David Hume. Etika
Sesuai dengan sikapnya yang empiristik, Hume menolak segala sistem sopan santun yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Yang sanggup kita ketahui hanyalah apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman indriawi dan pengalaman perasaan dalam diri kita. Dengan demikian, sudah terperinci bahwa Hume tidak mendapatkan adanya nilai-nilai mutlak, jadi nilai-nilai yang berlaku objektif, terlepas dari perasaan kita, nilai-nilai yang mendahului perilaku kita.
Sesuatu itu bernilai oleh alasannya yaitu kita merasa tertarik kepadanya, dan bukan sebaliknya kita merasa tertarik kepada sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Oleh alasannya yaitu itu, sopan santun harus dicari dalam diri kita sendiri. Kelihatan sekali psikologisme Hume: problem baik dan jelek tidak dianggap objektif, melainkan hal perasaan kita.
Pendekatan empiristik Hume itu membawa implikasi pribadi bahwa tidak ada dasar untuk bicara wacana “keharusan moral”. Yang sanggup kita alami selalu faktual, berupa suatu data, dan tidak pernah suatu keharusan. Kita sanggup melihat sesuatu atau membaca sesuatu; kita sanggup merasa setuju, bangga, gembira, atau jijik, benci atau malu; tetapi semua itu merupakan fakta, data, dan bukan keharusan. Bahkan sesuatu yang sangat kita setujui harus kita setujui atau harus kita usahakan, begitu pula bahwa sesuatu yang kita benci, yang mengakibatkan perasaan jijik itu harus kita tolak atau wajib kita hindari, merupakan pelengkap yang tidak termuat dalam pengalaman empiris. Jadi, tidak masuk nalar bicara wacana sebuah kewajiban objektif. Lalu juga tidak masuk nalar mempertanyakan norma-norma moral objektif, kriteria objektif mengenai tindakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib. Semua ini berdasarkan Hume tidak mempunyai dasar rasional apa pun alasannya yaitu tidak termasuk dalam pengalaman empiris dan oleh alasannya yaitu itu tidak sanggup kita ketahui. Dengan demikian, Hume menolak kemungkinan sebuah sopan santun normatif.
Hume tidak menyangkal bahwa insan sering memperlihatkan evaluasi moral, bahkan ia sering merasa berkewajiban: ada yang kita nilai positif, yang kita setujui, kita puji, dan ada yang kita nilai negatif, kita tegur, dan kita tolak. “Hume membedakan empat kelompok sifat yang positif: a) yang berkhasiat bagi masyarakat: kebaikan hati dan keadilan; b) yang berkhasiat bagi kita sendiri: kehendak yang kuat, kerajinan, perilaku hemat, kekuatan badani, kepintaran akal, dan kemampuan rohani lain; c) yang bagi kita sendiri secara pribadi menyenangkan: tabiat gembira, kebesaran jiwa, tabiat yang luhur, keberanian, ketenangan, dan kebaikan; d) yang pribadi menyenangkan bagi orang lain: perilaku tahu diri, tata krama, kesopanan, humor”.
Namun, berdasarkan Hume penilaian-penilaian itu tidak berdasarkan rasio, pertimbangan-pertimbangan objetif, melainkan semata-mata berdasarkan perasaan. Etika yaitu Perasaan Moral. Hume memang tokoh moral sentiment theories. Unsur bersama sifat-sifat tersebut yaitu nikmat dan kegunaan. Sesuatu itu kita nilai baik apabila memperlihatkan nikmat atau bermanfaat. Jadi, evaluasi moral mengungkapkan perasaan oke atau perasaan tidak setuju.
Sedangkan dalam hal kegunaan Hume berpendapat, bahwa rasio sanggup mempunyai peranan. Dengan rasio, kita sanggup mengetahui apa yang berkhasiat untuk memperoleh perasaan nikmat. Namun, bahwa apa yang kita anggap berkhasiat itu kita puji dan kita usahakan, serta bahwa apa yang kita anggap tidak berkhasiat kita tolak dan kita kutuk, itu bukan urusan rasio. Menurut Hume, rasio tidak sanggup mengemudikan tindakan; ia tidak sanggup menggerakkan apa-apa. Yang sanggup menggerakkan tindakan semata-mata perasaan. Perasaan kita tertarik kepada nikmat, maka kita merasa terdorong untuk mengusahakan apa yang diperlukan menghasilkan nikmat dan menghindari perasaan sakit. Begitu pula, kita merasa terdorong untuk mengusahakan apa yang berkhasiat dan mencegah apa yang tidak berguna.
Yang menarik yaitu bahwa berdasarkan Hume kita tidak hanya terdorong untuk mengusahakan apa yang berkhasiat biar kita sendiri merasa nikmat, melainkan juga untuk menciptakan orang lain merasa nikmat serta untuk melindungi ia dari perasaan sakit. Jadi, kita juga terdorong untuk bersikap Baik Hati; kita mencicipi kebaikan hati (benevolence). Di sini kita melihat ciri dalam hedonisme Hume yang khas: hedonismenya tidak bersifat egois. Dalam hal ini Hume berbeda dengan hedonisme klasik. Kita gembira jikalau orang lain gembira dan duka jikalau orang lain tersiksa. Bagaimana Hume menandakan kenyataan yang memang sesuai dengan pengalaman kita ini, tetapi sepertinya bertentangan dengan anggapan bahwa nikmat yaitu nilai dasar?
Jawaban Hume sederhana: kemampuan untuk ikut mencicipi bersama orang lain berdasarkan simpati, dan simpati merupakan talenta alami. Secara alami kita memang makhluk sosial, maka kita mempunyai perasaan-perasaan sosial; kita merasa nikmat menyaksikan perasaan nikmat orang lain. Pada hewan saja kita menyaksikan perasaan simpati. Jadi, insan secara alami mempunyai kebaikan hati. Kegunaan kita minati alasannya yaitu merasa simpati dengan kebahagiaan umat insan dan menolak apa yang mencelakakannya. Kita mempunyai perasaan alami yang menjunjung tinggi kesejahteraan kelompok.
Dengan cara yang seakan-akan Hume menjelaskan perasaan Keadilan yang kita saksikan dimiliki manusia. Keadilan baginya yaitu “sifat buatan” (artificial quality); buatan dalam arti keadilan bukan sifat alami, melainkan gres berkembang belakangan pada ketika insan berhadapan dengan sebuah problem sosial. Dengan keadilan dimaksud proteksi terhadap hak-hak kita masing-masing. Demi kesejahteraan umum (yang kita minati secara alami) perlu hak-hak itu dijamin dengan mutlak, jadi dihentikan dilanggar, contohnya berdasarkan pertimbangan bahwa pelanggaran itu lebih menguntungkan. Kalau itu diizinkan, masyarakat segera akan kacau; insan menyepakati tuntutan keadilan. Kesepakatan kemudian kita internalisasikan melalui adaptasi sehingga balasannya kita secara impulsif merasa menyetujui keadilan.
Bahwa kita sanggup meminati keadilan, meskipun sanggup bertentangan dengan nikmat individual kita masing-masing, selain berdasarkan adaptasi itu tadi juga berdasarkan kemampuan alami manusia—paralel dengan perasaan simpati spontan—untuk mementingkan sesuatu tanpa berkepentingan pribadi, tanpa pamrih. Kepentingan individual tanpa pamrih berdasarkan Hume merupakan talenta alami, sebagai implikasi dua ciri yang kita miliki, yaitu simpati impulsif yang kita rasakan bagi orang lain dan kebiasaan untuk mengikuti aturan-aturan. Manusia berguru melalui pembiasaan. Karena itu, ia bisa mengalihkan perasaan impulsif yang mau mengejar nikmat menjadi persetujuan untuk menghormati aturan-aturan bersama, untuk betul-betul merasa terlibat pada keadilan, bahkan merasa berkewajiban. Inilah cara Hume menjelaskan perasaan kewajiban yang ada pada kita (dan yang memang terutama muncul dalam hubungan dengan keadilan). Perasaan itu tumbuh berdasarkan kemampuan alami untuk bersimpati dan memperlihatkan pinjaman tanpa pamrih di satu pihak, dan adaptasi diri hidup berdasarkan hukum yang melindungi keadilan di lain pihak. Akhirnya, kita merasa “wajib” untuk mengusahakan keadilan. Tanpa pamrih, berdasarkan kebaikan hati, kita meminati kebahagiaan orang lain dan demi itu menyetujui keadilan. Kesadaran itu pun hanya sebuah perasaan subjektif, hasil talenta alami dan pembiasaan.
Apakah berdasarkan Hume insan mempunyai Kebebasan? Tentu kebebasan bagi Hume bukanlah kemampuan kehendak untuk menemukan dirinya sendiri berdasarkan pengertian filsafat klasik. Hume bahkan tidak mengakui adanya kehendak. Kebebasan bukan lain dari tiadanya keniscayaan. Jadi, kebebasan itu sama dengan spontanitas. Orang itu bebas apabila tindakannya ditentukan oleh keinginan-keinginannya sendiri dan tidak terkendala oleh faktor-faktor dari luar.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. David Hume
2. David Hume (1711-1776)
3. David Hume. Skeptisisme
Baca Juga
Namun, berdasarkan Hume penilaian-penilaian itu tidak berdasarkan rasio, pertimbangan-pertimbangan objetif, melainkan semata-mata berdasarkan perasaan. Etika yaitu Perasaan Moral. Hume memang tokoh moral sentiment theories. Unsur bersama sifat-sifat tersebut yaitu nikmat dan kegunaan. Sesuatu itu kita nilai baik apabila memperlihatkan nikmat atau bermanfaat. Jadi, evaluasi moral mengungkapkan perasaan oke atau perasaan tidak setuju.
Sedangkan dalam hal kegunaan Hume berpendapat, bahwa rasio sanggup mempunyai peranan. Dengan rasio, kita sanggup mengetahui apa yang berkhasiat untuk memperoleh perasaan nikmat. Namun, bahwa apa yang kita anggap berkhasiat itu kita puji dan kita usahakan, serta bahwa apa yang kita anggap tidak berkhasiat kita tolak dan kita kutuk, itu bukan urusan rasio. Menurut Hume, rasio tidak sanggup mengemudikan tindakan; ia tidak sanggup menggerakkan apa-apa. Yang sanggup menggerakkan tindakan semata-mata perasaan. Perasaan kita tertarik kepada nikmat, maka kita merasa terdorong untuk mengusahakan apa yang diperlukan menghasilkan nikmat dan menghindari perasaan sakit. Begitu pula, kita merasa terdorong untuk mengusahakan apa yang berkhasiat dan mencegah apa yang tidak berguna.
Jawaban Hume sederhana: kemampuan untuk ikut mencicipi bersama orang lain berdasarkan simpati, dan simpati merupakan talenta alami. Secara alami kita memang makhluk sosial, maka kita mempunyai perasaan-perasaan sosial; kita merasa nikmat menyaksikan perasaan nikmat orang lain. Pada hewan saja kita menyaksikan perasaan simpati. Jadi, insan secara alami mempunyai kebaikan hati. Kegunaan kita minati alasannya yaitu merasa simpati dengan kebahagiaan umat insan dan menolak apa yang mencelakakannya. Kita mempunyai perasaan alami yang menjunjung tinggi kesejahteraan kelompok.
Dengan cara yang seakan-akan Hume menjelaskan perasaan Keadilan yang kita saksikan dimiliki manusia. Keadilan baginya yaitu “sifat buatan” (artificial quality); buatan dalam arti keadilan bukan sifat alami, melainkan gres berkembang belakangan pada ketika insan berhadapan dengan sebuah problem sosial. Dengan keadilan dimaksud proteksi terhadap hak-hak kita masing-masing. Demi kesejahteraan umum (yang kita minati secara alami) perlu hak-hak itu dijamin dengan mutlak, jadi dihentikan dilanggar, contohnya berdasarkan pertimbangan bahwa pelanggaran itu lebih menguntungkan. Kalau itu diizinkan, masyarakat segera akan kacau; insan menyepakati tuntutan keadilan. Kesepakatan kemudian kita internalisasikan melalui adaptasi sehingga balasannya kita secara impulsif merasa menyetujui keadilan.
Bahwa kita sanggup meminati keadilan, meskipun sanggup bertentangan dengan nikmat individual kita masing-masing, selain berdasarkan adaptasi itu tadi juga berdasarkan kemampuan alami manusia—paralel dengan perasaan simpati spontan—untuk mementingkan sesuatu tanpa berkepentingan pribadi, tanpa pamrih. Kepentingan individual tanpa pamrih berdasarkan Hume merupakan talenta alami, sebagai implikasi dua ciri yang kita miliki, yaitu simpati impulsif yang kita rasakan bagi orang lain dan kebiasaan untuk mengikuti aturan-aturan. Manusia berguru melalui pembiasaan. Karena itu, ia bisa mengalihkan perasaan impulsif yang mau mengejar nikmat menjadi persetujuan untuk menghormati aturan-aturan bersama, untuk betul-betul merasa terlibat pada keadilan, bahkan merasa berkewajiban. Inilah cara Hume menjelaskan perasaan kewajiban yang ada pada kita (dan yang memang terutama muncul dalam hubungan dengan keadilan). Perasaan itu tumbuh berdasarkan kemampuan alami untuk bersimpati dan memperlihatkan pinjaman tanpa pamrih di satu pihak, dan adaptasi diri hidup berdasarkan hukum yang melindungi keadilan di lain pihak. Akhirnya, kita merasa “wajib” untuk mengusahakan keadilan. Tanpa pamrih, berdasarkan kebaikan hati, kita meminati kebahagiaan orang lain dan demi itu menyetujui keadilan. Kesadaran itu pun hanya sebuah perasaan subjektif, hasil talenta alami dan pembiasaan.
Apakah berdasarkan Hume insan mempunyai Kebebasan? Tentu kebebasan bagi Hume bukanlah kemampuan kehendak untuk menemukan dirinya sendiri berdasarkan pengertian filsafat klasik. Hume bahkan tidak mengakui adanya kehendak. Kebebasan bukan lain dari tiadanya keniscayaan. Jadi, kebebasan itu sama dengan spontanitas. Orang itu bebas apabila tindakannya ditentukan oleh keinginan-keinginannya sendiri dan tidak terkendala oleh faktor-faktor dari luar.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. David Hume
2. David Hume (1711-1776)
3. David Hume. Skeptisisme
Belum ada Komentar untuk "David Hume. Etika"
Posting Komentar