Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan
Seperti sudah kita lihat, dalam buku yang dibicarakan tadi Foucault sudah memakai istilah “arkeologi”, biarpun sepintas kemudian saja. Kemudian diterbitkan tiga buku lagi di mana istilah itu muncul dalam judulnya. Lahirnya klinik. Sebuah Arkeologi wacana Tatapan Medis (1963) menyidik ilmu kedokteran dengan memperlihatkan perubahan epistemologis yang cepat dan mendalam yang telah terjadi final periode ke-18, dan permulaan periode ke-19; jadi, kurun waktu yang diselidiki di sini sebagian sama dengan pokok penyelidikan dalam buku pertama. Kata-kata dan Benda-benda. Sebuah Arkeologi wacana Ilmu-Ilmu insan (1966) sering dianggap sebagai karya Foucault yang paling penting. Di situ sudah kita lihat bahwa Foucault dalam bukunya menyidik asal-usul ilmu-ilmu manusia. Ia hingga pada kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan kemanusiaan merupakan suatu inovasi yang masih agak gres (abad ke-19) dan segera akan hilang, bila nanti timbul suatu sistem pemikiran yang lain. Zaman kita kini kiranya sudah di ambang pintu perubahan semacam itu.
Tahun 1969 terbit Arkeologi Pengetahuan, buku yang berefleksi wacana metode dan latar belakang teoretis dari tiga buku sebelumnya dan berusaha mempertanggungjawabkan pendirian Foucault yang khas. Jadi, buku ini merupakan semacam postcriptum teoretis pada buku-buku sebelumnya, sebagian ditampilkan oleh pertanyaan dan kritik yang diajukan kepada pengarang. Uraian buku ini berlangsung pada taraf yang agak abstrak, kering dan sulit. Di sini akan diusahakan memperkenalkan pemikiran Foucault wacana tema-tema yang paling penting.
Salah satu tema pertama yang mencolok ialah diskontinuitas dalam sejarah. Foucault menyetujui sejarawan-sejarawan gres (khususnya kelompok di sekitar majalah Annales) yang menguraikan sejarah dengan banyak memakai konsep-konsep menyerupai “retakan”, “ambang”, “batas”, “seri”, “transformasi”. Dalam cara menguraikan sejarah dulu kontinuitas sangat ditekankan; diberi kesan seakan-akan satu periode secara organis berasal dari periode sebelumnya. Hal yang sama berlaku juga untuk “sejarah pemikiran” (the history of ideas) dulu yang selalu ingin memperlihatkan perkembangan organis dari satu pedoman ke pedoman berikutnya. Tetapi dalam sejarah pemikiran remaja ini kita lihat bahwa orang-orang menyerupai Gaston Bachelard*, Canguilhem, Michel Serres, dan lain-lain semakin menonjolkan diskontinuitas. Dulu diskontinuitas dalam fakta-fakta dianggap sebagai kendala yang justru harus diatasi oleh kepandaian para andal sejarah. Foucault setuju dengan ahli-ahli sejarah yang beropini bahwa sejarawan justru bertugas memperlihatkan diskontinuitas. Dari suatu konsep negatif “diskontinuitas” telah menjadi suatu konsep positif. Sejarawan-sejarawan gaya usang akan protes, lantaran berdasarkan mereka dengan cara demikian sejarah dibunuh begitu saja dan fundamen-fundamennya dibongkar. Tetapi berdasarkan Foucault itu satu-satunya cara untuk mempraktekan sejarah. Dulu sejarah dipergunakan secara ideologis, katanya, lantaran diandaikan suatu subjek yang mengadakan sintesa dan totalisasi. Tetapi adanya subjek itu justru dipersoalkan oleh Foucault. Prioritas subjek yang terlihat dalam filsafat Prancis selama lebih dari tiga ratus tahun, yaitu semenjak Descartes*, tidak sanggup diterima oleh Foucault.
Maka dari itu bagi Foucault konsep-konsep menyerupai “diskontinuitas”, “retakan”, “ambang”, “batas”, “seri”, dan “transformasi” menggantikan konsep-konsep usang menyerupai “pengaruh” dan “tradisi”, yang banyak digunakan dulu dalam cara menguraikan sejarah. Malah memahami konsep-konsep sanggup menyerupai “buku” atau oeuvre sebagai suatu kesatuan, sudah menimbulkan macam-macam tanda Tanya. “Kesatuan” selalu berarti “ditafsirkan sebagai kesatuan”. Jadi, apakah yang harus dianggap kesatuan suatu diskursus? Foucault berpangkal pada kesatuan-kesatuan yang ada (seperti misalnya, ilmu kedokteran, ekonomi, oeuvre atau buku) dan menganggapnya sebagai suatu kumpulan pernyataan-pernyataan (dan itulah definisi Foucault untuk diskursus). Ia tidak mengandaikan bahwa di belakang pernyataan-pernyataan itu terdapat intensi seorang pengarang yang mengakibatkan kesatuan itu. Ada rupa-rupa kekerabatan yang mungkin antara beberapa pernyataan (juga kekerabatan contohnya yang tidak dimaksudkan pengarang atau antara pernyataan-pernyataan yang tidak tahu-menahu yang satu wacana yang lain) atau antara beberapa kelompok pernyataan. Karena itu Foucault lebih suka berbicara wacana “bentuk diskursif” (formation discursive) daripada wacana “ilmu”, “teori”, dan lain sebagainya. Dan wacana itu harus diselidiki aturan-aturan pembentukannya. Jika salah satu “bentuk diskursif” contohnya ialah psikopatologi, maka kita sanggup bertanya aturan-aturan mana yang menguasai terbentuknya objek diskursif macam itu. Objek semacam itu (“kegilaan” misalnya) tidak mendahului suatu diskursus, tetapi dikonstitusikan dalam suatu diskursus.
Dalam rangka menyidik diskursus-diskursus Foucault memakai tiga konsep yang berkaitan erat satu sama lain: positivitas, apriori historis, dan arsip. Tiga konsep ini akan kami terangkan dengan singkat. Positivitas suatu diskursus atau ilmu ialah apa yang menandai kesatuan diskursus itu dalam suatu periode tertentu, sehingga kita sanggup menyampaikan bahwa dua pengarang berbicara wacana hal yang sama atau bahwa dua pengarang berbicara wacana hal yang lain. Jadi, positivitas merupakan suatu “lingkup komunikasi” antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan (yang tidak berarti bahwa mereka berbincang-bincang satu dengan yang lain). Positivitas tidak sama luas dengan “ilmu” (yang memiliki perkembangan historis yang panjang, ilmu kedokteran misalnya), tetapi lebih luas daripada kelompok atau mazhab (sekelompok ilmuwan yang mengalami efek yang sama). Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut apriori historis. Dengan itu dimaksudkan keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang memilih suatu diskursus. Syarat-syarat dan hukum itu tidak tiba dari luar tetapi memilih diskursus dari dalam, memilih perwujudan diskursus itu sendiri. Akhirnya, arsip ialah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh aneka macam positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Foucault menyampaikan juga: arsip ialah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan. Jadi, kata “arsip” di sini dihentikan dimengerti pasif belaka (sebagai endapan dokumen-dokumen dari masa lampau); arsip juga memungkinkan timbulnya pernyataan-pernyataan. Menurut Foucault tidak mungkin melukiskan dengan tuntas arsip dari suatu kebudayaan, suatu masyarakat atau suatu periode. Dan sama sekali tidak mungkin untuk melukiskan arsip dari zaman kita sekarang, lantaran justru arsip itu memungkinkan kita berbicara.
Uraian Foucault wacana arkeologi perlu kita beri perhatian khusus. Tentu saja, kata “arkeologi” ini bagi Foucault memiliki arti lain daripada arti yang bisa, yaitu ilmu purbakala. Kita lihat tadi bahwa setiap diskursus ditentukan oleh suatu apriori historis. Lebih konkret itu berarti bahwa setiap zaman memiliki suatu “sistem pemikiran” yang menjuruskan cara mempraktekan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Sistem pemikiran ini oleh Foucault sering kali disebut episteme. Episteme itu bisanya tinggal implisit dan tidak perlu sama dengan teori ilmu pengetahuan eksplisit yang terdapat pada zaman itu. Karena jarak kita kini ini terhadap zaman itu sudah cukup jauh, maka bagi kita menjadi mungkin untuk mempelajari dan memperlihatkan episteme itu. Nah, perjuangan untuk mengeksplisitkan atau “menggali” episteme yang memilih suatu periode tertentu oleh Foucault disebut arkeologi atau analisa arkeologi. Dalam Arkeologi Pengetahuan ia mulai dengan membedakan arkeologi dari sejarah pemikiran gaya usang yang memakai paham-paham menyerupai “evolusi”, “kontinuitas”, “totalisasi”. Dari yang sudah dikatakan hingga kini kiranya sanggup dimengerti bahwa Foucault dengan tegas menolak cara bekerja itu sebagai tidak memuaskan. Metode yang diikuti dalam arkeologi terutama beralaskan empat prinsip. Kekhususan arkeologi terhadap contohnya sejarah pemikiran akan tampak, jikalau kita memandang keempat prinsip tersebut.
1) Sejarah pemikiran mendekati suatu diskursus dengan berpegang pada dua kategori: yang usang dan yang baru, yang tradisional dan yang original, yang biasa dan yang luar biasa. Sejarah pemikiran ingin menyoroti penemuan-penemuan baru, memperlihatkan sejauh mana sudah ada pendahulu-pendahulu bagi suatu penemuan, menjelaskan sejauh mana suatu inovasi gres meneruskan unsur-unsur usang dan lain sebagainya. Arkeologi tidak mencari penemuan-penemuan. Arkeologi berusaha memperlihatkan the regularity (regularite) of discursive practice: regularitas suatu praktek diskursif. Dengan “regularitas” dimaksudkan keseluruhan kondisi-kondisi yang memainkan peranan dalam suatu diskursus dan menjamin serta memilih alhasil diskursus itu. Belum tentu regularitas itu tampak pada ilmuwan-ilmuwan paling besar dan paling original dalam suatu periode. Bisa saja bahwa regularitas ini justru paling terang pada tokoh-tokoh yang kurang menonjol dan kurang original.
2) Sejarah pemikiran mengenal dua macam kontradiksi: ada pertentangan yang hanya tampak pada permukaan dan akan hilang jikalau orang memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus; dan ada pertentangan yang menyangkut fundamen-fundamen suatu diskursus. Kontradiksi macam pertama akan lenyap jikalau orang menggali hingga pada kesatuan tersembunyi suatu teks, jikalau orang memperhatikan perkembangan suatu oeuvre, jikalau orang melihat “suasana” suatu periode atau tipe suatu masyarakat dan lain sebagainya. Kontradiksi macam kedua akan memegang peranan penting dalam perkembangan menuju diskursus itu. Tetapi analisa arkeologis tidak memandang pertentangan sebagai sesuatu yang tampak pada permukaan saja dan harus dilenyapkan lantaran suatu kesatuan lebih mendalam; dan juga tidak sebagai suatu prinsip tersembunyi yang harus ditelanjangi. Bagi analisa arkeologis kontradiksi-kontradiksi harus dilukiskan menyerupai apa adanya.
3) Analisa arkeologis akan menyangkut juga perbandingan-perbandingan: perbandingan antara satu praktek diskursif lainnya atau perbandingan antara suatu praktek diskursif dan suatu praktek non-diskursif (lembaga-lembaga, kejadian-kejadian politik, proses-proses irit dan sosial). Buku Kata-kata dan Benda-Benda merupakan pola wacana perbandingan yang pertama, lantaran dalam buku tersebut diselidiki tiga bentuk diskursif (yaitu yang menyangkut kehidupan organis, pekerjaan, dan bahasa). Arkeologi bermaksud memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah bentuk diskursif yang tertentu. Jadi, Foucault tidak terkena oleh kritik yang menyampaikan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak akan berlaku lagi, seandainya ia memanfaatkan materi dari ilmu lain. Foucault sengaja membatasi analisanya dan sama sekali tidak bermaksud memperlihatkan suatu analisa menyeluruh wacana periode tertentu. Malah ia beropini bahwa analisa menyeluruh semacam itu tidak mungkin dilaksanakan.
Arkeologi menganalisa juga bekerjasama antara praktek-praktek diskursif dan praktek-praktek non-diskursif. Di sini Foucault menunjuk kepada buku lahirnya Lahirnya Klinik. Pada final periode ke-18 dan permulaan periode ke-19 (saat lahirnya klinik) terdapat kejadian-kejadian politik, kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dan konstelasi-konstelasi sosial yang tertentu.
Praktek-praktek non-diskursif ini sanggup diikutsertakan dalam analisa wacana timbulnya cara pandang medis yang gres pada waktu itu, yaitu “klinik”. Dalam hal ini Foucault menolak materialism historis. Dalam rangka pandangan Marxistis dikatakan bahwa konsep-konsep medis yang tertentu atau struktur teoretis dari patologi disebabkan atau diubah oleh suatu praktek sosial dan politik. Menurut pendapat marxistis, suatu keadaan politik dan sosial telah memilih suatu cara pandang medis yang tertentu. Foucault tidak menyebut Marxisme secara eksplisit (hampir tidak pernah ia menyebut lawannya dengan nama), tetapi maksudnya cukup jelas. Foucault tidak menyidik bagaimana konsep-konsep medis disebabkan; bagi beliau yang penting ialah bagaimana diskursus medis yang tertentu diterapkan pada praktek-praktek yang bukan medis dan tidak bersifat diskursif. Arkeologi tidak mencari sebab-sebab, lantaran ia hanya berminat menemukan jangkauan dan berfungsinya suatu diskursus.
4) Analisa arkeologis melukiskan juga perubahan. Tetapi ia tidak menandakan perubahan sebagai inovasi gres (menurut model “penciptaan” yang bersifat teologis atau estetis) atau sebagai keinsafan gres secara mendadak (menurut model psikologis) atau sebagai evolusi (menurut model biologis). Arkeologi menganalisa perubahan sebagai aneka macam macam transformasi. Itu berarti bahwa diskontinuitas tetap diakui, tetapi diskontinuitas tidak dianggap suatu tujuan-pada-dirinya. Arkeologi memperlihatkan perbedaan-perbedaan, sedangkan sejarah pemikiran cenderung untuk menutup perbedaan-perbedaan. Jadi, analisa arkeologis menghormati keadaan faktual. Arkeologi juga tidak mengandaikan bahwa semua objek, konsep, dan pendapat teoretis akan berubah, bila terjadi suatu bentuk diskursif baru. Bisa saja sejumlah unsur tetap tinggal sama, sekalipun sudah termasuk suatu bentuk diskursif yang baru.
Download di Sini
Sumber:
Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Pemikiran wacana Kuasa
4. Strukturalisme dan Poststrukturalisme
5. Michel Foucault. Sejarah Kegilaan
Tahun 1969 terbit Arkeologi Pengetahuan, buku yang berefleksi wacana metode dan latar belakang teoretis dari tiga buku sebelumnya dan berusaha mempertanggungjawabkan pendirian Foucault yang khas. Jadi, buku ini merupakan semacam postcriptum teoretis pada buku-buku sebelumnya, sebagian ditampilkan oleh pertanyaan dan kritik yang diajukan kepada pengarang. Uraian buku ini berlangsung pada taraf yang agak abstrak, kering dan sulit. Di sini akan diusahakan memperkenalkan pemikiran Foucault wacana tema-tema yang paling penting.
Salah satu tema pertama yang mencolok ialah diskontinuitas dalam sejarah. Foucault menyetujui sejarawan-sejarawan gres (khususnya kelompok di sekitar majalah Annales) yang menguraikan sejarah dengan banyak memakai konsep-konsep menyerupai “retakan”, “ambang”, “batas”, “seri”, “transformasi”. Dalam cara menguraikan sejarah dulu kontinuitas sangat ditekankan; diberi kesan seakan-akan satu periode secara organis berasal dari periode sebelumnya. Hal yang sama berlaku juga untuk “sejarah pemikiran” (the history of ideas) dulu yang selalu ingin memperlihatkan perkembangan organis dari satu pedoman ke pedoman berikutnya. Tetapi dalam sejarah pemikiran remaja ini kita lihat bahwa orang-orang menyerupai Gaston Bachelard*, Canguilhem, Michel Serres, dan lain-lain semakin menonjolkan diskontinuitas. Dulu diskontinuitas dalam fakta-fakta dianggap sebagai kendala yang justru harus diatasi oleh kepandaian para andal sejarah. Foucault setuju dengan ahli-ahli sejarah yang beropini bahwa sejarawan justru bertugas memperlihatkan diskontinuitas. Dari suatu konsep negatif “diskontinuitas” telah menjadi suatu konsep positif. Sejarawan-sejarawan gaya usang akan protes, lantaran berdasarkan mereka dengan cara demikian sejarah dibunuh begitu saja dan fundamen-fundamennya dibongkar. Tetapi berdasarkan Foucault itu satu-satunya cara untuk mempraktekan sejarah. Dulu sejarah dipergunakan secara ideologis, katanya, lantaran diandaikan suatu subjek yang mengadakan sintesa dan totalisasi. Tetapi adanya subjek itu justru dipersoalkan oleh Foucault. Prioritas subjek yang terlihat dalam filsafat Prancis selama lebih dari tiga ratus tahun, yaitu semenjak Descartes*, tidak sanggup diterima oleh Foucault.
Maka dari itu bagi Foucault konsep-konsep menyerupai “diskontinuitas”, “retakan”, “ambang”, “batas”, “seri”, dan “transformasi” menggantikan konsep-konsep usang menyerupai “pengaruh” dan “tradisi”, yang banyak digunakan dulu dalam cara menguraikan sejarah. Malah memahami konsep-konsep sanggup menyerupai “buku” atau oeuvre sebagai suatu kesatuan, sudah menimbulkan macam-macam tanda Tanya. “Kesatuan” selalu berarti “ditafsirkan sebagai kesatuan”. Jadi, apakah yang harus dianggap kesatuan suatu diskursus? Foucault berpangkal pada kesatuan-kesatuan yang ada (seperti misalnya, ilmu kedokteran, ekonomi, oeuvre atau buku) dan menganggapnya sebagai suatu kumpulan pernyataan-pernyataan (dan itulah definisi Foucault untuk diskursus). Ia tidak mengandaikan bahwa di belakang pernyataan-pernyataan itu terdapat intensi seorang pengarang yang mengakibatkan kesatuan itu. Ada rupa-rupa kekerabatan yang mungkin antara beberapa pernyataan (juga kekerabatan contohnya yang tidak dimaksudkan pengarang atau antara pernyataan-pernyataan yang tidak tahu-menahu yang satu wacana yang lain) atau antara beberapa kelompok pernyataan. Karena itu Foucault lebih suka berbicara wacana “bentuk diskursif” (formation discursive) daripada wacana “ilmu”, “teori”, dan lain sebagainya. Dan wacana itu harus diselidiki aturan-aturan pembentukannya. Jika salah satu “bentuk diskursif” contohnya ialah psikopatologi, maka kita sanggup bertanya aturan-aturan mana yang menguasai terbentuknya objek diskursif macam itu. Objek semacam itu (“kegilaan” misalnya) tidak mendahului suatu diskursus, tetapi dikonstitusikan dalam suatu diskursus.
Dalam rangka menyidik diskursus-diskursus Foucault memakai tiga konsep yang berkaitan erat satu sama lain: positivitas, apriori historis, dan arsip. Tiga konsep ini akan kami terangkan dengan singkat. Positivitas suatu diskursus atau ilmu ialah apa yang menandai kesatuan diskursus itu dalam suatu periode tertentu, sehingga kita sanggup menyampaikan bahwa dua pengarang berbicara wacana hal yang sama atau bahwa dua pengarang berbicara wacana hal yang lain. Jadi, positivitas merupakan suatu “lingkup komunikasi” antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan (yang tidak berarti bahwa mereka berbincang-bincang satu dengan yang lain). Positivitas tidak sama luas dengan “ilmu” (yang memiliki perkembangan historis yang panjang, ilmu kedokteran misalnya), tetapi lebih luas daripada kelompok atau mazhab (sekelompok ilmuwan yang mengalami efek yang sama). Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut apriori historis. Dengan itu dimaksudkan keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang memilih suatu diskursus. Syarat-syarat dan hukum itu tidak tiba dari luar tetapi memilih diskursus dari dalam, memilih perwujudan diskursus itu sendiri. Akhirnya, arsip ialah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh aneka macam positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Foucault menyampaikan juga: arsip ialah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan. Jadi, kata “arsip” di sini dihentikan dimengerti pasif belaka (sebagai endapan dokumen-dokumen dari masa lampau); arsip juga memungkinkan timbulnya pernyataan-pernyataan. Menurut Foucault tidak mungkin melukiskan dengan tuntas arsip dari suatu kebudayaan, suatu masyarakat atau suatu periode. Dan sama sekali tidak mungkin untuk melukiskan arsip dari zaman kita sekarang, lantaran justru arsip itu memungkinkan kita berbicara.
Uraian Foucault wacana arkeologi perlu kita beri perhatian khusus. Tentu saja, kata “arkeologi” ini bagi Foucault memiliki arti lain daripada arti yang bisa, yaitu ilmu purbakala. Kita lihat tadi bahwa setiap diskursus ditentukan oleh suatu apriori historis. Lebih konkret itu berarti bahwa setiap zaman memiliki suatu “sistem pemikiran” yang menjuruskan cara mempraktekan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Sistem pemikiran ini oleh Foucault sering kali disebut episteme. Episteme itu bisanya tinggal implisit dan tidak perlu sama dengan teori ilmu pengetahuan eksplisit yang terdapat pada zaman itu. Karena jarak kita kini ini terhadap zaman itu sudah cukup jauh, maka bagi kita menjadi mungkin untuk mempelajari dan memperlihatkan episteme itu. Nah, perjuangan untuk mengeksplisitkan atau “menggali” episteme yang memilih suatu periode tertentu oleh Foucault disebut arkeologi atau analisa arkeologi. Dalam Arkeologi Pengetahuan ia mulai dengan membedakan arkeologi dari sejarah pemikiran gaya usang yang memakai paham-paham menyerupai “evolusi”, “kontinuitas”, “totalisasi”. Dari yang sudah dikatakan hingga kini kiranya sanggup dimengerti bahwa Foucault dengan tegas menolak cara bekerja itu sebagai tidak memuaskan. Metode yang diikuti dalam arkeologi terutama beralaskan empat prinsip. Kekhususan arkeologi terhadap contohnya sejarah pemikiran akan tampak, jikalau kita memandang keempat prinsip tersebut.
1) Sejarah pemikiran mendekati suatu diskursus dengan berpegang pada dua kategori: yang usang dan yang baru, yang tradisional dan yang original, yang biasa dan yang luar biasa. Sejarah pemikiran ingin menyoroti penemuan-penemuan baru, memperlihatkan sejauh mana sudah ada pendahulu-pendahulu bagi suatu penemuan, menjelaskan sejauh mana suatu inovasi gres meneruskan unsur-unsur usang dan lain sebagainya. Arkeologi tidak mencari penemuan-penemuan. Arkeologi berusaha memperlihatkan the regularity (regularite) of discursive practice: regularitas suatu praktek diskursif. Dengan “regularitas” dimaksudkan keseluruhan kondisi-kondisi yang memainkan peranan dalam suatu diskursus dan menjamin serta memilih alhasil diskursus itu. Belum tentu regularitas itu tampak pada ilmuwan-ilmuwan paling besar dan paling original dalam suatu periode. Bisa saja bahwa regularitas ini justru paling terang pada tokoh-tokoh yang kurang menonjol dan kurang original.
2) Sejarah pemikiran mengenal dua macam kontradiksi: ada pertentangan yang hanya tampak pada permukaan dan akan hilang jikalau orang memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus; dan ada pertentangan yang menyangkut fundamen-fundamen suatu diskursus. Kontradiksi macam pertama akan lenyap jikalau orang menggali hingga pada kesatuan tersembunyi suatu teks, jikalau orang memperhatikan perkembangan suatu oeuvre, jikalau orang melihat “suasana” suatu periode atau tipe suatu masyarakat dan lain sebagainya. Kontradiksi macam kedua akan memegang peranan penting dalam perkembangan menuju diskursus itu. Tetapi analisa arkeologis tidak memandang pertentangan sebagai sesuatu yang tampak pada permukaan saja dan harus dilenyapkan lantaran suatu kesatuan lebih mendalam; dan juga tidak sebagai suatu prinsip tersembunyi yang harus ditelanjangi. Bagi analisa arkeologis kontradiksi-kontradiksi harus dilukiskan menyerupai apa adanya.
3) Analisa arkeologis akan menyangkut juga perbandingan-perbandingan: perbandingan antara satu praktek diskursif lainnya atau perbandingan antara suatu praktek diskursif dan suatu praktek non-diskursif (lembaga-lembaga, kejadian-kejadian politik, proses-proses irit dan sosial). Buku Kata-kata dan Benda-Benda merupakan pola wacana perbandingan yang pertama, lantaran dalam buku tersebut diselidiki tiga bentuk diskursif (yaitu yang menyangkut kehidupan organis, pekerjaan, dan bahasa). Arkeologi bermaksud memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah bentuk diskursif yang tertentu. Jadi, Foucault tidak terkena oleh kritik yang menyampaikan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak akan berlaku lagi, seandainya ia memanfaatkan materi dari ilmu lain. Foucault sengaja membatasi analisanya dan sama sekali tidak bermaksud memperlihatkan suatu analisa menyeluruh wacana periode tertentu. Malah ia beropini bahwa analisa menyeluruh semacam itu tidak mungkin dilaksanakan.
Arkeologi menganalisa juga bekerjasama antara praktek-praktek diskursif dan praktek-praktek non-diskursif. Di sini Foucault menunjuk kepada buku lahirnya Lahirnya Klinik. Pada final periode ke-18 dan permulaan periode ke-19 (saat lahirnya klinik) terdapat kejadian-kejadian politik, kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dan konstelasi-konstelasi sosial yang tertentu.
4) Analisa arkeologis melukiskan juga perubahan. Tetapi ia tidak menandakan perubahan sebagai inovasi gres (menurut model “penciptaan” yang bersifat teologis atau estetis) atau sebagai keinsafan gres secara mendadak (menurut model psikologis) atau sebagai evolusi (menurut model biologis). Arkeologi menganalisa perubahan sebagai aneka macam macam transformasi. Itu berarti bahwa diskontinuitas tetap diakui, tetapi diskontinuitas tidak dianggap suatu tujuan-pada-dirinya. Arkeologi memperlihatkan perbedaan-perbedaan, sedangkan sejarah pemikiran cenderung untuk menutup perbedaan-perbedaan. Jadi, analisa arkeologis menghormati keadaan faktual. Arkeologi juga tidak mengandaikan bahwa semua objek, konsep, dan pendapat teoretis akan berubah, bila terjadi suatu bentuk diskursif baru. Bisa saja sejumlah unsur tetap tinggal sama, sekalipun sudah termasuk suatu bentuk diskursif yang baru.
Download di Sini
Sumber:
Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Pemikiran wacana Kuasa
4. Strukturalisme dan Poststrukturalisme
5. Michel Foucault. Sejarah Kegilaan
Belum ada Komentar untuk "Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan"
Posting Komentar