Ibnu Thufail. Karya Filsafat

Hanya satu karya Ibnu Thufail yang tersisa hingga hari ini, yaitu Risalah Hayy ibn Yaqzan. Gambaran isi kitab tersebut secara singkat yaitu sebagai berikut: Hayy ibn Yaqzan bermakna Yang Hidup Putra Yang Bangun. Hayy ibn Yaqzan yaitu tokoh utama dalam karya tulis Ibnu Thufail, yang sebelumnya telah dipakai oleh Ibnu Sina* sebagai tokoh utama dalam risalah pendeknya. Dalam risalah yang ditulis Ibnu Sina, Hayy ibn Yaqzan dilukiskan sebagai seorang syekh bau tanah yang di tangannya tergenggam kunci segenap pengetahuan, yang ia terima dari bapaknya. Syekh bau tanah itu yaitu seorang pengembara yang sanggup menjelajahi semua penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina* bersama kawan-kawannya, dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh bau tanah tersebut, dan terjadilah perkenalan serta dialog. Syekh bau tanah dengan nama Hayy ibn Yaqzan dalam karya tulis Ibnu Sina* itu merupakan tokoh simbolis bagi logika aktif, yang selain berkomunikasi dengan para nabi, juga dengan para filsuf.

Berbeda dengan versi Ibnu Sina*, Hayy ibn Yaqzan dalam goresan pena Ibnu Thufail dilukiskan sebagai seorang bayi pria yang berada di sebuah pulau yang belum pernah dihuni manusia. Bayi itu muncul sebab terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa manusia. Boleh jadi, ia yaitu bayi hasil janji nikah sah secara diam-diam antara saudara wanita seorang raja dan seorang anggota keluarga istana di pulau lain. Karena takut kepada raja, sang ibu memasukkan bayi itu ke dalam peti dan melepaskannya hingga terapung-apung di laut. Arus gelombang membawa peti bayi itu ke pulau di antara pulau-pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa. Bayi itu disusui dan dirawat oleh seekor rusa yang gres kehilangan anaknya. Bayi yang berjulukan Hayy ibn Yaqzan ini sanggup terus hidup dalam lingkungan binatang, berkembang baik menjadi insan dewasa, yang berbeda dengan binatang. Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa berdasarkan sunnatullah sehingga ia tidak hanya bisa berpikir perihal dunia fenomena, tetapi juga sanggup menangkap hal-hal ajaib dan mengetahui adanya Tuhan, pencipta alam. Dengan mata batinnya, ia sanggup melihat Tuhan, merasa bersahabat dengan-Nya dan merasa berbahagia. Tidak jauh dari pulau itu terdapat pulau lain yang dihuni oleh satu masyarakat manusia. Namanya Absal dan Salaman. Mereka yaitu penganut agama wahyu, tetapi mempunyai kecenderungan yang berbeda. Absal tertarik pada pengertian metaforis dari teks-teks agama, sedangkan Salaman lebih cenderung berpegang pada arti-arti lahiriah. Sejalan dengan perilaku masyarakat pada umumnya di pulau tersebut. Absal mengasingkan diri dari masyarakat. Suatu hari ia menyeberang ke pulau yang dihuni Hayy ibn Yaqzan. Keduanya berjumpa, dan sesudah Hayy ibn Yaqzan diajari bicara, keduanya berdialog dan saling berkisah. Hayy ibn Yaqzan dengan gampang memahami dan menyetujui keterangan Absal perihal Tuhan, surga, neraka, hari kebangkitan, timbangan, jalan lurus, dan lain-lain sebagaimana yang diajarkan oleh wahyu. Absal juga gampang memahami keterangan Hayy ibn Yaqzan perihal hasil renungan dan pengalaman rohaniahnya dengan Tuhan. Kedua insan itu (Hayy ibn Yaqzan dan Absal) saling membenarkan.

Selanjutnya, keduanya bersepakat menyeberang ke pulau yang dihuni oleh masyarakat dan Salaman, dengan maksud mengajak mereka untuk beragama dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang pada kedua insan itu. Ternyata permintaan tersebut ditolak Salaman dan masyarakat pulau tersebut. Penolakan ini menciptakan keduanya sadar bahwa masyarakat tersebut harus dibiarkan beragama dengan pemahaman yang berkembang pada masyarakat itu. Kedua orang itu kembali ke pulau yang tidak dihuni oleh insan lain, melanjutkan ibadah dan tafakur kepada Tuhan menyerupai sebelumnya.

Hayy ibn Yaqzan dalam goresan pena Ibnu Thufail bukanlah simbol logika aktif, melainkan simbol logika insan yang tanpa bimbingan wahyu bisa mencapai kebenaran perihal dunia fenomena serta perihal Tuhan dan alam rohani lainnya, dan kebenarannya tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Absal dan Salaman sanggup dipandang sebagai simbol wahyu yang dipahami dengan pemahaman yang berbeda. Absal merupakan simbol wahyu dengan pemahaman metaforis kaum sufi, sedangkan Salaman merupakan simbol wahyu yang dipahami dengan pemahaman tekstual kalangan ulama pada umumnya.

Dari dongeng simbolis tersebut, sanggup ditegaskan bahwa pengembangan pencarian kebenaran sanggup terjadi kepada siapa, apa, dan di mana saja. Hal ini dilukiskan dengan simbol Hayy ibn Yaqzan, “Dia (Hayy ibn Yaqzan) membawakan daun-daun yang segar dan memetik buah-buah bagus untuk disuapkan pada rusa betina itu. Akan tetapi, rusa betina itu semakin lemah dan parah sakitnya, kemudian mati. Gerakannya berhenti total. Seluruh anggota tubuhnya tidak berfungsi lagi. Ketika anak pria kecil itu (Hayy Ibn Yaqzan) melihat keadaan rusa betina itu, ia menangis tersedu-sedu, bahkan larut dalam kesedihannya... Dia melihat-lihat kuping dan mata rusa betina yang telah mati itu, dan tidak menemukan sesuatu pun yang bisa menciptakan ia mati. Ia pun mengusut seluruh anggota tubuhnya yang lain. Ia sangat berharap bisa menemukan kawasan penyakitnya, kemudian membuang penyakit itu dari badan rusa betina tersebut. Kembali ia membolak-balik seluruh anggota badan rusa betina itu, namun tidak menemukan apa pun yang bisa diduga sebagai penyebab kematiannya”.

Dalam goresan pena Malik bin Nabi*, dijelaskan bahwa Hayy ibn Yaqzan tidak berhasil menemukan kawasan penyakit rusa betina itu. Kendatipun demikian, Ibnu Thufail telah menciptakan kita melanjutkan penelusuran terhadap pikirannya yang paling dalam, untuk kemudian terungkaplah, sedikit demi sedikit, “Roh”, “Keabadian Roh”, dan akhirnya, “Gagasan perihal Sang Maha Pencipta”. Sejak dikala itu, semakin meningkatlah perenungan yang memperlihatkan peluang kepada Hayy Ibn Yaqzan, sesudah berkali-kali gagal memahami sistem Ilahiah, untuk melihat Tuhan dengan hati nuraninya, dan datang pula pada pemahaman perihal sifat-sifatnya.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Thufail. Riwayat Hidup
2. Ibnu Thufail. Pemikiran Filsafat
3. Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam
4. Ibnu Thufail. Tentang Materi dan Jiwa

Belum ada Komentar untuk "Ibnu Thufail. Karya Filsafat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel