Karl Marx. Konflik Kelas
Marx sering memakai istilah kelas di dalam tulisan-tulisannya, tetapi ia tidak pernah mendefinisikan secara sistematis apa yang ia maksudkan (So dan Suwarsono, 1990:35). Biasanya Marx* dianggap memaksudkan suatu kelompok insan yang berada di dalam situasi yang sama sehubungan dengan pengendalian mereka atas alat-alat produksi. Aka tetapi, hal itu bukan pelukisan yang lengkap atas cara Marx* memakai istilah itu. Kelas, bagi Marx selalu didefinisikan dari segi potensinya untuk konflik. Para individu membentuk suatu kelas sejauh mereka berada dalam konflik bersama dengan orang-orang lain mengenai nilai surplus. Di dalam kapitalisme ada konflik kepentingan yang fundamental di antara orang-orang yang membayar buruh upahan dan orang-orang yang pekerjaannya diubah menjadi nilai surplus. Konflik alamiah itulah yang menghasilkan kelas-kelas (Ollmann, 1976).
Karena kelas didefinisikan oleh potensi untuk konflik, secara teoritis dan historis merupakan konsep yang berbeda. Dibutuhkan suatu teori wacana di mana konflik potensial terjadi dalam suatu masyarakat, sebelum mengidentifikasi suatu kelas. Richard Miller (1991:99) menyampaikan bahwa “Pada prinsipnya, tidak ada aturan yang sanggup dipakai untuk menggolongkan orang-orang yang ada di dalam suatu masyarakat ke dalam kelas-kelas tanpa mempelajari interaksi-interaksi faktual di antara proses-proses ekonomi, di satu sisi, dan di antara proses-proses politis dan kultural di sisi lain.”
Bagi Marx*, suatu kelas gres ada kalau orang-orang menjadi sadar atas kekerabatan mereka yang berkonflik dengan kelas-kelas lainnya. Tanpa kesadaran itu, mereka hanya membentuk apa yang oleh Marx* disebut suatu kelas di dalam dirinya sendiri. Ketika mereka menjadi sadar akan konflik itu, mereka menjadi suatu kelas yang sebenarnya, suatu kelas untuk dirinya sendiri.
Di dalam kapitalisme, analisis Marx* menemukan dua kelas utama: borjuis dan proletariat. Borjuis ialah nama yang diberikan Marx* untuk kaum kapitalis di dalam ekonomi modern. Kaum borjuis mempunyai alat-alat produksi dan mempekerjakan tenaga kerja upahan. Konflik di antara kaum borjuis dan kaum proletariat ialah teladan lain pertentangan material yang nyata. Kontradiksi itu bertumbuh dari pertentangan yang sudah disebutkan sebelumnya, di antara tenaga kerja dan kapitalisme. Tidak satu pun dari kontradiksi-kontradiksi tersebut yang sanggup dipecahkan selain dengan mengubah struktur kapitalis. Sebenarnya hingga terjadi perubahan pertentangan akan semakin memburuk. Masyarakat akan semakin terpolarisasi ke dalam kedua kelas yang bertentangan itu. Persaingan dengan toko-toko raksasa dan rangkaian francise akan menutup banyak bisnis kecil yang independen; mekanisasi akan menggantikan para tukang andal dan bahkan sebagian kapitalis pun akan didepak keluar melalui usaha-usaha membangun monopoli, contohnya, melalui merger. Semua orang yang tergusur itu akan dipaksa turun ke jenjang kaum proletariat. Marx* menyebut pertambahkan yang tidak terelakkan di pihak kaum proletariat demikian sebagai proletarisasi.
Selain itu, lantaran kaum kapitalis telah menyusutkan para pekerja menjadi mesin-mesin untuk bekerja yang melaksanakan serangkaian operasi sederhana, mekanisasi menjadi semakin mudah. Sewaktu mekanisasi terus berlanjut, semakin banyak orang yang menganggur dan jatuh dari kaum proletariat menjadi pasukan cadangan industri. Pada akhirnya, Marx* meramalkan situasi masyarakat akan dicirikan oleh segelintir kaum kapitalis yang mengeksploitasi dan massa kaum proletar yang sangat banyak dan para anggota pasukan cadangan industri. Dengan memerosokan begitu banyak orang ke dalam kondisi semacam itu, kapitalisme membuat massa yang menyebabkan penumbangannya. Sentralisasi kerja pabrik yang semakin bertambah, dan juga penderitaan yang dirasakan bersama, meningkatkan kemungkinan munculnya perlawanan terorganisir kepada kapitalisme. Selanjutnya, pertautan internasional pabrik-pabrik dan pasar-pasar mendorong para pekerja semakin sadar atas kepentingan-kepentingan mereka selain dari pada kepentingan-kepentingan lokal. Kesadaran itu kemungkinan besar menyebabkan revolusi.
Kaum kapitalis tentu saja berusaha mencegah revolusi itu. Misalnya mereka mensponsori petualangan-petualangan kolonial dengan tujuan mengalihkan setidaknya beberapa beban eksploitasi dari front dalam negeri ke koloni-koloni. Akan tetapi, berdasarkan Marx*, usaha-usaha tersebut ditakdirkan gagal lantaran kaum kapitalis sangat dikendalikan oleh hukum-hukum ekonomi kapitalis sebagaimana para pekerja. Kaum kapitalis berada di bawah tekanan persaingan antara satu sama lain, yang memaksa mereka untuk mencoba mengurangi biaya-biaya tenaga kerja dan memperhebat eksploitasi—meskipun eksploitasi yang diperhebat itu akan menambah kemungkinan revolusi dan oleh lantaran itu menyumbang bagi simpulan hidup kaum kapitalis. Bahkan para kapitalis yang berbaik hati pun akan dipaksa untuk mengeksploitasi para pekerja lebih jauh biar bisa bersaing: “hukum akumulasi kapitalis, yang dimetamorfosis oleh para ekonom menjadi seperti aturan alam, nyatanya hanya menyatakan bahwa hakikat persis akumulasi menyisihkan setiap pengurangan derajat eksploitasi” (Marx, 1867/1967: 582).
Meskipun bukan seorang marxis, Robert Reich, mantan sekretaris buruh AS, menggemakan analisis Marx* bahwa bukan keburukan para kapitalis individual melainkan sistem kapitalis itu sendirilah yang menjelaskan semakin banyaknya perumahan para buruh di Amerika dan gerakan manufaktur yang memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah di luar negeri. Entah mereka menginginkan atau tidak, para kapitalis harus memindahkan pabrik-pabrik mereka ke daerah yang mempunyai tenaga kerja murah; mereka harus mengeksploitasi pekerja. Seorang kapitalis yang tidak melakukannya tidak akan bisa bersaing dengan kapitalis yang melakukannya.
Biasanya Marx* tidak menyalahkan para anggota individual kaum borjuis untuk tindakan mereka; ia melihat tindakan itu sebagian besar ditentukan oleh logika sistem kapitalis. Hal tersebut konsisten dengan pandangan-pandangannya bahwa para pemain drama di dalam kapitalisme pada umumnya tidak mempunyai independensi kreatif.
Akan tetapi, proses perkembangan yang alami di dalam kapitalisme memberi kondisi-kondisi yang pada kesannya dibutuhkan untuk munculnya tindakan kreatif tersebut dan sekaligus penumbangan sistem kapitalis. Logika sistem kapitalis ialah memaksa para kapitalis untuk menghasilkan lebih banyak lagi kaum proletarian yang dieksploitasi, dan persis orang-orang itulah yang akan mengakhiri kapitalisme melalui pemberontakan mereka. “Oleh lantaran itu, yang dihasilkan kaum borjuis, terutama ialah para penggali kuburnya sendiri” (Marx dan Engels, 1848/1948).
Bukan hanya revolusi proletariat penghabisan yang dilihat Marx* disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi yang mendasari kapitalisme, tetapi juga banyak krisis langsung dan sosial yang menimpa masyarakat modern. Di sisi pribadi, kita telah mendiskusikan beberapa segi alienasi yang dipercaya Marx merupakan akar perasaan ketidakbermaknaan di dalam kehidupan begitu banyak orang. Pada level ekonomi, Marx* memprediksi serangkaian bom dan depresi dikala kaum kapitalis yang berproduksi berlebihan atau memberhentikan para pekerja dalam upaya mereka untuk menambah keuntungan. Pada level politik, Marx memprediksi meningkatnya ketidakmampuan masyarakat sipil untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah-masalah sosial. Sebagai gantinya kita akan melihat tumbuhnya suatu negara dengan maksud tunggalnya ialah melindungi harta langsung kaum kapitalis dan melaksanakan intervensi brutal sewaktu-waktu kalau paksaan ekonomi yang dilakukan kaum kapitalis gagal.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Karl Marx. Biografi
2. Pemikiran Karl Marx (1818-1883)
3. Karl Marx (1818-1883)
4. Analisa Masyarakat Kapitalis Periode Modern dan Postmodern
5. Teori Karl Marx sebagai Model Pengembangan Paradigma Terpadu dalam Sosiologi
6. Karl Marx. Das Kapital (1848, Terbit 1861)
7. Karl Marx. Manifesto Komunis (1848, Brussel Belgia)
8. Karl Marx. The German Ideology (1845, Paris Prancis)
9. Karl Marx. Dialektika
10. Karl Marx. Manuskrip Ekonomi dan Filsafat (April 1844, Paris Prancis)
11. Karl Marx. Kerja
12. Karl Marx. Eksploitasi
13. Karl Marx. Pemberhalaan Komoditas
14. Karl Marx. Komunisme
15. Karl Marx. Konsepsi Materialis atas Sejarah
16. Karl Marx. Struktur-Struktur Masyarakat Kapitalis
17. Karl Marx. Determinisme Ekonomi
18. Karl Marx. Alienasi
19. Karl Marx. Modal, Kaum Kapitalis, dan Kaum Proletariat
20. Karl Marx. Potensi Manusia
21. Karl Marx. Kebebasan, Kesetaraan, dan Ideologi
22. Karl Marx. Ideologi
23. Karl Marx. Agama
24. Karl Marx. Komoditas
Karena kelas didefinisikan oleh potensi untuk konflik, secara teoritis dan historis merupakan konsep yang berbeda. Dibutuhkan suatu teori wacana di mana konflik potensial terjadi dalam suatu masyarakat, sebelum mengidentifikasi suatu kelas. Richard Miller (1991:99) menyampaikan bahwa “Pada prinsipnya, tidak ada aturan yang sanggup dipakai untuk menggolongkan orang-orang yang ada di dalam suatu masyarakat ke dalam kelas-kelas tanpa mempelajari interaksi-interaksi faktual di antara proses-proses ekonomi, di satu sisi, dan di antara proses-proses politis dan kultural di sisi lain.”
Bagi Marx*, suatu kelas gres ada kalau orang-orang menjadi sadar atas kekerabatan mereka yang berkonflik dengan kelas-kelas lainnya. Tanpa kesadaran itu, mereka hanya membentuk apa yang oleh Marx* disebut suatu kelas di dalam dirinya sendiri. Ketika mereka menjadi sadar akan konflik itu, mereka menjadi suatu kelas yang sebenarnya, suatu kelas untuk dirinya sendiri.
Di dalam kapitalisme, analisis Marx* menemukan dua kelas utama: borjuis dan proletariat. Borjuis ialah nama yang diberikan Marx* untuk kaum kapitalis di dalam ekonomi modern. Kaum borjuis mempunyai alat-alat produksi dan mempekerjakan tenaga kerja upahan. Konflik di antara kaum borjuis dan kaum proletariat ialah teladan lain pertentangan material yang nyata. Kontradiksi itu bertumbuh dari pertentangan yang sudah disebutkan sebelumnya, di antara tenaga kerja dan kapitalisme. Tidak satu pun dari kontradiksi-kontradiksi tersebut yang sanggup dipecahkan selain dengan mengubah struktur kapitalis. Sebenarnya hingga terjadi perubahan pertentangan akan semakin memburuk. Masyarakat akan semakin terpolarisasi ke dalam kedua kelas yang bertentangan itu. Persaingan dengan toko-toko raksasa dan rangkaian francise akan menutup banyak bisnis kecil yang independen; mekanisasi akan menggantikan para tukang andal dan bahkan sebagian kapitalis pun akan didepak keluar melalui usaha-usaha membangun monopoli, contohnya, melalui merger. Semua orang yang tergusur itu akan dipaksa turun ke jenjang kaum proletariat. Marx* menyebut pertambahkan yang tidak terelakkan di pihak kaum proletariat demikian sebagai proletarisasi.
Selain itu, lantaran kaum kapitalis telah menyusutkan para pekerja menjadi mesin-mesin untuk bekerja yang melaksanakan serangkaian operasi sederhana, mekanisasi menjadi semakin mudah. Sewaktu mekanisasi terus berlanjut, semakin banyak orang yang menganggur dan jatuh dari kaum proletariat menjadi pasukan cadangan industri. Pada akhirnya, Marx* meramalkan situasi masyarakat akan dicirikan oleh segelintir kaum kapitalis yang mengeksploitasi dan massa kaum proletar yang sangat banyak dan para anggota pasukan cadangan industri. Dengan memerosokan begitu banyak orang ke dalam kondisi semacam itu, kapitalisme membuat massa yang menyebabkan penumbangannya. Sentralisasi kerja pabrik yang semakin bertambah, dan juga penderitaan yang dirasakan bersama, meningkatkan kemungkinan munculnya perlawanan terorganisir kepada kapitalisme. Selanjutnya, pertautan internasional pabrik-pabrik dan pasar-pasar mendorong para pekerja semakin sadar atas kepentingan-kepentingan mereka selain dari pada kepentingan-kepentingan lokal. Kesadaran itu kemungkinan besar menyebabkan revolusi.
Kaum kapitalis tentu saja berusaha mencegah revolusi itu. Misalnya mereka mensponsori petualangan-petualangan kolonial dengan tujuan mengalihkan setidaknya beberapa beban eksploitasi dari front dalam negeri ke koloni-koloni. Akan tetapi, berdasarkan Marx*, usaha-usaha tersebut ditakdirkan gagal lantaran kaum kapitalis sangat dikendalikan oleh hukum-hukum ekonomi kapitalis sebagaimana para pekerja. Kaum kapitalis berada di bawah tekanan persaingan antara satu sama lain, yang memaksa mereka untuk mencoba mengurangi biaya-biaya tenaga kerja dan memperhebat eksploitasi—meskipun eksploitasi yang diperhebat itu akan menambah kemungkinan revolusi dan oleh lantaran itu menyumbang bagi simpulan hidup kaum kapitalis. Bahkan para kapitalis yang berbaik hati pun akan dipaksa untuk mengeksploitasi para pekerja lebih jauh biar bisa bersaing: “hukum akumulasi kapitalis, yang dimetamorfosis oleh para ekonom menjadi seperti aturan alam, nyatanya hanya menyatakan bahwa hakikat persis akumulasi menyisihkan setiap pengurangan derajat eksploitasi” (Marx, 1867/1967: 582).
Meskipun bukan seorang marxis, Robert Reich, mantan sekretaris buruh AS, menggemakan analisis Marx* bahwa bukan keburukan para kapitalis individual melainkan sistem kapitalis itu sendirilah yang menjelaskan semakin banyaknya perumahan para buruh di Amerika dan gerakan manufaktur yang memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah di luar negeri. Entah mereka menginginkan atau tidak, para kapitalis harus memindahkan pabrik-pabrik mereka ke daerah yang mempunyai tenaga kerja murah; mereka harus mengeksploitasi pekerja. Seorang kapitalis yang tidak melakukannya tidak akan bisa bersaing dengan kapitalis yang melakukannya.
Biasanya Marx* tidak menyalahkan para anggota individual kaum borjuis untuk tindakan mereka; ia melihat tindakan itu sebagian besar ditentukan oleh logika sistem kapitalis. Hal tersebut konsisten dengan pandangan-pandangannya bahwa para pemain drama di dalam kapitalisme pada umumnya tidak mempunyai independensi kreatif.
Bukan hanya revolusi proletariat penghabisan yang dilihat Marx* disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi yang mendasari kapitalisme, tetapi juga banyak krisis langsung dan sosial yang menimpa masyarakat modern. Di sisi pribadi, kita telah mendiskusikan beberapa segi alienasi yang dipercaya Marx merupakan akar perasaan ketidakbermaknaan di dalam kehidupan begitu banyak orang. Pada level ekonomi, Marx* memprediksi serangkaian bom dan depresi dikala kaum kapitalis yang berproduksi berlebihan atau memberhentikan para pekerja dalam upaya mereka untuk menambah keuntungan. Pada level politik, Marx memprediksi meningkatnya ketidakmampuan masyarakat sipil untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah-masalah sosial. Sebagai gantinya kita akan melihat tumbuhnya suatu negara dengan maksud tunggalnya ialah melindungi harta langsung kaum kapitalis dan melaksanakan intervensi brutal sewaktu-waktu kalau paksaan ekonomi yang dilakukan kaum kapitalis gagal.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Karl Marx. Biografi
2. Pemikiran Karl Marx (1818-1883)
3. Karl Marx (1818-1883)
4. Analisa Masyarakat Kapitalis Periode Modern dan Postmodern
5. Teori Karl Marx sebagai Model Pengembangan Paradigma Terpadu dalam Sosiologi
6. Karl Marx. Das Kapital (1848, Terbit 1861)
7. Karl Marx. Manifesto Komunis (1848, Brussel Belgia)
8. Karl Marx. The German Ideology (1845, Paris Prancis)
9. Karl Marx. Dialektika
10. Karl Marx. Manuskrip Ekonomi dan Filsafat (April 1844, Paris Prancis)
11. Karl Marx. Kerja
12. Karl Marx. Eksploitasi
13. Karl Marx. Pemberhalaan Komoditas
14. Karl Marx. Komunisme
15. Karl Marx. Konsepsi Materialis atas Sejarah
16. Karl Marx. Struktur-Struktur Masyarakat Kapitalis
17. Karl Marx. Determinisme Ekonomi
18. Karl Marx. Alienasi
19. Karl Marx. Modal, Kaum Kapitalis, dan Kaum Proletariat
20. Karl Marx. Potensi Manusia
21. Karl Marx. Kebebasan, Kesetaraan, dan Ideologi
22. Karl Marx. Ideologi
23. Karl Marx. Agama
24. Karl Marx. Komoditas
Belum ada Komentar untuk "Karl Marx. Konflik Kelas"
Posting Komentar