Max Scheler. Fenomenologi

Seperti hampir semua filsuf, Max Scheler pun mengalami aneka macam efek dari filsuf-filsuf yang mendahuluinya. Di antaranya yaitu Rudolf Eucken. Di samping dilarang dilupakan nama-nama ibarat Nietzsche*, Dilthey*, dan Bergson*. Dari masa lampau yang sudah jauh, niscaya tidak ada yang lebih penting bagi beliau daripada Agustinus, terutama alasannya yaitu tekanannya pada kesatuan antara pengenalan dan cinta. Tetapi, biarpun ia dekat dengan alam pikiran Katolik, filsafat skolastik dan neoskolastik tidak menarik banyak perhatiannya.
Hubungan Scheler dan fenomenologi pantas diselidiki lebih mendalam. Dalam gerakan fenomenologi, Scheler tentu merupakan suatu nama yang penting dan cukup usang ia dianggap tokoh nomor dua dalam gerakan tersebut (sesudah Husserl*, pendiri fenomenologi). Melalui karangan-karangannya ia memperlihatkan pertolongan besar juga dalam membuatkan fenomenologi ke luar negeri. Yang niscaya ialah bahwa Scheler tidak pernah menjadi murid Husserl dalam arti kata yang sebenarnya. Pendidikan akademisnya sudah selesai, dikala untuk pertama kali ia bertemu dengan Husserl* pada tahun 1901. Hubungan pribadi antara Scheler dan Husserl tidak pernah hingga akrab.
Scheler termasuk dewan redaksi Jahrbuch (publikasi tahunan) yang diterbitkan Husserl, tetapi dalam pelaksanaannya ia tidak begitu berperan aktif. Pada tahun 1913 dan 1914 buku scheler Formalisme dalam susila dan etika-nilai yang bersifat material dimuat dalam dua jilid pertama dari Jahrbuch Husserl, tetapi dalam prakata ia membuktikan secara halus bahwa pendiriannya perihal fenomenologi tidak sama dengan pendirian Husserl*. Husserl sendiri pada waktu itu sudah mewaspadai Scheler dan menganggap filsafat Scheler suatu bahaya bagi kemurnian konsepsinya perihal fenomenologi. Dan Scheler menilai perkembangan ajaran Husserl* semakin mendekati filsafat transendental Kant*, sedangkan ia sendiri menemukan fenomenologi sebagai peluang yang baik untuk melepaskan diri dari suasana neokantian di Jena. Namun demikian, ia tidak pernah menyembunyikan bahwa ia sangat berutang budi kepada pendiri fenomenologi.

Metode fenomenologi Scheler terutama bertumpu pada karya Husserl* yang berjulukan Penelitian-penelitian perihal kecerdikan dan ia tidak merasa tertarik kepada perjuangan Husserl* di kemudian hari untuk mendasarkan fenomenologi sebagai suatu “ilmu rigorus”. Perbedaan minat ini tidak terlepas dari perbedaan watak. Husserl* yaitu seorang sarjana klasik yang mencurahkan segala perhatiannya kepada masalah-masalah yang paling mendasar dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Sebaliknya, bagi Scheler filsafat dan kehidupan konkret tidak sanggup dipisahkan (konon ia sering duduk dan menulis dalam cafe—warung kopi). Selalu ia rela mengomentari masalah-masalah aktual. Dalam konteks ini pula kita sanggup mengerti perhatian Scheler untuk sosiologi. Metode fenomenologi oleh Scheler dipandang sebagai suatu cara tertentu untuk memandang realitas. Bagi beliau fenomenologi merupakan suatu sikap, bukan mekanisme khusus yang diikuti oleh ajaran (seperti contohnya induksi, deduksi, atau teknik ajaran lainnya). Dalam perilaku itu kita mengadakan relasi pribadi dengan realitas menurut intuisi. Hubungan tersebut dinamakan “pengalaman fenomenologis”. Yang memainkan peranan dalam pengalaman fenomenologis itu bukanya sembarang fakta, melainkan fakta-fakta dalam jenis tertentu, yaitu fakta-fakta fenomenologis. Scheler membedakan tiga jenis fakta: fakta natural, fakta ilmiah, dan fakta fenomenologis (yang disebut juga: fakta murni). Fakta natural berasal dari pengenalan inderawi dan menyangkut benda-benda konkret; fakta macam ini tampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah, mulai melepaskan diri dari pencerapan inderawi yang pribadi dan semakin menjadi abstrak; malah sanggup terjadi, fakta ilmiah dijadikan suatu formula simbolis yang sanggup diperhitungkan dan dimanipulasikan, sehingga kaitannya dengan realitas inderawi sangat menipis. Fakta fenomenologis yaitu “isi intuitif” atau hakikat yang diberikan dalam pengalaman langsung, tak tergantung dari berada tidaknya dalam realitas di luar. Fakta fenomenologis selalu “diberikan” sepenuh-penuhnya (bukan bab saja ibarat contohnya simbol-simbol) dan alasannya yaitu itu mustahil terancam ilusi. Menurut Scheler fakta-fakta jenis lain (fakta-fakta natural dan ilmiah) memiliki dasarnya dalam fakta-fakta fenomenologis itu.


Dalam pendekatan fenomenologis ibarat dimengerti oleh Scheler, secara skematis sanggup dibedakan tiga unsur berikut ini:
1) “Penghayatan” (Erleben): pengalaman intuitif yang secara pribadi menuju kepada “yang diberikan”; dengan demikian kita menghadapi di sini suatu perilaku yang sama sekali aktif, bertentangan dengan bentuk-bentuk penghayatan yang lain yang bersifat pasif belaka.

2) Perhatian kepada Washeit (Whatness; apa-nya, esensi), sambil tidak memperhatikan segi eksistensi (ada-nya). Inilah salah satu aspek dari apa yang ditunjukkan Husserl sebagai “reduksi transendental”.

3) Perhatian kepada relasi satu sama lain (Wesenszusammenhang) antara ensensi-ensensi tadi. Hubungan itu bersifat apriori: “diberikan” dalam intuisi, terlepas dari kenyataan. Hubungan satu sama lain antara esensi-esensi itu sanggup bersifat logis belaka maupun non-logis. Prinsip pertentangan (“A bukanlah non-A”) sanggup dikemukakan sebagai teladan perihal relasi satu sama lain antara esensi-esensi logis (dasarnya ialah bahwa “ada” dan “tidak ada” mustahil diperdamaikan). Dan kenyataan bahwa warna mustahil tanpa keluasan (extension), sanggup disebut sebagai teladan perihal relasi satu sama lain yang bersifat non-logis.


Download di Sini


Sumber

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta

Baca Juga
1. Max Scheler. Biografi dan Karya
2. Max Scheler. Ajaran perihal Etika

Belum ada Komentar untuk "Max Scheler. Fenomenologi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel