi agen. Akal mungkin mendapatkan pikiran, sedangkan budi distributor menghasilkan objek pemikiran. Akal distributor dilukiskan oleh Aristoteles* sebagai tersendiri, tidak bercampur, selalu aktual, kekal, dan tidak akan rusak. Sementara Alexander menyatakan bahwa ada tiga macam akal: budi materi, budi terbiasa, dan budi agen. Dengan demikian, ia menambahkan satu budi baru, yaitu intellectus habitus atau adeptus. Akal bahan yaitu daya murni dan sanggup rusak. Ia yaitu daya insan untuk mendapatkan bentuk-bentuk. Adapun budi terbiasa yaitu budi yang memperoleh dan mempunyai pengetahuan, yaitu budi yang telah berlaku dari daya menjadi aktual, menciptakan daya menjadi aktual, memerlukan agen. Inilah budi ketiga, yang juga disebut intelligencia agens, dan beberapa penafsir menafsirkannya sebagai “intelegensia ketuhanan” yang mengalir ke dalam roh kita.
Berbeda dengan Al-Kindi yang membagi budi dalam empat macam: (1) budi yang selalu bertindak; (2) budi yang secara potensial berada di dalam roh; (3) budi yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual; (4) budi yang kita sebut budi kedua. Akal “kedua”, yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya mempunyai pengetahuan dan yang mempraktikkannya.
Perjalanan budi ini diuraikan kembali oleh Al-Kindi dalam risalahnya “Filsafat Awal”. Ia berkata, “Apabila genus-genus dan spesies menyatu dengan roh, mereka menjadi terakali. Roh benar-benar menjadi rasional sesudah menyatu dengan spesies. “Sebelum menyatu, roh berdaya rasional. Segala suatu yang maujud dalam bentuk daya tidak sanggup menjadi aktual, kecuali bila dibentuk oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus dan spesies itulah yang mengakibatkan roh, yang berupa daya rasional, menjadi benar-benar nyata yang menyatu dengannya. Di sinilah Al-Kindi merupakan orang pertama yang memindahalihkan filsafat Yunani secara sistematis dari sumber-sumber literer gila dan menyalurkannya ke dalam lingkungan Islam yang dilanjutkan oleh Al-Farabi.
Al-Kindi termasuk salah satu penggemar filsafat Aristoteles* yang sanggup terlihat dalam risalahnya, Risalah Fi Hudud Al-Asyya dan Fi Al-Falsafah Al-Ula. Dalam dua risalah ini Al-Kindi banyak mengutip metaphysics Aristoteles*. Selain metafisika, ia juga tertarik pada matematika dan ilmu-ilmu kealaman. Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu semakin mengambarkan bahwa ia merupakan pengikut Aristoteles*. Hal itu terlihat saat Al-Kindi membagi pengetahuan dalam dua bagian. Pertama, ‘ilm Ilahiy (Pengetahuan Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan pribadi yang diperoleh Nabi dari Allah. Dasar pengetahuan ini yaitu keyakinan. Kedua, ‘ilm insani (pengetahuan manusiawi) atau filsafat. Dasarnya yaitu pemikiran (ratio-reason).
Al-Kindi menyakini tugas penting filsafat dalam mendampingi agama. Menurutnya, kebenaran wahyu (yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. yang diterima dari Allah), sanggup dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional. Hal ini dikarenakan untuk memahami tujuan Nabi Muhammad SAW. dalam Al-Qur’an dibutuhkan penafsiran atau penjajakan atas makna taksa (ambigous) yang terkandung dalam beberapa ayat Al-Qur’an dengan perilaku menyerupai “orang-orang yang beragama dan berakal-budi yang benar”. Dengan prinsip kesesuaian wahyu dan ‘aql ini, Al-Kindi memelopori perkembangan penafsiran hermeneutis (ta’wil) pada ayat-ayat taksa dalam Al-Qur’an.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Kindi. Riwayat Hidup
2. Al-Kindi. Karya Filsafat
3. Al-Kindi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Kindi. Filsafat Ketuhanan
5. Al-Kindi. Filsafat Jiwa
6. Arah dan Pembagian Filsafat Al-Kindi
7. Al-Kindi. Tentang Alam
8. Al-Kindi. Tuhan Yang Maha Esa Menjadi Topik Utama
Belum ada Komentar untuk "Al-Kindi. Perihal Roh Dan Akal"
Posting Komentar