Derrida Dan Dekonstruksi
Problematik “teks” dan “bahasa” tidak sanggup dianggap sepi oleh ilmu-ilmu sosial, alasannya semenjak strukturalisme Saussure* dan Levi-Strauss*, linguistik (ilmu bahasa) dipandang sebagai kunci bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial, menyerupai juga matematika bagi ilmu-ilmu alam. Realitas (sosial) ialah “teks” atau “bahasa”, dan bahasa selalu mempunyai dua sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan/sisi direktur bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda/tata bahasa), dan sebagai “tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifer) dan “petanda” (signified). Sejak strukturalisme, sudah muncul pendapat bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter. Tidak ada alasan, mengapa suatu benda kita sebut “kursi” dan bukan “kue”. Tanda itu ditetapkan begitu saja entah mengapa. Suatu tanda menerima maknanya lantaran perbedaannya dengan gejala lain, contohnya kata “pohon” menerima maknanya lantaran berbeda dari “batu”, “sungai”, “semak”, dan seterusnya. Kalau demikian, menyerupai juga korelasi antara penanda dan petanda bersifat arbiter, korelasi antarkata, antarkalimat, dan seterusnya dalam sistem bahasa juga arbiter. Dan jikalau realitas ialah “teks”, totalitas suatu realitas (entah itu masyarakat, kebudayaan, bahasa, dst) ialah struktur relasi-relasi antarkomponen yang berbeda-beda. Singkatnya, suatu structure of difference. Satu langkah lagi sanggup disimpulkan, bahwa “pikiran” atau Logos tidak pernah berkorespondensi dengan kenyataan, sebagaimana diyakini oleh kaum modernis. Itu berarti setiap klaim kebenaran sanggup disangsikan secara mendasar.
Langkah itu diambil oleh Derrida*, yang meradikalkan tiga konsep strukturalis di atas, yaitu ciri arbiter dari tanda, konsep perbedaan, dan ciri relasional dari totalitas. Derrida* termasyhur dengan penolakannya atas apa yang disebutnya “Metafisika Kehadiran”. Seluruh tradisi pedoman Barat, yang dalam narasi kita berupa pertarungan Mitos dan Logos, ialah sebuah Metafisika Kehadiran, menyerupai pernyataan berikut ini.
“... anggapan mengenai ada sebagai kehadiran dalam segala kepenuhan arti dari kata ini.
Mungkinlah menawarkan bahwa segala istilah yang berkaitan dengan dasar-dasar, asas-asas, atau sentra senantiasa melukiskan suatu kehadiran yang tetap—eidos, arche, telos, energia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran dan bunyi hati, Allah, manusia, dan seterusnya.”
Kalau demikian, Derrida* bukan hanya meninggalkan modernitas dengan pertarungan klasik itu, melainkan juga berusaha membunuh kedua satria narasi kita, Mitos dan Logos, dengan menghampakan jati diri keduanya.
Ada dua inspirasi penting Derrida* yang sangat berpengaruh, yaitu radikalisasi konsep difference menjadi differance—neologi ciptaannya sendiri dan prioritas goresan pena (ecriture) atas percakapan. Konsep differance tidak hanya memilih makna, namun juga kenyataan. Differance berarti baik “to differ” (membedakan/spasial) maupun “to defer” (menunda/temporal). Jadi, pemaknaan suatu kenyataan berlangsung dengan “membedakan” sekaligus “menunda” makna yang diperolehnya. Itu berarti bahwa kita tak pernah sanggup mengidentifikasi makna kenyataan. Pengartian, dan juga pengertian, bukanlah korespondensi (kesesuaian) dengan objek. Lalu, bagaimana munculnya pengetahuan sanggup dijelaskan? Menurut Derrida*, kita hanya menangkap atau mengenali “jejak” atau “bekas” (trace) dari proses differance itu, menyerupai jejak-jejak ingatan pada otak, bunyi yang melenyap setelah diucapkan. Implikasi pandangan ini bagi ilmu-ilmu sosial dan filsafat cukup jelas; keduanya hanya menangkap trace, maka klaim-klaimnya tak pernah berkorespondensi dengan objeknya. Dengan kata lain, Kebenaran tak pernah dicapai.
Pendirian itu lebih terperinci lagi dalam prioritas goresan pena atas percakapan. Dalam Grammatology, Derrida* beropini bahwa Metafisika Kehadiran sudah menempel pada bahasa percakapan, alasannya dalam percakapan si penutur, tanda, dan makna (acuan tanda) hadir sekaligus. Dalam percakapan, bahasa “dipersoalkan” dengan kesadaran penuturnya, padahal menurutnya bahasa itu anonim. Bahasa primordial bersama-sama bukan percakapan, sebagaimana diyakini banyak filsuf, melainkan bahasa goresan pena atau archiecriture (tulisan-purba). Tidak menyerupai dalam percakapan, dalam goresan pena tidak ada kaitan antara tanda, pola makna, dan kesadaran penulis. Dengan pendirian ini, ia bersama-sama mau meradikalkan sifat arbiter dari tanda. Oleh alasannya itu, kalau kenyataan dipandang sebagai “teks”, teks itu sanggup ditafsirkan dalam relasinya dengan teks-teks lain (intertekstualitas) hingga tak terhingga, dan tidak ada alasan untuk merujuk pada suatu “teks asli” (yang ditulis oleh Allah?) alasannya teks itu dianggap sudah hilang (lost teks). Dengan kata lain, setiap upaya untuk merekonstruksi sebuah teks “asli” harus dibongkar dan direlatifkan terhadap teks-teks lain, yaitu didekonstruksi. Implikasi epistemologis dekonstruksi dan intertekstualitas kiranya sudah jela, yaitu pengaburan demarkasi Mitos dan Logos, fiksi dan pengetahuan, prasangka dan objektivitas, sastra dan sains, dan seterusnya, alasannya yang satu tidak lebih benar dari yang lain, dan klaim kebenaran salah satunya hanyalah absolutisasi suatu trace. Karena itu, dengan visi yang sama, Lyotard* juga menyebut filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern sebagai Grandnarrative (cerita agung) yang tidak lebih baik atau lebih jelek dari mitos.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Jacques Derrida. Biografi dan Karya
2. Jacques Derrida. Pemikiran Filosofis
3. Aliran Filsafat. Dekonstruksi
Langkah itu diambil oleh Derrida*, yang meradikalkan tiga konsep strukturalis di atas, yaitu ciri arbiter dari tanda, konsep perbedaan, dan ciri relasional dari totalitas. Derrida* termasyhur dengan penolakannya atas apa yang disebutnya “Metafisika Kehadiran”. Seluruh tradisi pedoman Barat, yang dalam narasi kita berupa pertarungan Mitos dan Logos, ialah sebuah Metafisika Kehadiran, menyerupai pernyataan berikut ini.
“... anggapan mengenai ada sebagai kehadiran dalam segala kepenuhan arti dari kata ini.
Kalau demikian, Derrida* bukan hanya meninggalkan modernitas dengan pertarungan klasik itu, melainkan juga berusaha membunuh kedua satria narasi kita, Mitos dan Logos, dengan menghampakan jati diri keduanya.
Ada dua inspirasi penting Derrida* yang sangat berpengaruh, yaitu radikalisasi konsep difference menjadi differance—neologi ciptaannya sendiri dan prioritas goresan pena (ecriture) atas percakapan. Konsep differance tidak hanya memilih makna, namun juga kenyataan. Differance berarti baik “to differ” (membedakan/spasial) maupun “to defer” (menunda/temporal). Jadi, pemaknaan suatu kenyataan berlangsung dengan “membedakan” sekaligus “menunda” makna yang diperolehnya. Itu berarti bahwa kita tak pernah sanggup mengidentifikasi makna kenyataan. Pengartian, dan juga pengertian, bukanlah korespondensi (kesesuaian) dengan objek. Lalu, bagaimana munculnya pengetahuan sanggup dijelaskan? Menurut Derrida*, kita hanya menangkap atau mengenali “jejak” atau “bekas” (trace) dari proses differance itu, menyerupai jejak-jejak ingatan pada otak, bunyi yang melenyap setelah diucapkan. Implikasi pandangan ini bagi ilmu-ilmu sosial dan filsafat cukup jelas; keduanya hanya menangkap trace, maka klaim-klaimnya tak pernah berkorespondensi dengan objeknya. Dengan kata lain, Kebenaran tak pernah dicapai.
Pendirian itu lebih terperinci lagi dalam prioritas goresan pena atas percakapan. Dalam Grammatology, Derrida* beropini bahwa Metafisika Kehadiran sudah menempel pada bahasa percakapan, alasannya dalam percakapan si penutur, tanda, dan makna (acuan tanda) hadir sekaligus. Dalam percakapan, bahasa “dipersoalkan” dengan kesadaran penuturnya, padahal menurutnya bahasa itu anonim. Bahasa primordial bersama-sama bukan percakapan, sebagaimana diyakini banyak filsuf, melainkan bahasa goresan pena atau archiecriture (tulisan-purba). Tidak menyerupai dalam percakapan, dalam goresan pena tidak ada kaitan antara tanda, pola makna, dan kesadaran penulis. Dengan pendirian ini, ia bersama-sama mau meradikalkan sifat arbiter dari tanda. Oleh alasannya itu, kalau kenyataan dipandang sebagai “teks”, teks itu sanggup ditafsirkan dalam relasinya dengan teks-teks lain (intertekstualitas) hingga tak terhingga, dan tidak ada alasan untuk merujuk pada suatu “teks asli” (yang ditulis oleh Allah?) alasannya teks itu dianggap sudah hilang (lost teks). Dengan kata lain, setiap upaya untuk merekonstruksi sebuah teks “asli” harus dibongkar dan direlatifkan terhadap teks-teks lain, yaitu didekonstruksi. Implikasi epistemologis dekonstruksi dan intertekstualitas kiranya sudah jela, yaitu pengaburan demarkasi Mitos dan Logos, fiksi dan pengetahuan, prasangka dan objektivitas, sastra dan sains, dan seterusnya, alasannya yang satu tidak lebih benar dari yang lain, dan klaim kebenaran salah satunya hanyalah absolutisasi suatu trace. Karena itu, dengan visi yang sama, Lyotard* juga menyebut filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern sebagai Grandnarrative (cerita agung) yang tidak lebih baik atau lebih jelek dari mitos.
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Jacques Derrida. Biografi dan Karya
2. Jacques Derrida. Pemikiran Filosofis
3. Aliran Filsafat. Dekonstruksi
Belum ada Komentar untuk "Derrida Dan Dekonstruksi"
Posting Komentar