Aristoteles. Etika

Kita sudah mengetahui bahwa Aristoteles menguraikan pendiriannya perihal adat dalam tiga karya: Ethica Nicomachea, Ethica Eudemia, Magna Moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak dianggap otentik. Otensitas Ethica Eudemia dahulu beberapa kali dipersoalkan, tetapi kini sudah mencapai consensus antara para andal mengenai otensitasnya. Tetapi Ethica Nicomachea agaknya ditulis Aristoteles pada usia lebih renta daripada Ethica Eudemia, sehingga sanggup disimpulkan bahwa dalam Ethica Nicomachea kita menemui pemikirannya lebih matang dalam bidang etika. Dalam uraian ini kita membatasi diri pada karya terakhir saja.

Kebahagiaan sebagai tujuan
Dalam segala perbuatannya insan mengejar suatu tujuan. Ia selalu mencari sesuatu yang baik baginya. Tetapi ada banyak macam acara insan yang terarah kepada rupa-rupa tujuan. Aktivitas seorang dokter contohnya tertuju pada kesehatan. Kepandaian seorang pelaut berusaha supaya kapalnya datang dengan selamat di pelabuhan.

Perdagangan mencari bertambahnya kekayaan. Apalagi, acara yang sama sering kali mengejar beberapa tujuan yang tergantung yang satu pada yang lain. Seorang dokter sanggup memberi pasiennya obat supaya ia tidur nyenyak; dan tidur itu dimaksudkan supaya kesehatannya dipulihkan. Dengan demikian satu tujuan dikejar demi tujuan lain. Aristoteles mengajukan pertanyaan, apakah kiranya terdapat suatu tujuan tertinggi dan terakhir yang dikejar hanya lantaran dirinya sendiri dan bukan demi tujuan lain, sedangkan semua tujuan bawahan mengarah ke tujuan tertinggi itu? Menurut Aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia). Di sini sanggup dicatat pula bahwa terjemahan “kebahagiaan” sebetulnya sedikit pincang untuk menyalin eudaimonia ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kata eudaimonia orang Yunani tidak memaksudkan suatu perasaan subjektif, tetapi suatu keadaan insan yang bersifat demikian sehingga segala yang harus ada padanya terdapat pada insan (“well-being”). Dengan itu sudah nyata bahwa adat merupakan cabang filsafat yang bermaksud praktis, bukan teoretis. Oleh karenanya, Aristoteles beropini bahwa adat sebaiknya tidak dipelajari oleh orang muda, lantaran mereka belum mempunyai pengalaman yang boleh disebut matang.

Kebahagiaan berdasarkan isinya
Belum cukuplah, jikalau kita menyampaikan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dalam hidup manusia. Perkataan ini perlu dijelaskan lagi, lantaran banyak orang menganggap kebahagiaan dengan berbagai-bagai cara. Yang satu beropini bahwa kesehatan yaitu kebahagiaan, yang lain menyetarafkan kebahagiaan dengan kekayaan, yang lain lagi menyamakan kebahagiaan dengan penghormatan yang diperoleh dalam perlombaan-perlombaan di Olympia umpamanya. Boleh terjadi juga bahwa orang yang sama memandang kebahagiaan dengan cara yang berlainan dalam banyak sekali periode hidupnya. Bila ia sakit, ia menganggap kesehatan sebagai kebahagiaan; bila kemudian beliau berada dalam keadaan sehat, ia menganggap kekayaan sebagai kebahagiaan. Dari lantaran itu Aristoteles bertanya, apakah bekerjsama kebahagiaan itu? Kebahagiaan terdiri dari unsur-unsur manakah? Apakah kebahagiaan berdasarkan isinya? Yang pasti—demikian tanggapan Aristoteles—bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka, lantaran aktus mempunyai prioritas terhadap potensi. Suatu makhluk menerima kesempurnaannya bukan lantaran potensi begitu saja, melainkan lantaran potensi sudah mencapai aktualitasnya. Tidak mungkin pula kita mencari kebahagiaan insan dalam suatu acara yang terdapat juga pada makhluk-makhluk yang bukan manusia. Perlulah bahwa kebahagiaan insan terdiri dari suatu acara yang khusus untuk insan saja dan menimbulkan kesempurnaannya. Kesempurnaan mata ialah melihat. Kesempurnaan makhluk hidup ialah menyebarkan phisisnya, contohnya menjadi pohon yang dewasa. Lalu apakah kesempurnaan manusia? Kita harus menyampaikan bahwa kesempurnaan insan yaitu aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada insan saja, yaitu rasio. Itulah sebabnya kebahagiaan insan sama saja dengan menjalankan acara yang spesifik baginya, yaitu pemikiran. Bagi manusia, kebahagiaan ialah memandang kebenaran (theoria; “contemplation”).

Tetapi di sini sesuatu yang hakiki harus ditambah lagi. Agar ia sungguh-sungguh bahagia, tidak cukuplah jikalau acara tertinggi insan dijalankan dengan sembarang cara saja. Manusia hanya disebut bahagia, jikalau ia menjalankan aktivitasnya dengan baik. Atau, menyerupai dirumuskan oleh Aristoteles sendiri, supaya insan bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang disertai dengan keutamaan (arĂȘte) sanggup menciptakan insan menjadi bahagia. Keutamaan menyangkut rasio, tetapi juga insan seluruhnya. Manusia bukan saja merupakan makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya. Dari lantaran itu, sebagaimana akan diterangkan sebentar lagi, berdasarkan Aristoteles terdapat dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan moral.

Aristoteles mencatat pula bahwa pemikiran yang disertai keutamaan belum boleh disebut kebahagiaan, kalau hanya berlangsung beberapa detik atau sekali-kali saja. Manusia gres boleh disebut bahagia, jikalau ia sanggup menjalankan pemikiran yang disertai keutamaan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan lain perkataan, kebahagiaan yaitu keadaan insan yang bersifat stabil.

Akhirnya, masih ada unsur lain lagi yang penting juga supaya insan bahagia, biarpun unsur-unsur ini tidak termasuk hakikat kebahagiaan sendiri. Supaya insan sungguh-sungguh bahagia, perlu juga bahwa ia merasa senang dalam menjalankan kebahagiaan yang dilukiskan tadi. Jadi, mesti ada kesenangan (“pleasure”) atau rasa senang yang subjektif. Tentu saja, kebahagiaan tidak sanggup disamakan dengan kesenangan: Aristoteles menolak hedonism. Tetapi ia mengakui juga bahwa kebahagiaan belum komplit, kalau tidak disertai dengan kesenangan. Selain dari kesenangan, yang merupakan suatu unsur batiniah, mesti ada juga beberapa unsur lahiriah, supaya kebahagiaan betul-betul terjamin, menyerupai contohnya kesehatan, kesejahteraan ekonomis, sahabat-sahabat, hidup berkeluarga, penghormatan, dan lain sebagainya. Manusia yang mengalami kekurangan-kekurangan dalam bidang itu, sukar sanggup disebut bahagia. Tetapi sekali lagi harus ditekankan, bahwa kesenangan dan unsur-unsur lahiriah tidak termasuk hakikat kebahagiaan sendiri. Semuanya itu hanya merupakan syarat supaya kebahagiaan sanggup direalisasikan.

Ajaran perihal keutamaan
Mulai dengan buku II, Ethica Nicomachea menguraikan panjang lebar fatwa Aristoteles mengenai keutamaan (arĂȘte). Kita masih ingat bahwa berdasarkan Sokrates* (dan Plato* juga) keutamaan disamakan dengan pengetahuan. Asal saja insan mengetahui apa yang baik baginya, niscaya ia akan berbuat sesuai dengan pengetahuan itu. Oleh karenanya, Sokrates* menyimpulkan bahwa keutamaan sanggup diajarkan, sebagaimana halnya juga dengan pengetahuan lain. Aristoteles tidak menyetujui pendirian Sokrates* dan Plato* ini. Buat beliau belum cukuplah, jikalau insan mengetahui apa yang baik baginya. Ia harus melakukannya juga. Dengan demikian Aristoteles menolak pula anggapan bahwa keutamaan sanggup diajarkan. Tetapi di sini muncul suatu pertanyaan. Kalau keutamaan itu tidak sanggup diajarkan, dengan cara manakah kita sanggup memperolehnya? Lalu bekerjasama dengan itu, bagaimana pendidikan itu mungkin? Jawaban Aristoteles bersifat paradoksal sedikit, lantaran ia menyampaikan bahwa kita memperoleh keutamaan dengan berlaku dengan baik. Paradoks timbul, lantaran kita merasa terhimpit dalam sebuah “lingkaran setan”: untuk berlaku dengan baik sudah mesti ada keutamaan dan keutamaan itu diperoleh dengan berlaku secara baik. Bagaimana itu mungkin? Jika kita memandang maksud Aristoteles, dengan sendirinya “lingkaran setan” sudah pecah. Untuk memperoleh keutamaan, kita mesti mulai dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik secara objektif saja, artinya perbuatan-perbuatan yang oleh umum dianggap bersifat baik. Tetapi lambat laun suatu kebiasaan yang kokoh akan terbentuk dalam tabiat kita, sehingga untuk selanjutnya kita melaksanakan perbuatan-perbuatan baik berdasarkan keutamaan. Sebuah pola sanggup menjelaskan maksudnya. Seorang anak, misalnya, tidak boleh oleh orang tuanya jangan mencuri barang kepunyaan orang lain. Jika beliau berbuat sesuai dengan larangan tersebut, maka belum sanggup dikatakan bahwa ia berlaku berdasarkan keutamaan. Tetapi mungkin sekali dengan demikian suatu perilaku tetap akan terbentuk dalam hati si anak, sehingga ia tidak mencuri lagi justru lantaran ia yakin bahwa itu tidak baik. Itulah yang dimaksudkan Aristoteles. Hidup berdasarkan keutamaan (objektif) sanggup menimbulkan keutamaan pribadi, sehingga untuk selanjutnya perbuatan-perbuatan akan dilakukan lantaran keutamaan.

Biarpun Aristoteles menolak pendirian yang menyamakan keutamaan dengan pengetahuan, namun ia mengakui juga bahwa rasio mempunyai peranan terpenting dalam membentuk keutamaan-keutamaan. Setiap keutamaan berasal dari rasio. Tetapi ada dua jenis keutamaan. Keutamaan sanggup menyempurnakan rasio sendiri dan keutamaan sanggup mengatur tabiat insan (perasaan-perasaan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya). Jenis pertama kita sebut keutamaan intelektual, sedangkan jenis kedua dinamakan keutamaan moral. Kita mulai dengan menjelaskan yang terakhir.

a. Keutamaan moral
Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai satu perilaku tabiat yang memungkinkan insan untuk menentukan jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan. Marilah kita menjelaskan maksudnya dengan menentukan sebuah contoh. Dalam hal membelanjakan uang ada kemungkinan dua perilaku yang ekstrim: di satu pihak orang sanggup mengeluarkan uang terlalu banyak dan di lain pihak orang sanggup juga mengeluarkan uang terlalu kurang. Seseorang yang mengeluarkan terlalu banyak kita sebut pemboros, sedangkan seorang yang terlampau hemat membuka dompetnya kita sebut kikir. Dua perilaku ekstrim kita sebut masing-masing keborosan dan kekikiran. Keutamaan dalam bidang membelanjakan uang sanggup menentukan jalan tengah antara dua ekstrim itu dan inilah keutamaan yang kita namakan “kemurahan hati”. Dengan demikian setiap keutamaan sanggup menentukan jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan. Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebihan dan kekurangan. Boleh dicatat lagi, dengan anggapan ini Aristoteles mewujudkan—di bidang etika—cita-cita Yunani yang khas, Karena sudah berapa kali kita melihat bahwa kecenderungan akan keselarasan dan keseimbangan merupakan gagasan Yunani yang khas.

Hendaklah diperhatikan bahwa berdasarkan Aristoteles keutamaan merupakan suatu sikap. Supaya kita betul-betul mempunyai keutamaan, belum cukuplah jikalau hanya satu kali atau beberapa kali kita menentukan jalan tengah antara dua ekstrim. Begitu pula, jikalau hanya kebetulan kita menentukan jalan tengah, kita belum mempunyai keutamaan. Buat Aristoteles, keutamaan gres merupakan keutamaan yang sungguh-sungguh, jikalau kita mempunyai perilaku yang tetap untuk menentukan jalan tengah tersebut.

Sepatah kata harus ditambah lagi mengenai maksud Aristoteles dengan jalan tengah itu. Menurut pendapat Aristoteles, jalan tengah tidak sanggup ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Dengan lain perkataan, jalan tengah harus dipandang subjektif, bukan objektif. Tidak mungkin mengukur pertengahan antara dua perilaku ekstrim dengan cara matematis. Juga faktor-faktor pribadi harus dipertimbangkan. Seorang yang ekonominya tipis barangkali sudah sanggup dianggap murah hati, jikalau ia mendermakan tidak lebih dari seribu rupiah kepada seorang pengemis, sedangkan orang kaya raya barangkali harus dianggap kikir, jikalau ia memberi santunan sebesar seribu rupiah. Demikian pula, perbuatan yang bersifat berani bagi seorang yang badannya lemah, barangkali tidak melebihi sifat pengecut kalau dilakukan oleh seorang yang besar lengan berkuasa betul. Akibatnya, jalan tengah tidak sanggup ditentukan pada umumnya, tetapi harus dicocokkan dengan orang masing-masing.

Justru lantaran jalan tengah bersifat subjektif, boleh ditanya lagi: bagaimanakah pertengahan sanggup ditetapkan? Apakah terdapat suatu norma atau kaidah untuk itu? Aristoteles menjawab bahwa rasio memutuskan pertengahan itu dan rasio harus melakukannya “sebagaimana seorang yang bijaksana dalam bidang mudah akan menentukan pertengahan itu”. Aristoteles memaksudkan bahwa hidup berdasarkan keutamaan tidak merupakan suatu dilema teoretis. Belum tentu seorang terpelajar bisa hidup berdasarkan keutamaan moral. Tetapi seorang yang bijaksana dalam bidang praksis moral akan bisa untuk menentukan pertengahan antara kekurangan dan kelebihan, dengan mempertimbangkan keadaan konkrit.

Dalam Ethica Nicomachea banyak keutamaan dibicarakan satu demi satu, biarpun Aristoteles niscaya tidak bermaksud memperlihatkan suatu daftar lengkap yang memuat semua keutamaan moral yang mungkin. Ia membahas keutamaan-keutamaan tradisional menyerupai pengendalian diri, kegagahan, dan keadilan, tetapi ia mempelajari juga keutamaan-keutamaan yang mengatur perilaku insan dalam bidang uang, penghormatan, dan pergaulan sosial. Buku VIII dan IX dengan panjang lebar menguraikan problem-problem mengenai persahabatan: “suatu keutamaan atau paling sedikit bekerjasama dekat dengan keutamaan, apalagi sangat perlu untuk kehidupan seorang manusia”.

b. Keutamaan intelektual
Menurut pendapat Aristoteles, rasio insan mempunyai dua fungsi. Di satu pihak rasio memungkinkan insan untuk mengenal kebenaran. Dalam arti ini rasio boleh disebut rasio teoretis. Dilain pihak rasio sanggup memperlihatkan petunjuk supaya orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu. Dalam arti ini rasio boleh dinamakan rasio praktis. Oleh karenanya, Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang menyempurnakan rasio: ada budi teoretis dan ada budi praktis.

1) Kebijaksanaan teoretis
Aristoteles sendiri menentukan kata Sophia untuk memperlihatkan budi teoretis atau kearifan. Sebagaimana halnya dengan tiap-tiap keutamaan, budi teoretis pun merupakan suatu perilaku tetap. Sekali-kali saja mengenal kebenaran belum boleh dianggap sebagai keutamaan. Sudah nyata bahwa hanya sedikit orang sanggup mempunyai budi teoretis, yaitu orang-orang terpelajar. Jalan yang menuju budi teoretis ini yaitu suatu jalan panjang yang mencakup seluruh pendidikan ilmiah.


2) Kebijaksanaan praktis
Aristoteles memakai kata phronesis untuk memperlihatkan budi praktis. Skolastik era pertengahan telah menerjemahkan istilah ini dengan kata Latin “prudential” (Bahasa Inggris: “prudence”). Kebijaksanaan mudah yaitu perilaku jiwa yang memungkinkan insan untuk menyampaikan yang mana dari barang-barang konkret boleh dianggap baik untuk hidupnya. Harus disimpulkan bahwa budi mudah ini tidak lepas dari keutamaan moral. Tiap-tiap orang yang hidup berdasarkan keutamaan, mesti mempunyai budi mudah juga. Jika, dalam analisisnya mengenai keutamaan moral, Aristoteles menekankan bahwa jalan tengah antara dua ekstrim harus ditentukan “sebagaimana seorang yang bijaksana dalam bidang mudah akan menentukan pertengahan itu”, maka ia memaksudkan bahwa budi mudah harus menentukan jalan tengah. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan budi praktis.

Kehidupan ideal
Dalam buku X dan terakhir dari Ethica Nicomachea Aristoteles kembali lagi pada unsur yang terpenting dalam kebahagiaan manusia, yaitu memandang kebenaran. Pendirian Aristoteles sebetulnya tidak berbeda besar dengan anggapan Plato*. Bagi Plato* tidak ada orang yang mempunyai cara hidup yang lebih luhur daripada seorang filsuf. Filsuflah yang mengenal kebenaran dengan memandang Ide-ide. Aristoteles menolak adanya Ide-ide, tetapi ia mengakui juga bahwa theoria (memandang kebenaran) yaitu acara insan yang tertinggi. Jadi, hidup yang senang ialah hidup sebagai filsuf. Karena rasio merupakan suatu unsur ilahi dalam diri manusia, harus dikatakan pula bahwa menjalankan acara rasio yaitu suatu hidup ilahi. Karenanya filsuf sedapat mungkin akan memelihara hidup ilahi itu dengan mengabaikan hal-hal yang manusiawi belaka. Dengan hidup demikian ia juga menjadi karib kepada dewa-dewa.


Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Psikologi
5. Aristoteles. Metafisika
6. Aristoteles. Logika
7. Aristoteles. Fisika

Belum ada Komentar untuk "Aristoteles. Etika"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel