Carl Rogers. Teori
a. Real self dan ideal self
Secara teoretis, Rogers menyampaikan bahwa setiap individu mempunyai dua diri (self). Pertama, diri yang nyata (real self). Kedua, diri yang ideal (ideal self). Real self adalah diri yang dialami, dirasakan, dan dipersepsikan. Adapun ideal self yakni diri yang diidealkan (dicita-citakan). Biasanya, real self selalu tidak sejalan atau maksimal hanya mendekati ideal self. Akibatnya, hal ini kerap membuat seseorang merasa “terpecah”. Akan tetapi, ideal self sangat penting keberadaannya untuk “menjaga” real self tetap berada di “jalur yang benar”.
Rogers menyatakan bahwa individu yang sehat ditandai dengan potensi-potensinya yang berfungsi penuh, yaitu telah mencapai keselarasan antara diri real self dan ideal self. Jika seseorang sanggup menggabungkan keduanya maka ia akan bisa mendapatkan keadaan dan hidup sebagai diri sendiri tanpa konflik.
b. Conditional positive regard dan unconditional positive regard
Setelah melaksanakan penelitian ihwal dua model diri, Rogers mendapatkan hasil bahwa insan yakni korban dari conditional positive regard (cinta, persetujuan, persahabatan, dan dukungan) yang diberikan oleh orang lain. Seseorang tidak akan mendapatkan conditional positive regard kecuali bila ia mematuhi norma sosial dan hukum “orang lain” bagi dirinya. Seseorang dituntut melaksanakan dan memikirkan sesuatu yang dianggap sebagai “norma” oleh orang lain. Jika tidak maka ia akan ditolak atau bahkan dieksekusi kalau enggan melaksanakan norma orang lain tersebut. Hanya saja, kalau terlalu “tenggelam” ke dalam norma sosial, seseorang akan kehilangan subjektivitas dirinya sendiri.
Selanjutnya, Rogers menyampaikan bahwa kalau seseorang mempunyai gambaran diri atau sikap buruk, ia memerlukan unconditional positive regard dari orang lain. Unconditional positive regard (memberi pertolongan dan apresiasi terhadap individu tanpa menghiraukan perilakunya yang tak pantas secara sosial) diperlukan seseorang bukan alasannya yakni ia pantas mendapatkannya, tetapi lebih alasannya yakni kedudukannya sebagai insan yang berharga dan mulia. Melalui hal itu, setiap orang menemukan harga diri dan kemampuan mencapai ideal self masing-masing. Tanpa unconditional positive regard, seseorang tidak akan bisa mengatasi kekurangannya ataupun menjadi insan yang berfungsi sepenuhnya.
Rogers mendasarkan teori psikologi humanistik pada prinsip bahwa kalau seseorang diberi kebebasan dan pertolongan emosional untuk tumbuh, ia akan bermetamorfosis insan yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh. Artinya, ketika kondisi “terpecah” dialami seseorang tanggapan real self dan ideal self tidak selaras, ia membutuhkan unconditional positif regard supaya sanggup berkembang secara penuh. Jadi, individu memerlukan dorongan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun orang lain.
c. Aktualisasi diri
Menurut Rogers, dorongan yakni suatu kebutuhan mendasar manusia. Rogers menempatkan dorongan dalam sistem kepribadian, terutama aktualisasi diri. Bagi Rogers, pertumbuhan dan perkembangan insan tidak sanggup dilepaskan dari kecenderungan aktualisasi diri yang bertugas memudahkan dan meningkatkan pematangan (pertumbuhan) kepribadian. Misalnya, kalau seorang anak menjadi remaja atau remaja menjadi dewasa, organ-organ badan dan kepribadiannya semakin terdiferensiasi. Sebab, organ fisik dan psikisnya mulai berfungsi dalam banyak hal kompleks.
Sebagai tenaga pendorong, aktualisasi diri mendorong individu untuk jauh lebih berpengaruh daripada “penyakit” yang mendorong supaya ia tidak berkembang. Aktualisasi diri yakni kecenderungan dari semua makhluk hidup, baik pohon, binatang, dan terlebih manusia. Perkembangan manusia—entah disadari atau tidak—didorong oleh hasrat aktualisasi diri tersebut.
Rogers mengilustrasikan perkembangan diri insan menyerupai berikut. ketika seseorang masih berusia kanak-kanak, ia mulai bisa membedakan pengalaman satu dengan yang lain. Anak itu kemudian menyebarkan kemampuannya untuk membedakan sesuatu yang menjadi miliknya dengan milik orang lain atau bagiannya dengan pecahan orang lain. Ia juga membedakan semua benda yang dilihat, didengar, dan diraba olehnya. Dengan kata lain, anak itu menyebarkan suatu konsep diri (self concept). Sebagai pecahan dari self concept, anak itu kelak akan berkembang sehingga bisa menentukan akan menjadi menyerupai siapa atau ingin menjadi apa.
Tentang ke arah manakah anak itu akan berkembang—positif atau justru negatif—Rogers menyatakan hal itu bergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima si anak di masa kecil, baik dari ibu, ayah, atau orang-orang di sekitarnya. Tiap-tiap anak membutuhkan dan berguru menumbuhkan cinta serta kasih sayang. Rogers menyebut kebutuhan ini sebagai penghargaan positif (positive regard). Dalam hal ini, positive regard merupakan suatu kebutuhan yang bisa memaksa dan dimiliki oleh semua individu. Dalam perkembangannya, anak itu terdorong untuk mencari penghargaan positif.
Konsep aktualisasi diri oleh Rogers dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, aktualisasi diri berlangsung secara kontinu. Kepribadian bersifat dinamis, dalam arti bukan merupakan suatu yang final, melainkan suatu proses untuk menjadi sesuatu. Kepribadian yakni suatu arah dan bukan tujuan. Oleh alasannya yakni itu, aktualisasi diri berlangsung terus-menerus tanpa pernah selesai. Tujuan dari dinamika aktualisasi diri yakni mengorientasikan individu ke masa depan serta menyebarkan diri dari satu tingkatan menuju kedudukan selanjutnya.
Kedua, aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sulit, bahkan terkadang menyakitkan. Aktualisasi diri berwujud semacam ujian dan rintangan yang tiba bertubi-tubi untuk menguji dan merintangi kemampuan diri. Namun demikian, insan senantiasa bisa melalui ujian dan rintangan itu alasannya yakni merasa telah sepenuhnya karam dalam arus kehidupan. Jadi, aktualisasi diri merupakan suatu keberanian untuk menjadi ada.
Ketiga, aktualisasi diri membuat individu menjadi dirinya sendiri. Seseorang tidak bisa bersembunyi di belakang topeng untuk berpura-pura menjadi bukan dirinya sendiri ataupun menyembunyikan sebagian dirinya. Ia mengetahui bahwa keberadaannya berfungsi sebagai individu di dalam area hukuman dan garis-garis fatwa yang terperinci dari sebuah komunitas masyarakat.
d. Fungsi penuh
Rogers memikirkan ihwal apa pun karakteristik diri seseorang yang potensi-potensinya berfungsi secara penuh. Menurutnya, hal itu bisa diklasifikasikan dalam tujuh prinsip.
1) Terbuka terhadap pengalaman
Seseorang yang memfungsikan seluruh potensinya akan berupaya mengalami semua perasaan dan sikap. Ia tidak merasa dihambat oleh syarat-syarat penghargaan sehingga sanggup membuka diri terhadap semua pengalaman hidup. Hal yang terpenting, ia merasa tidak mempunyai satu pun yang harus dilawan. Sebab, ia tidak melihat adanya ancaman. Jadi, ia tidak pernah merasa perlu bersikap defensif.
2) Berada dalam kehidupan eksistensial
Orang yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan senantiasa berada di dalam momen kehidupan. Setiap pengalaman dirasakan segar dan baru. Sesuatu yang dialami menyerupai belum pernah ada sebelumnya, sehingga ia merespons dengan cara-cara baru. Maka, dalam setiap momen kehidupan selalu ada kegembiraan alasannya yakni setiap pengalaman terasa segar.
3) Percaya diri
Seseorang yang aneka macam potensi dirinya berfungsi penuh akan merasa percaya diri alasannya yakni setiap sikapnya dilandasi oleh keyakinan teguh. Apabila suatu acara terlihat berharga, ia akan melakukannya dengan senuh hati. Sebaliknya, kalau suatu acara dirasa tidak berharga, hal itu tidak akan dilakukannya. Ia akan lebih memercayai seluruh perasaannya terhadap suatu situasi daripada pikirannya sendiri.
4) Memiliki perasaan bebas
Orang potensi-potensinya berfungsi penuh berarti sehat secara psikologis sekaligus senantiasa merasa menjadi insan bebas. Semakin seseorang sehat secara psikologis, ia kian mempunyai kebebasan untuk menentukan dan bertindak. Orang yang sehat sanggup menentukan secara leluasa tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas mendedikasikan dirinya pada kemerdekaan penuh.
5) Senantiasa kreatif
Seseorang yang seluruh potensinya berfungsi penuh akan sangat kreatif. Ia terbuka sepenuhnya pada semua pengalaman, percaya diri, fleksibel dalam keputusan dan tindakannya. Orang yang kreatif akan mengungkapkan dirinya dengan cara membuat produk-produk dan kehidupan yang berbeda dalam segala hal. Ia bertingkah laris spontan, autokritik, senantiasa berubah, serta terus tumbuh dan berkembang sebagai respons terhadap bermacam-macam stimulus di sekelilingnya.
6) Andal dan konstruktif
Orang yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh senantiasa percaya untuk bertindak konstruktif, baik dalam keadaan maupun dimensi apa pun. Mereka bisa menjaga keseimbangan antara perasaan, pikiran dan tindakan. Sebab, hal-hal tersebut merupakan syarat dari sikap jago dan konstruktif.
7) Kehidupan kaya
Individu yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan merasa kehidupannya penuh dengan kekayaan. Baik pikiran, sikap, maupun perasaan kaya, meskipun pada kenyataannya—secara material—boleh jadi miskin. Ia selalu tertarik pada setiap hal. Ia tahu cara mengontrol secara intens rasa suka cita dan sakit, cinta dan patah hati, serta ketakutan dan keberanian yang merupakan kodrat kepribadian setiap manusia.
e. Psikopatologi
Prinsip dasar dari aktualisasi—dan juga fungsi penuh—adalah harmoni dan keseimbangan. Sebagaimana dalam fungsi penuh “andal dan konstruktif”, Rogers mengacu pada kecenderungan aktualisasi. Pada ketika yang sama, ia menyadari kebutuhan pada hal positif, menyerupai hukum moral, etika, adat, dan sebagainya. Di sini, Rogers menyimpulkan bahwa orang yang berupaya memfungsikan potensi-potensinya tidak berarti harus mengorbankan hal positif. Mereka bisa menjalani kehidupan yang autentik dan juga asli.
Sebaliknya, orang yang mengejar hal positif juga bukan berarti menjalani kehidupan palsu sehingga tidak menyadari potensi-potensinya. Jadi, tidak benar menyatakan bahwa alasannya yakni setiap orang merasa perlu “bergabung” dengan orang-orang di sekitarnya. Ia kemudian juga merasa perlu mengorbankan “keaslian” dirinya. Menurut Rogers, ketika seseorang “bergabung” dengan orang lain, ia harus tetap autentik sebagai diri sendiri. Artinya, setiap orang harus menempatkan dirinya secara serasi dan seimbang terhadap lingkungan, begitu pula sebaliknya.
Jika seseorang tidak bisa membuat harmoni dan keseimbangan maka secara prinsip ia telah teridentifikasi mengidap psikopatologis, yaitu suatu penyakit psikis. Jadi, Rogers menganggap psikopatologis pada diri seseorang sanggup diidentifikasi dari kenyataan bahwa orang itu tidak benar menjadi diri sendiri tanggapan tidak bisa membuat harmoni dan keseimbangan antara diri dan lingkungannya.
Psikopatologis pada diri seseorang akan mendorongnya selalu bersifat defensif. Sebab, ia menganggap dirinya sedang diancam sehingga tidak sanggup bersikap terbuka terhadap semua pengalaman. Akibatnya, potensi-potensinya tidak sanggup berfungsi secara penuh. Orang semacam itu hanya sibuk bekerja keras untuk mempertahankan atau melindungi konsep ideal (ideal self) sendiri. Hidupnya tidak autentik dan selalu merasa berada di bawah bayang-bayang bahaya konstan.
Selanjutnya Rogers menjelaskan prosedur distorsi dan penolakan. Distorsi terjadi ketika individu mencicipi bahaya bagi konsep dirinya. Ia mendistorsi persepsi untuk mencapai konsep diri sendiri. Karena melaksanakan distorsi, ia berarti menipu dirinya sendiri. Ia berjuang untuk defensif supaya segala macam bahaya tidak semakin menjauhkan dari konsep dirinya. Perilaku defensif memang mengurangi kesadaran ancaman. Akan tetapi, hal tersebut tidak sedikit pun mengurangi bahaya itu sendiri. Ancaman tetap ada secara konstan alasannya yakni orang itu memercayai keberadaannya.
Ketika bahaya meningkat, konsep diri menjadi semakin sulit untuk dilindungi. Hal ini mengakibatkan seseorang menjadi semakin bersikap lebih defensif dan kaku dalam struktur dirinya. Jika “kelainan” tersebut tidak segera diatasi, proses ini sanggup mengakibatkan individu mengidap neurotik. Fungsi diri menjadi rentan sedangkan psikologi berubah genting. Saat situasinya semakin memburuk, boleh jadi pertahanan diri terhenti sehingga kepribadian orang itu menjadi tidak teratur dan aneh, perilakunya cenderung irasional, serta menolak dirinya sendiri. Dalam kondisi demikian, sesuatu yang tidak diinginkan, menyerupai merasa hidupnya tidak berharga atau perasaan ingin bunuh diri semakin hari kian menghantui.
Sumber
Irawan, Eka Nova. 2015. Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi; dari Klasik hingga Modern. IrcisoD. Yogyakarta
Download
Baca Juga
1. Carl Rogers. Biografi Psikolog
2. Carl Rogers. Teori Psikoterapi Humanistik
3. Carl Rogers. Prinsip Dasar
4. Carl Rogers. Metodologi Kepribadian
Secara teoretis, Rogers menyampaikan bahwa setiap individu mempunyai dua diri (self). Pertama, diri yang nyata (real self). Kedua, diri yang ideal (ideal self). Real self adalah diri yang dialami, dirasakan, dan dipersepsikan. Adapun ideal self yakni diri yang diidealkan (dicita-citakan). Biasanya, real self selalu tidak sejalan atau maksimal hanya mendekati ideal self. Akibatnya, hal ini kerap membuat seseorang merasa “terpecah”. Akan tetapi, ideal self sangat penting keberadaannya untuk “menjaga” real self tetap berada di “jalur yang benar”.
Rogers menyatakan bahwa individu yang sehat ditandai dengan potensi-potensinya yang berfungsi penuh, yaitu telah mencapai keselarasan antara diri real self dan ideal self. Jika seseorang sanggup menggabungkan keduanya maka ia akan bisa mendapatkan keadaan dan hidup sebagai diri sendiri tanpa konflik.
b. Conditional positive regard dan unconditional positive regard
Setelah melaksanakan penelitian ihwal dua model diri, Rogers mendapatkan hasil bahwa insan yakni korban dari conditional positive regard (cinta, persetujuan, persahabatan, dan dukungan) yang diberikan oleh orang lain. Seseorang tidak akan mendapatkan conditional positive regard kecuali bila ia mematuhi norma sosial dan hukum “orang lain” bagi dirinya. Seseorang dituntut melaksanakan dan memikirkan sesuatu yang dianggap sebagai “norma” oleh orang lain. Jika tidak maka ia akan ditolak atau bahkan dieksekusi kalau enggan melaksanakan norma orang lain tersebut. Hanya saja, kalau terlalu “tenggelam” ke dalam norma sosial, seseorang akan kehilangan subjektivitas dirinya sendiri.
Selanjutnya, Rogers menyampaikan bahwa kalau seseorang mempunyai gambaran diri atau sikap buruk, ia memerlukan unconditional positive regard dari orang lain. Unconditional positive regard (memberi pertolongan dan apresiasi terhadap individu tanpa menghiraukan perilakunya yang tak pantas secara sosial) diperlukan seseorang bukan alasannya yakni ia pantas mendapatkannya, tetapi lebih alasannya yakni kedudukannya sebagai insan yang berharga dan mulia. Melalui hal itu, setiap orang menemukan harga diri dan kemampuan mencapai ideal self masing-masing. Tanpa unconditional positive regard, seseorang tidak akan bisa mengatasi kekurangannya ataupun menjadi insan yang berfungsi sepenuhnya.
Rogers mendasarkan teori psikologi humanistik pada prinsip bahwa kalau seseorang diberi kebebasan dan pertolongan emosional untuk tumbuh, ia akan bermetamorfosis insan yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh. Artinya, ketika kondisi “terpecah” dialami seseorang tanggapan real self dan ideal self tidak selaras, ia membutuhkan unconditional positif regard supaya sanggup berkembang secara penuh. Jadi, individu memerlukan dorongan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun orang lain.
c. Aktualisasi diri
Menurut Rogers, dorongan yakni suatu kebutuhan mendasar manusia. Rogers menempatkan dorongan dalam sistem kepribadian, terutama aktualisasi diri. Bagi Rogers, pertumbuhan dan perkembangan insan tidak sanggup dilepaskan dari kecenderungan aktualisasi diri yang bertugas memudahkan dan meningkatkan pematangan (pertumbuhan) kepribadian. Misalnya, kalau seorang anak menjadi remaja atau remaja menjadi dewasa, organ-organ badan dan kepribadiannya semakin terdiferensiasi. Sebab, organ fisik dan psikisnya mulai berfungsi dalam banyak hal kompleks.
Sebagai tenaga pendorong, aktualisasi diri mendorong individu untuk jauh lebih berpengaruh daripada “penyakit” yang mendorong supaya ia tidak berkembang. Aktualisasi diri yakni kecenderungan dari semua makhluk hidup, baik pohon, binatang, dan terlebih manusia. Perkembangan manusia—entah disadari atau tidak—didorong oleh hasrat aktualisasi diri tersebut.
Rogers mengilustrasikan perkembangan diri insan menyerupai berikut. ketika seseorang masih berusia kanak-kanak, ia mulai bisa membedakan pengalaman satu dengan yang lain. Anak itu kemudian menyebarkan kemampuannya untuk membedakan sesuatu yang menjadi miliknya dengan milik orang lain atau bagiannya dengan pecahan orang lain. Ia juga membedakan semua benda yang dilihat, didengar, dan diraba olehnya. Dengan kata lain, anak itu menyebarkan suatu konsep diri (self concept). Sebagai pecahan dari self concept, anak itu kelak akan berkembang sehingga bisa menentukan akan menjadi menyerupai siapa atau ingin menjadi apa.
Tentang ke arah manakah anak itu akan berkembang—positif atau justru negatif—Rogers menyatakan hal itu bergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima si anak di masa kecil, baik dari ibu, ayah, atau orang-orang di sekitarnya. Tiap-tiap anak membutuhkan dan berguru menumbuhkan cinta serta kasih sayang. Rogers menyebut kebutuhan ini sebagai penghargaan positif (positive regard). Dalam hal ini, positive regard merupakan suatu kebutuhan yang bisa memaksa dan dimiliki oleh semua individu. Dalam perkembangannya, anak itu terdorong untuk mencari penghargaan positif.
Konsep aktualisasi diri oleh Rogers dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, aktualisasi diri berlangsung secara kontinu. Kepribadian bersifat dinamis, dalam arti bukan merupakan suatu yang final, melainkan suatu proses untuk menjadi sesuatu. Kepribadian yakni suatu arah dan bukan tujuan. Oleh alasannya yakni itu, aktualisasi diri berlangsung terus-menerus tanpa pernah selesai. Tujuan dari dinamika aktualisasi diri yakni mengorientasikan individu ke masa depan serta menyebarkan diri dari satu tingkatan menuju kedudukan selanjutnya.
Kedua, aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sulit, bahkan terkadang menyakitkan. Aktualisasi diri berwujud semacam ujian dan rintangan yang tiba bertubi-tubi untuk menguji dan merintangi kemampuan diri. Namun demikian, insan senantiasa bisa melalui ujian dan rintangan itu alasannya yakni merasa telah sepenuhnya karam dalam arus kehidupan. Jadi, aktualisasi diri merupakan suatu keberanian untuk menjadi ada.
Ketiga, aktualisasi diri membuat individu menjadi dirinya sendiri. Seseorang tidak bisa bersembunyi di belakang topeng untuk berpura-pura menjadi bukan dirinya sendiri ataupun menyembunyikan sebagian dirinya. Ia mengetahui bahwa keberadaannya berfungsi sebagai individu di dalam area hukuman dan garis-garis fatwa yang terperinci dari sebuah komunitas masyarakat.
d. Fungsi penuh
Rogers memikirkan ihwal apa pun karakteristik diri seseorang yang potensi-potensinya berfungsi secara penuh. Menurutnya, hal itu bisa diklasifikasikan dalam tujuh prinsip.
1) Terbuka terhadap pengalaman
Seseorang yang memfungsikan seluruh potensinya akan berupaya mengalami semua perasaan dan sikap. Ia tidak merasa dihambat oleh syarat-syarat penghargaan sehingga sanggup membuka diri terhadap semua pengalaman hidup. Hal yang terpenting, ia merasa tidak mempunyai satu pun yang harus dilawan. Sebab, ia tidak melihat adanya ancaman. Jadi, ia tidak pernah merasa perlu bersikap defensif.
2) Berada dalam kehidupan eksistensial
Orang yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan senantiasa berada di dalam momen kehidupan. Setiap pengalaman dirasakan segar dan baru. Sesuatu yang dialami menyerupai belum pernah ada sebelumnya, sehingga ia merespons dengan cara-cara baru. Maka, dalam setiap momen kehidupan selalu ada kegembiraan alasannya yakni setiap pengalaman terasa segar.
3) Percaya diri
Seseorang yang aneka macam potensi dirinya berfungsi penuh akan merasa percaya diri alasannya yakni setiap sikapnya dilandasi oleh keyakinan teguh. Apabila suatu acara terlihat berharga, ia akan melakukannya dengan senuh hati. Sebaliknya, kalau suatu acara dirasa tidak berharga, hal itu tidak akan dilakukannya. Ia akan lebih memercayai seluruh perasaannya terhadap suatu situasi daripada pikirannya sendiri.
4) Memiliki perasaan bebas
Orang potensi-potensinya berfungsi penuh berarti sehat secara psikologis sekaligus senantiasa merasa menjadi insan bebas. Semakin seseorang sehat secara psikologis, ia kian mempunyai kebebasan untuk menentukan dan bertindak. Orang yang sehat sanggup menentukan secara leluasa tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas mendedikasikan dirinya pada kemerdekaan penuh.
5) Senantiasa kreatif
Seseorang yang seluruh potensinya berfungsi penuh akan sangat kreatif. Ia terbuka sepenuhnya pada semua pengalaman, percaya diri, fleksibel dalam keputusan dan tindakannya. Orang yang kreatif akan mengungkapkan dirinya dengan cara membuat produk-produk dan kehidupan yang berbeda dalam segala hal. Ia bertingkah laris spontan, autokritik, senantiasa berubah, serta terus tumbuh dan berkembang sebagai respons terhadap bermacam-macam stimulus di sekelilingnya.
6) Andal dan konstruktif
Orang yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh senantiasa percaya untuk bertindak konstruktif, baik dalam keadaan maupun dimensi apa pun. Mereka bisa menjaga keseimbangan antara perasaan, pikiran dan tindakan. Sebab, hal-hal tersebut merupakan syarat dari sikap jago dan konstruktif.
7) Kehidupan kaya
Individu yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan merasa kehidupannya penuh dengan kekayaan. Baik pikiran, sikap, maupun perasaan kaya, meskipun pada kenyataannya—secara material—boleh jadi miskin. Ia selalu tertarik pada setiap hal. Ia tahu cara mengontrol secara intens rasa suka cita dan sakit, cinta dan patah hati, serta ketakutan dan keberanian yang merupakan kodrat kepribadian setiap manusia.
e. Psikopatologi
Prinsip dasar dari aktualisasi—dan juga fungsi penuh—adalah harmoni dan keseimbangan. Sebagaimana dalam fungsi penuh “andal dan konstruktif”, Rogers mengacu pada kecenderungan aktualisasi. Pada ketika yang sama, ia menyadari kebutuhan pada hal positif, menyerupai hukum moral, etika, adat, dan sebagainya. Di sini, Rogers menyimpulkan bahwa orang yang berupaya memfungsikan potensi-potensinya tidak berarti harus mengorbankan hal positif. Mereka bisa menjalani kehidupan yang autentik dan juga asli.
Sebaliknya, orang yang mengejar hal positif juga bukan berarti menjalani kehidupan palsu sehingga tidak menyadari potensi-potensinya. Jadi, tidak benar menyatakan bahwa alasannya yakni setiap orang merasa perlu “bergabung” dengan orang-orang di sekitarnya. Ia kemudian juga merasa perlu mengorbankan “keaslian” dirinya. Menurut Rogers, ketika seseorang “bergabung” dengan orang lain, ia harus tetap autentik sebagai diri sendiri. Artinya, setiap orang harus menempatkan dirinya secara serasi dan seimbang terhadap lingkungan, begitu pula sebaliknya.
Jika seseorang tidak bisa membuat harmoni dan keseimbangan maka secara prinsip ia telah teridentifikasi mengidap psikopatologis, yaitu suatu penyakit psikis. Jadi, Rogers menganggap psikopatologis pada diri seseorang sanggup diidentifikasi dari kenyataan bahwa orang itu tidak benar menjadi diri sendiri tanggapan tidak bisa membuat harmoni dan keseimbangan antara diri dan lingkungannya.
Psikopatologis pada diri seseorang akan mendorongnya selalu bersifat defensif. Sebab, ia menganggap dirinya sedang diancam sehingga tidak sanggup bersikap terbuka terhadap semua pengalaman. Akibatnya, potensi-potensinya tidak sanggup berfungsi secara penuh. Orang semacam itu hanya sibuk bekerja keras untuk mempertahankan atau melindungi konsep ideal (ideal self) sendiri. Hidupnya tidak autentik dan selalu merasa berada di bawah bayang-bayang bahaya konstan.
Selanjutnya Rogers menjelaskan prosedur distorsi dan penolakan. Distorsi terjadi ketika individu mencicipi bahaya bagi konsep dirinya. Ia mendistorsi persepsi untuk mencapai konsep diri sendiri. Karena melaksanakan distorsi, ia berarti menipu dirinya sendiri. Ia berjuang untuk defensif supaya segala macam bahaya tidak semakin menjauhkan dari konsep dirinya. Perilaku defensif memang mengurangi kesadaran ancaman. Akan tetapi, hal tersebut tidak sedikit pun mengurangi bahaya itu sendiri. Ancaman tetap ada secara konstan alasannya yakni orang itu memercayai keberadaannya.
Ketika bahaya meningkat, konsep diri menjadi semakin sulit untuk dilindungi. Hal ini mengakibatkan seseorang menjadi semakin bersikap lebih defensif dan kaku dalam struktur dirinya. Jika “kelainan” tersebut tidak segera diatasi, proses ini sanggup mengakibatkan individu mengidap neurotik. Fungsi diri menjadi rentan sedangkan psikologi berubah genting. Saat situasinya semakin memburuk, boleh jadi pertahanan diri terhenti sehingga kepribadian orang itu menjadi tidak teratur dan aneh, perilakunya cenderung irasional, serta menolak dirinya sendiri. Dalam kondisi demikian, sesuatu yang tidak diinginkan, menyerupai merasa hidupnya tidak berharga atau perasaan ingin bunuh diri semakin hari kian menghantui.
Sumber
Irawan, Eka Nova. 2015. Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi; dari Klasik hingga Modern. IrcisoD. Yogyakarta
Download
Baca Juga
1. Carl Rogers. Biografi Psikolog
2. Carl Rogers. Teori Psikoterapi Humanistik
3. Carl Rogers. Prinsip Dasar
4. Carl Rogers. Metodologi Kepribadian
Belum ada Komentar untuk "Carl Rogers. Teori"
Posting Komentar