Jurgen Habermas. Speech Acts
Tahap Kedua:1970-1981
Dalam periode kedua Habermas menyebarkan sejumlah fatwa penting yang kemudian nanti akan menjadi unsur-unsur yang penting dalam membuat sintesis besar dari karya utamanya diperiode ketiga yaitu periode tahun 1981. Di sini boleh disebut tiga unsur.
Pertama, teori perbuatan-tutur (speech acts) yang ia ambil alih dari filsafat bahasa anglo sakson dan diolah lebih lanjut oleh Habermas sendiri dan dijadikan sebagai dasar untuk segala perjuangan teoretisnya.
Kedua, berdasarkan analisisnya wacana perbuatan-tutur ia sanggup menyebarkan suatu teori argumentasi yang memungkinkan beliau membuat suatu pandangan luas wacana rasionalitas, di mana sanggup disajikan suatu pendasaran rasional bagi pendirian-pendirian kognitif maupun normatif.
Ketiga, ia menimbulkan suatu teori evolusi sosial yang memungkinkan ia tetap berpegang pada paham kemajuan dibidang kemasyarakatan, tanpa terjerumus dalam optimisme sejarah yang sukar dipertahankan.
Teori Perbuatan-Tutur (speech act)
Salah satu keberatan Habermas terhadap fatwa positivistis ialah bahwa mereka mengabaikan kecerdikan khusus dari proses-proses komunikatif. Di mana, dalam periode kedua ini Habermas berhasil mengerti dan secara rinci menganalisis struktur praksis komunikatif, dan khususnya pengandaian-pengandaian normatif yang berperanan di situ dengan memanfaatkan filsafat bahasa anglo sakson.
Demikian, dengan praksis komunikatif Habermas mengerti keseluruhan perbuatan insan yang bertujuan mencapai persetujuan dengan orang lain dalam konteks kemasyarakatan. Praksis komunikatif ini harus dibedakan dari praksis instrumental (pekerjaan), pola praksis instrumental ini contohnya bagaimana membuat korelasi paling cepat atau paling hemat antara dua kota. Praksis instrumental ini terkait dengan hukum-hukum teknis dan pemakaian instrumen-instrumen (peralatan) kerja. Praksis komunikatif juga harus dibedakan dengan praksis strategis. Yang disebut Habermas dengan praksis strategis ini memang berkaitan dengan orang lain sama dengan praksis komunikatif, tetapi bukan demi mencapai persetujuan (konsensus bersama) dengan mereka, melainkan demi terlaksananya suatu tujuan pribadi, bahkan kalau perlu melawan maksud atau impian orang lain.
Dengan kata lain, dalam praksis strategis orang berusaha untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil orang lain. Dalam rangka praksis strategis ini pun Habermas membedakan lagi antara praksis strategis yang terbuka dan praksis strategis yang tersembunyi. Contoh dari praksis strategis yang terbuka contohnya persaingan antara pelaku-pelaku bisnis di pasaran yang sama. Sedangkan pola dari praksis yang tersembunyi ialah memeras uang dari seseorang dengan jalan membohonginya.
Habermas menganalisis sifat khusus dari praksis komunikatif ini dengan memanfaatkan teori perbuatan-tutur (speech act) dari John Austin* dan John Searle. Di mana inti fatwa mereka ialah bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melaksanakan perbuatan-perbuatan yang tertentu, yaitu perbuatan-tutur. Setiap perbuatan-tutur terdiri atas dua bagian; pecahan proposisional (konstantive utterance) yang menunjuk kepada fakta atau kenyataan tertentu dan pecahan performatif (performative utterance), di mana si penutur menjelaskan bagaimana kenyataan harus dipahami oleh si pendengar.
Sebagai pola sanggup kita ambil kalimat "saya melarang saudara merokok di ruangan ini". Bagian proporsional (konstantive) ialah merokok (menghisap rokok dari tembakau yang digulung dengan cara tertentu...). Bagian performatif ialah melarang (untuk merokok). Selain melarang, pecahan performatif sanggup mempunyai banyak nuansa lagi, menyerupai menyatakan (saya menyatakan bahwa ada orang yang merokok di ruangan ini), bertanya, berjanji, memerintahkan dan sebagainya. Contoh yang lain menyerupai yang tertera di ruangan kantor atau ruangan lain "terima kasih Anda tidak merokok di ruangan ini", performa dari kalimat tersebut sanggup berbentuk perintah, larangan, pernyataan dari sebuah proporsional (konstanta) berupa fakta bahwa memang ada orang yang merokok di ruangan ini. Apakah kalimat tersebut sahih atau valid? kita sanggup menganalisisnya lewat Austin* ataupun Habermas, pertama kalimat tersebut tidak sah jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi atau wewenang tertentu, contohnya tukang sapu, atau karyawan penghuni kantor atau ruangan tersebut, namun sah jikalau diucapkan oleh kepala sekolah ataupun wakasek sarana dan prasarana. Hal ini dikarenakan suatu perbuatan tutur ialah semacam prosedur bahwa di mana si penutur memberikan sifat komunikatif dari perbuatan-tuturnya kepada si pendengar melalui klaim-klaim kesahihan (validity claims) yang terkandung dalam pecahan performatifnya, yaitu klaim atas kebenaran (truth), ketepatan normatif (normative rightness), dan keikhlasan (truthfulness), bukan sekedar merasa berkuasa atau merasa sanggup atau asal jeplak.
Klaim atas kebenaran harus diterima alasannya ialah dengan setiap perbuatan-tutur si penutur bermaksud bahwa kenyataan yang ditunjukkannya dalam pecahan proporsional (konstantive utterance) dari perbuatan-tuturnya sungguh-sungguh ada (misalnya, memang ada orang yang merokok). Di samping klaim atas kebenaran, pecahan performatif dari perbuatan-tutur selalu terkait juga dengan suatu klaim atas ketepatan, yaitu klaim bahwa si penutur mempunyai hak normatif untuk mengeluarkan larangan dalam situasi yang tertentu, atau mengajukan pernyataan, berjanji dan lain sebagainya. Misalnya, guru berhak melarang muridnya untuk merokok, sedangkan tenaga kebersihan disekolah tidak mempunyai hak itu. Akhirnya, setiap perbuatan-tutur dihentikan tidak niscaya terkait dengan klaim keikhlasan, artinya klaim bahwa si penutur sungguh-sungguh memaksudkan apa yang dikatakannya. Ia tidak main sandiwara saja.
Yang paling penting bagi Habermas ialah klaim-klaim kesahihan ini pada prinsipnya sanggup dikritik, artinya si pendengar sanggup menolak klaim-klaim kebenaran, ketepatan, dan keikhlasan dari si penutur dan mengajukan klaimnya sendiri yang berbeda. Selama kedua belah pihak tetap mencari pengertian dan tidak beralih ke praksis strategis terbuka ataupun tersembunyi, mereka sempat menguji secara kritis klaim-klaim kesahihan dari orang lain, dan kalau mau mengemukakan pandangannya sendiri, ditunjang dengan alasan-alasan yang dianggap tepat. Jadi, klaim-klaim kesahihan tidak di ketengahkan dengan wewenang atau kekuasaan dan tidak perlu diterima secara buta.
Dan alasan-alasan yang kemukakan tentunya menunjuk pada argumen rasional dan kepada kemungkinan untuk dikritik serta diskusi. Dengan kata lain, Habermas beropini bahwa praksis komunikatif ditandai oleh struktur rasional yang internal. Persetujuan satu sama lain yang dihasilkan melalui praksis komunikatif, tidak bertumpu paksaan atau manipulasi, melainkan pada penerimaan suka rela alasannya ialah klaim kesahihan yang selalu mungkin dikritik. Dengan kata lain, persetujuan itu bertumpu pada keyakinan-keyakinan rasional.
Di sini tentu saja timbul pertanyaan apa yang harus dimengerti dengan "keyakinan-keyakinan rasional". Pertanyaan ini dijawab oleh Habermas dengan teori konsensusnya yang merupakan inti dari teorinya mengenai argumentasi.
Teori Argumentasi
Dalam filsafat ilmu sampaumur ini diterima dengan agak umum bahwa penelitian empiris tidak menyajikan jalan masuk eksklusif kepada "kenyataan itu sendiri", tetapi selalu terikat dengan pengandaian-pengandaian teoretis yang mustahil diberi pendasaran empiris (kerangka teoretis dalam rangka merumuskan hipotesis). Jadi, pengandaian-pengandaian tersebut disetujui begitu saja. Sesuai dengan perkembangan dalam filsafat ilmu ini Habermas mengusulkan untuk menganalisis pernyataan wacana pengenalan yang benar secara umum dengan menyidik struktur proses-proses argumentasi. Menurutnya, yang sanggup disebut benar ialah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsensus rasional di antara semua pihak yang bersangkutan. Suatu konsensus sanggup disebut rasional, jikalau semua peserta diskusi sanggup mengemukakan semua argumen yang relevan pada ketika itu, sehingga pengandaian-pengandaian yang berperanan dalam diskusi tersebut sanggup dikritik juga dan, kalau perlu, diubah atau malah diganti dengan alternatif, jikalau para peserta menginginkannya. Bila syarat ini dipenuhi dan terjadi konsensus antara para peserta, maka konsensus serupa itu sanggup dianggap sebagai konsensus rasional, asalkan hanya bertumpu pada kekuatan argumen-argumen yang terbaik.
Lalu Habermas bertanya wacana syarat-syarat komunikatif yang harus dipenuhi, biar kekuatan argumen-argumen terbaik sanggup meyakinkan. Syarat-syarat itu dianalisisnya dalam apa yang disebut "situasi percakapan ideal" (the ideal speech situation). Situasi yang tidak terdistorsi sedikit pun ini terwujud jikalau :
Pertama, semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumen-argumen peserta lain
Kedua, di antara peserta-peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang sanggup menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga
Ketiga, semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga mustahil terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.
Jika sesuai dengan syarat-syarat ini terbentuk konsensus wacana kesahihan ucapan-ucapan tertentu beserta pengandaian-pengandaian yang terkandung di dalamnya, berdasarkan Habermas konsensus menyerupai itu mempunyai pendasaran rasional. Jadi, ucapan-ucapan betul-betul boleh disebut benar, bila di antara para peserta diskusi terdapat konsensus berdasarkan syarat-syarat "situasi percakapan ideal"
Yang menarik dalam teori konsensus mengenai kebenaran ini ialah bahwa dengan demikian dimungkinkan juga konsensus normatif yang mempunyai dasar rasional. Sebab, wacana ucapan-ucapan mengenai norma berlaku hal yang sama. Jika tercapai konsensus wacana kesahihan ucapan-ucapan normatif dengan cara itu, maka konsensus itu sanggup dianggap mempunyai pendasaran rasional, alasannya ialah bertumpu pada kekuatan argumen-argumen terbaik dan tidak didistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan atau manipulasi terselubung.
Dengan demikian dari analisisnya mengenai perbuatan-perbuatan tutur dan dari teori konsensusnya mengenai kebenaran Habermas menyimpulkan bahwa dalam struktur komunikasi melalui bahasa itu sendiri sudah terkandung kemungkinan untuk mencapai hubungan-hubungan bebas kekuasaan dan simetris, artinya kedua belah pihak selalu sederajat. Komunikasi melalui bahasa berdasarkan Habermas secara mendasar tertuju pada persetujuan yang suka rela, tidak manipulatif, dan tidak dipaksakan. Persetujuan itu merupakan kunci bagi klaim-klaim kesahihan yang diberlakukan oleh semua peserta bersangkutan (selama mereka tidak menempuh suatu jalan strategis). Sifat yang bebas, suka rela, dan tidak dipaksakan dari persetujuan tersebut pada alhasil terjamin oleh kemungkinan untuk menyampaikan "tidak", untuk mengajukan kritik dan pendapat-pendapat yang berbeda. Tetapi pendapat-pendapat itu pun diajukan dengan disertai argumen-argumen dan dengan demikian terikat juga dengan persetujuan bebas, artinya persetujuan yang terbentuk berdasarkan syarat-syarat simetri komunikatif.
Teori evolusi sosial
Unsur terakhir yang pantas disebut dari perkembangan fatwa Habermas selama periode kedua ialah pembentukan suatu kerangka teoretis wacana evolusi masyarakat di mana ditinggalkan optimisme filsafat sejarah unilinear (berbentuk garis lurus) yang menandai tradisi Marxisme, tapi tetap dipertahankan paham "kemajuan" dalam konteks perkembangan masyarakat dan sejarah. Inti teori evolusi sosial ini ialah perbedaan antara dua macam proses belajar: di satu pihak proses-proses berguru teknis yang membawakan penguasaan alam lebih besar dan meningkatkan produktivitas kerja dan dilain pihak proses-proses berguru komunikatif yang menghasilkan perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia. Menurut Habermas kedua macam proses berguru ini ditandai oleh kecerdikan tersendiri, artinya kemajuan dalam penguasaan alam tidak secara otomatis membawakan kemajuan di bidang relasi-relasi komunikatif, dan sebaliknya. Lagi pula ia beropini bahwa kemajuan tidak timbul dengan mutlak perlu. Proses-proses berguru menyediakan suatu kemungkinan-kemungkinan fundametal yang sanggup terhambat dengan aneka macam cara, contohnya alasannya ialah hasil-hasilnya hanya tersebar dalam lingkungan terbatas atau alasannya ialah wawasan-wawasan gres menemui hambatan yang tak teratasi dalam penerapan praktisnya.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Biografi dan Karya
2. Jurgen Habermas. Melanjutkan Proyek Modernitas Melalui Rasio Komunikatif
3. Jurgen Habermas. Kolonialisasi Dunia-Kehidupan
4. Jurgen Habermas. Kritik atas Patologi Modernitas
5. Jurgen Habermas. Diskursur Filosofis wacana Modernitas (Post-Modernitas)
6. Jurgen Habermas. Teori Praksis Komunikatif
7. Jurgen Habermas. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Manusia
8. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
9. "Methodenstreit" dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
10. Mazhab Frankfurt
Dalam periode kedua Habermas menyebarkan sejumlah fatwa penting yang kemudian nanti akan menjadi unsur-unsur yang penting dalam membuat sintesis besar dari karya utamanya diperiode ketiga yaitu periode tahun 1981. Di sini boleh disebut tiga unsur.
Pertama, teori perbuatan-tutur (speech acts) yang ia ambil alih dari filsafat bahasa anglo sakson dan diolah lebih lanjut oleh Habermas sendiri dan dijadikan sebagai dasar untuk segala perjuangan teoretisnya.
Kedua, berdasarkan analisisnya wacana perbuatan-tutur ia sanggup menyebarkan suatu teori argumentasi yang memungkinkan beliau membuat suatu pandangan luas wacana rasionalitas, di mana sanggup disajikan suatu pendasaran rasional bagi pendirian-pendirian kognitif maupun normatif.
Ketiga, ia menimbulkan suatu teori evolusi sosial yang memungkinkan ia tetap berpegang pada paham kemajuan dibidang kemasyarakatan, tanpa terjerumus dalam optimisme sejarah yang sukar dipertahankan.
Teori Perbuatan-Tutur (speech act)
Salah satu keberatan Habermas terhadap fatwa positivistis ialah bahwa mereka mengabaikan kecerdikan khusus dari proses-proses komunikatif. Di mana, dalam periode kedua ini Habermas berhasil mengerti dan secara rinci menganalisis struktur praksis komunikatif, dan khususnya pengandaian-pengandaian normatif yang berperanan di situ dengan memanfaatkan filsafat bahasa anglo sakson.
Demikian, dengan praksis komunikatif Habermas mengerti keseluruhan perbuatan insan yang bertujuan mencapai persetujuan dengan orang lain dalam konteks kemasyarakatan. Praksis komunikatif ini harus dibedakan dari praksis instrumental (pekerjaan), pola praksis instrumental ini contohnya bagaimana membuat korelasi paling cepat atau paling hemat antara dua kota. Praksis instrumental ini terkait dengan hukum-hukum teknis dan pemakaian instrumen-instrumen (peralatan) kerja. Praksis komunikatif juga harus dibedakan dengan praksis strategis. Yang disebut Habermas dengan praksis strategis ini memang berkaitan dengan orang lain sama dengan praksis komunikatif, tetapi bukan demi mencapai persetujuan (konsensus bersama) dengan mereka, melainkan demi terlaksananya suatu tujuan pribadi, bahkan kalau perlu melawan maksud atau impian orang lain.
Dengan kata lain, dalam praksis strategis orang berusaha untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil orang lain. Dalam rangka praksis strategis ini pun Habermas membedakan lagi antara praksis strategis yang terbuka dan praksis strategis yang tersembunyi. Contoh dari praksis strategis yang terbuka contohnya persaingan antara pelaku-pelaku bisnis di pasaran yang sama. Sedangkan pola dari praksis yang tersembunyi ialah memeras uang dari seseorang dengan jalan membohonginya.
Habermas menganalisis sifat khusus dari praksis komunikatif ini dengan memanfaatkan teori perbuatan-tutur (speech act) dari John Austin* dan John Searle. Di mana inti fatwa mereka ialah bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melaksanakan perbuatan-perbuatan yang tertentu, yaitu perbuatan-tutur. Setiap perbuatan-tutur terdiri atas dua bagian; pecahan proposisional (konstantive utterance) yang menunjuk kepada fakta atau kenyataan tertentu dan pecahan performatif (performative utterance), di mana si penutur menjelaskan bagaimana kenyataan harus dipahami oleh si pendengar.
Sebagai pola sanggup kita ambil kalimat "saya melarang saudara merokok di ruangan ini". Bagian proporsional (konstantive) ialah merokok (menghisap rokok dari tembakau yang digulung dengan cara tertentu...). Bagian performatif ialah melarang (untuk merokok). Selain melarang, pecahan performatif sanggup mempunyai banyak nuansa lagi, menyerupai menyatakan (saya menyatakan bahwa ada orang yang merokok di ruangan ini), bertanya, berjanji, memerintahkan dan sebagainya. Contoh yang lain menyerupai yang tertera di ruangan kantor atau ruangan lain "terima kasih Anda tidak merokok di ruangan ini", performa dari kalimat tersebut sanggup berbentuk perintah, larangan, pernyataan dari sebuah proporsional (konstanta) berupa fakta bahwa memang ada orang yang merokok di ruangan ini. Apakah kalimat tersebut sahih atau valid? kita sanggup menganalisisnya lewat Austin* ataupun Habermas, pertama kalimat tersebut tidak sah jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi atau wewenang tertentu, contohnya tukang sapu, atau karyawan penghuni kantor atau ruangan tersebut, namun sah jikalau diucapkan oleh kepala sekolah ataupun wakasek sarana dan prasarana. Hal ini dikarenakan suatu perbuatan tutur ialah semacam prosedur bahwa di mana si penutur memberikan sifat komunikatif dari perbuatan-tuturnya kepada si pendengar melalui klaim-klaim kesahihan (validity claims) yang terkandung dalam pecahan performatifnya, yaitu klaim atas kebenaran (truth), ketepatan normatif (normative rightness), dan keikhlasan (truthfulness), bukan sekedar merasa berkuasa atau merasa sanggup atau asal jeplak.
Klaim atas kebenaran harus diterima alasannya ialah dengan setiap perbuatan-tutur si penutur bermaksud bahwa kenyataan yang ditunjukkannya dalam pecahan proporsional (konstantive utterance) dari perbuatan-tuturnya sungguh-sungguh ada (misalnya, memang ada orang yang merokok). Di samping klaim atas kebenaran, pecahan performatif dari perbuatan-tutur selalu terkait juga dengan suatu klaim atas ketepatan, yaitu klaim bahwa si penutur mempunyai hak normatif untuk mengeluarkan larangan dalam situasi yang tertentu, atau mengajukan pernyataan, berjanji dan lain sebagainya. Misalnya, guru berhak melarang muridnya untuk merokok, sedangkan tenaga kebersihan disekolah tidak mempunyai hak itu. Akhirnya, setiap perbuatan-tutur dihentikan tidak niscaya terkait dengan klaim keikhlasan, artinya klaim bahwa si penutur sungguh-sungguh memaksudkan apa yang dikatakannya. Ia tidak main sandiwara saja.
Yang paling penting bagi Habermas ialah klaim-klaim kesahihan ini pada prinsipnya sanggup dikritik, artinya si pendengar sanggup menolak klaim-klaim kebenaran, ketepatan, dan keikhlasan dari si penutur dan mengajukan klaimnya sendiri yang berbeda. Selama kedua belah pihak tetap mencari pengertian dan tidak beralih ke praksis strategis terbuka ataupun tersembunyi, mereka sempat menguji secara kritis klaim-klaim kesahihan dari orang lain, dan kalau mau mengemukakan pandangannya sendiri, ditunjang dengan alasan-alasan yang dianggap tepat. Jadi, klaim-klaim kesahihan tidak di ketengahkan dengan wewenang atau kekuasaan dan tidak perlu diterima secara buta.
Dan alasan-alasan yang kemukakan tentunya menunjuk pada argumen rasional dan kepada kemungkinan untuk dikritik serta diskusi. Dengan kata lain, Habermas beropini bahwa praksis komunikatif ditandai oleh struktur rasional yang internal. Persetujuan satu sama lain yang dihasilkan melalui praksis komunikatif, tidak bertumpu paksaan atau manipulasi, melainkan pada penerimaan suka rela alasannya ialah klaim kesahihan yang selalu mungkin dikritik. Dengan kata lain, persetujuan itu bertumpu pada keyakinan-keyakinan rasional.
Di sini tentu saja timbul pertanyaan apa yang harus dimengerti dengan "keyakinan-keyakinan rasional". Pertanyaan ini dijawab oleh Habermas dengan teori konsensusnya yang merupakan inti dari teorinya mengenai argumentasi.
Teori Argumentasi
Dalam filsafat ilmu sampaumur ini diterima dengan agak umum bahwa penelitian empiris tidak menyajikan jalan masuk eksklusif kepada "kenyataan itu sendiri", tetapi selalu terikat dengan pengandaian-pengandaian teoretis yang mustahil diberi pendasaran empiris (kerangka teoretis dalam rangka merumuskan hipotesis). Jadi, pengandaian-pengandaian tersebut disetujui begitu saja. Sesuai dengan perkembangan dalam filsafat ilmu ini Habermas mengusulkan untuk menganalisis pernyataan wacana pengenalan yang benar secara umum dengan menyidik struktur proses-proses argumentasi. Menurutnya, yang sanggup disebut benar ialah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsensus rasional di antara semua pihak yang bersangkutan. Suatu konsensus sanggup disebut rasional, jikalau semua peserta diskusi sanggup mengemukakan semua argumen yang relevan pada ketika itu, sehingga pengandaian-pengandaian yang berperanan dalam diskusi tersebut sanggup dikritik juga dan, kalau perlu, diubah atau malah diganti dengan alternatif, jikalau para peserta menginginkannya. Bila syarat ini dipenuhi dan terjadi konsensus antara para peserta, maka konsensus serupa itu sanggup dianggap sebagai konsensus rasional, asalkan hanya bertumpu pada kekuatan argumen-argumen yang terbaik.
Lalu Habermas bertanya wacana syarat-syarat komunikatif yang harus dipenuhi, biar kekuatan argumen-argumen terbaik sanggup meyakinkan. Syarat-syarat itu dianalisisnya dalam apa yang disebut "situasi percakapan ideal" (the ideal speech situation). Situasi yang tidak terdistorsi sedikit pun ini terwujud jikalau :
Pertama, semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumen-argumen peserta lain
Kedua, di antara peserta-peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang sanggup menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga
Ketiga, semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga mustahil terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.
Jika sesuai dengan syarat-syarat ini terbentuk konsensus wacana kesahihan ucapan-ucapan tertentu beserta pengandaian-pengandaian yang terkandung di dalamnya, berdasarkan Habermas konsensus menyerupai itu mempunyai pendasaran rasional. Jadi, ucapan-ucapan betul-betul boleh disebut benar, bila di antara para peserta diskusi terdapat konsensus berdasarkan syarat-syarat "situasi percakapan ideal"
Yang menarik dalam teori konsensus mengenai kebenaran ini ialah bahwa dengan demikian dimungkinkan juga konsensus normatif yang mempunyai dasar rasional. Sebab, wacana ucapan-ucapan mengenai norma berlaku hal yang sama. Jika tercapai konsensus wacana kesahihan ucapan-ucapan normatif dengan cara itu, maka konsensus itu sanggup dianggap mempunyai pendasaran rasional, alasannya ialah bertumpu pada kekuatan argumen-argumen terbaik dan tidak didistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan atau manipulasi terselubung.
Dengan demikian dari analisisnya mengenai perbuatan-perbuatan tutur dan dari teori konsensusnya mengenai kebenaran Habermas menyimpulkan bahwa dalam struktur komunikasi melalui bahasa itu sendiri sudah terkandung kemungkinan untuk mencapai hubungan-hubungan bebas kekuasaan dan simetris, artinya kedua belah pihak selalu sederajat. Komunikasi melalui bahasa berdasarkan Habermas secara mendasar tertuju pada persetujuan yang suka rela, tidak manipulatif, dan tidak dipaksakan. Persetujuan itu merupakan kunci bagi klaim-klaim kesahihan yang diberlakukan oleh semua peserta bersangkutan (selama mereka tidak menempuh suatu jalan strategis). Sifat yang bebas, suka rela, dan tidak dipaksakan dari persetujuan tersebut pada alhasil terjamin oleh kemungkinan untuk menyampaikan "tidak", untuk mengajukan kritik dan pendapat-pendapat yang berbeda. Tetapi pendapat-pendapat itu pun diajukan dengan disertai argumen-argumen dan dengan demikian terikat juga dengan persetujuan bebas, artinya persetujuan yang terbentuk berdasarkan syarat-syarat simetri komunikatif.
Teori evolusi sosial
Unsur terakhir yang pantas disebut dari perkembangan fatwa Habermas selama periode kedua ialah pembentukan suatu kerangka teoretis wacana evolusi masyarakat di mana ditinggalkan optimisme filsafat sejarah unilinear (berbentuk garis lurus) yang menandai tradisi Marxisme, tapi tetap dipertahankan paham "kemajuan" dalam konteks perkembangan masyarakat dan sejarah. Inti teori evolusi sosial ini ialah perbedaan antara dua macam proses belajar: di satu pihak proses-proses berguru teknis yang membawakan penguasaan alam lebih besar dan meningkatkan produktivitas kerja dan dilain pihak proses-proses berguru komunikatif yang menghasilkan perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia. Menurut Habermas kedua macam proses berguru ini ditandai oleh kecerdikan tersendiri, artinya kemajuan dalam penguasaan alam tidak secara otomatis membawakan kemajuan di bidang relasi-relasi komunikatif, dan sebaliknya. Lagi pula ia beropini bahwa kemajuan tidak timbul dengan mutlak perlu. Proses-proses berguru menyediakan suatu kemungkinan-kemungkinan fundametal yang sanggup terhambat dengan aneka macam cara, contohnya alasannya ialah hasil-hasilnya hanya tersebar dalam lingkungan terbatas atau alasannya ialah wawasan-wawasan gres menemui hambatan yang tak teratasi dalam penerapan praktisnya.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Biografi dan Karya
2. Jurgen Habermas. Melanjutkan Proyek Modernitas Melalui Rasio Komunikatif
3. Jurgen Habermas. Kolonialisasi Dunia-Kehidupan
4. Jurgen Habermas. Kritik atas Patologi Modernitas
5. Jurgen Habermas. Diskursur Filosofis wacana Modernitas (Post-Modernitas)
6. Jurgen Habermas. Teori Praksis Komunikatif
7. Jurgen Habermas. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Manusia
8. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
9. "Methodenstreit" dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
10. Mazhab Frankfurt
Belum ada Komentar untuk "Jurgen Habermas. Speech Acts"
Posting Komentar