Download Makalah Hak Didik Anak Dalam Ijab Kabul (Makalah Dan Pengertian)


Kata Hadhanah berasal dari kata “Hidhan”, artinya: lambung. Dan menyerupai kata: Hadhanah ath-thairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan wanita (ibu) yang mengempit anaknya.
Para jago fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah: melaksanakan pemeliharaan belum dewasa yang masih kecil pria ataupun wanita atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya supaya bisa berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Mengasuh belum dewasa yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan belum dewasa yang masih kecil kepada ancaman kebinasaan.[1] Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, lantaran anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan supaya anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang sanggup meringankan orang renta yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
اِذَامَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلِهِ إِلَّامِنْ ثَلاَثٍ:مِنْ وَلَدٍصَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أِوْصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْفَعُ بِهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila seorang manusia telah meninggal, putuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga perkara: dari anak yang shaleh yang mendo’akannya atau shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Dan firman Allah SWT:
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang materi bakarnya yaitu insan dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

Yang dimaksud dengan memelihara dalam ayat tersebut di atas ialah mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang mempunyai kegunaan bagi agama. Ayat ini memerintahkan supaya semua kaum muslimin berusaha supaya mendidik keluarganya.[2]
Hadhanah merupakan kewajiban bersama, akan tetapi kalau terjadi perpisahan antara ibu dan ayah, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya, selama tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu melaksanakan pekerjaan hadhanah tersebut, atau lantaran anak telah bisa menentukan apakah mau ikut ibu atau bapak.  Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang wanita berkata: Wahai Rasulullah, gotong royong anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih berdasarkan Hakim)

Seorang hadhinah (Ibu) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu kecakapan dan kecukupan. Kecukupan dan kecakapan juga memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
Syarat-syaratnya itu ialah:
  1. Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang nalar menyerupai gila, keduanya dihentikan menangani Hadhanah. Karena mereka tidak sanggup mengurusi dirinya sendiri, alasannya itu ia dihentikan diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
  2. Dewasa, alasannya anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, lantaran itu dia dihentikan menangani urusan orang lain.
  3. Mampu Mendidik, lantaran itu dihentikan menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh orang lain.
  4. Amanah dan Berbudi, alasannya orang yang curang tidak kondusif bagi anak kecil dan tidak sanggup diandalkan akan sanggup menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak sanggup menjiplak atau berkelakuan menyerupai orang yang curang itu.
  5. Islam, anak Muslim dihentikan diasuh oleh orang yang bukan Muslim, alasannya hadhanan yaitu masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Artinya:
“… dan Allah tidak akan memperlihatkan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’: 141)

  1.  Ibunya tidak kawin lagi, kalau si ibu telah kawin lagi dengan pria lain. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah di atas:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih berdasarkan Hakim)

  1. Merdeka, alasannya seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]

  1. Memberi Nafkah dalam Pernikahan
    1. Kewajiban Nafkah
Kaum Muslimin setuju bahwa, perkawinan merupakan salah satu alasannya yang mewajibkan pinjaman nafkah. Nafkah atas istri ditetapkan nashnya dalam surat berikut ini:
4 ’n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4 Ÿw §‘!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 ’n?tãur Ï^Í‘#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÇËÌÌÈ
Artinya:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan berdasarkan kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. (QS. Al-Baqarah:233)
Yang dimaksud para ibu di situ yaitu istri-istri, sedangkan yang dimaksud dengan ayah yaitu suami-suami.[4]
Ayat tersebut memperlihatkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan penggalan dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami sejak janji perkawinan dilakukan.
Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, sanggup menjadikan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Kata nafkah di atas sendiri yaitu merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu nafakah yang berarti “belanja”, “kebutuhan pokok”. Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diharapkan oleh orang-orang yang membutuhkannya.
Sebagian jago fiqh beropini bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu ialah: pangan, sandang dan kawasan tinggal, sedang jago fiqh yang lain beropini bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga , maka dari kedua pendapat tersebut di atas sanggup di ambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain diadaptasi dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.[5]
  1. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah sanggup dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Nafkah lahir, yaitu nafkah bersifat materi menyerupai sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak
  2. Nafkah batin, nafkah yang bersifat non-materi menyerupai hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.
  3. Syarat-syarat Nafkah
Syarat bagi seorang wanita berhak mendapatkan nafkah yaitu sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya sanggup menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke kawasan yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling sanggup menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja.[6] Sedangkan dalam kaitannya ayah menafkahi anak atau dengan kata lain anak di nafkahi ayah, yaitu dengan syarat:
  1. anak dalam keadaan miskin dan tidak bisa bekerja,atau anak yang tidak mempunyai pekerjaan. Hal ini Nampak dalam dua keadaan: pertama, anak-anak tersebut masih kecil, dan kedua, anak-anak tersebut sudah besar tetapi tidak mempunyai pekerjaan atau lantaran mereka itu anak perempuan.
  2. Hendaklah si ayah dalam keadaan kaya yang bisa memberi nafkah.[7]
  1. Akibat Dari Putusnya Perknikahan
Akibat positif yang bisa didapatkan dari perceraian (putusnya pernikahan) yaitu terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi pengaruh negatif dari perceraian akan lebih banyak, seperti:
  1. Akibat Perceraian Bagi Suami Istri
    1. Perceraian sering menjadikan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut, menyerupai stres dan despresi. Keadaan ini tidak menguntunggakan untuk kehidupan dia dalam hal pergaulan ataupun pekerjaan.
    2. Meranggangkan hubungan silaturahmi diantara keduanya, apalagi kalau perceraiannya lantaran permusuhan.
    3. Perceraian menciptakan trauma pada pasangan yang bercerai tersebut sehingga tidak ingin menikah lagi.
    4. Akibat Perceraian Bagi Anak
Anak-anak yang terlahir dari ijab kabul mereka juga bisa mencicipi sedih bila orangtua mereka bercerai. Bahkan bisa dikatakan korban yang paling parah dari perceraian yaitu anak. Anak bisa mengalami despresi, stres dan tertekan, anak juga bisa menjadi sangat membenci orang tuanya, terjebak ke pergaulan bebas, atau anak akan menjadi takut menikah lantaran melihat kegagalan orang tuanya. Dan masih banyak lagi akhir dari perceraian.
Selain itu akhir dari putusnya perkawinan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan belum dewasa pengadilan memberi keputusan.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup memenuhi kewajiban tersebut.Pengadilan sanggup menentukan bahwa ibu sanggup memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan sanggup mewajibkan kepada bekas suami untuk menghidupkan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.[8]
IV. ANALISIS
Selain terhadap harta perkawinan yang didasarkan aturan Islam juga memberi akhir terhadap belum dewasa yaitu siapa yang memegang hak latih anak sehabis kedua orang tuanya bercerai. Dalam masalah percerain, masalah hak latih anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pada prinsipnya kalau terjadi perceraian maka hak latih jatuh ke tangan ibunya. Hal ini sanggup dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriyah semata melainkan juga kedekatan batiniyah.
Namun meskipun pada prinsipnya hak latih anak jatuh ke tangan ibunya, kompilasi aturan islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk menentukan antara ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berusia 12 tahun. Seorang anak yang telah berusia 12 tahun oleh aturan dianggap telah sanggup menentukan pilihannya sendiri saat kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya.
Pelaksanaan hak latih anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya harus disertai jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah terjamin. Apabila memegang hak latih anak, baik ayah maupun ibunya ternyata tidak sanggup menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan sanggup meminta kepada pengadilan agama untuk memindahkan hak latih anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh. Dan siapaun yang memegang hak asuh, semua biaya hak latih dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tangggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya dan berlangsung hingga anak mencapai cukup umur (21 tahun).
  1. KESIMPULAN
Hadhanah ialah: melaksanakan pemeliharaan belum dewasa yang masih kecil pria ataupun wanita atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya supaya bisa berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Syarat bagi seorang wanita berhak mendapatkan nafkah yaitu sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya sanggup menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke kawasan yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling sanggup menikmati.
Dampak positif yang bisa didapatkan dari perceraian yaitu terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi pengaruh negatif dari perceraian akan lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam,Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984
Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta: Lentera, 2007
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980
___________, Fikih Sunnah vol. 8, Bandung: PT Alma’arif, 1980
3.11.12, 13.18



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah vol. 8, (Bandung: PT Alma’arif, 1980), hlm. 173
[2] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 129-130
[3] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184
[4] Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 2007), hlm. 400
[5] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 119-120
[6] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm., 80-81
[7] Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984), hlm., 180

Belum ada Komentar untuk "Download Makalah Hak Didik Anak Dalam Ijab Kabul (Makalah Dan Pengertian)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel