Metode Untuk Ilmu-Ilmu Sosial
Terdapat usaha-usaha untuk membuka konteks yang lebih luas dari ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu sosial. Tiga perjuangan pendekatan yang hingga kini semakin banyak didiskusikan, di Eropa dan Amerika Serikat, ialah fenomenologi, hermeneutik, dan Teori Kritis. Ketiganya berusaha mengatasi positivisme dengan memberi tekanan pada pihak subjek yang menafsirkan objeknya.
Fenomenologi memperluas konteks ilmu pengetahuan dengan sebuah konsep yang sangat penting untuk menyelamatkan subjek pengetahuan, yaitu konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan). Edmund Husserl*, pendiri pendekatan ini, dalam bukunya yang termasyhur, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang sanggup menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akhir cara berpikir positivistis dan saintistis itu. katanya: “dunia-kehidupan ialah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan”.
Dunia-kehidupan ialah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan mudah kita, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, daerah berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh lantaran itu, semboyan Husserl* Zuruck zu de Sachen selbst (kembali kepada benda-benda itu sendiri) menyatakan suatu perjuangan fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.
Konsep dunia-kehidupan sanggup memperlihatkan ide yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, lantaran ilmu-ilmu ini untuk menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Itulah yang dilakukan oleh Alfred Schutz* dalam Der sinnhafte Aufbau der sozialen Welt, Eine Eeinleitung in die verstehende Soziologie (Rekonstruksi Makna Dunia Sosial; Suatu Pengantar ke dalam Sosiologi Pemahaman), suatu sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi.
Dengan bertolak dari definisi Max Weber* wacana tindakan, yaitu tingkah laris sejauh pelaku-pelakunya melihatnya sebagai sesuatu yang secara subjektif bermakna, Schutz* memutuskan sosiologi, yaitu ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan ‘interpretatif’. Penetapan semacam itu sudah kerap didiskusikan sebagai suatu Methodenstreit (perdebatan wacana metode) yang mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang dilakukan di Jerman. Yang populer di sini ialah distingsi yang dibentuk oleh para pemikir neo-Kantianisme, contohnya Windelband yang membedakan ilmu-ilmu alam sebagai ilmu-ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idiografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey* yang membedakan metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (Geisteswissenschaften) dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaften). Pembedaan yang lalu juga dianut Weber* ini oleh Schutz* dijelaskan lebih lanjut. Schutz* mengkritik Weber* yang memusatkan diri pada tindakan bermakna dari individu yang terisolasi yang menjadi objek pengamatan sosiologi interpretatif itu. Menurut Schutz*, makna suatu tindakan yang secara subjektif bermakna itu mempunyai asal undangan sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan bersama atau ‘dunia-kehidupan sosial’. Dengan demikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia-kehidupan sosial itu bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah, bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis berdasarkan struktur yang ditetapkan oleh masyarakat.
Juga, menyerupai dalam fenomenologi sosial, dalam hermeneutik peranan subjek yang menafsirkan sangat jelas. Dunia-kehidupan sosial bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dan masyarakat, melainkan juga merupakan objek penafsiran yang muncul lantaran penghayatan itu. Dengan demikian dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial, hermeneutik merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Seperti telah ditegaskan oleh Dilthey*, pemikir yang menerapkan hermeneutik sebagai metode ilmu-ilmu sosial, dunia-kehidupan sosial itu didekati dengan Verstehen (memahami), yaitu dengan menafsirkan makna-makna tindakan sosial, dan bukan dengan Erklaren (menjelaskan berdasarkan sebab-akibat). Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan perjuangan untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial. Apa yang dalam fenomenologi disebut ‘kesadaran yang mengkonstitusi (membentuk) kenyataan’ dan yang lalu dalam hermeneutik ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri, penafsiran, memperlihatkan peranan subjek dalam acara pengetahuan.
Pendekatan ketiga yang berusaha mengatasi positivisme ialah Teori Kritis Mazhab Frankfurt* dan Jurge Habermas*. Teori Kritis ini, dalam tradisinya, lahir dari perjuangan mengatasi determinisme hemat Marxisme ortodoks yang tak lain dari pemahaman positivistis atas proses-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat berlangsung berdasarkan keniscayaan hukum-hukum alam. Formula mereka: basis (ekonomi) masyarakat memilih superstruktur (kebudayaan, ekonomi, agama, politik, dan seterusnya), maka perubahan pada basis pasti mengubah superstruktur. Teori Kritis berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) untuk mengubah struktur-struktur objektif, maka analisis mereka dipusatkan pada fenomena superstruktur, khususnya rasionalitas. Ketika Mazhab Frankfurt* menghadapi jalan buntu, tampillah Jurgen Habermas* yang secara tajam memperlihatkan bahwa teori Marxis, termasuk Mazhab Frankfurt, dan semua teori sosial positivistis dibangun atas dasar ‘paradigma kerja’ sehingga memperlakukan masyarakat sebagai objek ‘alamiah’. Perspektif gres yang dikembangkannya ialah paradigma komunikasi bagi ilmu-ilmu sosial. Hubungan hermeneutik dan Teori Kritis terdapat pada paradigma komunikasi ini: sejauh praksis komunikasi dimaksudkan untuk mencapai pemahaman timbal balik, hermeneutik memainkan peranannya yang penting.
Fenomenologi, hermeneutik, dan Teori Kritis bagaimanapun juga saling berkaitan dalam perjuangan pada taraf epistemologis dan metodologis untuk membuka konteks yang lebih luas dari ilmu-ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial. Konsep dunia kehidupan (Lebenswelt), pemahaman (Verstehen), dan tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln) merupakan usaha-usaha untuk mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan memperlihatkan pendasaran metodologis ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari ilmu-ilmu alam.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Biografi, Pemikiran, dan Karya Tokoh Terkait
1. Mazhab Frankfurt
2. Jurgen Habermas
3. Wilhelm Dilthey
4. Max Weber
5. Alfred Schutz
6. Edmund Husserl
Fenomenologi memperluas konteks ilmu pengetahuan dengan sebuah konsep yang sangat penting untuk menyelamatkan subjek pengetahuan, yaitu konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan). Edmund Husserl*, pendiri pendekatan ini, dalam bukunya yang termasyhur, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang sanggup menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akhir cara berpikir positivistis dan saintistis itu. katanya: “dunia-kehidupan ialah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan”.
Dunia-kehidupan ialah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan mudah kita, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, daerah berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh lantaran itu, semboyan Husserl* Zuruck zu de Sachen selbst (kembali kepada benda-benda itu sendiri) menyatakan suatu perjuangan fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.
Konsep dunia-kehidupan sanggup memperlihatkan ide yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, lantaran ilmu-ilmu ini untuk menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Itulah yang dilakukan oleh Alfred Schutz* dalam Der sinnhafte Aufbau der sozialen Welt, Eine Eeinleitung in die verstehende Soziologie (Rekonstruksi Makna Dunia Sosial; Suatu Pengantar ke dalam Sosiologi Pemahaman), suatu sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi.
Juga, menyerupai dalam fenomenologi sosial, dalam hermeneutik peranan subjek yang menafsirkan sangat jelas. Dunia-kehidupan sosial bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dan masyarakat, melainkan juga merupakan objek penafsiran yang muncul lantaran penghayatan itu. Dengan demikian dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial, hermeneutik merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Seperti telah ditegaskan oleh Dilthey*, pemikir yang menerapkan hermeneutik sebagai metode ilmu-ilmu sosial, dunia-kehidupan sosial itu didekati dengan Verstehen (memahami), yaitu dengan menafsirkan makna-makna tindakan sosial, dan bukan dengan Erklaren (menjelaskan berdasarkan sebab-akibat). Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan perjuangan untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial. Apa yang dalam fenomenologi disebut ‘kesadaran yang mengkonstitusi (membentuk) kenyataan’ dan yang lalu dalam hermeneutik ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri, penafsiran, memperlihatkan peranan subjek dalam acara pengetahuan.
Pendekatan ketiga yang berusaha mengatasi positivisme ialah Teori Kritis Mazhab Frankfurt* dan Jurge Habermas*. Teori Kritis ini, dalam tradisinya, lahir dari perjuangan mengatasi determinisme hemat Marxisme ortodoks yang tak lain dari pemahaman positivistis atas proses-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat berlangsung berdasarkan keniscayaan hukum-hukum alam. Formula mereka: basis (ekonomi) masyarakat memilih superstruktur (kebudayaan, ekonomi, agama, politik, dan seterusnya), maka perubahan pada basis pasti mengubah superstruktur. Teori Kritis berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) untuk mengubah struktur-struktur objektif, maka analisis mereka dipusatkan pada fenomena superstruktur, khususnya rasionalitas. Ketika Mazhab Frankfurt* menghadapi jalan buntu, tampillah Jurgen Habermas* yang secara tajam memperlihatkan bahwa teori Marxis, termasuk Mazhab Frankfurt, dan semua teori sosial positivistis dibangun atas dasar ‘paradigma kerja’ sehingga memperlakukan masyarakat sebagai objek ‘alamiah’. Perspektif gres yang dikembangkannya ialah paradigma komunikasi bagi ilmu-ilmu sosial. Hubungan hermeneutik dan Teori Kritis terdapat pada paradigma komunikasi ini: sejauh praksis komunikasi dimaksudkan untuk mencapai pemahaman timbal balik, hermeneutik memainkan peranannya yang penting.
Fenomenologi, hermeneutik, dan Teori Kritis bagaimanapun juga saling berkaitan dalam perjuangan pada taraf epistemologis dan metodologis untuk membuka konteks yang lebih luas dari ilmu-ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial. Konsep dunia kehidupan (Lebenswelt), pemahaman (Verstehen), dan tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln) merupakan usaha-usaha untuk mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan memperlihatkan pendasaran metodologis ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari ilmu-ilmu alam.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Biografi, Pemikiran, dan Karya Tokoh Terkait
1. Mazhab Frankfurt
2. Jurgen Habermas
3. Wilhelm Dilthey
4. Max Weber
5. Alfred Schutz
6. Edmund Husserl
Belum ada Komentar untuk "Metode Untuk Ilmu-Ilmu Sosial"
Posting Komentar