Sejarah Dan Perkembangan Tari Dalam Ragam Tari Nusantara

Sejarah Dan Perkembangan Tari


Sejarah nusantara (Indonesia) pada umumnya dikenal mulai dan berdirinya kerajaan-kerajaan. Kerajaan Nusantara (Indonesia) paling awal dicatat sejarah ialah Kerajaan Kutai, Muara Kaman, Kalimantari. Kerajaan Hindu ini bangun kira-kira pada kurun IV M. Petunjuk tentarig adanya Kerajaan Kutai tertulis dalam beberapa yupa atau kerikil tertulis. Di Jawa Barat pada kurun V terdapat kerajaan Hindu yang berjulukan Tarumguagara dengan rajanya yang populer Purnawarman. Sementara di Jawa Tengah, juga pada kurun V bangun kerajaan Hindu berjulukan Kalingga (Keling). 

Ratu Shima ialah Raja Kalingga yang populer bijaksana dan adil. Sete!ah Kalingga, pada kurun VII bangun kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah, rajanya yang populer ialah Syailendra dan Sanjaya. Di Sumatera terdapat kerajaan Buddha yang besar yaitu Sriwijaya, kerajaan ini’ bangun kira-kira kurun VII. Selanjutnya berturut-turut bangun Kerajaan Kediri (Daha), Jenggala, Singosari, dan terakhir dan terbesar yaitu Majapahit pada kurun XIII. Selanjutnya muncul Kerajaan Mataram Islam di Jawa yang dimulai dari Demak, Pajang, Mataram, dan terakhir Kasunanan Surakarta dan Kasultarian Yogyakarta hingga kurun XXI.

Sejak kerajaan-kerajaan tersebut berkuasa, banyak sekali bentuk tarian tercipta untuk melengkapi upacara sakral istaria. Setiap bentuk tarian tentu dianggap bermakna dan bernilai filosofis tinggi sesuai kebutuhan raja masing-masing periode. Setiap karya tari hasil ciptaan empu tari dan masing-masing periode dan kerajaan tidak sama bentuk, model, kualitas, dan dengan sendirinya tingkat kelestariannya. Ada yang hingga kini masih sanggup dikenali, contohnya tari topeng. Meski demikian, tidak sedikit yang sudah mengalami pengolahan menjadi bentuk baru, ibarat tari gambyong, bedhaya, dn serimpi. Demikian juga banyak yang sudah mengalami kemandekan dan balasannya mati alasannya ialah tidak bisa mengikuti perubahan zaman, contohnya tari tayub lesung dan ketoprak lesung.



Sejarah dan Perkembangan Tari Tradisi

Sejarah tari mencatat tari Topeng sebagai embrio (dion) tari tradisi di Jawa. Diduga tari Topeng mengalami zaman keemasan pada zaman kerajaan Majapahit berkuasa sekitar paroh kedua kurun ke-14. Bahkan Raja Hayam Wuruk sendiri tercatat sebagai seorang penari topeng yang sering tampil pada upacara-upacara khusus kerajaan. Sisa-sisa kejayaan tari topeng masih sanggup dilihat melal,ui tari Topeng Kiana dan Gunung Sari. Dalam Kitab Negarakerragama (Empq Prapanca) diterangkan adanya atraksi besar-bemasukan tari dan nyanyian di kerajaan Majapahit. Raja turut menari serta menyanyi untuk memeriahkan upacara penutupan perayaan bulan Caitra di lapangan Bubat. Selain itu, Kitab Negarakertagama juga mencatat adanya figure-figur punakawan atau juru banyol dan tutup kepala (‘irah-irahan,) pada beberapa penari yang disebut tekes. Sampai kini masih sanggup kim amati, hampir tiruana tradisi topeng di Jawa selalu memakai tekes sebagai ciri khasnya, terutama yang berlatar belakang kisah Panji. Demikian pula tokoh-tokoh punaka waniuga masih mayoritas kemunculannya. Di Kiaten danJojakarta, kemunculan punakawan Bancakdan Doyok, Regol, Potrojoyo, dan Sembunglangu sudah menjadi tradisi yang baku di dalam struktur lakon, terutama di dalam pakem wayang topeng pedalangan. Menurut tradisi di Jawa Tengah dan Cirebon, Sunan Kalijaga dianggap sebagai pencipta wayang topeng pada periode kerajaan Demak, yaitu pada awal kurun ke-16.

Dalam perkembangannya, tari Topeng Panji di istaria Surakarta mempunyai arti khusus di kalangan darah biru Kasunanan Surakarta. Tari Panji menjadi simbol kehidupan aristokrasi, contohnya tari Panji Sepuh yang spesialuntuk boleh ditarikan oleh calon raja (putra mahkota), dan tari Panji Enem khusus ditarikan oleh alangan darah biru yang masih kerabat bersahabat raja. Sebenarnya, tari topeng mulai mendapat perhatian di Keraton Mataram semenjak periode Kartasura oleh Paku Buwana II (1700-1750). Waktu itu seorang seniman keraton mengubah kisah Kudanarawangsa menurut Serat Panji. Akhirnya, perkembangan tari topeng di asunanan Surakarta lambat laun tersisih oleh tari bedaya dan serimpi yang mengatakan perkembangan pesat. Sampai pada era PB IX banyak para abdi dalem dan Kiaten berguru dramatari topeng di Kasunanan Surakarta, yang kemudian dikembangkan dan digarap kembali sesuai dengan cita rasa gaya pedalangan di lingkungan komunitas dalang di wilayahnya masing-masing. Tarian bedaya dan serimpi balasannya menjadi semacam simbol keagungan, simbol budaya mataram dengan muatari nilai-nilai filosofisnya. Demikian pula bentuk-bentuk wireng, dramatari wayang wong, dan banyak sekali jenis carian istaria Mataram lainnya semakin memperkokoh posisinya sebagai salah satu cermin peradaban budaya Mataram.

Di Jogjakarta pada tahun 1918 bangun Sekolah Tari Krida Beksa Wirama yang dipelopori oleh 2 Pangeran Keraton Jogjakarta, yaitu Pangeran Tedjo Kusumo dan Pangeran Survadiningrat. Tari-tarian kiasik dan Keraton Jogjakarta Jiperkenalkan dan diajarkan di luar tembok istaria dalam konteks pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Dari sekolah tari ini muncul nama Wisnoe Wardhana dan Bagong Kussudiarjo, kreator tari terkemuka di Indonesia. Di Surakarta juga muncul upaya-upaya untuk menampilkan kembali tari tradisi melalui kreasi dan misi yang lebih bersahabat pada lisan kesenian dan kebangsaan. Sebagai teladan tari Nusantara (gaya Jawa dan Siam) yang diperkenalkan pada Konggres Kebudayaan I pada tahun 1948 di Magelang oleh Pangeran Praboewinoto. Kemudian terciptariya genre (jenis) seni pertunjukan tari Jawa gres yang disebut “Sendratari” di tahun 1961 atau dikenal sebagai “Sendratari Ballet Ramayana”. Istilah mi diciptakan dan diprakarsai oleh G.P.H. Jatikusumo yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Postel dan Turisme. Dan panggung “Sendratari Ballet Ramayana” Prambanan ini pula lahir Sardono W. Kusuma, Sal Murgiyanto, Retno Maruti yang kemudian menjadi seniman-seniman dan jago tari terkemuka di Indonesia.

Di Bali, jauh sebelumnya I Mario sudah membuat gaya kebyar dalam karawitari dan tari Bali (1930-an), dan hingga kini menjadi corak garap utama dalam khasanah karawitari dan tari tradisi Bali yang mengilhami pula terciptariya tari-tari Bali kreasi dalam gaya kekebyaran. Sementara dalam perkembangan seni tari Priangan (Jawa Barat), dilarang lupa akan dua seniman legendaries yang di perempat pertama kurun 20 hingga pasca kemerdekaan gigih membuatkan seni tari Sunda, yaitu Tb. 0. Martakusuma dan R. Tjetje Somantni. Dari era inilah muncul tari Kupu-kupu dan tari Merak yang manis, dinamis dan mempesona. Kedua tari tersebut yang di kemudian han mengilhami munculnya tari Merak gaya Bagong Kussudiarjo di Jogjakarta serta gaya S. Maridi di Surakarta. 

Pada tahun 1975-1980 Gugum Gumbira berhasil menggarap “Ketuk Tilu” menjadi tari jaipongan yang cepat berkembang dan diterima masyarakat di nusantara mi (booming tari Jaipong). Di Surakarta muncul nama Suprapto Suryodarmo dan Sardono W. Kusuma yang tetap memakai spirit (roh) lokal dalam praktek-praktek artistik modern yang kreatifdan eksperimental. Di Jogjakarta terdapat nama Ben Suharto (almarhum) dalam mengkaji ruh tari gaya Jogjakarta dengan konsep Mandala-nya. Misalnya klarifikasi tentarig Sastra Senimpi Wiraga Dadi yang merujuk pada empat titik arah mata angin: utara, selatari, timur dan barat, yang dalam filosofi Jawa dianalogikan sebagai api, udara, air, dan bumi.

Pembaharuan tari tradisi di Bali diprakarsai oleh I Nyoman Mario, seorang penari muda dan Bali Selatari, yang pada tahun 1925 memperkenalkan kekebyoran yang sifatnya Iebih Iincah dan dinamis. Disebut kekebyaran alasannya ialah tari mi diiringi oleh ienteng gamelan gres dan Bali Utara yang dinamakan gamelan Kebyar.Tari Kebyar yang lazim dilakukan yaitu posisi jongkok sehingga tari Kebyar karya I Mario ni disebut juga Kebyar Duduk. Kemudian dikarenakan dalam melaksanakan tarian ini sambil memainkan instrumen terompong, maka tari ini juga dikenal dengan istilah Kebyar Terompang. Karyanya ini tetap bertahan hingga ketika ini sehingga tari Kebyar dikategorikan karya kiasik yang tidak kalah menarikdanunik dengan karya-karya yang lain.

Perubahan, perombakan dan penampilan gres suatu bentuk tari usang (tradisi) dilakukan oleh pekerja seni dan koreografer handal kota Sala, yaitu Gendhon Humardani (aim). melaluiataubersamaini konsep pemadatarinya yang terkenal, Gendhon Humardani melaksanakan perubahan besar-besanani atau cukup revolusioner terhadap repertoar-repertoar seni tradisi, khususnya tari. Misalnya, pemadatari koneogra’TI tari Bedaya dan Serimpi, Gambyong, Adaninggar-Kelaswara, dan Srikandi-Anoman. Pemadatari ialah mewadahi isi suatu sajian ke dalam wadah yang lebih sempit dengan tidak mengurangi bobot sajiannya.

Sejarah dan Perkembangan Tari Kreasi Baru

Pembaharuan tari Indonesia diawali oleh I Mario di Bali seputar tahun 1930-an melalui gaya kebyar. Seianjutnya di Jawa, gagasan untuk memperkaya vokabuler tari diprakarsai oleh Bagong K. dan Wisnoe Wardhana pada tahun 1950-1958. Selain itu, tidak sanggup dilewatkan pula nama-nama seprti Sal Murgiyanto, I Wayan Dibya, Gusmiati Suit, Endo Suanda, dan Sardono W. Kusumo.

Pada mulanya pembaharuan itu berkutat pada aspek tema dengan materi dasar geraknya diambil dan tari tradisi. Dewasa mi sudah mengambil kenyataan yang berkembang di tengah masyarakat, ibarat konflik-konflik sosial, korban konflik politik, korupsi, kekerasan, korban kekerasan, penindasan, nafsu kekuasaan, dan kebiadaban. Karya tari yang muncul pada zaman perjuangan, contohnya bedaya Revolusi dan Pejuang, dan tari Pahiawan. Sementara yang dicipta belakangan ini contohnya tari Jaipongan (Gugum Gumbira), tari Batik (S. Ngaliman), tari Karonsih, dan tari Merak Subal (S. Maridi).

Pembaharuan tari di Indonesia semakin mengatakan dinamikanya sehabis para seniman tari senior tersebut menimba ilmu di Barat (Amerika). Berturut-turut dilakukan oleh Bagong K. dan Wisnoe Wardhana (1950- 1958), Gendhon Humardani (1961-1962), R.M. Soedarsono (1969), Made Bandem (1969), Sal Murgiyanto (1980-an), Gusmiati Suid (1991), Sumaryono (1997), dan masih banyak lagi.

Karya Bagong Kussudiarjo sehabis menimba ilmu di Amerika yaitu Bedhaya Gendheng (1991), dan Lorong yang ialah bakteri perenungannya mengamati kehidupan malam dan seluk-beluknya di pulau Borneo. Karya Sardono W. Kusumo atas kepeduliannya terhadap kerusakan hutari dan lingkungannya ialah tari berjudul Meta Ekologi dan Hutari Plastik.

Sejarah dan Perkembangan Tari Modern atau Kontemporer

Sejarah tari modern atau kontemporer dimulai menjelang final dekade 70-an. Selain dilakukan oleh beberapa akademi tinggi seni populer di Indonesia, ibarat STSI (ASKI) Surakarta dan 151 (ASTI) Jogjakarta, beberapa individu juga turut berjasa dalam rangka memperkenalkan tari kontemporer. Begitu juga perlu dicatat adanya peristiwa-peristiwa penting yang ikut menunjang semakin berkembangnya tari kontemporer di Indonesia.

Beberapa wadah yang sering dipakai sebagai ajang meraib prestasi bagi seniman-seniman penata tari muda antara lain: Festival Kesenian Rakyat Tingkat Nasional di Jakarta, Pekan Penata Tari Muda di TIM Jakarta, Parade Tari Daerah di TMII Jakarta, Jogjakarta, Forum Kesenian Bali di Denpasar, Festival Kesenian Jogjakarta, Pasar Tari Kontemporer di Pekanbaru, Makassar Art Festival di Makassar, Temu Koreografer Wanita di Sala, Solo Dance Festival di Sala, dan Festival Cak Durasim di Surabaya. Perlu diketahui bahwa karya-karya ari Jawa gres atau kontemporer lebih berkembang di kedua akademi tinggi kesenian, yaitu STSI Surakarta dan ISI Jogjakarta, terutama di kalangan mahasiswanya.
Sumber Pustaka: Yudhistira

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Dan Perkembangan Tari Dalam Ragam Tari Nusantara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel