Mazhab Frankfurt. Theodor Wissenground Adorno (1903-1969)
Pemikir Jerman yang satu ini bergerak dalam wilayah ilmiah yang amat luas. Di antara filsuf-filsuf yang hidup di sekitar kurun ke-20 mungkin tiada duanya yang menguasai begitu banyak bidang keahlian mirip Adorno. Namanya menjadi tersohor dalam korelasi dengan filsafat, sosiologi, psikologi, maupun musikologi. Dan terus-menerus ia menerobos tapal batas antara semua ilmu itu.
Salah satu ciri yang mencolok dalam pandangan filosofisnya ialah penolakannya terhadap pemikiran sistematis. Sepintas kemudian suatu ciri yang mengherankan, kalau kita mengetahui bahwa pemikirannya cukup erat dengan filsafat Marx* dan Hegel*, alasannya filsuf-filsuf ini—dan teristimewa yang terakhir—termasuk yang paling sistematis dalam sejarah filsafat modern. Tetapi imbas Marx* dan Hegel* terutama menyangkut isi filsafatnya (dialektika, tekanan pada relasi-relasi sosial, dan lain sebagainya) tetapi tidak begitu terasa dalam bentuknya. Dalam bentuk yang dipilihnya untuk filsafatnya ia lebih ibarat Kierkegaard* dan Nietzsche*. Seperti mereka juga, Adorno lebih suka menulis “fragmen-fragmen filosofis” (anak judul buku Dialektika Pencerahan, yang ditulis bersama Horkheimer*).
Tetapi perlu kita hati-hati dalam mengaitkan terlalu erat isi filsafat Adorno dengan filsafat Hegel* dan Marx*. Memang benar, secara global pemikiran Adorno sanggup ditempatkan dalam tradisi marxisme dan idealism Jerman. Tetapi dengan mengkritik beberapa pemikiran yang sama sekali hakiki bagi idealism dan marxisme Adorno menempuh jalan sendiri. Barangkali yang paling penting ialah kritiknya atas identitas sebagai tema pokok idealism. Bagi idealism (dan sesungguhnya juga bagi seluruh tradisi filsafat semenjak Plato*) berpikir ialah mengidentifikasikan. Bagi Hegel*, filsafat bertugas mengidentifikasikan realitas dan pengertian. Sebaliknya, bagi Adorno kiprah filsafat ialah menemukan kontradiksi, non-identitas. Kritik Adorno yang amat sulit ini mustahil diuraikan lebih lanjut, tetapi barangkali kini sudah sanggup diperkirakan kaitannya dengan penolakannya terhadap sistem yang disebutkan tadi.
Dalam bidang filsafat, karya Adorno yang terpenting ialah Dialektika Negatif yang oleh Adorno sendiri dalam kata pengantarnya disebut sebuah “inti-sistem”. Di bawah ini kami mencoba untuk menyingkatkan beberapa pemikiran dasar dari karya yang serba sulit ini. Bukunya berkisar pada suatu tema yang kerap kali menjadi pokok refleksi bagi Adorno (dan suatu tema yang kerap kali menjadi pokok refleksi bagi Adorno (dan Horkheimer* juga), yaitu rasionalitas. Dalam hal ini ia ingin mempertahankan suatu wangsit dasar Aufklarung, yaitu emansipasi melalui jalan menambah rasionalitas. Hanya dengan kritik radikal atas pemikiran Masa Pencerahan, yang berkisar pada paham “kemajuan” (Inggris: progress), sanggup ditentukan arti rasionalitas bagi zaman kita ini. Dengan lain perkataan, hanya dengan mencari sebab-sebab gagalnya emansipasi yang begitu dicita-citakan oleh teori-teori kemajuan dalam Masa Pencerahan dan sesudahnya, sanggup kita buka perspektif gres bagi zaman kita sekarang.
Semua teori wacana kemajuan semenjak Masa Pencerahan menafsirkan sejarah sebagai proses yang melibatkan insan dan alam dalam pertentangan satu sama lain. Sejarah dipandang sebagai pembebasan insan semakin mendalam dari cengkeraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya ketergantungan insan pada alam. Sejauh bangsa insan melepaskan diri dari ketergantungan itu ia menuju kebebasannya yang penuh. Justru lantaran itulah kemajuan sepanjang sejarah merupakan suatu emansipasi. Namun demikian, kemajuan tidak sanggup dipikirkan terlepas dari kemunduran. Sebab, kemajuan mustahil kalau tidak ada sesuatu yang ditiadakan atau dihancurkan, yaitu alam dari mana insan membebaskan diri. Maka dari itu suatu teori wacana kemajuan hanya mungkin sebagai teori dialektis, artinya teori di mana kemajuan hanya dimengerti sejauh kemunduran turut dimengerti. Inti dialektika ialah perlunya penguasaan. Manusia hanya sanggup membebaskan diri dari alam dengan menaklukkan alam kepadanya. Mengatasi ketergantungan dari alam hanya sanggup dicapai dengan penguasaan yang diorganisasikan.
Dalam analisis ini Adorno memakai beberapa gagasan Marx*, tetapi khusus bagi Adorno ialah bahwa ia menyamakan prinsip penguasaan dengan prinsip rasionalitas. Dengan rasionalitasnya insan menaklukkan bumi kepadanya. Hal ini dinamakan Adorno sebagai teknologi dan dengan istilah ini dimaksudkannya seluruh proses rasionalisasi, baik dalam sejarah filsafat dari Plato* hingga dengan Hegel*, maupun dalam ilmu pengetahuan yang bersifat teknologis dalam arti lebih sempit. Yang mahapenting bagi Adorno dalam konteks ini ialah bahwa dengan menaklukkan alam kepadanya insan belum masuk dalam kebebasannya. Hal itu memang dibutuhkan oleh teori-teori kemajuan yang tradisional. Herbert Spencer*, misalnya, masih berkeyakinan bahwa peperangan akan lenyap dari permukaan bumi dengan penyebaran ilmu pengetahuan serta teknik dan bertambahnya hubungan-hubungan perdagangan antara bangsa-bangsa.
Namun demikian, bertentangan dengan harapan tadi, yang terjadi ialah bahwa insan ingin membebaskan diri dengan menguasai alam, pada zaman kini ini menjadi objek penguasaan itu. Daripada menghasilkan emansipasi manusia, ilmu pengetahuan dan teknik (atau dengan perkataan lain, seluruh proses penguasaan alam) menciptakan insan menjadi objek. Manusia sebagai subjek yang menguasai, menjadi objek penguasaan sendiri. Ia yang mau membebaskan dirinya sendiri, pada kenyataannya diperbudak saja. Terdapatlah suatu pembalikan (Umschlag) subjek dan objek: dari subjek menjadi objek. Pembalikan ini merupakan duduk kasus pokok bagi Adorno. Bagaimana kita sanggup mengerti bahwa insan sebagai subjek yang membebaskan diri dengan menaklukkan alam, menjadi objek penguasaan alam yang dijalankan olehnya? Keadaan ini di mana kebebasan insan sama sekali lenyap, oleh Adorno disebut “negativitas total”. Keadaan dunia kini ini sebagai negativitas total telah menampakkan diri dalam kamp-kamp konsentrasi dari kurun keduapuluh. Sesudah Auschwitz orang tidak sanggup lagi menganut optimism naif dari sekian banyak teori kemajuan, alasannya periode ini tidak sanggup dianggap sebagai sekedar selingan dalam kemajuan ke arah kebebasan atau suatu kemunduran untuk sementara, melainkan harus dipandang sebagai tidak lain daripada pembalikan kemajuan itu sendiri. Bagi Adorno, emansipasi—dimengerti sebagai pembebasan melalui penguasaan—berakhir dalam kamp-kamp konsentrasi waktu nazisme, artinya dalam industrial genocide yang dipraktekkan dalam kurun ke-20. Dalam Auschwitz menampakan hakikat zaman kita ini. Atau sanggup dikatakan juga, bagi Adorno Auschwitz memiliki relevansi metafisis, yaitu memperlihatkan esensi sejarah hingga kini ini. Pada titik ini dalam jalan pemikiran Adorno timbul pertanyaan: bagaimana “hasil” ini dalam perkembangan emansipasi sanggup dimengerti? Bagaimana pembalikan ini mungkin? Apakah yang menjadikan proses emansipasi dengan kemutlakan intern mengarah ke kejadian-kejadian itu? Adorno menjawab bahwa proses ini tidak menerima dasarnya di luar sejarah, tetapi pada pokoknya seluruh proses ini ialah identik dengan sejarah sendiri. Adorno beranggapan bahwa seluruh sejarah hingga pada hari ini ditandai oleh suatu “malapetaka permanen” (a permanent catastrophe). Hal ini harus memperoleh dasarnya dalam awal mula sejarah. Pada permulaan sejarah sebagai malapetaka permanen terdapat suatu tindakan irrasional, yaitu kemampuan untuk menguasai alam secara total. Tetapi kalau permulaan sejarah—dan dengan itu juga seluruh sejarah selanjutnya—bersifat irasional, maka sanggup ditarik kesimpulan pula bahwa sejarah tidak mutlak perlu harus berlangsung mirip adanya (melawan Hegel*). Adorno mengakui kemungkinan utopi, artinya kemungkinan timbulnya suatu masyarakat yang sama sekali lain daripada yang kita kenal dalam sejarah konkret. Tetapi serentak juga ia merasa sangat pesimistis terhadap kemungkinan untuk kini ini merealisasikan suatu masyarakat yang benar. Menurut Adorno, kini ini bukan saatnya untuk praksis. Untuk ketika kini ini Adorno hanya melihat kemungkinan untuk membiarkan pikiran akan masyarakat benar menjadi matang dalam teori (teori wacana negativitas total). Penolakan Adorno terhadap agresi ini telah menjauhkan beliau dari para mahasiswa aktivis.
Kedua kini kita hidup dalam negativitas total, kalau situasi kita kini ini (dan seluruh sejarah yang telah menuju ke situasi ini) secara mendasar salah, maka rasio sendiri tidak luput dari nasib ini. Karena itu rasio sendiri tidak sanggup memecahkan belenggu yang mengikatnya. Namun demikian, sudah nyata suatu kritik radikal hanya mungkin berdasarkan rasionalitas (yang membelenggu itu). Bagaimana caranya mendobrak penguasaan total itu? Menurut Adorno, hal itu hanya mungkin berdasarkan pengalaman wacana penderitaan. Penderitaan meloloskan diri dari penguasaan total dan alhasil sanggup menyadarkan serta mengatasi negativitas total. Adorno melukiskan penderitaan sebagai objektivitas yang menekan subjektivitas. Maksudnya bahwa penderitaan merupakan suatu hal yang bersifat paling subjektif (menyangkut subjek sebagai subjek), tetapi serentak juga melebihi subjek, lantaran ternyata disebabkan oleh fakta-fakta objektif. Objektivitas ini memungkinkan teori, termasuk juga filsafat Adorno dalam Dialektika Negatif. Jadi, filsafat tidak berasal dari suatu kebebasan otonom. Kebebasan filsafat, kata Adorno, tidak lain daripada kesanggupan untuk memberi bunyi kepada ketidakbebasan. Kiranya sudah terang bahwa filsafat Adorno bersifat sungguh-sungguh pesimistis. Tetapi biarpun kemungkinan untuk mengubah situasi kita kini sangat tipis olehnya, filsafat harus berusaha terus. Usaha ini memiliki arti etis, alasannya nasional-sosialisme telah menampilkan suatu imperative kategoris gres bagi umat manusia: menyelenggarakan pemikiran dan kegiatan mereka demikian rupa sehingga Auschwitz tidak hingga terulang lagi. A new categorical imperative has been imposed by Hitler upon unfree mankind: to arrange their thoughts and actions so that Auschwitz will not repeat itself, so that nothing similar will happen.
Pada umumnya Adorno (dan Horkheimer*) tidak bersikap simpatik terhadap filsafat Martin Heidegger*. Bahkan Adorno menulis suatu buku, Yargon otensitas namanya, yang memberi kritik tajam atas apa yang disebutnya eksistensialisme Jerman, khususnya pemikiran Heidegger*. Menurut dia, keberatan utama melawan Heidegger ialah bahwa filsafatnya berusaha menangani keadaan-keadaan dialektis dengan cara nondialektis. Namun demikian, tidak sanggup disangkal juga adanya kemiripan yang mencolok antara kedua pemikir Jerman ini, terutama dalam cara mereka memandang sejarah dan menilai zaman kita sekarang. Biarpun pemikiran mereka berlangsung dalam konteks yang berlain-lainan, kesimpulan-kesimpulan kedua filsuf tersohor ini intinya tidak berbeda banyak. Heidegger* juga beropini bahwa seluruh perkembangan sejarah menuju “suatu penguasaan total” (bandingkan pendapat Heidegger* wacana hakikat teknik). Dan biarpun Adorno maupun Heidegger memiliki pandangan yang pesimistis wacana situasi kita sekarang, kedua-duanya masih melihat suatu kiprah bagi filsafat dalam mengatasi situasi yang suram itu. Menurut Heidegger* filsafat sanggup mempersiapkan suatu zaman baru, untuk mengganti zaman “metafisika”. Menurut Adorno filsafat sanggup mempertahankan kemungkinan utopi, artinya suatu keadaan masyarakat yang sama sekali lain daripada sekarang.
Akhirnya sepatah kata wacana korelasi pemikiran Adorno dengan filsafat Marx*. Menurut pendapat Adorno revolusi kaum proletar yang diramalkan Marx* tidak jadi diwujudkan. Keterasingan insan tidak hingga teratasi; sebaliknya, masyarakat cukup umur ini telah kembali kepada keadaan barbarism. Di sini secara kasatmata sanggup kita pikir akan insiden insiden sekitar nasionalisme sosialisme, tetapi serentak juga harus disebut keadaan dictator dan birokrasi represif yang menandai negara-negara komunis. Bersama dengan Marx*, Adorno mengakui pentingnya teori dalam mengatasi ketidakberesan dalam masyarakat di mana kita hidup. Emansipasi hanya bias dicapai melalui jalan rasionalitas. Tentu saja, hal ini mustahil lagi dengan cara naif mirip pernah dibayangkan oleh aliran Pencerahan.
Sejak kurun ke-19 kita sudah tahu bahwa kesadaran (termasuk juga rasionalitasnya) ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak disadari olehnya. Faktor-faktor itu ialah di satu pihak hukum-hukum eknonomis (ini memang berdasarkan pedoman Marx*) dan di lain pihak hal-ikhwal yang berasal dari nafsu-nafsu yang tidak dikuasai (dengan ini Adorno dan kawan-kawannya memberi kawasan kepada pedoman Freud* dalam rangka teori kritis). Tetapi yang dikritik Adorno mengenai pendapat Marx* ialah anggapannya wacana sejarah sebagai suatu proses yang mutlak perlu dan rasional. Dalam hal ini Marx* belum berhasil melepaskan diri dari idealism Hegel*. Kalau sejarah merupakan suatu malapetaka permanen—seperti sudah kita lihat--, maka sia-sia saja orang akan mencari rasionalitas di dalamnya. Bagi Adorno, yang mendasari sejarah atas suatu perbuatan irasional, sejarah tidak berlangsung dengan cara mutlak perlu. Tetapi sanggup dinyatakan bersama G. Rohrmoser apakah dialektika negative Adorno tidak merupakan dialektika yang betul-betul “kurus” sekali, kalau dibandingkan dengan Marx*. Menurut pedoman Karl Marx*, atas dasar ketidakcocokan antara sarana-sarana produksi dan hubungan-hubungan produksi sanggup disimpulkan bagaimana wajahnya masyarakat nanti sehabis revolusi yang tak urung harus timbul, yaitu masyarakat tanpa kelas. Pada Adorno hanya disimpulkan perlunya perubahan, tetapi bagaimana terwujudnya perubahan itu tinggal abnormal sama sekali.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Theodor W. Adorno. Biografi dan Karya
2. Dialektika Pencerahan (Dialektika der Aufklarung)
3. Mazhab Frankfurt
Salah satu ciri yang mencolok dalam pandangan filosofisnya ialah penolakannya terhadap pemikiran sistematis. Sepintas kemudian suatu ciri yang mengherankan, kalau kita mengetahui bahwa pemikirannya cukup erat dengan filsafat Marx* dan Hegel*, alasannya filsuf-filsuf ini—dan teristimewa yang terakhir—termasuk yang paling sistematis dalam sejarah filsafat modern. Tetapi imbas Marx* dan Hegel* terutama menyangkut isi filsafatnya (dialektika, tekanan pada relasi-relasi sosial, dan lain sebagainya) tetapi tidak begitu terasa dalam bentuknya. Dalam bentuk yang dipilihnya untuk filsafatnya ia lebih ibarat Kierkegaard* dan Nietzsche*. Seperti mereka juga, Adorno lebih suka menulis “fragmen-fragmen filosofis” (anak judul buku Dialektika Pencerahan, yang ditulis bersama Horkheimer*).
Tetapi perlu kita hati-hati dalam mengaitkan terlalu erat isi filsafat Adorno dengan filsafat Hegel* dan Marx*. Memang benar, secara global pemikiran Adorno sanggup ditempatkan dalam tradisi marxisme dan idealism Jerman. Tetapi dengan mengkritik beberapa pemikiran yang sama sekali hakiki bagi idealism dan marxisme Adorno menempuh jalan sendiri. Barangkali yang paling penting ialah kritiknya atas identitas sebagai tema pokok idealism. Bagi idealism (dan sesungguhnya juga bagi seluruh tradisi filsafat semenjak Plato*) berpikir ialah mengidentifikasikan. Bagi Hegel*, filsafat bertugas mengidentifikasikan realitas dan pengertian. Sebaliknya, bagi Adorno kiprah filsafat ialah menemukan kontradiksi, non-identitas. Kritik Adorno yang amat sulit ini mustahil diuraikan lebih lanjut, tetapi barangkali kini sudah sanggup diperkirakan kaitannya dengan penolakannya terhadap sistem yang disebutkan tadi.
Dalam bidang filsafat, karya Adorno yang terpenting ialah Dialektika Negatif yang oleh Adorno sendiri dalam kata pengantarnya disebut sebuah “inti-sistem”. Di bawah ini kami mencoba untuk menyingkatkan beberapa pemikiran dasar dari karya yang serba sulit ini. Bukunya berkisar pada suatu tema yang kerap kali menjadi pokok refleksi bagi Adorno (dan suatu tema yang kerap kali menjadi pokok refleksi bagi Adorno (dan Horkheimer* juga), yaitu rasionalitas. Dalam hal ini ia ingin mempertahankan suatu wangsit dasar Aufklarung, yaitu emansipasi melalui jalan menambah rasionalitas. Hanya dengan kritik radikal atas pemikiran Masa Pencerahan, yang berkisar pada paham “kemajuan” (Inggris: progress), sanggup ditentukan arti rasionalitas bagi zaman kita ini. Dengan lain perkataan, hanya dengan mencari sebab-sebab gagalnya emansipasi yang begitu dicita-citakan oleh teori-teori kemajuan dalam Masa Pencerahan dan sesudahnya, sanggup kita buka perspektif gres bagi zaman kita sekarang.
Semua teori wacana kemajuan semenjak Masa Pencerahan menafsirkan sejarah sebagai proses yang melibatkan insan dan alam dalam pertentangan satu sama lain. Sejarah dipandang sebagai pembebasan insan semakin mendalam dari cengkeraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya ketergantungan insan pada alam. Sejauh bangsa insan melepaskan diri dari ketergantungan itu ia menuju kebebasannya yang penuh. Justru lantaran itulah kemajuan sepanjang sejarah merupakan suatu emansipasi. Namun demikian, kemajuan tidak sanggup dipikirkan terlepas dari kemunduran. Sebab, kemajuan mustahil kalau tidak ada sesuatu yang ditiadakan atau dihancurkan, yaitu alam dari mana insan membebaskan diri. Maka dari itu suatu teori wacana kemajuan hanya mungkin sebagai teori dialektis, artinya teori di mana kemajuan hanya dimengerti sejauh kemunduran turut dimengerti. Inti dialektika ialah perlunya penguasaan. Manusia hanya sanggup membebaskan diri dari alam dengan menaklukkan alam kepadanya. Mengatasi ketergantungan dari alam hanya sanggup dicapai dengan penguasaan yang diorganisasikan.
Dalam analisis ini Adorno memakai beberapa gagasan Marx*, tetapi khusus bagi Adorno ialah bahwa ia menyamakan prinsip penguasaan dengan prinsip rasionalitas. Dengan rasionalitasnya insan menaklukkan bumi kepadanya. Hal ini dinamakan Adorno sebagai teknologi dan dengan istilah ini dimaksudkannya seluruh proses rasionalisasi, baik dalam sejarah filsafat dari Plato* hingga dengan Hegel*, maupun dalam ilmu pengetahuan yang bersifat teknologis dalam arti lebih sempit. Yang mahapenting bagi Adorno dalam konteks ini ialah bahwa dengan menaklukkan alam kepadanya insan belum masuk dalam kebebasannya. Hal itu memang dibutuhkan oleh teori-teori kemajuan yang tradisional. Herbert Spencer*, misalnya, masih berkeyakinan bahwa peperangan akan lenyap dari permukaan bumi dengan penyebaran ilmu pengetahuan serta teknik dan bertambahnya hubungan-hubungan perdagangan antara bangsa-bangsa.
Namun demikian, bertentangan dengan harapan tadi, yang terjadi ialah bahwa insan ingin membebaskan diri dengan menguasai alam, pada zaman kini ini menjadi objek penguasaan itu. Daripada menghasilkan emansipasi manusia, ilmu pengetahuan dan teknik (atau dengan perkataan lain, seluruh proses penguasaan alam) menciptakan insan menjadi objek. Manusia sebagai subjek yang menguasai, menjadi objek penguasaan sendiri. Ia yang mau membebaskan dirinya sendiri, pada kenyataannya diperbudak saja. Terdapatlah suatu pembalikan (Umschlag) subjek dan objek: dari subjek menjadi objek. Pembalikan ini merupakan duduk kasus pokok bagi Adorno. Bagaimana kita sanggup mengerti bahwa insan sebagai subjek yang membebaskan diri dengan menaklukkan alam, menjadi objek penguasaan alam yang dijalankan olehnya? Keadaan ini di mana kebebasan insan sama sekali lenyap, oleh Adorno disebut “negativitas total”. Keadaan dunia kini ini sebagai negativitas total telah menampakkan diri dalam kamp-kamp konsentrasi dari kurun keduapuluh. Sesudah Auschwitz orang tidak sanggup lagi menganut optimism naif dari sekian banyak teori kemajuan, alasannya periode ini tidak sanggup dianggap sebagai sekedar selingan dalam kemajuan ke arah kebebasan atau suatu kemunduran untuk sementara, melainkan harus dipandang sebagai tidak lain daripada pembalikan kemajuan itu sendiri. Bagi Adorno, emansipasi—dimengerti sebagai pembebasan melalui penguasaan—berakhir dalam kamp-kamp konsentrasi waktu nazisme, artinya dalam industrial genocide yang dipraktekkan dalam kurun ke-20. Dalam Auschwitz menampakan hakikat zaman kita ini. Atau sanggup dikatakan juga, bagi Adorno Auschwitz memiliki relevansi metafisis, yaitu memperlihatkan esensi sejarah hingga kini ini. Pada titik ini dalam jalan pemikiran Adorno timbul pertanyaan: bagaimana “hasil” ini dalam perkembangan emansipasi sanggup dimengerti? Bagaimana pembalikan ini mungkin? Apakah yang menjadikan proses emansipasi dengan kemutlakan intern mengarah ke kejadian-kejadian itu? Adorno menjawab bahwa proses ini tidak menerima dasarnya di luar sejarah, tetapi pada pokoknya seluruh proses ini ialah identik dengan sejarah sendiri. Adorno beranggapan bahwa seluruh sejarah hingga pada hari ini ditandai oleh suatu “malapetaka permanen” (a permanent catastrophe). Hal ini harus memperoleh dasarnya dalam awal mula sejarah. Pada permulaan sejarah sebagai malapetaka permanen terdapat suatu tindakan irrasional, yaitu kemampuan untuk menguasai alam secara total. Tetapi kalau permulaan sejarah—dan dengan itu juga seluruh sejarah selanjutnya—bersifat irasional, maka sanggup ditarik kesimpulan pula bahwa sejarah tidak mutlak perlu harus berlangsung mirip adanya (melawan Hegel*). Adorno mengakui kemungkinan utopi, artinya kemungkinan timbulnya suatu masyarakat yang sama sekali lain daripada yang kita kenal dalam sejarah konkret. Tetapi serentak juga ia merasa sangat pesimistis terhadap kemungkinan untuk kini ini merealisasikan suatu masyarakat yang benar. Menurut Adorno, kini ini bukan saatnya untuk praksis. Untuk ketika kini ini Adorno hanya melihat kemungkinan untuk membiarkan pikiran akan masyarakat benar menjadi matang dalam teori (teori wacana negativitas total). Penolakan Adorno terhadap agresi ini telah menjauhkan beliau dari para mahasiswa aktivis.
Kedua kini kita hidup dalam negativitas total, kalau situasi kita kini ini (dan seluruh sejarah yang telah menuju ke situasi ini) secara mendasar salah, maka rasio sendiri tidak luput dari nasib ini. Karena itu rasio sendiri tidak sanggup memecahkan belenggu yang mengikatnya. Namun demikian, sudah nyata suatu kritik radikal hanya mungkin berdasarkan rasionalitas (yang membelenggu itu). Bagaimana caranya mendobrak penguasaan total itu? Menurut Adorno, hal itu hanya mungkin berdasarkan pengalaman wacana penderitaan. Penderitaan meloloskan diri dari penguasaan total dan alhasil sanggup menyadarkan serta mengatasi negativitas total. Adorno melukiskan penderitaan sebagai objektivitas yang menekan subjektivitas. Maksudnya bahwa penderitaan merupakan suatu hal yang bersifat paling subjektif (menyangkut subjek sebagai subjek), tetapi serentak juga melebihi subjek, lantaran ternyata disebabkan oleh fakta-fakta objektif. Objektivitas ini memungkinkan teori, termasuk juga filsafat Adorno dalam Dialektika Negatif. Jadi, filsafat tidak berasal dari suatu kebebasan otonom. Kebebasan filsafat, kata Adorno, tidak lain daripada kesanggupan untuk memberi bunyi kepada ketidakbebasan. Kiranya sudah terang bahwa filsafat Adorno bersifat sungguh-sungguh pesimistis. Tetapi biarpun kemungkinan untuk mengubah situasi kita kini sangat tipis olehnya, filsafat harus berusaha terus. Usaha ini memiliki arti etis, alasannya nasional-sosialisme telah menampilkan suatu imperative kategoris gres bagi umat manusia: menyelenggarakan pemikiran dan kegiatan mereka demikian rupa sehingga Auschwitz tidak hingga terulang lagi. A new categorical imperative has been imposed by Hitler upon unfree mankind: to arrange their thoughts and actions so that Auschwitz will not repeat itself, so that nothing similar will happen.
Pada umumnya Adorno (dan Horkheimer*) tidak bersikap simpatik terhadap filsafat Martin Heidegger*. Bahkan Adorno menulis suatu buku, Yargon otensitas namanya, yang memberi kritik tajam atas apa yang disebutnya eksistensialisme Jerman, khususnya pemikiran Heidegger*. Menurut dia, keberatan utama melawan Heidegger ialah bahwa filsafatnya berusaha menangani keadaan-keadaan dialektis dengan cara nondialektis. Namun demikian, tidak sanggup disangkal juga adanya kemiripan yang mencolok antara kedua pemikir Jerman ini, terutama dalam cara mereka memandang sejarah dan menilai zaman kita sekarang. Biarpun pemikiran mereka berlangsung dalam konteks yang berlain-lainan, kesimpulan-kesimpulan kedua filsuf tersohor ini intinya tidak berbeda banyak. Heidegger* juga beropini bahwa seluruh perkembangan sejarah menuju “suatu penguasaan total” (bandingkan pendapat Heidegger* wacana hakikat teknik). Dan biarpun Adorno maupun Heidegger memiliki pandangan yang pesimistis wacana situasi kita sekarang, kedua-duanya masih melihat suatu kiprah bagi filsafat dalam mengatasi situasi yang suram itu. Menurut Heidegger* filsafat sanggup mempersiapkan suatu zaman baru, untuk mengganti zaman “metafisika”. Menurut Adorno filsafat sanggup mempertahankan kemungkinan utopi, artinya suatu keadaan masyarakat yang sama sekali lain daripada sekarang.
Akhirnya sepatah kata wacana korelasi pemikiran Adorno dengan filsafat Marx*. Menurut pendapat Adorno revolusi kaum proletar yang diramalkan Marx* tidak jadi diwujudkan. Keterasingan insan tidak hingga teratasi; sebaliknya, masyarakat cukup umur ini telah kembali kepada keadaan barbarism. Di sini secara kasatmata sanggup kita pikir akan insiden insiden sekitar nasionalisme sosialisme, tetapi serentak juga harus disebut keadaan dictator dan birokrasi represif yang menandai negara-negara komunis. Bersama dengan Marx*, Adorno mengakui pentingnya teori dalam mengatasi ketidakberesan dalam masyarakat di mana kita hidup. Emansipasi hanya bias dicapai melalui jalan rasionalitas. Tentu saja, hal ini mustahil lagi dengan cara naif mirip pernah dibayangkan oleh aliran Pencerahan.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Theodor W. Adorno. Biografi dan Karya
2. Dialektika Pencerahan (Dialektika der Aufklarung)
3. Mazhab Frankfurt
Belum ada Komentar untuk "Mazhab Frankfurt. Theodor Wissenground Adorno (1903-1969)"
Posting Komentar