Dari Imperialisme Menuju Neo-Imperialisme

(Kajian perihal Konstruksi Sistem Sosial Ekonomi Kapitalisme)
“Kita sanggup duduk dan mengamati. Tentu saja, suatu hari nanti kita akan melangkah masuk. Kita berkewajiban. Tetapi, tidak perlu terburu-buru. Waktu sendiri yang harus melayani negeri terbesar di seluruh jagad Tuhan ini. Kita akan menjamin segala sesuatu—industri, perdagangan, hukum, jurnalisme, kesenian, politik, dan agama, dari cape horn sampai south’s sound, di luar itu juga, jikalau sesuatu yang pantas diketahui di kutub utara. Dan selanjutnya kita akan mempunyai waktu luang untuk merebut pulau-pulau dan benua-benua terpencil di bumi. Kita akan menjalankan urusan dunia entah dunia itu menyukainya atau tidak. Dunia tidak sanggup menahannya—dan tidak pula kita, kukira”. (Josep Conrad, Nostromo; “A Tale of the Seaboard”, 1988).

Penggalan karya Conrad di atas menggambarkan kepongahan paternalistis yang sama dari imperialisme yang diejeknya dalam tokoh menyerupai Gould dan Holroyd. Conrad nampaknya berkata, “Kita orang Barat akan memilih siapa penduduk orisinil yang baik atau jahat, alasannya ialah penduduk orisinil mempunyai eksistensi yang memadai menurut pengukuhan kita. Kita ciptakan mereka, kita ajarkan kepada mereka untuk berbicara dan berpikir, dan ketika mereka memberontak, mereka hanya menegaskan pandangan kita terhadap mereka sebagai belum dewasa yang bodoh, yang dikorbankan oleh sebagian penguasa Barat mereka”. Selanjutnya Said dalam karyanya “Kebudayaan dan Kekuasaan” (1995) menyebutkan bahwa klaim superioritas sebagai bangsa yang diberi tanggung jawab untuk memerintah bangsa-bangsa lain di banyak sekali belahan bumi, sesungguhnya sangat lumrah ditemukan hampir dalam setiap isi kepala insan yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Barat atau Amerika.

Telaah mengenai konstruk sosial negara bangsa yang kebetulan memimpin peradaban, tidak harus berhenti pada realitas faktual. Adalah sebuah kenyataan yang sangat sulit untuk dihindari mengenai pewarisan masa kemudian imperialisme bangsa-bangsa Barat, namun tidak harus diingkari bahwa hal yang pasti bagi setiap peradaban pasti mempunyai sifat imperial yang hampir menyerupai ketika dihadapkan pada kenyataan penguasaan atas sumber daya material yang lebih unggul.

Karya Said mengenai kebudayaan imperialis memang cukup memadai kalau boleh dibilang cukup universal bagi telaah perihal fenomena imperial secara umum. Sebagai materi perbandingan yang sama tertuang dalam karya Stoddard mengenai “Pasang Naik Kulit-Kulit Berwarna” (1966). Kebalikan dari Said, Stoddard yang mewarisi sifat-sifat rasialis Budaya Barat cukup mengkhawatirkan fenomena kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna. Landasan argumentasi Stoddard terletak pada asal-usul historis gelombang pasang yang naik bangsa-bangsa kulit berwarna, terutama penguasaan bangsa kulit kuning (Mongolia)—Jengis Khan yang hampir memporak-porandakan dan menguasai seluruh benua Eropa, kemudian peradaban bangsa Smith pada masa kejayaan Dinasti Umayyah yang dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiah yang menandai puncak peradaban Islam, dengan kekuasaan yang meluas hingga wilayah Baltik dan sebagian wilayah Eropa lainnya.

Pertentangan antara Timur versus Barat—Eropa dan Asia sesungguhnya telah berlangsung berabad-abad yang lampau, semenjak peperangan Persia—peperangan yang berlarut-larut antara kerajaan Romawi dan Parthia di sepanjang perbatasan timur Syiria. Kemunduran dua peradaban bangsa kulit berwarna yang mendahuluinya, kemudian memandai kebangkitan peradaban Barat. Bangsa kulit putih tampil mengambil tampuk pimpinan peradaban yang apabila kita telaah lebih lanjut, penguasaan-penguasaan imperium mereka yang hampir meliputi seluruh permukaan bumi, sesungguhnya mewakili kekejaman khas dari sifat-sifat imperial yang lumrah, contohnya dalam masa dua belas tahun, Jengis Khan dengan perwira-perwiranya menyembelih lebih dari 18.500.000 manusia, sesudah perampokan suku Marvia di Khurasan, ‘Taman Asia’, terdapat 1.300.000 mayat, kota Herat 1.600.000 orang, nasib yang sama menimpa kota-kota penting Asia Tengah, kemudian pembakaran kota Rusia dan Polandia. Deskripsi yang sama dan bahkan mewakili kekejian yang tak terperikan ialah petualangan-petualangan imperial bangsa Eropa selama berabad-abad harus bertanggung jawab atas pemusnahan Suku Indian di Amerika, Suku Aborigin di Australia, deportasi ribuan orang Kulit Hitam dari negara asal mereka—Benua Hitam Afrika—untuk dijadikan budak belian, ataupun pemberlakuan Politik Rasial (Apartheid) di Afrika Selatan, jutaan korban insan terutama dalam insiden perebutan imperium dua perang dunia pada era ke-19 dan 20-an, serta insiden lainnya yang meliputi wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Latin).

Memasuki milenium kedua era ini, sikap imperial sanggup disaksikan dalam beberapa insiden faktual yang sanggup dengan gampang dianalisis, terlebih dikarenakan ia mengikuti pola-pola imperial khas dari sebuah negara imperium dalam mempertahankan garis dominasinya. Pasca Perang Dingin, Amerika Serikat tampil sebagai negara adikuasa yang terakhir, sebuah kekuatan yang paling kuat dan sering ikut campur hampir di semua wilayah dunia. Bahkan ia telah menggantikan imperium-imperium besar sebelumnya yang meliputi wilayah-wilayah Amerika Tengah dan Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Asia dan merupakan satu-satunya kekuatan luar yang dominan. Intervensi-intervensi militer Amerika Serikat semenjak Perang Dunia Kedua terjadi hampir di semua benua, kebanyakan disertai oleh masalah-masalah kompleks dan luas, dengan penanaman modal nasional bagi pembiayaan militer yang cukup besar.

Fenomena imperial bangsa-bangsa kulit putih yang meliputi Ras Nordik, Alpino, adonan Nordik-Alpino, serta adonan Nordik-Mediteranian yang sekarang menjadi sentra imperium dunia meliputi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, sesungguhnya berkaitan bersahabat dengan beberapa insiden penting yang telah dimulai semenjak era ke-16 an. Dekontruksi besar-besaran hegemoni mitos dalam struktur masyarakat feodal yang merupakan dominasi dan hegemoni Agama Nasrani dan Tuan Feodal, termasuk di dalamnya ialah fenomena Perang Salib di mana Eropa banyak mengambil manfaat dari peradaban bangsa Smith, hingga dengan beberapa insiden perubahan besar-besaran yang berlangsung secara berturut-turut atau mendapat momentumnya yang hampir bersamaan yakni pertama, Reformasi Agama atau Reformasi Gereja (privatisasi/sekularisasi). Kedua, gelombang penentu (sintesa) dari perubahan besar-besaran; revolusi tata sosial politik dan kultural di Prancis (sains) era XVII atau tahun 1700-an, ketiga revolusi industri di Inggris (ekonomi) paruh era XVIII.

Petualangan-petualangan mereka ke seluruh belahan bumi ialah dalam rangka pemenuhan akan materi baku industrial yang telah dimulai pada masa Revolusi di Inggris, Prancis, dan kemudian pada kesudahannya meluas hingga meliputi seluruh daratan Eropa. Melalui gospel, gold, dan glori, imperialisme Eropa dan Amerika Serikat sesungguhnya bertumpu pada tiga anasir kekuatan yakni, sekularisasi agama (modernisme), ilmu pengetahuan (Sains), serta industrialisasi (perekonomian/alat). Hasil perkembangan sistemik yang bersifat fungsional ketiga kekuatan tersebutlah yang sekarang memunculkan interes yang hampir bersifat universal dan cukup menguras energi intelektual insan sepanjang peradaban yakni, kemunculan sebuah sistem hidup yang ditakdirkan menjadi permasalahan global, ia dipercaya sebagai biang keladi semua insiden spektakuler berabad-abad lamanya insan menempati permukaan bumi. Turner menyebutkan bahwa dorongan-dorongan imperium Barat ialah spirit yang paling khas dari “sistem kapitalisme” sebagai pola menempel yang tak terhindarkan dari perkembangan peradaban dengan perubahan-perubahan yang menyertainya.

Demikian halnya Harman mempercayai bahwa seluruh insiden atau permasalahan fenomenal kemanusiaan semenjak era ke-19 hingga ketika ini, tidak sanggup melepaskan diri dari sifat ekspansif sistem tersebut, yang dengannya menyertakan imajinasi imperial yang melampaui peradaban-peradaban sebelumnya, contohnya Harman mencontohkan bahwa kehendak untuk mempertahankan dan memperluas wilayah kolonial merupakan bentuk persaingan brutal yang paling khas dari sistem kapitalisme yang menjadi penyebab utama Perang Dunia I dan Depresi Besar (great depression) tahun 1930-an. Kebijakan yang menyertai krisis ekonomi seusai Perang Dunia I, yakni kebijakan keynesian merupakan pendorong utama kemunculan Negara Fasistis Hitler, Musolini maupun Stalin yang sekaligus pula merupakan pemicu berlangsungnya kembali perang dunia babak kedua (PD II).

Imperialisme bangsa-bangsa kulit putih mendapat spiritnya yang kasatmata dalam sistem kapitalisme, ia merupakan satu-satunya yang mustahil dipisahkan ketika kita berkepentingan mendeskripsikan pola-pola sistemik fenomena imperial yang ada. Melalui pemaparan historis di atas, selain merupakan abjad khas yang membedakan Eropa dengan peradaban-peradaban sebelumnya. Sistem kapitalisme sesungguhnya merupakan landasan pijak (jiwa/roh) yang menguatkan, melestarikan dan menjadi penyebab utama dorongan-dorongan imperial bangsa Barat.

Pendapat analis mewakili bidang kajian developmental negara-negara bekas jajahan (dunia ketiga), menyebutkan bahwa sistem kapitalisme ialah jejak dari penguasa imperial fisik yang masih tetap tinggal, dengannya mengalami metamorpose menuju penguasaan soft-imperium langgeng berupa dominasi tata sosial, ekonomi, politik maupun kultur masyarakat. Kaum dependensi seutuhnya percaya bahwa keadaan yang serba tidak menguntungkan itulah yang gotong royong mengabadikan dan menghambat kemajuan bangsa-bangsa di dunia ketiga hingga tetap berada dalam keadaan yang terbelakang.

Alimandan (“Pembangunan Negara-Negara Dunia Ketiga”. 1985) menganalisis beberapa argumen pengelompokan teori-teori sosiologi perihal perubahan sosial dalam dua kategori yakni, kelompok teori yang pertama disebut sebagai kelompok teori internalis yang memandang kemajuan ataupun kendala perkembangan suatu negara bangsa ialah murni berasal dari komponen internal negara bangsa itu sendiri, yaitu sistem budaya akar yang stagnan. Pengelompokan yang kedua disebut sebagai kelompok teori eksternalis, yang memandang bahwa kemajuan ataupun kendala perkembangan suatu negara bangsa murni lantaran sebab-sebab eksternal. Sebab-sebab eksternal tersebut ialah dominasi sosial-ekonomi dan politik negara imperium terhadap wilayah dominasi imperialnya.

Setiap orang atau analis mana pun ketika ini mengakui kekuasaan tunggal sistem kapitalisme yang sekarang hidup mengglobal, menjadi satu kesatuan pasar yang dikendalikan oleh perputaran modal yang tunduk pada segelintir pemilik saham perusahaan-perusahaan besar (MNC/TNC) di dunia, mereka bisa memaksakan segala macam regulasi ekonomi, organisasi boneka dengan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ataupun di bawah naungan organisasi internasional semisal IMF, WTO, Bank Dunia (world bank), Pentagon dan NATO. Pun halnya dengan dominasi media informasi, para pemegang kapital yang berkolaborasi dengan negara-negara imperium melancarkan kegiatan-kegiatan imperial mereka dengan merampok batas-batas kekuasaan teritorial negara-bangsa dalam melaksanakan kontrol kekuasaan imperial yang efektif melalui penyebaran wacana-wacana propagandis yang menghegemoni kesadaran publik.

Wacana neo-imperialisme, kaum dependensi menyebutkan penguasaan-penguasaan soft-imperium sebagai kelanjutan jejak berkarat dalam sistem budaya kita yang telah usang ditularkan oleh penguasaan imperium fisik. Sistem kapitalisme sebagai perangkat imperial abnormal pada gilirannya diadopsi dan dijadikan sebagai elemen kesadaran lumrah, bahkan satu-satunya sistem ekonomi masuk akal di negara-negara dunia ketiga. Pengadopsian sistem ekonomi kapitalisme pada gilirannya menuntut perubahan seluruh sistem budaya akar atau struktur hidup bermasyarakat kuat terhadap perubahan pola atau abjad antropologis individu sebagai lingkup terkecil sistem kemasyarakatan.

Demikian, hal yang teramat sulit bagi generasi ke depan mengenal abjad khas budaya bangsa yang luhur. Hegemoni mempunyai arti yang sama dengan reifikasi, yakni proses pembendaan yang menjadikan insan menjadi benda yang kehilangan seluruh keistimewaan nalar kritisnya. Akibat darinya ialah ketergantungan terhadap segala hal yang berlabel Barat dan Amerika Serikat. Fenomena ini disebut sebagai mental insan terjajah (budak dan kelakuan membudak), budaya imperial, serta logika/sifat lumrah kapitalisme.


Download di Sini


Lebih lengkap dalam,
Ramdani, Dani. 2005. Skripsi; Studi Komparasi Antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt Dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Belum ada Komentar untuk "Dari Imperialisme Menuju Neo-Imperialisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel