“Methodenstreit” Dalam Ilmu-Ilmu Sosial Di Jerman
Bagaimanapun juga, penerapan metode ilmu-ilmu alam pada kenyataan sosial mengandung masalah. Secara filosofis sanggup dikatakan bahwa kenyataan sosial terdiri dari tindakan insan yang tidak sanggup ditempatkan dalam bingkai “hukum-hukum tetap” ibarat pada fakta alam. Oleh lantaran itu, sudah semenjak masa berkembangnya kesadaran positivistik, beberapa pemikir Jerman mulai berusaha membebaskan metodologi ilmu-ilmu sosial dari metodologi ilmu-ilmu alam dengan memberi pendasaran metodologis yang gres pada ilmu-ilmu sosial. Usaha semacam itu berlangsung dalam gejolak perdebatan yang cukup panas sehingga sanggup disebut Methodenstreit (perdebatan perihal metode).
Pada tahap awal, Methodenstreit itu terjadi dalam disiplin ekonomi antara tahun 1870-an dan 1880-an. Pemikir yang tampil dalam perdebatan itu ialah Schmoller dan C. Menger. Keduanya memperdebatkan problem apakah ekonomi harus bekerja berdasarkan metode “eksakta” atau metode “historis”, metode “deduktif”, atau “induktif”, dan metode “abstrak” atau “empiris”. Pada waktu itu Menger menciptakan distingsi atas dua macam pemahaman dalam ekonomi. Ia membedakan pemahaman historis dari pemahaman teoretis.
Pemahaman historis diperoleh kalau kita meneliti tanda-tanda proses perkembangan yang bersifat individual dan konkret, sedangkan pemahaman teoretis didapat kalau kita mengenali suatu tanda-tanda sebagai suatu keteraturan atau suatu seri tanda-tanda yang teratur. Atas dasar ini, Menger membedakan ekonomi historis yang menyoroti gejala-gejala individual dari ekonomi teoretis yang menyoroti tipe, kekerabatan khas dan pengetahuan yang bersifat umum. Schmoller menolak pembedaan yang diadakan oleh lawannya itu.
Pada tamat era kemudian dan awal era ini terjadi lagi suatu Methodenstreit. Kali ini terjadi di kalangan para penganut Neo-Kantianisme dari anutan Barat-daya atau Mazhab Baden, yang meminati ilmu-ilmu budaya. Tokoh yang tampil ialah Windelband dan Rickert. Windelband membedakan nomothetic science dari ideographic science. Ilmu-ilmu alam memeriksa tanda-tanda pengalaman yang sanggup diulangi terus-menerus sehingga dihasilkan hukum, maka disebut ilmu-ilmu nomotetis, sedangkan ilmu-ilmu budaya meneliti kejadian individual dan unik yang sekali terjadi, maka disebut ilmu-ilmu ideografis. Pembedaan yang dilakukan Windelband ini tidak menyangkut objek penelitian dan juga bukan semacam demarkasi ontologis dari dua bidang kenyataan ilmiah, melainkan menyangkut tipologi metode ilmu pengetahuan. Kedua metode ilmiah itu tak sanggup direduksi satu sama lain. Pembedaan yang dilakukan Windelband itu diperdalam oleh Dilthey* yang membedakan Geisteswissenschaften dari Naturwissenschaften. Pada prinsipnya, Rickert menyetujui distingsi itu tetapi ia juga menciptakan koreksi untuk menghindarkan pemasukan ilmu-ilmu budaya ke dalam psikologi. Baginya, faktor pembeda kedua macam ilmu itu terletak pada Wertbeziehung (relevansi nilai) dari keduanya. Ilmu-ilmu budaya menghasilkan nilai sedangkan ilmu-ilmu alam menghasilkan aturan sehingga tidak mempunyai relevansi nilai.
Suatu Methodenstreit lebih lanjut terjadi pada tahun 1909 dan 1914 dalam pertemuan Verein fur Sozialpolitik. Perdebatan itu berkisar pada problem syarat-syarat kemungkinan suatu ilmu ekonomi dan ilmu sosial yang bersifat normatif, sehingga perdebatan itu disebut Werturteilsstreit (perdebatan mengenai nilai). Yang berperan serta dalam perbantahan ini ialah Sombart dan lawannya, yaitu Knapp dan Max Weber*. Sombart mendukung klaim kebebasan nilai (Wertfreiheit) ilmu-ilmu sosial, sedangkan Knapp menolak pandangan itu dengan menyatakan bahwa para pakar ilmu-ilmu sosial yang tergabung dalam Verein mau tak mau terlibat dalam politik sehingga tidak sanggup menghasilkan kebebasan nilai macam itu. Max Weber* mendukung prinsip kebebasan nilai itu tetapi juga tidak menyangkal adanya relevansi nilai dari semua penelitian ilmiah. Dalam perbantahan itu Weber juga mempersoalkan apakah ilmu-ilmu sosial sanggup memberi Erklaren (penjelasan) dengan mencari korelasi sebab-akibat ataukah seharusnya memberi penafsiran atau Verstehen. Dalam hal ini, ia tidak menempatkan Verstehen secara khusus pada ilmu-ilmu budaya. Baginya, Erklaren dan Verstehen saling melengkapi dalam menghasilkan keterangan yang bersifat nomologis dari ilmu-ilmu sosial, dan khususnya Verstehen menjadi titik-kait antara keterangan nomologis itu dengan penafsiran yang bersifat menilai. Perdebatan semacam ini sehabis Perang Dunia I diperdalam oleh Karl Manheim* yang dengan bukunya, Ideologie und Utopia, menghasilkan sosiologi pengetahuan*.
Perdebatan mengenai kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial tidak menerima penyelesaiannya sehingga dianut pluralisme nilai, termasuk “kebebasan nilai” itu sendiri. Sampai di sini, ilmu-ilmu sosial masih berada dalam wilayah kesadaran positivistik tanpa pernah berhasil beranjak dari sana. Persoalan mendasar, yakni keterpisahan teori dari praxis hidup sosial manusia, tidak juga diatasi. Pada tahap perkembangan inilah Mazhab Frankfurt* (Die Frankfurter Schule), ikut berbicara dalam suatu Methodenstreit yang di kalangan publik akademis Jerman dikenal dengan istilah Positivismusstreit (perdebatan perihal positivisme). Aliran ini menyuarakan pendapatnya dari jalur pemikiran Marxis.
Pemikiran Mazhab Frankfurt* yang dikenal dengan nama Teori Kritik Masyarakat (Kritische Theorie der Gesellschaft) atau “Teori Kritis” sanggup dipahami pula dalam terang perdebatan ini. Rangkaian perdebatan itu terjadi antara tahun 1961-1965 pada suatu kongres yang diadakan di Tubingen oleh Deutsche Gesellschaft fur Soziologie. Pada pertemuan itu, Sir Karl Raimund Popper* diundang untuk membuka diskusi mengenai logika ilmu-ilmu sosial yang dituangkannya dalam 27 tesis. Makalah pengantar ini “ditanggapi” oleh seorang tokoh Mazhab Frankfurt, Theodor W. Adorno*. Dan sudah semenjak semula menjadi terperinci bahwa pendapat keduanya saling bertentangan.
Jurgen Habermas* tampil dalam perdebatan lanjutan, memihak Adorno*, dan menghadapi Hans Albert yang berada di pihak Popper*. Dalam perdebatan itu, pendapat pihak Popper dianggap berada pada jalur pemikiran positivisme logis. Padahal, positivisme logis sangat dikecam sebagai saintisme oleh para tokoh Mazhab Frankfurt.
Kritis pedas terhadap anutan itu telah muncul dalam artikel yang ditulis Horkheimer*, Traditionele und kritische Theorie. Popper*, dengan pendiriannya yang disebut Rasionalisme Kritis, menolak tuduhan bahwa ia mendukung positivisme logis dan saintisme. Sudah semenjak awal ia menolak anggapan Lingkungan Wina mengenai the principle of veriability dan menggantinya dengan the principle of falsiability. Meski demikian, Popper* dan Albert tetap mempertahankan pendapat bahwa teori sama dengan logika sehingga teori sanggup dipisahkan dari praxis. Ilmu-ilmu sosial, dengan memakai metode yang sama dengan metodologi ilmu-ilmu alam, sanggup bersifat sama sekali netral. Penerapan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial ini merupakan cara positivisme pada umumnya dalam memahami ilmu-ilmu sosial, maka pendirian Popper* dan Albert gotong royong tercakup dalam positivisme pada umumnya. Pendirian yang intinya menganut prinsip kebebasan nilai dan netralitas itulah yang dengan tegas dibantah Mazhab Frankfurt dan Habermas*.
Meski kedua kubu tidak berhasil mencapai titik temu, melalui positivismesstreit ini pandangan Mazhab Frankfurt* mulai dikenal lebih luas dalam publik akademis Jerman. Apa yang mereka tawarkan ialah suatu pendasaran epistemologis dan metodologis bagi ilmu-ilmu perihal masyarakat sebagai lawan dari pemahaman positivistik atas ilmu-ilmu tersebut, sebagaimana lazim hingga ketika itu.
Download
Baca Juga
1. Max Weber, Biografi, Pemikiran, dan Karya
2. Karl Raimund Popper, Biografi, Pemikiran, dan Karya
3. Mazhab Frankfurt
4. Max Horkheimer, Biografi, Pemikiran, dan Karya
5. Theodor W. Adorno, Biografi, Pemikiran, dan Karya
6. Jurgen Habermas, Biografi, Pemikiran, dan Karya
7. Wilhelm Dilthey, Biografi, Pemikiran, dan Karya
8. Karl Mannheim, Sosiologi Pengetahuan
Sumber
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Kanisius. Yogyakarta
Pada tahap awal, Methodenstreit itu terjadi dalam disiplin ekonomi antara tahun 1870-an dan 1880-an. Pemikir yang tampil dalam perdebatan itu ialah Schmoller dan C. Menger. Keduanya memperdebatkan problem apakah ekonomi harus bekerja berdasarkan metode “eksakta” atau metode “historis”, metode “deduktif”, atau “induktif”, dan metode “abstrak” atau “empiris”. Pada waktu itu Menger menciptakan distingsi atas dua macam pemahaman dalam ekonomi. Ia membedakan pemahaman historis dari pemahaman teoretis.
Pada tamat era kemudian dan awal era ini terjadi lagi suatu Methodenstreit. Kali ini terjadi di kalangan para penganut Neo-Kantianisme dari anutan Barat-daya atau Mazhab Baden, yang meminati ilmu-ilmu budaya. Tokoh yang tampil ialah Windelband dan Rickert. Windelband membedakan nomothetic science dari ideographic science. Ilmu-ilmu alam memeriksa tanda-tanda pengalaman yang sanggup diulangi terus-menerus sehingga dihasilkan hukum, maka disebut ilmu-ilmu nomotetis, sedangkan ilmu-ilmu budaya meneliti kejadian individual dan unik yang sekali terjadi, maka disebut ilmu-ilmu ideografis. Pembedaan yang dilakukan Windelband ini tidak menyangkut objek penelitian dan juga bukan semacam demarkasi ontologis dari dua bidang kenyataan ilmiah, melainkan menyangkut tipologi metode ilmu pengetahuan. Kedua metode ilmiah itu tak sanggup direduksi satu sama lain. Pembedaan yang dilakukan Windelband itu diperdalam oleh Dilthey* yang membedakan Geisteswissenschaften dari Naturwissenschaften. Pada prinsipnya, Rickert menyetujui distingsi itu tetapi ia juga menciptakan koreksi untuk menghindarkan pemasukan ilmu-ilmu budaya ke dalam psikologi. Baginya, faktor pembeda kedua macam ilmu itu terletak pada Wertbeziehung (relevansi nilai) dari keduanya. Ilmu-ilmu budaya menghasilkan nilai sedangkan ilmu-ilmu alam menghasilkan aturan sehingga tidak mempunyai relevansi nilai.
Suatu Methodenstreit lebih lanjut terjadi pada tahun 1909 dan 1914 dalam pertemuan Verein fur Sozialpolitik. Perdebatan itu berkisar pada problem syarat-syarat kemungkinan suatu ilmu ekonomi dan ilmu sosial yang bersifat normatif, sehingga perdebatan itu disebut Werturteilsstreit (perdebatan mengenai nilai). Yang berperan serta dalam perbantahan ini ialah Sombart dan lawannya, yaitu Knapp dan Max Weber*. Sombart mendukung klaim kebebasan nilai (Wertfreiheit) ilmu-ilmu sosial, sedangkan Knapp menolak pandangan itu dengan menyatakan bahwa para pakar ilmu-ilmu sosial yang tergabung dalam Verein mau tak mau terlibat dalam politik sehingga tidak sanggup menghasilkan kebebasan nilai macam itu. Max Weber* mendukung prinsip kebebasan nilai itu tetapi juga tidak menyangkal adanya relevansi nilai dari semua penelitian ilmiah. Dalam perbantahan itu Weber juga mempersoalkan apakah ilmu-ilmu sosial sanggup memberi Erklaren (penjelasan) dengan mencari korelasi sebab-akibat ataukah seharusnya memberi penafsiran atau Verstehen. Dalam hal ini, ia tidak menempatkan Verstehen secara khusus pada ilmu-ilmu budaya. Baginya, Erklaren dan Verstehen saling melengkapi dalam menghasilkan keterangan yang bersifat nomologis dari ilmu-ilmu sosial, dan khususnya Verstehen menjadi titik-kait antara keterangan nomologis itu dengan penafsiran yang bersifat menilai. Perdebatan semacam ini sehabis Perang Dunia I diperdalam oleh Karl Manheim* yang dengan bukunya, Ideologie und Utopia, menghasilkan sosiologi pengetahuan*.
Perdebatan mengenai kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial tidak menerima penyelesaiannya sehingga dianut pluralisme nilai, termasuk “kebebasan nilai” itu sendiri. Sampai di sini, ilmu-ilmu sosial masih berada dalam wilayah kesadaran positivistik tanpa pernah berhasil beranjak dari sana. Persoalan mendasar, yakni keterpisahan teori dari praxis hidup sosial manusia, tidak juga diatasi. Pada tahap perkembangan inilah Mazhab Frankfurt* (Die Frankfurter Schule), ikut berbicara dalam suatu Methodenstreit yang di kalangan publik akademis Jerman dikenal dengan istilah Positivismusstreit (perdebatan perihal positivisme). Aliran ini menyuarakan pendapatnya dari jalur pemikiran Marxis.
Pemikiran Mazhab Frankfurt* yang dikenal dengan nama Teori Kritik Masyarakat (Kritische Theorie der Gesellschaft) atau “Teori Kritis” sanggup dipahami pula dalam terang perdebatan ini. Rangkaian perdebatan itu terjadi antara tahun 1961-1965 pada suatu kongres yang diadakan di Tubingen oleh Deutsche Gesellschaft fur Soziologie. Pada pertemuan itu, Sir Karl Raimund Popper* diundang untuk membuka diskusi mengenai logika ilmu-ilmu sosial yang dituangkannya dalam 27 tesis. Makalah pengantar ini “ditanggapi” oleh seorang tokoh Mazhab Frankfurt, Theodor W. Adorno*. Dan sudah semenjak semula menjadi terperinci bahwa pendapat keduanya saling bertentangan.
Jurgen Habermas* tampil dalam perdebatan lanjutan, memihak Adorno*, dan menghadapi Hans Albert yang berada di pihak Popper*. Dalam perdebatan itu, pendapat pihak Popper dianggap berada pada jalur pemikiran positivisme logis. Padahal, positivisme logis sangat dikecam sebagai saintisme oleh para tokoh Mazhab Frankfurt.
Meski kedua kubu tidak berhasil mencapai titik temu, melalui positivismesstreit ini pandangan Mazhab Frankfurt* mulai dikenal lebih luas dalam publik akademis Jerman. Apa yang mereka tawarkan ialah suatu pendasaran epistemologis dan metodologis bagi ilmu-ilmu perihal masyarakat sebagai lawan dari pemahaman positivistik atas ilmu-ilmu tersebut, sebagaimana lazim hingga ketika itu.
Download
Baca Juga
1. Max Weber, Biografi, Pemikiran, dan Karya
2. Karl Raimund Popper, Biografi, Pemikiran, dan Karya
3. Mazhab Frankfurt
4. Max Horkheimer, Biografi, Pemikiran, dan Karya
5. Theodor W. Adorno, Biografi, Pemikiran, dan Karya
6. Jurgen Habermas, Biografi, Pemikiran, dan Karya
7. Wilhelm Dilthey, Biografi, Pemikiran, dan Karya
8. Karl Mannheim, Sosiologi Pengetahuan
Sumber
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Kanisius. Yogyakarta
Belum ada Komentar untuk "“Methodenstreit” Dalam Ilmu-Ilmu Sosial Di Jerman"
Posting Komentar