Richard Rorty. Pragmatisme Politik
Rorty mengklaim bahwa ketaatan kita pada liberalisme disebabkan bukan lagi oleh impian pahala di surga. Kita berpegang teguh pada kebenaran yang ditawarkan oleh sebuah ideologi bukan lagi lantaran kebenaran tersebut memperoleh pembenaran dari “sesuatu yang lebih tinggi” (klaim kebenaran teologis maupun ontologis secara etis). Menurut Rorty, kebanyakan insan di dunia kini lebih menganggap bahwa kebenaran yang ditawarkan oleh liberalisme kita pegang teguh lantaran kita lebih menekankan klaim kebenaran tersebut “diambil dari dunia ini”. Klaim itu bersifat duniawi, terikat ruang dan waktu, hanya saja ia berada di masa depan. Rorty beropini bahwa kita lebih memikirkan keturunan kita di masa tiba daripada keselamatan kita sehabis mati. Rorty berpandangan bahwa kita mempertahankan liberalisme kini demi “kebaikan dan kebenaran” yang akan kita wariskan pada anak cucu kita.
Rorty menambahkan bahwa kehidupan kepercayaan religius dan keagamaan telah mengalami kemunduran dan tidak bisa diperbaiki lagi, serta insiden itu berdasarkan Rorty punya arti baik. Liberalisme harus berdasar pada struktur yang hidup dalam masyarakat, tanpa terikat konsep-konsep metafisis dan etis. Jadi, masyarakat sendiri yang memilih konsep politik yang diyakini dan dihidupinya tergantung pada kondisi spasio-temporal, bukan pada ide-ide yang “abstrak-umum-universal”. Pengertian akan sebuah konsep politik cocok buat aku tergantung pada keyakinan kebenaran aku yang terbentuk melalui pengalaman dan kesadaran aku saat hidup bermasyarakat. Suatu sistem dianggap baik apabila aku (sebagai anggota sebuah masyarakat) meyakininya baik, didorong oleh “retorika” masyarakat aku dan kebudayaan daerah tinggal saya.
Rorty mengajukan kritik terhadap konsep liberalisme yang sudah dianut oleh masyarakat barat sejak revolusi Prancis 1789. Ia menganggap bahwa keruntuhan modernisme sebagai sebuah genre pemikiran berarti keruntuhan segala pengertian, bahkan premis-premis metafisis dan bahasa yang menjadi landasan pijaknya. Dan sebagai seorang pemikir yang konsekuen, kritiknya yang menghancurkan modernisme ia ganti dengan sebuah kesadaran baru, sebuah epistemologi gres dan sebuah metafisika serta etika gres pula. Ketika ia menolak untuk mengajukan sebuah titik tolak yang paling dasar sebagai starting point, ia memang sudah seharusnya begitu. Karena kalau ia mengajukan sebuah “Ada” ataupun “ada” yang baru, ia terjebak kembali ke dalam bundar modernisme yang telah ia dekonstruksi.
Demikian pula saat ia menyinggung perihal filsafat sosial-politik dalam karya-karyanya. Ia terjebak dalam bundar bahwa kesadaran insan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip etis dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang ia runtuhkan harus ada gantinya, lantaran negara dan masyarakat memerlukan prinsip etis dan moral sebagai sebuah sarana insan dalam mengatur korelasi antara dirinya dan orang lain. Ia tak bisa menunjukkan balasan yang memuaskan saat ia diminta untuk menjawab pertanyaan “setelah ini, kemudian apa?”. Rorty mengajukan pendapat bahwa prinsip-prinsip etis sanggup digantikan dengan prinsip-prinsip pragmatis. Nilai-nilai yang ia anggap sanggup menjadi panutan dalam paradigma sosial politik didapat dari kebiasaan hidup insan dalam lingkungannya, tanpa ada “ide-ide yang tiba dari luar manusia”.
Dengan kata lain, liberalisme masih adekuat lantaran ia dianggap mempunyai kegunaan dalam kerangka sejarah manusia. Lalu bagaimana bisa kesadaran akan persamaan hak tiba dari kebudayaan yang berbeda-beda dan sejarah kehidupan bangsa yang bermacam-macam? Rorty menjawab bahwa liberalisme hasil dari persuasi dan argumentasi kaum penganutnya, dan retorika tersebut disebarkan ke seluruh dunia, sampai semua orang akan ikut mencicipi bahwa ide-ide liberalisme tersebut yaitu miliknya juga. Selanjutnya saat ia mengajukan keberatan akan teori kontrak sosial dengan pendapat bahwa teori tersebut bangun di atas “imajinasi” dalam kepala John Locke*, Hobbes*, Montesquieu*, dan Rousseau, lantaran mereka tidak pernah benar-benar melaksanakan “survei” sejarah sehingga kesahihan teori kontrak sosial harus diragukan; kita bisa mengajukan kritik bahwa ia berpikir secara empirik-positivis dan sekaligus modernis, lantaran ia memakai metode verifikasi (yang ia tolak mentah-mentah)
Rorty mengalami sebuah pertentangan dalam usahanya mencampuri kasus filsafat politik. Ia tetap belum bisa lepas dari bayang-bayang modernisme, sekaligus ia mengajukan sebuah teori perihal etnosentrisme sebagai sebuah sumber pengetahuan dan kebenaran etis yang pada karenanya malah menjadi semacam “Nazisme” baru. Postmodernisme gagal menjawab persoalan-persoalan yang ia bongkar melalui dekonstruksinya dan hermeneutikanya. Postmodernisme tetap tidak bisa menjawab pertanyaan; “setelah ini, kemudian apa?”. Bahkan menyerupai kasus Rorty ia melaksanakan pengkhianatan terhadap liberalisme yang memungkinkan adanya kemunculan orang-orang macam dia. Justru inspirasi kesamaan dan keadilan yang diadopsi dan dikembangkan oleh liberalisme yang memberi ruang bagi perkembangan-perkembangan, baik secara sosial, ekonomi dan intelektualitas seseorang, semacam si Rorty sendiri.
Dalam tingkat tertentu, liberalisme Berlin juga bisa dibandingkan dengan pandangan liberal Richard Rorty, filsuf mutakhir Amerika, yang juga melucuti liberalisme dari fondasi kebenaran rasional yang transhistoris dan universal. Rorty menyebutnya sebagai pandangan liberal dengan “perspektif ironi”. Kaum ironis liberal yaitu mereka yang tetap punya kesepakatan membela kebebasan, melawan kekejaman, dan mengurangi penderitaan yang berada di sekitarnya, tanpa harus mendasarinya dengan universalisme.
Oleh lantaran itu, absennya universalisme dari pandangan liberal tidak berarti kebebasan tidak bisa dibela dengan penuh komitmen. Dengan mengutip Joseph Schumpeter*: “to realise the relative validity of one’s convictions and yet stand for them unflinchingly is what distiguishes a civilised man from a barbarian”, Berlin di final ceramahnya perihal “Dua Konsep Kebebasan” menyampaikan bahwa prinsip yang kita pegang tidak kurang berharganya hanya lantaran ia tidak bernilai abadi. Malah kehendak mencari sandaran yang awet bagi nilai yang kita yakini justru merupakan mengambarkan perilaku kanak-kanak atau residu dari kesadaran primitif.
Dengan demikian, kita tetap bisa membela kebebasan individu tanpa harus mengaitkannya dengan universalisme. Kita bisa menjadi liberal dengan tabiat rubah yang pluralis, tanpa harus terjatuh dalam perilaku landak ala pencerahan.
Download di Sini
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Richard Rorty. Biografi dan Karya
2. Richard Rorty. Pemikiran Filsafat
3. Richard Rorty. Diskursus Postmodernisme
4. Rorty dan Kesudahan Epistemologi
Rorty menambahkan bahwa kehidupan kepercayaan religius dan keagamaan telah mengalami kemunduran dan tidak bisa diperbaiki lagi, serta insiden itu berdasarkan Rorty punya arti baik. Liberalisme harus berdasar pada struktur yang hidup dalam masyarakat, tanpa terikat konsep-konsep metafisis dan etis. Jadi, masyarakat sendiri yang memilih konsep politik yang diyakini dan dihidupinya tergantung pada kondisi spasio-temporal, bukan pada ide-ide yang “abstrak-umum-universal”. Pengertian akan sebuah konsep politik cocok buat aku tergantung pada keyakinan kebenaran aku yang terbentuk melalui pengalaman dan kesadaran aku saat hidup bermasyarakat. Suatu sistem dianggap baik apabila aku (sebagai anggota sebuah masyarakat) meyakininya baik, didorong oleh “retorika” masyarakat aku dan kebudayaan daerah tinggal saya.
Rorty mengajukan kritik terhadap konsep liberalisme yang sudah dianut oleh masyarakat barat sejak revolusi Prancis 1789. Ia menganggap bahwa keruntuhan modernisme sebagai sebuah genre pemikiran berarti keruntuhan segala pengertian, bahkan premis-premis metafisis dan bahasa yang menjadi landasan pijaknya. Dan sebagai seorang pemikir yang konsekuen, kritiknya yang menghancurkan modernisme ia ganti dengan sebuah kesadaran baru, sebuah epistemologi gres dan sebuah metafisika serta etika gres pula. Ketika ia menolak untuk mengajukan sebuah titik tolak yang paling dasar sebagai starting point, ia memang sudah seharusnya begitu. Karena kalau ia mengajukan sebuah “Ada” ataupun “ada” yang baru, ia terjebak kembali ke dalam bundar modernisme yang telah ia dekonstruksi.
Demikian pula saat ia menyinggung perihal filsafat sosial-politik dalam karya-karyanya. Ia terjebak dalam bundar bahwa kesadaran insan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip etis dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang ia runtuhkan harus ada gantinya, lantaran negara dan masyarakat memerlukan prinsip etis dan moral sebagai sebuah sarana insan dalam mengatur korelasi antara dirinya dan orang lain. Ia tak bisa menunjukkan balasan yang memuaskan saat ia diminta untuk menjawab pertanyaan “setelah ini, kemudian apa?”. Rorty mengajukan pendapat bahwa prinsip-prinsip etis sanggup digantikan dengan prinsip-prinsip pragmatis. Nilai-nilai yang ia anggap sanggup menjadi panutan dalam paradigma sosial politik didapat dari kebiasaan hidup insan dalam lingkungannya, tanpa ada “ide-ide yang tiba dari luar manusia”.
Dengan kata lain, liberalisme masih adekuat lantaran ia dianggap mempunyai kegunaan dalam kerangka sejarah manusia. Lalu bagaimana bisa kesadaran akan persamaan hak tiba dari kebudayaan yang berbeda-beda dan sejarah kehidupan bangsa yang bermacam-macam? Rorty menjawab bahwa liberalisme hasil dari persuasi dan argumentasi kaum penganutnya, dan retorika tersebut disebarkan ke seluruh dunia, sampai semua orang akan ikut mencicipi bahwa ide-ide liberalisme tersebut yaitu miliknya juga. Selanjutnya saat ia mengajukan keberatan akan teori kontrak sosial dengan pendapat bahwa teori tersebut bangun di atas “imajinasi” dalam kepala John Locke*, Hobbes*, Montesquieu*, dan Rousseau, lantaran mereka tidak pernah benar-benar melaksanakan “survei” sejarah sehingga kesahihan teori kontrak sosial harus diragukan; kita bisa mengajukan kritik bahwa ia berpikir secara empirik-positivis dan sekaligus modernis, lantaran ia memakai metode verifikasi (yang ia tolak mentah-mentah)
Rorty mengalami sebuah pertentangan dalam usahanya mencampuri kasus filsafat politik. Ia tetap belum bisa lepas dari bayang-bayang modernisme, sekaligus ia mengajukan sebuah teori perihal etnosentrisme sebagai sebuah sumber pengetahuan dan kebenaran etis yang pada karenanya malah menjadi semacam “Nazisme” baru. Postmodernisme gagal menjawab persoalan-persoalan yang ia bongkar melalui dekonstruksinya dan hermeneutikanya. Postmodernisme tetap tidak bisa menjawab pertanyaan; “setelah ini, kemudian apa?”. Bahkan menyerupai kasus Rorty ia melaksanakan pengkhianatan terhadap liberalisme yang memungkinkan adanya kemunculan orang-orang macam dia. Justru inspirasi kesamaan dan keadilan yang diadopsi dan dikembangkan oleh liberalisme yang memberi ruang bagi perkembangan-perkembangan, baik secara sosial, ekonomi dan intelektualitas seseorang, semacam si Rorty sendiri.
Dalam tingkat tertentu, liberalisme Berlin juga bisa dibandingkan dengan pandangan liberal Richard Rorty, filsuf mutakhir Amerika, yang juga melucuti liberalisme dari fondasi kebenaran rasional yang transhistoris dan universal. Rorty menyebutnya sebagai pandangan liberal dengan “perspektif ironi”. Kaum ironis liberal yaitu mereka yang tetap punya kesepakatan membela kebebasan, melawan kekejaman, dan mengurangi penderitaan yang berada di sekitarnya, tanpa harus mendasarinya dengan universalisme.
Oleh lantaran itu, absennya universalisme dari pandangan liberal tidak berarti kebebasan tidak bisa dibela dengan penuh komitmen. Dengan mengutip Joseph Schumpeter*: “to realise the relative validity of one’s convictions and yet stand for them unflinchingly is what distiguishes a civilised man from a barbarian”, Berlin di final ceramahnya perihal “Dua Konsep Kebebasan” menyampaikan bahwa prinsip yang kita pegang tidak kurang berharganya hanya lantaran ia tidak bernilai abadi. Malah kehendak mencari sandaran yang awet bagi nilai yang kita yakini justru merupakan mengambarkan perilaku kanak-kanak atau residu dari kesadaran primitif.
Dengan demikian, kita tetap bisa membela kebebasan individu tanpa harus mengaitkannya dengan universalisme. Kita bisa menjadi liberal dengan tabiat rubah yang pluralis, tanpa harus terjatuh dalam perilaku landak ala pencerahan.
Download di Sini
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik sampai Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Richard Rorty. Biografi dan Karya
2. Richard Rorty. Pemikiran Filsafat
3. Richard Rorty. Diskursus Postmodernisme
4. Rorty dan Kesudahan Epistemologi
Belum ada Komentar untuk "Richard Rorty. Pragmatisme Politik"
Posting Komentar