Ibnu Sina. Ihwal Wujud
Sebagaimana filsuf muslim terdahulu, wujud bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensia pertama, sendirian lantaran hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu sanggup mewujud. Akan tetapi, sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu lantaran ia tidak ada dengan sendirinya. Ia hanya mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegensi pertama memunculkan dua ke-maujud-an, yaitu: (1) intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas; (2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya. Dua proses pemancaran ini terus berjalan hingga kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang disebut oleh kebanyakan filsuf Muslim sebagai malaikat Jibril. Nama ini diberikan lantaran ia memperlihatkan bentuk atau “memberitahukan” bahan dunia ini, yaitu bahan fisik dan kebijaksanaan manusia. Oleh alasannya itu, ia juga disebut “Pemberi Bentuk”.
Perarakan intelegensi imaterial dari Wujud Tertinggi dengan cara pemancaran dimaksudkan untuk menambah—sesuai dengan pendapat yang diilhami oleh Teori Pemancaran Neoplatonik—pendapat yang lemah tidak sanggup dipertahankan wacana Tuhan dari Aristoteles* yang menyampaikan bahwa tidak ada kanal dari Tuhan Yang Esa, pada dunia, yang banyak. Menurut para filsuf Muslim, meskipun Tuhan tinggal di dalam diri-Nya sendiri dan jauh tinggi di atas dunia yang diciptakan, terdapat korelasi mediator antara kekekalan dan keniscayaan yang mutlak dari Tuhan dan dunia yang penuh dengan ketidaktentuan. Di samping itu, teori ini sangat bersahabat bagi orang Islam atas keyakinannya kepada malaikat. Inilah yang menandai bahwa para filsuf Muslim, dengan cara mengolah kembali tradisi filsafat Yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional, tetapi juga sistem rasional yang berupaya mengintegrasikan tradisi Islam. Bagaimana teori pemancaran itu? Apakah tidak akan merusak garis pemisah yang perlu dan penting antara pencipta dan yang diciptakan, dan mengarahkan pada pandangan dunia yang Panteistik—yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana semua agama yang lebih tinggi selalu menentangnya dengan demikian keras? Tidak diragukan lagi, bentuk-bentuk panteisme menjadi lebih dinamis, berbeda dengan paham para absolutis dan bentuk-bentuk panteisme statis; bahkan ia sanggup mengarah pada antropomorphisme, atau proses kenaikan kembali, untuk menyerap kembali dari kemakhlukan ke arah ketuhanan.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan dan hanya Tuhan yang mempunyai wujud tunggal, secara mutlak, sedangkan segala sesuatu yang lain mempunyai kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, melainkan satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, yaitu identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, lantaran tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang Eskimo yang tidak pernah melihat gajah misalnya, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan yaitu satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung pertentangan lantaran yang lain pun tidak ada.
Argumentasi kosmologis yang didasarkan pada keyakinan Aristoteles* wacana Sebab Pertama akan sia-sia dalam pertanda adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak menentukan untuk membangun argumen ontologis. Argumentasi Ibnu Sina yang menjadi keyakinan penting bagi iktikad teologi Nasrani Roma sesudah Aquinas*, lebih mendekati pembuktian Leibniz wacana Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia, yaitu santunan Tuhanlah, segala sesuatu yang sanggup kita pahami wacana adanya dunia. Di sini sebab-akibat mempunyai premis-premis dan kesimpulan yang serupa. Di samping ke belakang, juga premis ke depan, yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan lagi pada suatu kesimpulan. Menurut Ibnu Sina, Tuhan membuat sesuatu lantaran adanya keperluan yang rasional. Dengan dasar keperluan rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan wacana semua kejadian.
Dunia, secara keseluruhan, ada bukan lantaran kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan. Dunia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina wacana eksistensi.
Dari sudut pandang metafisik, teori itu berusaha melengkapi analisis Aristoteles* wacana suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan, yaitu bentuk dan materi. Menurut Aristoteles*, bentuk sesuatu yaitu jumlah total dasar dan kualitasnya yang sanggup diuniversalkan yang membentuk definisinya; bahan pada setiap sesuatu mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, terjadilah keberadaan individu. Akan tetapi, terdapat dua kesulitan besar dalam konsep ini dari sudut pandang keberadaan sesuatu yang sebenarnya. Pertama, bentuk yaitu universal, lantaran itu, tidak ada. Demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni, menjadi tidak ada, lantaran hal itu mewujud melalui bentuk. Bagaimana sesuatu itu menjadi ada dengan tidak adanya bentuk dan materi? Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa, meskipun Aristoteles* secara umum beropini bahwa definisi atau esensi dari sesuatu yaitu bentuknya, pada bagian-bagian penting lainnya, ia menyebutkan bahwa bahan juga termasuk dalam esensi sesuatu itu. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa kita hanya mempunyai definisi sebagian darinya. Kemudian, apabila menganggap bentuk dan bahan sebagai penyusun definisi, kita tidak akan mencapai keberadaan sesuatu secara nyata. Ini yaitu kerikil ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles* yang membahas wujud yang terancam oleh kehancuran.
Oleh alasannya itu, Ibnu Sina berkeyakinan bahwa dari bentuk dan bahan saja, kita tidak akan pernah mendapatkan keberadaan yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.
Ibnu Sina dalam Asy-Syifa menyimpulkan bahwa bentuk dan bahan itu bergantung kepada Tuhan (atau kebijaksanaan aktif) dan lebih jauh lagi bahwa keberadaan yang tersusun juga tidak hanya disebabkan oleh bentuk dan materi, tetapi harus terdapat “sesuatu yang lain”. Akhirnya, ia menjelaskan bahwa “segala suatu kecuali yang Esa, yang esensi-Nya yaitu Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain... Di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketiadaan yang mutlak. Sekarang, ia bukan bahan sendiri tanpa bentuk, atau bentuk sendiri tanpa materinya yang layak mendapatkan ketiadaan itu, tetapi yaitu semuanya (bentuk dan materi)”.
Oleh lantaran itu, Ibnu Sina memakai tiga contoh untuk menganalisis adanya objek materi, di samping kedua rumusan tradisional Yunani. Banyak sarjana yang berkeyakinan bahwa Ibnu Sina, mengikuti pendapat Aristoteles* dan Neoplatonik, tetapi dari segi lain, ternyata keyakinan Neoplatonik sama dengan Aristoteles*, yaitu dua cuilan yang terdiri atas bahan dan bentuk. Selain itu, berdasarkan Plotinus yang terpengaruh oleh Plato*, bentuk-bentuk itu mempunyai status ontologis yang lebih tinggi dan ada dalam kesadaran Tuhan. Kesadaran itulah yang melanjutkan sehingga bentuk ada sebagai materi. Oleh lantaran itu, sanggup dibayangkan bahwa keberadaan bukanlah bentukan benda, melainkan ia lebih merupakan korelasi dengan Tuhan. Apabila memandang benda dalam kaitannya dengan adanya mediator Tuhan yang mengadakan, benda itu ada, dan benda itu ada lantaran keniscayaan, kemudian, eksistensinya itu sanggup dipahami. Akan tetapi, apabila keluar dari hubungannya dengan Tuhan, adanya sesuatu hilanglah pengertian dan makna dari adanya sesuatu itu. Inilah aspek korelasi yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dengan istilah “kejadian” dan menyampaikan bahwa keberadaan yaitu suatu kejadian.
Ibnu Rusyd* yang mengkritik dalam beberapa hal, menyalahkan Ibnu Sina yang menolak definisi wacana substansi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya. Aquinas* yang mendapatkan pembedaan antara esensi dan eksistensi, yang secara pribadi di bawah efek Ibnu Sina juga mengkritik sesuai dengan Ibnu Rusyd* meskipun ia mengambil pendapat Ibnu Sina wacana perbedaan dasar dan adanya sesuatu mengakibatkan para hebat sejarah pada masa pertengahan di Barat beropini sama dengan Ibnu Sina, yaitu keberadaan sesuatu semata-mata merupakan kejadian di antara kejadian-kejadian yang lain.
Pembahasan itu terang wacana dilema logika. Ibnu Sina berusaha menjawab pertanyaan. Bagaimana mungkin kita sanggup membicarakan sesuatu yang tidak ada, dan apakah artinya? Jawabannya yaitu kita sanggup berbuat demikian lantaran kita mengadakan objek-objek ini dalam pikiran kita. Akan tetapi, tidak sanggup diragukan lagi bahwa imajinasi kita tidak sanggup membentuk makna dari wujud ini lantaran adanya alasan yang terang bahwa dikala membicarakan sesuatu, contohnya kapal ruang angkasa, ia harus memperlihatkan arti yang objektif. Meskipun demikian, benarlah bahwa Ibnu Sina telah melihat kesulitan fundamental dari logika ke-maujud-an. Ia telah berusaha keras untuk menyanggah bahwa kapan pun aku berbicara wacana kapal ruang angkasa, meskipun kapal itu tidak ada, aku tidak sedang membicarakan “sesuatu” itu, tetapi wacana objek secara umum atau suatu kumpulan sifat.
Menurut Ibnu Sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan (dan pikiran inteligensi aktif) sebelum hal yang ada itu maujud dalam dunia lahiriah, dan ada dalam pikiran kita sesudah mereka mewujud. Akan tetapi, dua tingkatan keberadaan esensi ini sangat berbeda. Perbedaan itu tidak hanya lantaran adanya pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif, sedangkan yang lainnya bersifat imitatif, tetapi esensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi hanyalah esensi.
Ibnu Sina menyatakan kekhasan dan universalitas sebagai “keadilan” yang terjadi pada esensi. Universalitas hanya terdapat dalam pikiran dan Ibnu Sina mengambil pandangan fungsional secara keras wacana yang universal: pikiran mengabstraksi yang universal atau konsep-konsep umum, dan hal itu sanggup merangkum keragaman yang tidak terbatas dari dunia ini secara ilmiah, yaitu dengan menghubungkan bangunan mental yang identik dengan sejumlah objek. Di dunia lahiriah, esensi tidak maujud, kecuali dalam pengertian yang metaforik, dalam pengertian bahwa objek-objek itu membiarkan dirinya dianggap identik. Ke-maujud-an dalam dunia lahiriah yaitu objek nyata, tidak ada yang benar-benar sama. Ibnu Sina berkata, “tidak mungkin bahwa esensi yang tunggal sama-sama mewujud dalam banyak hal”. Demikian pula, “kemanusiaan yang mutlak bukanlah kemanusiaan.
Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa “esensi” berubah pada setiap individu. Oleh lantaran itu, kita harus menyampaikan bahwa jikalau menganggap esensi sebagai universal, keberadaan tertentu yang nyata merupakan sesuatu yang melampaui dan di atas esensinya. Ia yaitu sesuatu yang ditambahkan pada esensi, atau suatu “kejadian” dari esensi tersebut.
Ada dua hal yang harus dicatat. Pertama, keberadaan yaitu suatu yang ditambahkan, bukan pada objek-objek yang ada—hal ini akan musykil—tetapi pada esensi. Hal ini lantaran segala sesuatu, baik ada maupun tidak, pada kenyataannya yaitu “sesuatu” yang darinya pernyataan sanggup dibuat, baik positif maupun negatif. Bahkan, ketidakadaan pun yaitu “suatu”, alasannya seseorang sanggup membicarakannya. Akan tetapi, keberadaan individu yang positif yaitu lebih dari sekadar “sesuatu”. Oleh lantaran itu, Ibnu Sina menyampaikan bahwa apabila keberadaan dihubungkan dengan esensi, keberadaan ini sama dengan “adalah sesuatu” dan, lantaran itu, pernyataan semacam itu tidak “menguntungkan”. Pernyataan-pernyataan wacana hal-hal yang ada yaitu informatif dan menguntungkan lantaran menambah pada esensi sesuatu yang baru.
Kedua, meskipun membicarakan bahan itu pada beberapa kawasan sebagai prinsip kemajemukan bentuk atau esensi, Ibnu Sina tidak pernah menyampaikan bahwa bahan yaitu prinsip dari suatu yang maujud. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada yaitu Tuhan—Penyebab ke-maujud-an bahan yaitu penyebab okasional ke-maujud-an, yang menyuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.
Tampaknya terdapat banyak kebingungan yang fundamental dalam goresan pena Ibnu Sina yang membahas istilah “keberadaan”, “kejadian”, dan “esensi”, sebagaimana disebutkan Fuad Al-Ahwani dalam tulisannya. Menarik pula untuk disajikan di sini goresan pena Shams Inati yang memetakan lebih rapi dibandingkan goresan pena Fuad Al-Ahwani wacana maujud Tuhan versi Ibnu Sina dengan segala eksistensinya sebagai berikut: “Maujud mungkin merupakan substansi atau aksiden. Suatu substansi yaitu apapun yang tidak berada dalam suatu subjek, baik dalam bahan maupun bukan materi. Oleh lantaran itu, substansi ada dua macam: (1) yang berada dalam materi; (2) yang tidak berada dalam materi. Kategori ini dibagi lagi menjadi tiga: (a) bahan itu sendiri; (b) yang disertai oleh materi; (c) yang bukan bahan juga tidak disertai oleh materi. Skema ini berarti ada empat tipe substansi: (1) bentuk dalam materi, ibarat jiwa dalam badan; (2) bahan tanpa bentuk—ini yaitu bahan mutlak, yang tidak mempunyai keberadaan dalam aktualitas, tetapi hanya dalam konsepsi; (3) tersusun dari bentuk dan materi, ibarat insan tersusun dari jiwa dan badan; (4) bentuk yang terpisah dari materi, ibarat Tuhan atau intelek, yang bukan bahan dan tidak ada kontak (tidak berhubungan) dengan materi. Aksiden, di sisi lain, berada dalam suatu subjek dan dibagi menjadi sembilan tipe: kualitas, kuantitas, relasi, waktu, ruang, posisi, kondisi, aksi, dan reaksi”.
Wujud sesuatu boleh jadi pasti (wajib atau mesti) dan boleh jadi mungkin. Wujud yang pasti yaitu sesuatu yang termasuk di dalamnya diandaikan tidak ada, kemustahilanlah yang muncul. Eksistensi yang mungkin yaitu sesuatu yang termasuk di dalamnya diasumsikan tidak ada atau ada, tidak ada kemustahilan yang muncul.
Di dalam konteks lain, Ibnu Sina menyebutkan bahwa “wujud yang mungkin” sanggup juga dipakai dalam pengertian “wujud dalam potensi”. Eksistensi yang pasti (wajib) yaitu keberadaan yang senantiasa berada atau termasuk dalam sesuatu melalui sesuatu itu sendiri atau yang senantiasa termasuk di dalamnya melalui yang lain. Misalnya, keberadaan pembakaran yaitu niscaya, bukan lantaran pembakaran itu sendiri, melainkan lantaran bertemunya dua hal, yang satu secara alamiah bisa mengkremasi dan yang lainnya secara alamiah sanggup terbakar. Apa yang pasti melalui dirinya sendiri tidak mungkin pasti melalui yang lain. Demikian pula sebaliknya. Misalnya, jikalau keberadaan A pasti melalui A, keberadaan ini tidak mungkin pasti melalui B. Demikian pula, jikalau ia (A) pasti melalui B, ia tidak mungkin pasti melalui A. Hal ini berarti bahwa jikalau dalam perkara kedua, seseorang melihat A dalam diri A sendiri, ia menemukan keberadaan A tidak niscaya, atau mungkin dalam dirinya. Jika tidak, tidak mungkin lantaran eksistensinya telah ditegaskan. Oleh lantaran itu, eksistensinya yaitu mungkin dalam dirinya, pasti melalui yang lain, dan tidak mungkin tanpa yang lain. Eksistensinya melalui yang lain berbeda dengan eksistensinya tanpa yang lain. Hal pertama yaitu niscaya; hal kedua yaitu mungkin.
Eksistensi sesuatu yang pasti dalam dirinya ditentukan berdasarkan dua prinsip. Pertama, rangkaian hal-hal yang mungkin tidak mungkin tidak terbatas; kedua, rangkaian ini tidak mungkin menjadi pasti lantaran ia terdiri atas satuan-satuan wujud yang mungkin. Dengan demikian, ini berarti harus ada alasannya pasti yang berada di luar rangkaian ini—yaitu wujud atau keberadaan pasti (wajib), atau dikenal sebagai Tuhan.
Secara kekal, lantaran mendahului keberadaan segala sesuatu dan menjadi sumber keberadaan bagi segala sesuatu, maujud ini dikatakan sebagai alasannya pertama. Ia bebas dari materi, esa, dan tunggal dalam segala hal. Ia tidak mempunyai genus atau diferensia, dua unsur wajib dari sebuah definisi. Oleh alasannya itu, tidak ada definisi baginya, yang ada hanya nama. Bersifat imaterial, ia murni baik, lantaran hanya dalam materi, sumber segala kekurangan, terletak kejahatan (keburukan). Karena imaterialitasnya, ia juga merupakan intelek. Karena kesederhanaan atau ketunggalannya, intelek dan inteligibel yang terkandung di dalamnya itu satu.
Dalam dirinya sendiri, Dia yaitu yang Dicintai dan Pencinta, Yang Disenangi dan Yang Menyenangi. Ia yaitu Yang Dicintai lantaran Dia yaitu Keindahan tertinggi. Ia yaitu Keindahan tertinggi lantaran tidak ada keindahan yang lebih tinggi daripada menjadi intelek murni, jauh dari segala kekurangan, dan esa dalam segala hal. Keindahan atau kebaikan yang cocok dan dipahami itu diingini dan dicintai. Semakin dalam esensi sanggup ditangkap oleh pemahaman, dan semakin indah esensi yang dipahami itu, semakin kuatlah daya pemahaman mencintainya dan menemukan kesenangan di dalamnya.
Dengan demikian, wujud niscaya, yang paling indah, sempurna, dan terbaik, yang memahami dirinya dalam keindahan dan kebaikan tertinggi dengan pemahaman paling sempurna, dan memahami pemahaman dan yang dipahami sebagai satu dalam realitas, dalam esensi dan dengan esensinya, yaitu Sang Maha Pencinta dan Maha Dicintai, dan Maha Menyenangkan dan Maha Disenangi.
Dari wujud yang pasti ini, wujud lainnya melimpah atau memancar melalui proses emanasi. Yang pertama-tama beremanasi yaitu intelek langit, kemudian diikuti jiwa langit, tubuh langit, dan jadinya wujud bumi. Semua wujud ini melimpah atau beremanasi dari-Nya dalam kekekalan. Jika tidak, suatu keadaan yang tidak ada sebelumnya akan muncul dalam diri-Nya. Akan tetapi, ini tidak mungkin dalam suatu wujud yang pasti dalam segala aspek. Emanasi merupakan hasil pasti dari Esensi Tuhan dan tidak sanggup dikaitkan dengan tujuan di luar Esensi-Nya. Pertama, tidak ada sesuatu pun dalam diri-Nya, kecuali Esensi-Nya—Ia merupakan ketunggalan total, tetapi Dia sanggup dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Hanya berdasarkan pemahaman semacam itulah seseorang sanggup membicarakan sifat-sifat-Nya. Kedua, sekalipun mungkin bagi-Nya mempunyai sifat-sifat semacam itu yang berkaitan dengan dunia. Alasannya bahwa setiap tujuan yaitu demi yang dituju dan eksistensinya kurang dari yang dituju. Hal ini dikarenakan jikalau sesuatu itu untuk atau demi (for the sake of) yang lain, yang lain itu lebih tepat eksistensinya. Hal ini berarti bahwa apa pun yang eksistensinya lebih tepat daripada yang lain tidak sanggup berhasrat kepada yang lain itu. Oleh lantaran itu, Tuhan tidak sanggup berhasrat pada dunia atau sesuatu yang ada di dunia lantaran eksistensi-Nya lebih tepat daripada dunia.
Tuhan atau alasannya lain tidak mungkin disempurnakan secara esensial oleh efeknya sehingga tidak mungkin memaksudkan efek-efeknya atau sesuatu bagi mereka, tetapi Tuhan atau alasannya lain secara aksidental sanggup mengakibatkan imbas yang menguntungkan. Jika ia yaitu Tuhan, ia tahu dan bahagia akan efek-efek tersebut. Kesehatan misalnya, “secara substansial dan esensial, bukan untuk menguntungkan orang sakit, melainkan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan orang sakit”. Sebab halnya kesehatan, sebab-sebab yang lebih tinggi yaitu sebab-sebab yang berada dalam diri mereka sendiri, bukan untuk menguntungkan sesuatu yang lain; tetapi mereka sanggup menguntungkan yang lain secara aksidental. Meskipun demikian, mereka berbeda dari kesehatan, dalam arti mereka mengetahui segala sesuatu yang ada serta tatanan dan kebaikan sesuai dengan keberadaan sesuatu tersebut. Akan tetapi, kepemeliharaan dinisbatkan kepada Tuhan, alasannya pertama dari segala sesuatu. Kepemeliharaan tidak harus dipahami dalam pengertian petunjuk Tuhan terhadap dunia atau kepedulian terhadapnya. Sebaliknya, kepemeliharaan didefinisikan sebagai pengetahuan Tuhan mengenai tatanan wujud dan kebaikannya, pengetahuan-Nya bahwa Dia yaitu sumber emanasi tatanan ini lantaran hal itu mungkin, dan bahwa Dia bahagia dengan tatanan ini.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Sina. Riwayat Hidup
2. Ibnu Sina. Karya Filsafat
3. Ibnu Sina. Pembagian Ilmu dan Filsafat
4. Ibnu Sina. Metafisika
5. Ibnu Sina. Hubungan Jiwa-Raga
6. Ibnu Sina. Filsafat Tentang Kenabian
7. Pengaruh Ibnu Sina di Timur dan Barat
Perarakan intelegensi imaterial dari Wujud Tertinggi dengan cara pemancaran dimaksudkan untuk menambah—sesuai dengan pendapat yang diilhami oleh Teori Pemancaran Neoplatonik—pendapat yang lemah tidak sanggup dipertahankan wacana Tuhan dari Aristoteles* yang menyampaikan bahwa tidak ada kanal dari Tuhan Yang Esa, pada dunia, yang banyak. Menurut para filsuf Muslim, meskipun Tuhan tinggal di dalam diri-Nya sendiri dan jauh tinggi di atas dunia yang diciptakan, terdapat korelasi mediator antara kekekalan dan keniscayaan yang mutlak dari Tuhan dan dunia yang penuh dengan ketidaktentuan. Di samping itu, teori ini sangat bersahabat bagi orang Islam atas keyakinannya kepada malaikat. Inilah yang menandai bahwa para filsuf Muslim, dengan cara mengolah kembali tradisi filsafat Yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional, tetapi juga sistem rasional yang berupaya mengintegrasikan tradisi Islam. Bagaimana teori pemancaran itu? Apakah tidak akan merusak garis pemisah yang perlu dan penting antara pencipta dan yang diciptakan, dan mengarahkan pada pandangan dunia yang Panteistik—yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana semua agama yang lebih tinggi selalu menentangnya dengan demikian keras? Tidak diragukan lagi, bentuk-bentuk panteisme menjadi lebih dinamis, berbeda dengan paham para absolutis dan bentuk-bentuk panteisme statis; bahkan ia sanggup mengarah pada antropomorphisme, atau proses kenaikan kembali, untuk menyerap kembali dari kemakhlukan ke arah ketuhanan.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan dan hanya Tuhan yang mempunyai wujud tunggal, secara mutlak, sedangkan segala sesuatu yang lain mempunyai kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, melainkan satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, yaitu identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, lantaran tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang Eskimo yang tidak pernah melihat gajah misalnya, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan yaitu satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung pertentangan lantaran yang lain pun tidak ada.
Argumentasi kosmologis yang didasarkan pada keyakinan Aristoteles* wacana Sebab Pertama akan sia-sia dalam pertanda adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak menentukan untuk membangun argumen ontologis. Argumentasi Ibnu Sina yang menjadi keyakinan penting bagi iktikad teologi Nasrani Roma sesudah Aquinas*, lebih mendekati pembuktian Leibniz wacana Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia, yaitu santunan Tuhanlah, segala sesuatu yang sanggup kita pahami wacana adanya dunia. Di sini sebab-akibat mempunyai premis-premis dan kesimpulan yang serupa. Di samping ke belakang, juga premis ke depan, yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan lagi pada suatu kesimpulan. Menurut Ibnu Sina, Tuhan membuat sesuatu lantaran adanya keperluan yang rasional. Dengan dasar keperluan rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan wacana semua kejadian.
Dunia, secara keseluruhan, ada bukan lantaran kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan. Dunia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina wacana eksistensi.
Dari sudut pandang metafisik, teori itu berusaha melengkapi analisis Aristoteles* wacana suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan, yaitu bentuk dan materi. Menurut Aristoteles*, bentuk sesuatu yaitu jumlah total dasar dan kualitasnya yang sanggup diuniversalkan yang membentuk definisinya; bahan pada setiap sesuatu mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, terjadilah keberadaan individu. Akan tetapi, terdapat dua kesulitan besar dalam konsep ini dari sudut pandang keberadaan sesuatu yang sebenarnya. Pertama, bentuk yaitu universal, lantaran itu, tidak ada. Demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni, menjadi tidak ada, lantaran hal itu mewujud melalui bentuk. Bagaimana sesuatu itu menjadi ada dengan tidak adanya bentuk dan materi? Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa, meskipun Aristoteles* secara umum beropini bahwa definisi atau esensi dari sesuatu yaitu bentuknya, pada bagian-bagian penting lainnya, ia menyebutkan bahwa bahan juga termasuk dalam esensi sesuatu itu. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa kita hanya mempunyai definisi sebagian darinya. Kemudian, apabila menganggap bentuk dan bahan sebagai penyusun definisi, kita tidak akan mencapai keberadaan sesuatu secara nyata. Ini yaitu kerikil ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles* yang membahas wujud yang terancam oleh kehancuran.
Oleh alasannya itu, Ibnu Sina berkeyakinan bahwa dari bentuk dan bahan saja, kita tidak akan pernah mendapatkan keberadaan yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.
Ibnu Sina dalam Asy-Syifa menyimpulkan bahwa bentuk dan bahan itu bergantung kepada Tuhan (atau kebijaksanaan aktif) dan lebih jauh lagi bahwa keberadaan yang tersusun juga tidak hanya disebabkan oleh bentuk dan materi, tetapi harus terdapat “sesuatu yang lain”. Akhirnya, ia menjelaskan bahwa “segala suatu kecuali yang Esa, yang esensi-Nya yaitu Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain... Di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketiadaan yang mutlak. Sekarang, ia bukan bahan sendiri tanpa bentuk, atau bentuk sendiri tanpa materinya yang layak mendapatkan ketiadaan itu, tetapi yaitu semuanya (bentuk dan materi)”.
Oleh lantaran itu, Ibnu Sina memakai tiga contoh untuk menganalisis adanya objek materi, di samping kedua rumusan tradisional Yunani. Banyak sarjana yang berkeyakinan bahwa Ibnu Sina, mengikuti pendapat Aristoteles* dan Neoplatonik, tetapi dari segi lain, ternyata keyakinan Neoplatonik sama dengan Aristoteles*, yaitu dua cuilan yang terdiri atas bahan dan bentuk. Selain itu, berdasarkan Plotinus yang terpengaruh oleh Plato*, bentuk-bentuk itu mempunyai status ontologis yang lebih tinggi dan ada dalam kesadaran Tuhan. Kesadaran itulah yang melanjutkan sehingga bentuk ada sebagai materi. Oleh lantaran itu, sanggup dibayangkan bahwa keberadaan bukanlah bentukan benda, melainkan ia lebih merupakan korelasi dengan Tuhan. Apabila memandang benda dalam kaitannya dengan adanya mediator Tuhan yang mengadakan, benda itu ada, dan benda itu ada lantaran keniscayaan, kemudian, eksistensinya itu sanggup dipahami. Akan tetapi, apabila keluar dari hubungannya dengan Tuhan, adanya sesuatu hilanglah pengertian dan makna dari adanya sesuatu itu. Inilah aspek korelasi yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dengan istilah “kejadian” dan menyampaikan bahwa keberadaan yaitu suatu kejadian.
Ibnu Rusyd* yang mengkritik dalam beberapa hal, menyalahkan Ibnu Sina yang menolak definisi wacana substansi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya. Aquinas* yang mendapatkan pembedaan antara esensi dan eksistensi, yang secara pribadi di bawah efek Ibnu Sina juga mengkritik sesuai dengan Ibnu Rusyd* meskipun ia mengambil pendapat Ibnu Sina wacana perbedaan dasar dan adanya sesuatu mengakibatkan para hebat sejarah pada masa pertengahan di Barat beropini sama dengan Ibnu Sina, yaitu keberadaan sesuatu semata-mata merupakan kejadian di antara kejadian-kejadian yang lain.
Pembahasan itu terang wacana dilema logika. Ibnu Sina berusaha menjawab pertanyaan. Bagaimana mungkin kita sanggup membicarakan sesuatu yang tidak ada, dan apakah artinya? Jawabannya yaitu kita sanggup berbuat demikian lantaran kita mengadakan objek-objek ini dalam pikiran kita. Akan tetapi, tidak sanggup diragukan lagi bahwa imajinasi kita tidak sanggup membentuk makna dari wujud ini lantaran adanya alasan yang terang bahwa dikala membicarakan sesuatu, contohnya kapal ruang angkasa, ia harus memperlihatkan arti yang objektif. Meskipun demikian, benarlah bahwa Ibnu Sina telah melihat kesulitan fundamental dari logika ke-maujud-an. Ia telah berusaha keras untuk menyanggah bahwa kapan pun aku berbicara wacana kapal ruang angkasa, meskipun kapal itu tidak ada, aku tidak sedang membicarakan “sesuatu” itu, tetapi wacana objek secara umum atau suatu kumpulan sifat.
Menurut Ibnu Sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan (dan pikiran inteligensi aktif) sebelum hal yang ada itu maujud dalam dunia lahiriah, dan ada dalam pikiran kita sesudah mereka mewujud. Akan tetapi, dua tingkatan keberadaan esensi ini sangat berbeda. Perbedaan itu tidak hanya lantaran adanya pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif, sedangkan yang lainnya bersifat imitatif, tetapi esensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi hanyalah esensi.
Ibnu Sina menyatakan kekhasan dan universalitas sebagai “keadilan” yang terjadi pada esensi. Universalitas hanya terdapat dalam pikiran dan Ibnu Sina mengambil pandangan fungsional secara keras wacana yang universal: pikiran mengabstraksi yang universal atau konsep-konsep umum, dan hal itu sanggup merangkum keragaman yang tidak terbatas dari dunia ini secara ilmiah, yaitu dengan menghubungkan bangunan mental yang identik dengan sejumlah objek. Di dunia lahiriah, esensi tidak maujud, kecuali dalam pengertian yang metaforik, dalam pengertian bahwa objek-objek itu membiarkan dirinya dianggap identik. Ke-maujud-an dalam dunia lahiriah yaitu objek nyata, tidak ada yang benar-benar sama. Ibnu Sina berkata, “tidak mungkin bahwa esensi yang tunggal sama-sama mewujud dalam banyak hal”. Demikian pula, “kemanusiaan yang mutlak bukanlah kemanusiaan.
Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa “esensi” berubah pada setiap individu. Oleh lantaran itu, kita harus menyampaikan bahwa jikalau menganggap esensi sebagai universal, keberadaan tertentu yang nyata merupakan sesuatu yang melampaui dan di atas esensinya. Ia yaitu sesuatu yang ditambahkan pada esensi, atau suatu “kejadian” dari esensi tersebut.
Ada dua hal yang harus dicatat. Pertama, keberadaan yaitu suatu yang ditambahkan, bukan pada objek-objek yang ada—hal ini akan musykil—tetapi pada esensi. Hal ini lantaran segala sesuatu, baik ada maupun tidak, pada kenyataannya yaitu “sesuatu” yang darinya pernyataan sanggup dibuat, baik positif maupun negatif. Bahkan, ketidakadaan pun yaitu “suatu”, alasannya seseorang sanggup membicarakannya. Akan tetapi, keberadaan individu yang positif yaitu lebih dari sekadar “sesuatu”. Oleh lantaran itu, Ibnu Sina menyampaikan bahwa apabila keberadaan dihubungkan dengan esensi, keberadaan ini sama dengan “adalah sesuatu” dan, lantaran itu, pernyataan semacam itu tidak “menguntungkan”. Pernyataan-pernyataan wacana hal-hal yang ada yaitu informatif dan menguntungkan lantaran menambah pada esensi sesuatu yang baru.
Kedua, meskipun membicarakan bahan itu pada beberapa kawasan sebagai prinsip kemajemukan bentuk atau esensi, Ibnu Sina tidak pernah menyampaikan bahwa bahan yaitu prinsip dari suatu yang maujud. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada yaitu Tuhan—Penyebab ke-maujud-an bahan yaitu penyebab okasional ke-maujud-an, yang menyuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.
Tampaknya terdapat banyak kebingungan yang fundamental dalam goresan pena Ibnu Sina yang membahas istilah “keberadaan”, “kejadian”, dan “esensi”, sebagaimana disebutkan Fuad Al-Ahwani dalam tulisannya. Menarik pula untuk disajikan di sini goresan pena Shams Inati yang memetakan lebih rapi dibandingkan goresan pena Fuad Al-Ahwani wacana maujud Tuhan versi Ibnu Sina dengan segala eksistensinya sebagai berikut: “Maujud mungkin merupakan substansi atau aksiden. Suatu substansi yaitu apapun yang tidak berada dalam suatu subjek, baik dalam bahan maupun bukan materi. Oleh lantaran itu, substansi ada dua macam: (1) yang berada dalam materi; (2) yang tidak berada dalam materi. Kategori ini dibagi lagi menjadi tiga: (a) bahan itu sendiri; (b) yang disertai oleh materi; (c) yang bukan bahan juga tidak disertai oleh materi. Skema ini berarti ada empat tipe substansi: (1) bentuk dalam materi, ibarat jiwa dalam badan; (2) bahan tanpa bentuk—ini yaitu bahan mutlak, yang tidak mempunyai keberadaan dalam aktualitas, tetapi hanya dalam konsepsi; (3) tersusun dari bentuk dan materi, ibarat insan tersusun dari jiwa dan badan; (4) bentuk yang terpisah dari materi, ibarat Tuhan atau intelek, yang bukan bahan dan tidak ada kontak (tidak berhubungan) dengan materi. Aksiden, di sisi lain, berada dalam suatu subjek dan dibagi menjadi sembilan tipe: kualitas, kuantitas, relasi, waktu, ruang, posisi, kondisi, aksi, dan reaksi”.
Wujud sesuatu boleh jadi pasti (wajib atau mesti) dan boleh jadi mungkin. Wujud yang pasti yaitu sesuatu yang termasuk di dalamnya diandaikan tidak ada, kemustahilanlah yang muncul. Eksistensi yang mungkin yaitu sesuatu yang termasuk di dalamnya diasumsikan tidak ada atau ada, tidak ada kemustahilan yang muncul.
Di dalam konteks lain, Ibnu Sina menyebutkan bahwa “wujud yang mungkin” sanggup juga dipakai dalam pengertian “wujud dalam potensi”. Eksistensi yang pasti (wajib) yaitu keberadaan yang senantiasa berada atau termasuk dalam sesuatu melalui sesuatu itu sendiri atau yang senantiasa termasuk di dalamnya melalui yang lain. Misalnya, keberadaan pembakaran yaitu niscaya, bukan lantaran pembakaran itu sendiri, melainkan lantaran bertemunya dua hal, yang satu secara alamiah bisa mengkremasi dan yang lainnya secara alamiah sanggup terbakar. Apa yang pasti melalui dirinya sendiri tidak mungkin pasti melalui yang lain. Demikian pula sebaliknya. Misalnya, jikalau keberadaan A pasti melalui A, keberadaan ini tidak mungkin pasti melalui B. Demikian pula, jikalau ia (A) pasti melalui B, ia tidak mungkin pasti melalui A. Hal ini berarti bahwa jikalau dalam perkara kedua, seseorang melihat A dalam diri A sendiri, ia menemukan keberadaan A tidak niscaya, atau mungkin dalam dirinya. Jika tidak, tidak mungkin lantaran eksistensinya telah ditegaskan. Oleh lantaran itu, eksistensinya yaitu mungkin dalam dirinya, pasti melalui yang lain, dan tidak mungkin tanpa yang lain. Eksistensinya melalui yang lain berbeda dengan eksistensinya tanpa yang lain. Hal pertama yaitu niscaya; hal kedua yaitu mungkin.
Eksistensi sesuatu yang pasti dalam dirinya ditentukan berdasarkan dua prinsip. Pertama, rangkaian hal-hal yang mungkin tidak mungkin tidak terbatas; kedua, rangkaian ini tidak mungkin menjadi pasti lantaran ia terdiri atas satuan-satuan wujud yang mungkin. Dengan demikian, ini berarti harus ada alasannya pasti yang berada di luar rangkaian ini—yaitu wujud atau keberadaan pasti (wajib), atau dikenal sebagai Tuhan.
Secara kekal, lantaran mendahului keberadaan segala sesuatu dan menjadi sumber keberadaan bagi segala sesuatu, maujud ini dikatakan sebagai alasannya pertama. Ia bebas dari materi, esa, dan tunggal dalam segala hal. Ia tidak mempunyai genus atau diferensia, dua unsur wajib dari sebuah definisi. Oleh alasannya itu, tidak ada definisi baginya, yang ada hanya nama. Bersifat imaterial, ia murni baik, lantaran hanya dalam materi, sumber segala kekurangan, terletak kejahatan (keburukan). Karena imaterialitasnya, ia juga merupakan intelek. Karena kesederhanaan atau ketunggalannya, intelek dan inteligibel yang terkandung di dalamnya itu satu.
Dalam dirinya sendiri, Dia yaitu yang Dicintai dan Pencinta, Yang Disenangi dan Yang Menyenangi. Ia yaitu Yang Dicintai lantaran Dia yaitu Keindahan tertinggi. Ia yaitu Keindahan tertinggi lantaran tidak ada keindahan yang lebih tinggi daripada menjadi intelek murni, jauh dari segala kekurangan, dan esa dalam segala hal. Keindahan atau kebaikan yang cocok dan dipahami itu diingini dan dicintai. Semakin dalam esensi sanggup ditangkap oleh pemahaman, dan semakin indah esensi yang dipahami itu, semakin kuatlah daya pemahaman mencintainya dan menemukan kesenangan di dalamnya.
Dengan demikian, wujud niscaya, yang paling indah, sempurna, dan terbaik, yang memahami dirinya dalam keindahan dan kebaikan tertinggi dengan pemahaman paling sempurna, dan memahami pemahaman dan yang dipahami sebagai satu dalam realitas, dalam esensi dan dengan esensinya, yaitu Sang Maha Pencinta dan Maha Dicintai, dan Maha Menyenangkan dan Maha Disenangi.
Dari wujud yang pasti ini, wujud lainnya melimpah atau memancar melalui proses emanasi. Yang pertama-tama beremanasi yaitu intelek langit, kemudian diikuti jiwa langit, tubuh langit, dan jadinya wujud bumi. Semua wujud ini melimpah atau beremanasi dari-Nya dalam kekekalan. Jika tidak, suatu keadaan yang tidak ada sebelumnya akan muncul dalam diri-Nya. Akan tetapi, ini tidak mungkin dalam suatu wujud yang pasti dalam segala aspek. Emanasi merupakan hasil pasti dari Esensi Tuhan dan tidak sanggup dikaitkan dengan tujuan di luar Esensi-Nya. Pertama, tidak ada sesuatu pun dalam diri-Nya, kecuali Esensi-Nya—Ia merupakan ketunggalan total, tetapi Dia sanggup dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Hanya berdasarkan pemahaman semacam itulah seseorang sanggup membicarakan sifat-sifat-Nya. Kedua, sekalipun mungkin bagi-Nya mempunyai sifat-sifat semacam itu yang berkaitan dengan dunia. Alasannya bahwa setiap tujuan yaitu demi yang dituju dan eksistensinya kurang dari yang dituju. Hal ini dikarenakan jikalau sesuatu itu untuk atau demi (for the sake of) yang lain, yang lain itu lebih tepat eksistensinya. Hal ini berarti bahwa apa pun yang eksistensinya lebih tepat daripada yang lain tidak sanggup berhasrat kepada yang lain itu. Oleh lantaran itu, Tuhan tidak sanggup berhasrat pada dunia atau sesuatu yang ada di dunia lantaran eksistensi-Nya lebih tepat daripada dunia.
Tuhan atau alasannya lain tidak mungkin disempurnakan secara esensial oleh efeknya sehingga tidak mungkin memaksudkan efek-efeknya atau sesuatu bagi mereka, tetapi Tuhan atau alasannya lain secara aksidental sanggup mengakibatkan imbas yang menguntungkan. Jika ia yaitu Tuhan, ia tahu dan bahagia akan efek-efek tersebut. Kesehatan misalnya, “secara substansial dan esensial, bukan untuk menguntungkan orang sakit, melainkan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan orang sakit”. Sebab halnya kesehatan, sebab-sebab yang lebih tinggi yaitu sebab-sebab yang berada dalam diri mereka sendiri, bukan untuk menguntungkan sesuatu yang lain; tetapi mereka sanggup menguntungkan yang lain secara aksidental. Meskipun demikian, mereka berbeda dari kesehatan, dalam arti mereka mengetahui segala sesuatu yang ada serta tatanan dan kebaikan sesuai dengan keberadaan sesuatu tersebut. Akan tetapi, kepemeliharaan dinisbatkan kepada Tuhan, alasannya pertama dari segala sesuatu. Kepemeliharaan tidak harus dipahami dalam pengertian petunjuk Tuhan terhadap dunia atau kepedulian terhadapnya. Sebaliknya, kepemeliharaan didefinisikan sebagai pengetahuan Tuhan mengenai tatanan wujud dan kebaikannya, pengetahuan-Nya bahwa Dia yaitu sumber emanasi tatanan ini lantaran hal itu mungkin, dan bahwa Dia bahagia dengan tatanan ini.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Sina. Riwayat Hidup
2. Ibnu Sina. Karya Filsafat
3. Ibnu Sina. Pembagian Ilmu dan Filsafat
4. Ibnu Sina. Metafisika
5. Ibnu Sina. Hubungan Jiwa-Raga
6. Ibnu Sina. Filsafat Tentang Kenabian
7. Pengaruh Ibnu Sina di Timur dan Barat
Belum ada Komentar untuk "Ibnu Sina. Ihwal Wujud"
Posting Komentar