Konteks Sosial Yang Melahirkan “Penyimpangan” Modernisme
Munculnya pasca-modernisme tidak sanggup dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, alasannya modernisme berkaitan dengan bentuk-bentuk kebudayaan yang ditandai dengan rasionalisme, positivisme, empirisme, industri, dan kecanggihan teknologi. Dengan ciri-ciri tersebut, modernisme menyuguhkan suatu keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana urusan materi atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan ada lagi kelaparan atau kekurangan material, itulah janjinya. Teknologi akan membawa kita ke kehidupan yang serbamudah, cepat, dan lebih baik. John Naisbitt dalam bukunya High Tech Touch mengatakan, teknologi tak henti-hentinya memperlihatkan penyelesaian kilat. Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat kita lebih pintar, meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia.
Rasionalitas—hasil pencerahan nalar budi—akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat insan tak berdaya dalam menghadapi dunia ini. Barker menjelaskan bahwa nalar sanggup mendemistifikasi dan menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos, dan takhayul. Dalam filsafat dan tentang teoritis mengenai modernitas, “akal” dinobatkan sebagai sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Di sini kiprah filsafat pencerahan ialah berupaya untuk mencari kebenaran universal, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang berlaku pada waktu, tempat, dan budaya mana pun. Peran aliran pencerahan bagi kemajuan hidup insan ialah mendorong perkembangan ilmu-ilmu, pendidikan universal, kebebasan politik, dan keadilan.
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang mengakibatkan kehidupan insan kehilangan orientasi. Para pemikir, menyerupai Max Horkheimer*, Adorno*, dan Herbert Marcuse*—yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt*, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi.
Akal mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan para kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin membebaskan insan dari pemanipulasian para teknokrat modern.
“Sisi gelap” modernisme, berdasarkan Anthony Giddens* dalam The Consequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembangbiaknya tragedi alam bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menuntaskan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang berpengaruh atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk selesai yang menimbulkan tragedi alam tersebut terutama dipicu oleh, pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada selesai akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan penemuan tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban kiprah minimalnya untuk membuat tertib sosial yang aman, rukun, damai, dan adil.
Pada taraf praktis, terdapat konsekuensi jelek modernisme, antara lain: Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah menjadikan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini telah menjadikan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivis dan positivis, karenanya menjadikan insan seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat pandangan ini, pola relasi masyarakat menjadi tidak manusiawi. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Nilai-nilai susila dan religius pun kehilangan wibawanya. Akibatnya, timbullah disorientasi moral-religius, yang mengakibatkan meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan disorientasi hidup. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk mempunyai dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala besar; persaingan pasar bebas. Kelima, militerisme, kekuasaan yang menekan dengan bahaya kekerasan ialah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Maka, peperangan dengan persenjataan canggih dan nuklir sering dijadikan jalan pintas untuk menuntaskan konflik antarmanusia dan antarbangsa. Akibat peperangan dan kekerasan ini, korban insan semenjak tahun 1990 mencapai lebih dari 120 ribu orang meninggal dunia. Keenam, kebangkitan kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang hambar selesai, sekarang agama menjadi kategori identitas penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fundamentalisme agama ialah teladan dari fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan tragedi alam kehidupan manusia, menyadarkan ilmuwan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasari bangunan sains modern. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962), menyampaikan bahwa pada masa tertentu ilmu normal (normal science) dan mendominasi kegiatan ilmiah. Tetapi, seiring dengan perkembangan dan perubahan, ilmu normal tidak sanggup lagi menjelaskan perkembangan yang terjadi. Inilah yang kemudian melahirkan krisis ilmu pengetahuan. Krisis ini menjadi cikal bakal revolusi ilmiah. Menurut Kuhn, revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Krisis metode ilmiah dan lahirnya revolusi, sanggup digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut.
Tahap I: Paradigma ilmiah membimbing dan mengarahkan kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini ilmuwan menjabarkan dan membuatkan paradigma sebagai model ilmiah. Selama menjalankan kegiatan ini, para ilmuwan menjumpai banyak sekali fenomena yang tidak sanggup dijelaskan dengan paradigma yang digunakan, yang dinamakan anomali atau krisis. Anomali ialah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap II: Menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III: Para ilmuwan sanggup kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang usang sembari memperluas dan membuatkan suatu paradigma tandingan yang dipandang sanggup memecahkan duduk kasus dan membimbing kegiatan ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma usang ke paradigma gres inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Skema tiga tahap tersebut sebagai berikut:
Download
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Rasionalitas—hasil pencerahan nalar budi—akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat insan tak berdaya dalam menghadapi dunia ini. Barker menjelaskan bahwa nalar sanggup mendemistifikasi dan menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos, dan takhayul. Dalam filsafat dan tentang teoritis mengenai modernitas, “akal” dinobatkan sebagai sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Di sini kiprah filsafat pencerahan ialah berupaya untuk mencari kebenaran universal, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang berlaku pada waktu, tempat, dan budaya mana pun. Peran aliran pencerahan bagi kemajuan hidup insan ialah mendorong perkembangan ilmu-ilmu, pendidikan universal, kebebasan politik, dan keadilan.
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang mengakibatkan kehidupan insan kehilangan orientasi. Para pemikir, menyerupai Max Horkheimer*, Adorno*, dan Herbert Marcuse*—yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt*, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi.
“Sisi gelap” modernisme, berdasarkan Anthony Giddens* dalam The Consequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembangbiaknya tragedi alam bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menuntaskan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang berpengaruh atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk selesai yang menimbulkan tragedi alam tersebut terutama dipicu oleh, pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada selesai akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan penemuan tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban kiprah minimalnya untuk membuat tertib sosial yang aman, rukun, damai, dan adil.
Pada taraf praktis, terdapat konsekuensi jelek modernisme, antara lain: Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah menjadikan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini telah menjadikan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivis dan positivis, karenanya menjadikan insan seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat pandangan ini, pola relasi masyarakat menjadi tidak manusiawi. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Nilai-nilai susila dan religius pun kehilangan wibawanya. Akibatnya, timbullah disorientasi moral-religius, yang mengakibatkan meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan disorientasi hidup. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk mempunyai dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala besar; persaingan pasar bebas. Kelima, militerisme, kekuasaan yang menekan dengan bahaya kekerasan ialah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Maka, peperangan dengan persenjataan canggih dan nuklir sering dijadikan jalan pintas untuk menuntaskan konflik antarmanusia dan antarbangsa. Akibat peperangan dan kekerasan ini, korban insan semenjak tahun 1990 mencapai lebih dari 120 ribu orang meninggal dunia. Keenam, kebangkitan kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang hambar selesai, sekarang agama menjadi kategori identitas penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fundamentalisme agama ialah teladan dari fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan tragedi alam kehidupan manusia, menyadarkan ilmuwan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasari bangunan sains modern. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962), menyampaikan bahwa pada masa tertentu ilmu normal (normal science) dan mendominasi kegiatan ilmiah. Tetapi, seiring dengan perkembangan dan perubahan, ilmu normal tidak sanggup lagi menjelaskan perkembangan yang terjadi. Inilah yang kemudian melahirkan krisis ilmu pengetahuan. Krisis ini menjadi cikal bakal revolusi ilmiah. Menurut Kuhn, revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Krisis metode ilmiah dan lahirnya revolusi, sanggup digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut.
Tahap I: Paradigma ilmiah membimbing dan mengarahkan kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini ilmuwan menjabarkan dan membuatkan paradigma sebagai model ilmiah. Selama menjalankan kegiatan ini, para ilmuwan menjumpai banyak sekali fenomena yang tidak sanggup dijelaskan dengan paradigma yang digunakan, yang dinamakan anomali atau krisis. Anomali ialah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap II: Menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III: Para ilmuwan sanggup kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang usang sembari memperluas dan membuatkan suatu paradigma tandingan yang dipandang sanggup memecahkan duduk kasus dan membimbing kegiatan ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma usang ke paradigma gres inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Skema tiga tahap tersebut sebagai berikut:
Download
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Belum ada Komentar untuk "Konteks Sosial Yang Melahirkan “Penyimpangan” Modernisme"
Posting Komentar