Diferensialisme Kultural

[Teori Budaya sebagai Aspek Kultural Globalisasi; Kajian Atas Karya Samuel Hutington Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1966)] 
Mereka yang mengadopsi paradigma ini beropini bahwa di antara dan antarbudaya terdapat perbedaan-perbedaan yang baka yang sebagian besar tidak terpengaruh oleh adanya globalisasi atau oleh semua proses bi-, inter-, multi-, atau transkultural. Itu tidak berarti menyampaikan bahwa budaya tidak terpengaruh oleh semua proses tersebut, terutama globalisasi. Yang dimaksud yakni bahwa inti budaya-budaya itu tidak terpengaruh oleh semua proses tersebut: mereka tetap sebagaimana mereka biasanya. Dalam perspektif demikian, globalisasi hanya terjadi pada permukaan saja, sehingga struktur budaya belahan dalam sebagian besar, untuk tidak menyampaikan seluruhnya, tidak terpengaruh olehnya. Budaya dipandang sebagian besar tertutup, tidak hanya pada globalisasi, tetapi juga efek yang berasal dari budaya lain. Dalam satu gambaran, dunia dibayangkan sebagai sebuah mozaik dari budaya-budaya yang terpisah. Yang lebih menyeramkan yakni sebuah gambaran bola biliar, dengan bola biliar terlihat memantul ke bola-bola biliar lainnya (yang merepresentasikan budaya lain). Gambaran itu lebih menyeramkan lantaran mengindikasikan kemungkinan adanya ancaman dan potensi benturan maha dasyat di antara dan antarbudaya-budaya dunia.

Paradigma perbedaan budaya punya sejarah panjang, tetapi telah menarik perhatian dan pendukung (dan juga kritik-kritik) yang semakin banyak dalam beberapa tahun belakangan lantaran dua rangkaian tragedi yang terjadi belum usang ini. Yang pertama yakni serangan teroris pada 11 September 2011, dan perang Afganistan dan Irak yang mengikuti tragedi tersebut. Banyak pihak yang melihat dua tragedi tersebut sebagai bentuk pertikaian antara budaya Barat dan Islam dan perbedaan kultural yang telah usang berlangsung di antara keduanya. Rangkaian tragedi kedua yang belum usang terjadi yakni meningkatnya multikulturalisme Amerika Serikat (bagian terbesar yakni pertumbuhan populasi keturunan Amerika Latin) dan negara-negara Eropa Barat (sebagian besar yakni bertambahnya populasi Muslim) dan perbedaan-perbedaan yang sangat banyak, serta kebencian, antara populasi mayoritas dan minoritas.

Sebuah referensi yang paling populer dan kontroversial dari paradigma ini yakni karya Samuel Hutington Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1966). Hutington melacak permulaan situasi dunia dikala ini sampai pada masa selesai Perang Dingin dan rekonfigurasi dunia dari satu yang dibedakan berdasarkan dasar ekonomi-politik (demokratis/kapitalis versus totalitarian/komunis) sampai yang berbasis pada perbedaan budaya. Perbedaan budaya semacam itu bukan hal yang baru, tetapi mereka sebagian besar ditenggelamkan oleh perbedaan ekonomi-politik yang sangat besar di kurun Perang Dingin (sebagaimana di Yugoslavia usang dan perbedaan, terutama, antara Serbia dan Kroasia). Apa yang kita lihat mulai muncul kembali selama dua dekade terakhir yakni aneka macam identitas, lawan, dan musuh lama.

Hutington memakai terminologi peradaban untuk menggambarkan tingkatan terluas dari aneka macam budaya dan identitas budaya itu (baginya peradaban sama artinya dengan budaya, tetapi jauh lebih luas). Apa yang beliau lihat yakni munculnya celah di antara dan antar-peradaban tersebut dan ia memandang hal itu sebagai situasi yang sangat berbahaya, mengingat kebencian yang secara historis pernah terjadi pada setidaknya beberapa di antara semua peradaban tersebut.

Hutington memperlihatkan perbedaan di antara sejumlah peradaban dunia: Sinic (China); Jepang (terkadang disatukan dengan Sinic sebagai “Timur Jauh”); Hindu; Islam; Ortodoks (berpusat di Rusia); Eropa Barat; Amerika Utara (bersama dengan Australia dan Selandia Baru yang bertetangga dekat); Amerika Latin; dan (bisa jadi) Afrika. Dia melihat peradaban-peradaban tersebut mempunyai perbedaan yang sangat besar pada perkiraan filosofis dasar, nilai-nilai dasar, kekerabatan sosial, adat-istiadat, dan pandangan hidup secara keseluruhan yang masing-masing mereka miliki. Bagi Hutington, sejarah insan pada esensinya yakni sejarah peradaban, terutama semua peradaban di atas. Semua peradaban tersebut mempunyai sejumlah kesamaan karakteristik termasuk fakta bahwa ada kesepahaman yang sangat baik perihal pengertian atas apa yang disebut sebagai peradaban (meski mereka tidak mempunyai awal yang terang dan tidak ada batas yang terang antara peradaban satu dengan yang lain, yang cukup nyata). Peradaban adalah,
1. Perkumpulan insan yang paling bisa bertahan usang (meski mereka mengalami perubahan dari waktu ke waktu)
2. Tingkat terluas dari identitas budaya
3. Sumber terluas dari identifikasi diri secara subjektif
4. Biasanya meliputi lebih dari satu negara (meski mereka tidak menjalankan fungsi negara)
5. Merupakan sebuah totalitas
6. Memiliki kekerabatan bersahabat dengan agama dan ras

Hutington memperlihatkan sebuah naratif besar modern perihal kekerabatan di antara aneka macam peradaban. Selama lebih dari tiga ribu tahun (kira-kira dari 1500 SM sampai 1500 M) peradaban-peradaban cenderung jauh terpisah dalam pengertian ruang maupun waktu. Sebagai akibatnya, kontak di antara mereka kemungkinan tidak pernah terjadi. Namun, ketika terjadi kontak, hal itu cenderung berlangsung secara terbatas atau tidak ajek dan juga cenderung sangat intens.

Fase selanjutnya, kira-kira dari 1500 sampai selesai Perang Dunia II, dicirikan oleh dampak tidak langsung, tetapi sangat berpengaruh dan berkelanjutan dari peradaban Barat pada peradaban lain. Menurut Hutington, dampak itu terkait dengan aneka macam karakteristik struktural Barat, ibarat terciptanya kota-kota, perdagangan, birokrasi negara, dan mulai munculnya pemahaman perihal kesadaran nasional. Namun, penyebab yang paling pribadi yakni perkembangan teknologi dalam bidang navigasi kelautan dan militer, terutama organisasi kemiliteran yang unggul, disiplin dan terlatih, dan tentu saja persenjataan. Pada akhirnya barat unggul dalam kekerasan terorganisir, dan meski mereka yang berada di Barat terkadang melupakan hal itu, mereka yang ada di belahan bumi lainnya tidak pernah melupakan hal itu. Dengan demikian, mendekati 1910, sempurna sebelum pecahnya Perang Dunia I, dunia semakin dekat, dalam pandangan Hutington, lebih dari yang pernah tercatat sebelumnya dalam sejarah untuk menjadi satu dunia, satu peradaban—yakni, peradaban Barat.

Fase ketiga—sistem multiperadaban—mengarah pada selesai dari perluasan wilayah oleh Barat dan awal dari perlawanan terhadap pendudukan tersebut. Periode sehabis perang dunia I sampai sekitar 1990 dicirikan oleh kontradiksi gagasan, terutama antara ideologi komunis dan kapitalis; tetapi semenjak jatuhnya komunisme, kontradiksi utama di dunia berkisar pada agama, budaya, dan akhirnya peradaban. Dunia Barat masih terus dominan, tapi Hutington meramalkan keruntuhannya. Kemunduran tersebut akan terjadi secara perlahan, tidak akan terjadi secara tiba-tiba, dan akan melibatkan semakin menurunnya sumber daya Barat—jumlah penduduk, produk ekonomi, dan kemampuan militer mereka. Kemunduran dalam kemampuan militer akan terlihat pada kemunduran kekuatan militer Amerika Serikat dan globalisasi industri pertahanan dan keamanan, yang akan mengakibatkan tersedianya secara umum senjata-senjata yang sebelumnya hanya, atau sebagian besar, tersedia di dunia Barat. Perlahan-lahan tetapi pasti, banyak peradaban lain akan menolak Barat, meski mereka akan mendapatkan dan memakai kemajuan modernisasi, yang sanggup dan harus dibedakan dari pembaratan (westernisasi).

Jika dunia Barat sedang mengalami kemunduran, kebangkitan kembali dua peradaban lain mempunyai arti penting. Yang pertama yakni pertumbuhan ekonomi masyarakat Asia, terutama peradaban Sinic atau China. Hutington memperkirakan terus tumbuh ekonomi Asia, yang akan segera menyalip perekonomian Barat. Hal itu menjadi penting, lantaran akan menjelma meningkatnya kekuasaan bagi dunia Timur dan, sebagai kesudahannya kemunduran dalam kemampuan Barat untuk tetapkan standar mereka bagi dunia Timur. Hutington melihat kekuatan ekonomi Timur sebagian besar disebabkan oleh aneka macam aspek unggul dari budaya mereka, terutama kolektivisme yang bertentangan dengan individualitas yang mendominasi Barat. Hal lain yang juga membantu kebangkitan perekonomian Timur yakni aneka macam kesamaan lain yang ada di antara aneka macam bangsa di tempat ini (misalnya, agama khususnya konfusianisme). Keberhasilan perekonomian Asia akan menjadi berarti tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga tugas yang akan mereka mainkan sebagai model bagi masyarakat non Barat.

Argumen Hutington yang pertama tidaklah mengejutkan atau terasa asli. Meski demikian, kita pernah menyaksikan pertumbuhan dramatis pada perekonomian Jepang pasca Perang Dunia II dan kini kita sedang menyaksikan transformasi perekonomian yang mencengangkan pada China dan India. Melihat perkembangan tren ekonomi sekarang, hanya beberapa yang tidak bersepakat dengan pandangan bahwa perekonomian China akan menjadi terbesar di dunia dalam waktu yang tidak usang lagi.

Terasa lebih kontroversial yakni pernyataan pokok Hutington yang kedua, yang melibatkan kebangkitan kembali Islam. Kebangkitan China didasari oleh perekonomian, sedangkan pertumbuhan Islam secara pokok disebabkan oleh pertubuhan populasi penganutnya secara dramatis dan mobilisasi yang mereka lakukan. Pertumbuhan Islam tersebut barangkali telah terjadi di hampir setiap masyarakat, biasanya pertama-tama secara kultural, tetapi lalu secara sosio-politis. Hal itu dipandang sebagai kebangkitan kembali agama dan religi secara global. Hal itu juga sanggup dipahami sebagai produk dari, dan sebuah perjuangan untuk berhadapan dengan modernisasi.

Hutington lebih dari sekedar memperlihatkan perkembangan itu untuk menggambarkan sebuah potret yang mengerikan perihal masa depan kekerabatan antara Barat dan dua peradaban lain tersebut, terutama Islam. Konflik Perang Dingin antara kapitalisme dan komunisme telah digantikan oleh konflik yang ditemukan pada “retakan” di antara peradaban, terutama peradaban Barat, Sinic, dan Islam. Jadi, ia memperkirakan bentrokan yang berbahaya antara Barat (dan apa yang disebutnya sebagai “arogansi”-nya), Islam (dengan toleransinya), dan “keyakinan diri” Sinic. Sebagian besar konflik akan berkisar pada pandangan Barat atas dirinya sebagai pihak yang mempunyai “kebudayaan universal”, hasratnya untuk mengekspor budaya tersebut ke seluruh dunia, dan melemahnya kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan hal tersebut. Lebih lanjut, apa yang dipandang Barat sebagai universalisme, oleh yang lain, terutama peradaban Islam sebagai imperialisme. Secara lebih khusus, pihak Barat ingin membatasi proliferasi persenjataan, sementara beberapa peradaban lain ingin mempunyai persenjataan, khususnya “senjata penghancur massal”. Barat juga berusaha untuk mengekspor demokrasi ke, dan bahkan memaksakannya pada masyarakat dan peradaban lain, yang sering menolak demokrasi sebagai belahan dari gagasan Barat perihal kebudayaan universal. Barat pun berusaha mengendalikan dan juga membatasi imigrasi (terutama dari peradaban Islam), meski banyak dari peradaban itu telah menemukan jalan untuk masuk ke Barat atau ingin berada di sana. Ketika proses itu meningkat, Hutington melihat masyarakat yang retak mulai berkembang di lingkup Eropa maupun Amerika Serikat. Di Amerika Serikat keretakan akan berkembang tidak hanya antara orang Barat dengan Muslim, tetapi juga antara keturunan Amerika-Inggris dengan keturunan Amerika Latin.

Apa yang telah menciptakan Hutington mendapatkan hujan kritik dan kebencian yang berpengaruh yakni pernyataannya yang kontroversial perihal peradaban Islam dan Muslim (Hutington, 1996). Sebagai contoh, beliau beropini bahwa di mana pun Muslim dan non-Muslim tinggal berdekatan satu sama lain, konflik dengan kekerasan dan permusuhan berpengaruh akan tampak sangat mencolok dan ia cenderung menyalahkan Muslim dan kecenderungan mereka pada konflik dengan kekerasan. Dia menyatakan bahwa semenjak awal Islam merupakan agama yang mengusung pedang, agama itu mengagung-agungkan nilai-nilai kemiliteran, dan terdapat sejarah penaklukan Islam. Hubungan antara Islam dengan peradaban lainnya secara historis telah menjadi kekerabatan yang sama-sama tidak saling memahami. Tentu saja, imperialisme Barat—sering kali dengan Islam sebagai targetnya—telah memainkan tugas penting dalam hal itu. Islam juga tidak mempunyai negara inti yang berpengaruh untuk mempraktikkan kekuasaan atas peradaban. Akan tetapi, yang mempunyai arti yang penting bagi Hutington yakni tekanan yang dihasilkan dari ledakan demografis dalam Islam.

Hutington merasa khawatir terhadap kemunduran Barat, terutama Amerika Serikat. Ia melihat Amerika Serikat, dan juga semua masyarakat, terancam oleh tabiat mereka yang semakin multikultural dan multiperadaban. Baginya, tumbangnya Amerika Serikat secara efektif akan berarti tumbangnya peradaban Barat. Tanpa Amerika Serikat yang adikuasa dan uniperadaban, dunia Barat akan sangat kecil artinya. Agar Barat tetap bertahan dan makmur, Amerika Serikat harus melaksanakan dua hal. Pertama, Amerika Serikat harus menegaskan identitasnya kembali sebagai sebuah bangsa Barat (daripada sebuah bangsa multiperadaban. Kedua, negara ini harus menegaskan kembali dan menyatakan kembali kiprahnya sebagai pemimpin peradaban Barat di seluruh dunia. Pernyataan kembali dan penerimaan peradaban Barat (yang juga akan melibatkan penyangkalan terhadap universalisme), dan juga semua peradaban, yakni cara yang paling meyakinkan untuk mencegah pecahnya perang antar-peradaban. Bagi Hutington, ancaman yang bekerjsama yakni multikulturalisme di dalam dunia Barat dan semua peradaban lainnya. Dengan demikian, Hutington pada akhirnya mengkritik keras sisi kontinuitas budaya dan sesuatu yang mendekati kemurnian budaya di dalam semua peradaban. Baginya, setidaknya dalam suatu pengertian yang ideal, globalisasi menjadi sebuah proses yang dilakoni oleh aneka macam peradaban semoga tetap eksis dan bergerak dalam cara yang secara berangasan serupa di tahun-tahun mendatang. Hal itu meliputi penegasan kembali perihal pentingnya peradaban—dengan kata lain, kebudayaan—dalam zaman globalisasi.


Baca Juga
1. Hibridisasi Kultural
2. Konvergensi Kultural

Download di Sini


Sumber.
Hutington, Samuel. 2003. Konflik Peradaban; Paradigma Dunia Pasca Perang. IRCiSod. Yogyakarta.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Belum ada Komentar untuk "Diferensialisme Kultural"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel