Posmodern Moderat Fredric Jameson

Posisi mayoritas mengenai informasi posmodernitas yakni terang bahwa terdapat keterpisahan antara modernitas dan posmodernitas. Namun, ada sebagian teoretisi posmodern yang beropini bahwa meskipun posmodern mempunyai sejumlah perbedaan penting dengan modernitas, tetap ada kontinuitas di antara kedua hal itu. Pendapat yang paling dikenal berkenaan dengan gagasan tersebut diajukan oleh Fredrich Jameson (1984; Kellner,2005b) dalam sebuah esai yang berjudul “Posmodernisme, atau logika budaya dari kapitalisme terbaru”, dan juga di kemudian hari dalam kumpulan sebuah esai dengan judul yang sama (Jameson, 1991). Judul itu terang mengindikasikan posisi Jameson yang Marxis bahwa kapitalisme yang ketika ini berada dalam fase “akhir” tetap menjadi fitur mayoritas dalam dunia kini, tetapi telah menyebabkan tumbuhnya sebuah logika baru—posmodernisme. Dengan kata lain, walaupun logika budaya telah mengalami perubahan, struktur ekonomi yang mendasari merupakan kelanjutan dari bentuk awal kapitalisme. Lebih lanjut, kapitalisme tetap melaksanakan kecerdikan bulus lama, yakni melahirkan sebuah logika budaya untuk membantu mempertahankan dirinya sendiri.

Dengan demikian, Jameson terang menolak klaim yang diajukan oleh banyak posmodernis (misalnya, Lyotard* dan Baudrillard*) bahwa teori Marxis yakni narasi besar yang tidak tertandingi dan dengan demikian tidak mempunyai kawasan dalam atau sejalan dengan posmodernitas. Jameson tidak hanya mempertahankan teori Marxis, tetapi juga berusaha menunjukkan bahwa teori Marxis menunjukkan klarifikasi teoritis terbaik wacana posmodernitas. Secara menarik, walaupun Jameson umumnya dipuji atas pemahamannya wacana budaya posmodernisme, ia sering mendapat kritik khususnya oleh para Marxis lantaran menunjukkan analisis yang tidak mencukupi wacana landasan ekonomi dunia budaya gres ini.

Juga sejalan dengan karya Marx*, dan tidak menyerupai sebagian besar teoritisi posmodernisme, Jameson (1984:86) melihat ciri-ciri positif maupun negatif, “malapetaka dan sekaligus kemajuan”, yang terkait dengan masyarakat posmodern. Marx*, tentu saja, memandang kapitalisme sebagai hasil dari kebebasan dan kemajuan yang sangat berharga dan pada ketika bersamaan puncak eksploitasi dan alienasi.

Jameson memulai dengan menyadari bahwa posmodernisme biasanya dikaitkan dengan sebuah pemisahan radikal, tetapi kemudian, sehabis membahas sejumlah hal yang biasanya dikaitkan dengan posmodernisme, ia bertanya, “Apakah hal ini menyiratkan perubahan atau pemisahan apa pun yang lebih mendasari daripada perubahan gaya—dan busana—secara periodik yang ditentukan oleh desakan modernis tinggi yang lebih renta akan penemuan statistik?” (1984:54). Ia merespons bahwa terang telah terjadi perubahan estetis, tetapi semua perubahan tersebut tetap menjadi fungsi dari dinamika ekonomi.

Jameson (mengikuti Ernest Mandel) melihat adanya tiga tahapan dalam sejarah kapitalisme. Tahapan pertama, yang dianalisis Marx*, yakni kapitalisme bergairah atau munculnya pasar nasional yang tersatukan. Tahapan kedua, yang dianalisis oleh Lenin, yakni tahapan imperialis yang ditandai dengan kemunculan suatu jaringan kapitalis global. Tahapan yang ketiga, yang dinamai oleh Mandel (1975) dan Jameson sebagai “akhir kapitalisme”, melibatkan “ekspansi kapital yang luar biasa besarnya ke wilayah-wilayah yang sampai sekarang tidak terkomodifikasi” (Jameson, 1984:78). Ekspansi tersebut, “yang jauh untuk bisa dikatakan sejalan dengan analisis Marx* yang luar biasa pada kala ke-19, sebaliknya merupakan bentuk kapital yang paling murni yang belum lagi muncul” (Jameson, 1984:78). Jameson mengatakan, kerangka Marxis masih sangat diharapkan untuk memahami muatan sejarah gres yang menuntut perluasan dari kerangka tersebut, bukan modifikasi terhadapnya”. Bagi Jameson, kunci pada kapitalisme modern yakni huruf multinasionalnya dan fakta bahwa hal itu telah sangat meningkatkan cakupan komodifikasinya.

Semua perubahan dalam struktur ekonomi tersebut telah tercermin dari banyak sekali perubahan budaya. Dengan demikian, Jameson mengaitkan budaya realis dengan kapitalisme pasar, budaya modernis dengan kapitalisme monopoli, dan budaya posmodern dengan kapitalisme multinasional. Pandangan itu nampaknya merupakan pembaruan dari argumentasi base-superstructure yang dikemukakan Marx*. Banyak pihak mengkritisi Jameson alasannya sudah mengadopsi perspektif yang terlalu menyederhanakan semacam itu. Bagaimanapun, Jameson telah berusaha keras untuk menghindari posisi “vulgar” semacam itu dan telah mendeskripsikan relasi yang jauh lebih kompleks antara ekonomi dan budaya. Meski demikian, bahkan seorang kritikus yang simpatik menyerupai Featherstone menyimpulkan, “Sangatlah terang bahwa pandangannya wacana budaya sebagian besar berlaku dalam batas-batas model base-superstructure” (1989:119).

Kapitalisme telah beranjak dari sebuah tahapan dalam kapitalisme monopoli yang di dalam budaya setidaknya dalam tingkatan tertentu otonom ke sebuah ledakan kebudayaan dalam kapitalisme multinasional. Jameson menggambarkan bentuk gres tersebut sebagai suatu “cultural dominant”. Sebagai suatu cultural dominant, posmodernisme digambarkan sebagai “medan kekuatan yang di dalamnya bermacam dorongan kultural... harus memilih jalan mereka sendiri” (Jameson, 1984:57). Dengan demikian, meski posmodernisme yakni “norma kultural gres yang sistematis”, ia tersusun atas serangkaian unsur yang cukup heterogen (Jameson, 1984:57). Dengan memakai istilah cultural dominant, Jameson juga secara terang bermaksud menyampaikan bahwa meski budaya posmodern sedang berkuasa, tetap ada banyak sekali macam kekuatan lain yang hidup dalam budaya kini.

Fredrich Jameson menunjukkan sebuah gambaran terang yang lebih baik wacana sebuah masyarakat posmodern yang tersusun atas empat unsur. Pertama, masyarakat posmodern dicirikan oleh superfisialitas dan tidak adanya kedalaman. Produk budaya berpuas diri dengan gambaran permukaan dan tidak menggali lebih dalam untuk mengungkap makna-makna tersembunyi. Kedua, posmodernisme dicirikan oleh melemahnya emosi atau efek. Ketiga, terdapat hilangnya historisitas. Kita tidak sanggup mengetahui masa lalu. Yang kita miliki yakni saluran atas teks-teks wacana masa kemudian dan yang kita lakukan hanyalah memproduksi teks lain lagi wacana topik tersebut. Keempat, terdapat teknologi gres yang dikaitkan dengan masyarakat posmodern. Sebagai ganti dari teknologi-teknologi produksi, kita didominasi oleh teknologi reproduksi, terutama media elektronik, menyerupai televisi dan komputer.

Secara ringkas Jameson menghadirkan kepada kita gambaran posmodernitas yang di dalamnya orang-orang tidak mempunyai tujuan hidup dan tidak bisa memahami sistem kapitalis multinasional atau kebudayaan yang sedang tumbuh secara eksplosif. Sebagai sebuah paradigma wacana dunia ini dan kawasan kita tinggal di dalamnya, Jameson menunjukkan rujukan berupa Hotel Bonaventure di Los Angeles, yang dirancang oleh seorang arsitek posmodern ternama, John Portman. Salah satu fatwa yang dibentuk Jameson wacana hotel itu yakni bahwa kita tidak akan bisa mengetahui di mana posisi kita yang sesungguhnya di lobi hotel itu. Lobi hotel itu yakni sebuah rujukan dari apa yang dimaksud Jameson sebagai hyperspace, sebuah kawasan ketika konsepsi modern wacana ruang tidak akan banyak membantu kita untuk memilih arah.

Situasi di lobi Hotel Bonaventure merupakan sebuah metafora bagi ketidakmampuan kita untuk menemukan posisi kita yang sesungguhnya dalam perekonomian multinasional dan ledakan kebudayaan di era kapitalisme akhir. Tidak menyerupai banyak posmodernis lainnya, Jameson sebagai seorang Marxis keberatan untuk meninggalkan begitu saja situasi itu dan muncul dengan setidaknya sebuah solusi parsial bagi perkara yang dialami orang yang hidup di dalam masyarakat posmodern. Apa yang kita perlukan, kata Jameson, yakni peta kognitif guna menemukan arah (Jagtenberg dan Mckie, 1997).

Peta kognitif tersebut sanggup berasal dari banyak sekali sumber—teoritisi sosial (termasuk Jameson sendiri yang bisa dipandang menyediakan sebuah peta menyerupai itu dalam karyanya), novelis, dan semua orang di dalam dunia sehari-hari yang bisa memetakan ruang-ruang mereka sendiri. Tentu saja peta itu tidak berfungsi dengan sendirinya bagi seorang Marxis menyerupai Jameson, tetapi dipakai sebagai dasar bagi agresi politik radikal dalam masyarakat posmodern.


Kebutuhan atas peta dihubungkan dengan pandangan Jameson bahwa kita telah bergerak dari sebuah dunia yang didefinisikan secara temporal ke dunia yang didefinisikan secara spasial. Pada kenyataannya, gagasan wacana hyperspace dan rujukan lobi Hotel Bonaventure merefleksiakn dominasi ruang dalam dunia posmodern. Dengan demikian, bagi Jameson, problem utama masa sekarang yakni “hilangnya kemampuan kita untuk memosisikan diri kita di dalam ruang ini dan memetakannya secara kognitif” (Jameson, dikutp dalam Stephanson, 1989:48).

Dengan cukup menarik, Jameson menghubungkan gagasan fatwa kognitif dengan teori Marxis, terutama gagasan wacana kesadaran kelas: “pemetaan kognitif dalam kenyataannya tidak lebih dari sekedar sebuah kata isyarat bagi kesadaran kelas... bedanya, gagasan tersebut mengajukan perlunya jenis kesadaran kelas yang gres dan yang sampai sekarang masih belum terbayangkan, sedang pada ketika yang sama gagasan tersebut juga mengubah penjelasan-penjelasan ke arah spasialitas gres itu yang implisist dalam posmodern” (1989:387).

Besarnya kekuatan karya Jameson terletak pada usahanya untuk menyintesiskan teori Marxis dan Posmodernisme. Walaupun ia layak mendapat penghargaan kita atas usahanya itu, kenyataannya yakni bahwa karya-karyanya sering kali tidak menyenangkan para Marxis dan posmodernis. Menurut Best dan Kellner, “Karyanya merupakan sebuah rujukan dari potensi ancaman teori yang multiperspektif dan eklektik yang berusaha untuk menyatukan sejumlah besar posisi, yang sebagian di antaranya saling bertentangan atau kontradiktif satu dengan yang lain, sebagaimana ketika ia menghasilkan aliansi antara Marxisme klasik dan posmodernisme ekstrem” (1991:192). Secara lebih spesifik, sebagai rujukan sebagian Marxis keberatan dengan penerimaan Jameson pada suatu tingkatan tertentu atas posmodernisme sebagai cultural dominant, sementara sebagian posmodernitas mengkritisi penerimaannya atas sebuah teori yang menyeluruh wacana dunia.


Download di Sini


Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Baca Juga
1. Fredric Jameson. Biografi dan Pemikiran
2. Fredric Jameson. Logika Kultural Kapitalisme Akhir
3. Jean Baudrillard. Teori Sosial Postmodern Ekstrim
4. Teori-Teori Modernitas dan Postmodernitas
5. Pengertian Postmodernisme
6. Postmodernitas
7. Lyotrad dan Postmodernisme
8. Richard Rorty. Diskursus Postmodernsme

Belum ada Komentar untuk "Posmodern Moderat Fredric Jameson"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel