Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Dan Truth

Tulisan-tulisan Nietzsche paling awal terutama berkaitan dengan kebudayaan Yunani kuno. Soal yang paling menarik perhatiannya yaitu munculnya filsafat dan peristiwa secara serempak. Dalam buku “Philosophy in the Tragic Age of the Greeks” (1873b), Nietzsche memaparkan bahwa filsafat Yunani berakhir seiring dengan tampilnya Socrates*. Filsafat-alam-pra-Sokratik, berdasarkan Nietzsche, pernah mencapai puncaknya dalam aliran Anaxagoras* lewat pandangannya bahwa “menjadi” (becoming) merupakan fenomena estetik.
Dalam magnum opusnya-nya Birth of Tragedy and the Case of Wagner (1872), Nietzsche memaparkan wacana substratum Dynosian yang mendasari bentuk Apollonian dalam peristiwa Yunani. Dengan demikian, bagi Nietzsche, peristiwa bukanlah sekedar produk kebudayaan, tetapi produk “impuls-impuls seni dari alam” yang mendasari kebudayaan. Gagasan ini jadinya melahirkan diktumnya yang terkenal, bahwa hanya sebagai fenomena estetiklah eksistensi sanggup dibenarkan.

Tragedi Yunani tamat riwayatnya lantaran hal serupa dengan filsafat Yunani, yakni lantaran Socrates*. Sebagai wakil pengetahuan teoretis, Socrates* menghancurkan kreativitas dan bentuk kebudayaan tersebut dengan cara tetapkan pertaliannya dengan alam, melalui refleksi. Sebagaimana dipaparkan Nietzsche dalam karyanya Twilight of Idol and the Anti-Christ (1888), Socrates* mewakili kebudayaan pinggiran untuk menentang kebudayaan yang besar lengan berkuasa dan tak-refleksif dari aristokrasi yang pernah memerintah polis. Dengan demikian, yang kita saksikan di sini yaitu upaya Nietzsche untuk mendasarkan kebudayaan pada kekuatan-kekuatan yang non-kultural (yakni, naturalisasi kreativitas kultural), serta upaya untuk mendasarkan kebudayaan pada bentuk-bentuk yang paling tak refleksif menyerupai tabiat istiadat (yakni suatu deintelektualisasi kreativitas kultural). Kedua tema tersebut terus tampil dalam aliran Nietzsche, kendatipun mengalami banyak variasi.

Mengenai kompleks-kompleks kultural monoteistik menyerupai Yudaisme dan Kristianitas, kritik yang dilancarkan Nietzsche bahkan lebih dahsyat. Tidak menyerupai politeisme dengan “pluralitas norma-normanya”, sebagaimana dituturkan Nietzsche dalam Gay Science (1882,1887), monoteisme tidak lain yaitu “monotono-teisme”. Dengan begitu, monoteisme melaksanakan perong-rongan besar-besaran terhadap kreativitas sosial dan kultural. Dalam On the Genealogy of Morals and Ecce Homo (1887) Nietzsche melanjutkan kajiannya wacana sejarah moral-moral alamiah, nonteologis, dalam kaitannya dengan pembedaan antara baik dan jelek serta baik dan jahat. Moralitas afirmatif kaum ningrat berlangsung dalam pembedaan baik dan buruk, sedangkan moralitas kebencian kaum budak berlangsung dalam pembedaan antara baik dan jahat.

Pensifatan atas insting-insting tertentu sebagai yang jahat, yang dipertentangkan dengan yang sekadar alamiah, menjadikan pemutarbalikan insting-insting tersebut untuk memusuhi dirinya sendiri serta melahirkan “nurani yang buruk”. Dalam Kristianitas yang terjadi bukanlah penerimaan terbuka atas segala yang instingtual, tetapi pembalikan insting-insting untuk melawan dirinya sendiri. Nietzsche lantas berusaha memeriksa munculnya “idea-idea asketik” pada kemiskinan, kesederhanaan, dan kemurnian hati, semenjak awal Kristianitas sampai tampilnya ilmu pengetahuan modern. Menurut Nietzsche, ilmu pengetahuan yaitu bentuk ideal asketik paling mutakhir dan, sebagai idea asketik, intinya ia berwatak reaktif. Berhadapan dengan fakta-fakta ilmiah, Nietzsche pun mempostulasikan pluralitas interpretasi; dan berhadapan dengan kehendak ilmu pengetahuan akan kebenaran, ia mempostulasikan kekuatan penciptaan nilai pada seni. Kristianitas sebagai kompleks kultural, dengan demikian yaitu sesuatu yang berdampak mereduksi kreativitas kultural melalui pengebirian kekuatan dan kekuasaan instingtual yang membuat kebudayaan. Identifikasi Nietzsche atas kekuatan-kekuatan reaktif serta kepentingan kekuasaan yang bersumber dari kelas bawah jadinya melahirkan kritiknya terhadap bentuk politik masyarakat modern; demokrasi.

Lewat tulisan-tulisannya, Nietzsche pun menaruh perhatian pada kebudayaan modernitas. Akan tetapi, disebabkan sudut pandangnya yaitu teoretis kekuasaan, perilaku Nietzsche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Kebudayaan modern dipandang telah menjadi musuh bagi kehidupan dan insting-insting semenjak zaman Renaissance dan selanjutnya, lantaran efek kekuatan-kekuatan menyerupai pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme, dengan perkecualian tertentu untuk era ke-17. Kekuatan-kekuatan tersebut merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai suatu kebudayaan nihilisme Eropa di penghujung era ini.

Lewat teks awalnya yang bertajuk On the Use and Abuse of History for Life, yang termuat dalam Untimely Meditations (1874), Nietzsche menentang saintisasi sejarah di dalam modernitas, lantaran hal tersebut akan menyingkirkan sejarah dari banyak sekali pertaliannya dengan kehidupan. Ia membela pelupaan (yang tak-historis) dan seni serta agama (yang supra-historis). Pembahasan Nietzsche yang paling tajam terhadap nihilisme modern terdapat dalam catatan-catatannya yang sebagian diterbitkan dalam bentuk buku secara anumerta, yakni dalam Will to Power (1901). Menurut Nietzsche, nihilisme yaitu kondisi di mana “nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri”.

Sebagaimana dipaparkan Nietzsche dalam Thus Spake Zarathustra. A Book for Everyone and No One (1883-86), dalam kaitannya dengan kebudayaan Barat, pertama-tama, ini berarti Tuhan telah mati. Singkatnya, nihilisme tak lain yaitu “kondisi posmodern” kita, yakni berakhirnya segala metanarasi. Lantas apa yang dilakukan dalam kondisi demikian? Dalam sebuah catatan tahun 1888 Nietzsche menemukan adanya ambivalensi pada fenomena nihilisme, sesudah dengan saksama ia memilah antara nihilisme aktif dan pasif. Nihilisme pasif bereaksi terhadap situasi tersebut dengan menolak segala prospek yang bersumber dari pencanangan tujuan serta penciptaan kebaruan, sementara nihilisme aktif bereaksi dengan tindakan mengatasi serta penegasan diri. Bertumpu pada dasar teoretis demikianlah Nietzsche kemudian merumuskan doktrinnya wacana manusia-unggul (Ubermensch). Domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan modern melalui kompleks religio-kultural harus dirobohkan.

Pemikiran Nietzsche juga meliputi genealogi atas kehendak akan pengetahuan. Secara spesifik, ini yaitu kritik terhadap kehendak akan pengetahuan yang terdapat dalam tradisi greko-oksidental yang telah mendorong perkembangan bukan hanya filsafat modern, tapi juga ilmu pengetahuan modern. Dalam esainya yang awal, On Truth ang Lies in a Nonmoral Sense, Nietzsche mendekontruksi logika identitas yang telah melahirkan pandangan-pandangan modern kita mengenai konsep, kebenaran, dan subjek (1873a). Nietzsche mengkritik wangsit modern mengenai konsep lantaran menyingkirkan yang non-identikal: mengkritik pandangan wacana kebenaran lantaran mengingkari asal permintaan metaforis kebenaran; dan pandangan wacana subjek sebagai kesadaran diri untuk melupakan hakikat subjek yang artistik dan kreatif.

Dalam karya-karyanya belakangan yang memuat kerangka teoretis-kekuasaan cukup menonjol, ia bukannya menekankan hakikat kebenaran yang beragam dan distimulator, melainkan “kriteria kebenaran yang terletak pada tingkat perasaan akan kekuasaan”. Namun demikian, fondasi biologis bagi kekuasaan dan segi teoretis kekuasaan yang merongrong kebenaran ini tidaklah sepenuhnya mengesampingkan perspektif yang sebelumnya. Justru perspektif tersebut muncul kembali dalam gagasan interpretasi. Dalam Genealogi of Morals Nietzsche mempertentangkan nilai metafisika yang absolut, yang terdapat dalam kehendak akan kebenaran, dengan pandangan wacana interpretasi yang memungkinkan disimulasi. Dalam Beyond Good and Evil: Prelude to a Philosophy of the Future (1886), ia menyatakan bahwa fisika hanyalah interpretasi atas dunia, dan bukannya klarifikasi atas dunia. Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Feyerabend*, “apa saja boleh”.


Dalam karyanya Twilight of the Idol, Nietzsche mengemukakan genealogi atas konsep oto-teologis mengenai kebenaran. Menurut Nietzsche, konsep kita mengenai rasio sudah terkandung dalam metafisika impulsif bahasa-bahasa Indo-Eropa. Demikianlah, Nietzsche lantas menegaskan diktumnya yang populer bahwa “kita belum sepenuhnya menyingkirkan Tuhan alasannya kita masih percaya dengan tata bahasa”. Bukannya tetap puas dengan dunia yang kasat mata ini sebagai satu-satunya dunia, tapi kita berupaya membuat dunia yang lebih tinggi sebagai sumber dan pembenaran atas dunia ini. Dengan demikian, aliran greko-oksidental mencapai puncaknya pada masa pra-Socrates dan mengawali keambrukan pada masa Plato*.

Kenyataan penting bahwa Nietzsche juga memuji positivisme pada era ke-19 sebagai awal jatuhnya wangsit ini, alasannya dalam banyak sekali segi, reduksionisme teoretis-kekuasaan Nietzsche pun merupakan salah satu versi positivisme era ke-19. Akan tetapi, menyerupai telah dijelaskan di atas, pandangan wacana kekuasaan itu memisahkan diri dari latar belakang positivisme dalam aliran Nietzsche dan, sebagai kehendak-akan-kekuasaan, menjadi satu kekuatan bio-estetik, yang dikendalikan secara karismatik (doktrin wacana insan unggul). Singkatnya, gagasan wacana kehidupan dan kekuasaan itu memberi Nietzsche suatu basis biologis bagi kreativitas yang menggantikan basis filosofis alamiah sebelumnya.


Download di Sini


Sumber.

Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Baca Juga
1. Friedrich Nietzsche. Biografi
2. Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche 
3. Friedrich Nietzsche. The Death Of God
4. Friedrich Nietzsche. Mazhab Nihilisme
5. Friedrich Nietzsche
6. Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa
7. Friedrich Nietzsche. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan

Belum ada Komentar untuk "Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Dan Truth"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel