Aliran Filsafat. Strukturalisme
Strukturalisme yakni suatu metode analisis yang banyak dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis metode linguistik Saussure*. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai ‘bahasa’—seperti yang dilakukan Levi-Strauss* dan mitos, keteraturan korelasi dan totemisme, Lacan* dan alam bawah sadar; serta Barthes* dan Greimas dengan ‘grammar’ dan narasi. Mereka melaksanakan pencarian untuk suatu “struktur yang tersembunyi” yang terletak di bawah ‘permukaan yang tampak’ dari suatu fenomena. Social semiotics kontemporer telah bergeser di bawah konsentrasi para strukturalis yang menemukan korelasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung di dalam suatu sistem. Melakukan eksplorasi penggunaan gejala dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxis yang diwarnai oleh hukum ideologi.
Strukturalisme yakni teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi insan ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai budi independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud*, strukturnya yakni psyche; bagi Marx*, strukturnya yakni ekonomi; dan bagi Saussure*, strukturnya yakni bahasa. Kesemuanya mendahului subjek insan individual atau human agent dan memilih apa yang akan dilakukan insan pada semua keadaan.
Strukturalisme terutama berkembang semenjak Claude Levy-Strauss*. Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Levi-Strauss* perihal pemikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam ‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para hero yang disakralkan, atau ilahi yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi hingga pada taraf semata sebagai ‘mainan anak-anak’ serta menolak adanya korelasi apa pun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Levi-Strauss* terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana insan mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laris struktur mitos yang tidak disadari ini membawa Levi-Strauss* pada analisis fonemik, di mana banyak sekali fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar: Di satu sisi sepertinya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada budi di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apa pun bisa disematkan pada subjek apa saja; setiap korelasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dimungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari banyak sekali wilayah yang amat luas... jikalau muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita sanggup menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa.
Mitos, berdasarkan Levi-Strauss*, mempunyai korelasi nyata dengan bahasa lantaran ia merupakan satu bentuk pengucapan insan sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun, tentu saja analogi menyerupai ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa, lantaran itu harus ditunjukkan perbedaannya melalui konsep Saussure* mengenai langue dan parole, struktur dan insiden individual. Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memperlihatkan bantuan pada struktur dasar langue-nya.
Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai suatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode klarifikasi perihal kekinian dengan apa yang terjadi di masa kemudian dan sekaligus masa depan. Maka setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentransendensikan keduanya sebagai klarifikasi trans-historis dan transkultural atas dunia.
Tidak menyerupai puisi, mitos tidak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.
Berdasarkan anggapan ini, Levi-Strauss* memformulasikan dua proporsisi dasar dalam hubungannya dengan mitos: makna dari mitologi tidak sanggup muncul dalam elemen-elemennya yang terisolasi, tetapi harus menempel dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya tugas potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi menyerupai ini. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.
Apa yang ingin dicoba ditangkap Levi-Strauss* di sini adalah sense tentang adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik, antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekedar kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan versinya, dan ia menyampaikan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua sumbu, menyerupai halnya dalam partitur orkestra, untuk membangkitkan panduan nada dan harmoni. Di sisi lain, Levi-Strauss* percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang melingkupi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi bekerja mengatasi realitas bernafsu dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah ‘perangkat-logika’ yang berfungsi membuat ritus-pembatasan untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi. Pada titik inilah perjuangan Levi-Strauss* untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya dari parole dengan melaksanakan analisis finemik atasnya mencapai batas-batas terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau. Tetapi Levi-Strauss* terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga di balik struktur tak ada apa pun lagi.
Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat menyerupai disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan transformasi arbitrer yang membuat varian mitos. Kearbitreran ini dimungkinkan karena, bagi Levi Strauss* satu-satunya yang kokoh hanyalah mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaan terhadap langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik padanya. Padahal struktur mitos hanyalah klarifikasi bahwa ia yakni ‘bahasa khusus’ yang mesti dicari logos di balik langue-nya.
Dalam sebuah mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan perihal Angin Selatan yang jahat lantaran begitu kencang dan hirau taacuh sehingga bila angin ini berembus insan tidak sanggup beraktivitas secara normal, lantaran itu semua makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil yakni ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat bahwa ia diizinkan untuk berembus hanya pada hari-hari tertentu secara berganti-ganti sehingga meninggalkan kawasan itu pada ketika insan sanggup bepergian normal.
Levi-Straus* menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner antara alam yang ramah terhadap insan dengan alam yang bermusuhan, yaitu kehadiran angin dan absensi angin, dan melihat aspek yang sama terhadap ikan skate pada posisi insan memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari samping ia menyerupai segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian mengakibatkan ikan skate sebagai ‘tokoh pendamai’ pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut bergotong-royong mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika konkret ini dalam pandangan Levi-Strauss* memperlihatkan demikian mudahnya masyarakat lampau tetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.
Belakangan, Pierre Bourdieu* menyebarkan aliran constructivist structuralism atau structuralist constructivism yang mengacu pada struktur-struktur objektif, terlepas dari kesadaran dan keinginan-keinginan pelaku-pelaku, yang bisa mengarahkan dan sekaligus menghalangi praktik-praktik atau representasi mereka. Dengan memakai istilah konstruktivisme, Bourdieu* menyatakan bahwa terdapat genesis sosial dari skema-skema persepsi, pemikiran, dan aksi, serta penggalan lain dari struktur sosial.
Bourdieu* meletakan konseptualisasi pemikiran melalui aspek-aspek habitus dan arena (champ). Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (practique sociale), pertarungan (lutte) dan taktik (strategie). Salah satu pedoman Bourdieu* dalam hubungannya dengan praktik penelitian yakni pemfokusan pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang sanggup diterapkan hanya dengan duduk di belakang meja. Keduanya merupakan konsep yang gres bermakna jikalau dipakai di lapangan.
Dalam praktik penelitian, Bourdieu* mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, kita harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Dengan demikian, kita menemukan bahwa suatu hal merupakan penggalan dari kekuasaan. Kedua, kita harus tetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi-posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berada dalam persaingan di dalam arena. Ketiga, kita harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperoleh melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan berdasarkan kondisi sosial ekonomi, yang berada dalam suatu jalur yang didefinisikan di dalam arena yang dianggap memperlihatkan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.
Bourdieu* memperkenalkan metodologi yang disebut generative structuralism, yang menggambarkan suatu cara berpikir dan kiat dalam mengajukan pertanyaan. Dengan metode itu Bourdieu* menggambarkan, menganalisis, dan memperlihatkan genesis persona tertentu, struktur sosial, dan kelompok. Ia mengajukan suatu teori analisis dialektis terhadap kehidupan praktis. Perspektif semacam itu menyuguhkan kemampuan untuk memperlihatkan interplay antara praktik ekonomi personal dengan ‘dunia eksternal’ dari sejarah kelas dan praktik sosial. Tugas itu harus memakai modus berpikir relasional dan melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif dengan representasi subjektif.
Strukturalisme mempunyai perkiraan bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda. Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan inner structure agar bisa memberi makna yang sempurna pada fenomena yang tengah menjadi studi. Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki banyak sekali ranah dalam disiplin ilmu dan banyak sekali aspek kehidupan. Perkembangan pribadi dari strukturalisme yakni fungsionalisme yang melihat korelasi sistemis menjadi korelasi fungsional.
Roman Jacobson, salah satu hebat linguistik yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi pemfokusan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh citra metafor (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa mempunyai enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang pribadi atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalinguistik, penerang terhadap sandi atau aba-aba yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara korelasi atau kontak antara pembicara dengan penyimak; (6) fungsi puitis, penyandi pesan.
Langkah-langkah analisis struktural atas fonem yang dilakukan Jacobson antara lain: (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan gejala kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam gejala tersebut, (b) memperlihatkan suatu ciri berdasarkan features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga gejala ini cukup berbeda satu dengan yang lain, (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana—dengan distinctive features—yang sanggup berkombinasi dengan gejala kebahasaan tertentu lainnya, (d) memilih perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigamtis, yakni perbedaan antartanda yang masih sanggup saling menggantikan.
Louis Hjelmslev yakni tokoh linguistik yang menyebarkan semiotik pasca-Saussure. Hjelmslev menyebarkan sistem dwipihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Ia membagi tanda ke dalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure*. Namun, konsep tersebut dikembangkannya dengan menambahkan bahwa baik expresion maupun content mempunyai komponen form dan substance sehingga terdapat expression form dan content form di satu pihak serta expression substance dan content substance pada pihak lain.
Maka, dengan ekspansi ini, diperoleh citra bahwa sebelum expression form terbentuk, terdapat materi tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang melalui expression substance memperoleh batasan yang kesudahannya terwujud dalam expression form tersebut. Demikian pula halnya dengan content form yang dari content substance diberikan batas-batas pada materi tanpa bentuk.
Berbicara semiotika dan mitologi, maka kita tidak sanggup melepaskan dari nama Roland Barthes*. Dalam pembahasan mengenai semiotika, Barthes* mengemukakan perkiraan bahwa bahasa yakni sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Apakah Anda menemukan atau mencicipi kesalahan pada goresan pena di atas? Jika Anda cermat maka Anda akan temukan adanya kesalahan dalam penggunaan font untuk tulisan-tulisan tersebut. Ketika kita melihat pada konotasi kita akan melihat kedalaman makna yang berakar jauh di dalam budaya kita. Konotasi tanda menjadi partikuler ketika kita melihat pada penggunaan tanda dalam periklanan. Sebuah foto mengenai kendaraan beroda empat secara niscaya bisa kita rujukan pada petanda kendaraan beroda empat dalam dunia riil, tetapi juga berkonotasi pada kekuatan, kebebasan, modernitas, dan lain-lain.
Iklan A Mild terdapat gambar dingklik dan goresan pena “Kalo enggak dibersihin KUTU BUSUKNYA Enggak bakalan PERGI! Kursi di sini tidak secara sederhana bisa kita pahami sebagai tempat duduk, namun merupakan penanda yang merujuk pada kelas sosial atau jabatan tertentu. Terutama ketika kemunculan iklan ini di tahun 2004, hampir berbarengan dengan pemilihan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Inilah yang disebut oleh Roland Barthes* sebagai second-order of signification. Second-order of signification ini selanjutnya bisa kita sebut sebagai konotasi. Menggunakan konsep inilah Barthes* menjelaskan mengenai mitologi. Salah satu teladan yang terdapat dalam bukunya (Mythologies, 1957) yakni foto seorang prajurit berkulit hitam sedang memberi hormat pada bendera Prancis.
Barthes* menambahkan untuk menjelaskan makna dari foto. Lebih jauh, second-order signification (konotasi) harus muncul dari pengalaman yang kita punyai dan mempunyai asosiasi (konotasi) yang telah kita pelajari untuk memasang makna dengan tanda. Bagaimanapun juga konotasi tidak bisa lepas dari kultur di mana kita tinggal dan di antara gejala yang beroperasi sebagai sistem interpretasi tanda. Ini membawa pada apa yang dirujuk Barthes sebagai mitos. Di bawah operasi mitos ini, tanda menjadi penanda tatanan kedua (second-order signifier). Pertandanya yakni Prancis sebagai negara besar, di mana semua anak negerinya, tanpa membedakan warna kulit, mengabdikan diri pada Prancis.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Strukturalisme yakni teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi insan ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai budi independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud*, strukturnya yakni psyche; bagi Marx*, strukturnya yakni ekonomi; dan bagi Saussure*, strukturnya yakni bahasa. Kesemuanya mendahului subjek insan individual atau human agent dan memilih apa yang akan dilakukan insan pada semua keadaan.
Strukturalisme terutama berkembang semenjak Claude Levy-Strauss*. Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Levi-Strauss* perihal pemikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam ‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para hero yang disakralkan, atau ilahi yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi hingga pada taraf semata sebagai ‘mainan anak-anak’ serta menolak adanya korelasi apa pun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Levi-Strauss* terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana insan mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laris struktur mitos yang tidak disadari ini membawa Levi-Strauss* pada analisis fonemik, di mana banyak sekali fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar: Di satu sisi sepertinya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada budi di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apa pun bisa disematkan pada subjek apa saja; setiap korelasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dimungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari banyak sekali wilayah yang amat luas... jikalau muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita sanggup menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa.
Mitos, berdasarkan Levi-Strauss*, mempunyai korelasi nyata dengan bahasa lantaran ia merupakan satu bentuk pengucapan insan sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun, tentu saja analogi menyerupai ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa, lantaran itu harus ditunjukkan perbedaannya melalui konsep Saussure* mengenai langue dan parole, struktur dan insiden individual. Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memperlihatkan bantuan pada struktur dasar langue-nya.
Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai suatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode klarifikasi perihal kekinian dengan apa yang terjadi di masa kemudian dan sekaligus masa depan. Maka setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentransendensikan keduanya sebagai klarifikasi trans-historis dan transkultural atas dunia.
Tidak menyerupai puisi, mitos tidak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.
Berdasarkan anggapan ini, Levi-Strauss* memformulasikan dua proporsisi dasar dalam hubungannya dengan mitos: makna dari mitologi tidak sanggup muncul dalam elemen-elemennya yang terisolasi, tetapi harus menempel dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya tugas potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi menyerupai ini. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.
Apa yang ingin dicoba ditangkap Levi-Strauss* di sini adalah sense tentang adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik, antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekedar kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan versinya, dan ia menyampaikan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua sumbu, menyerupai halnya dalam partitur orkestra, untuk membangkitkan panduan nada dan harmoni. Di sisi lain, Levi-Strauss* percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang melingkupi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi bekerja mengatasi realitas bernafsu dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah ‘perangkat-logika’ yang berfungsi membuat ritus-pembatasan untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi. Pada titik inilah perjuangan Levi-Strauss* untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya dari parole dengan melaksanakan analisis finemik atasnya mencapai batas-batas terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau. Tetapi Levi-Strauss* terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga di balik struktur tak ada apa pun lagi.
Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat menyerupai disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan transformasi arbitrer yang membuat varian mitos. Kearbitreran ini dimungkinkan karena, bagi Levi Strauss* satu-satunya yang kokoh hanyalah mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaan terhadap langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik padanya. Padahal struktur mitos hanyalah klarifikasi bahwa ia yakni ‘bahasa khusus’ yang mesti dicari logos di balik langue-nya.
Dalam sebuah mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan perihal Angin Selatan yang jahat lantaran begitu kencang dan hirau taacuh sehingga bila angin ini berembus insan tidak sanggup beraktivitas secara normal, lantaran itu semua makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil yakni ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat bahwa ia diizinkan untuk berembus hanya pada hari-hari tertentu secara berganti-ganti sehingga meninggalkan kawasan itu pada ketika insan sanggup bepergian normal.
Levi-Straus* menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner antara alam yang ramah terhadap insan dengan alam yang bermusuhan, yaitu kehadiran angin dan absensi angin, dan melihat aspek yang sama terhadap ikan skate pada posisi insan memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari samping ia menyerupai segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian mengakibatkan ikan skate sebagai ‘tokoh pendamai’ pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut bergotong-royong mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika konkret ini dalam pandangan Levi-Strauss* memperlihatkan demikian mudahnya masyarakat lampau tetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.
Belakangan, Pierre Bourdieu* menyebarkan aliran constructivist structuralism atau structuralist constructivism yang mengacu pada struktur-struktur objektif, terlepas dari kesadaran dan keinginan-keinginan pelaku-pelaku, yang bisa mengarahkan dan sekaligus menghalangi praktik-praktik atau representasi mereka. Dengan memakai istilah konstruktivisme, Bourdieu* menyatakan bahwa terdapat genesis sosial dari skema-skema persepsi, pemikiran, dan aksi, serta penggalan lain dari struktur sosial.
Bourdieu* meletakan konseptualisasi pemikiran melalui aspek-aspek habitus dan arena (champ). Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (practique sociale), pertarungan (lutte) dan taktik (strategie). Salah satu pedoman Bourdieu* dalam hubungannya dengan praktik penelitian yakni pemfokusan pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang sanggup diterapkan hanya dengan duduk di belakang meja. Keduanya merupakan konsep yang gres bermakna jikalau dipakai di lapangan.
Dalam praktik penelitian, Bourdieu* mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, kita harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Dengan demikian, kita menemukan bahwa suatu hal merupakan penggalan dari kekuasaan. Kedua, kita harus tetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi-posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berada dalam persaingan di dalam arena. Ketiga, kita harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperoleh melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan berdasarkan kondisi sosial ekonomi, yang berada dalam suatu jalur yang didefinisikan di dalam arena yang dianggap memperlihatkan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.
Bourdieu* memperkenalkan metodologi yang disebut generative structuralism, yang menggambarkan suatu cara berpikir dan kiat dalam mengajukan pertanyaan. Dengan metode itu Bourdieu* menggambarkan, menganalisis, dan memperlihatkan genesis persona tertentu, struktur sosial, dan kelompok. Ia mengajukan suatu teori analisis dialektis terhadap kehidupan praktis. Perspektif semacam itu menyuguhkan kemampuan untuk memperlihatkan interplay antara praktik ekonomi personal dengan ‘dunia eksternal’ dari sejarah kelas dan praktik sosial. Tugas itu harus memakai modus berpikir relasional dan melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif dengan representasi subjektif.
Strukturalisme mempunyai perkiraan bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda. Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan inner structure agar bisa memberi makna yang sempurna pada fenomena yang tengah menjadi studi. Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki banyak sekali ranah dalam disiplin ilmu dan banyak sekali aspek kehidupan. Perkembangan pribadi dari strukturalisme yakni fungsionalisme yang melihat korelasi sistemis menjadi korelasi fungsional.
Roman Jacobson, salah satu hebat linguistik yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi pemfokusan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh citra metafor (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa mempunyai enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang pribadi atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalinguistik, penerang terhadap sandi atau aba-aba yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara korelasi atau kontak antara pembicara dengan penyimak; (6) fungsi puitis, penyandi pesan.
Langkah-langkah analisis struktural atas fonem yang dilakukan Jacobson antara lain: (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan gejala kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam gejala tersebut, (b) memperlihatkan suatu ciri berdasarkan features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga gejala ini cukup berbeda satu dengan yang lain, (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana—dengan distinctive features—yang sanggup berkombinasi dengan gejala kebahasaan tertentu lainnya, (d) memilih perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigamtis, yakni perbedaan antartanda yang masih sanggup saling menggantikan.
Louis Hjelmslev yakni tokoh linguistik yang menyebarkan semiotik pasca-Saussure. Hjelmslev menyebarkan sistem dwipihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Ia membagi tanda ke dalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure*. Namun, konsep tersebut dikembangkannya dengan menambahkan bahwa baik expresion maupun content mempunyai komponen form dan substance sehingga terdapat expression form dan content form di satu pihak serta expression substance dan content substance pada pihak lain.
Maka, dengan ekspansi ini, diperoleh citra bahwa sebelum expression form terbentuk, terdapat materi tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang melalui expression substance memperoleh batasan yang kesudahannya terwujud dalam expression form tersebut. Demikian pula halnya dengan content form yang dari content substance diberikan batas-batas pada materi tanpa bentuk.
Berbicara semiotika dan mitologi, maka kita tidak sanggup melepaskan dari nama Roland Barthes*. Dalam pembahasan mengenai semiotika, Barthes* mengemukakan perkiraan bahwa bahasa yakni sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Apakah Anda menemukan atau mencicipi kesalahan pada goresan pena di atas? Jika Anda cermat maka Anda akan temukan adanya kesalahan dalam penggunaan font untuk tulisan-tulisan tersebut. Ketika kita melihat pada konotasi kita akan melihat kedalaman makna yang berakar jauh di dalam budaya kita. Konotasi tanda menjadi partikuler ketika kita melihat pada penggunaan tanda dalam periklanan. Sebuah foto mengenai kendaraan beroda empat secara niscaya bisa kita rujukan pada petanda kendaraan beroda empat dalam dunia riil, tetapi juga berkonotasi pada kekuatan, kebebasan, modernitas, dan lain-lain.
Iklan A Mild terdapat gambar dingklik dan goresan pena “Kalo enggak dibersihin KUTU BUSUKNYA Enggak bakalan PERGI! Kursi di sini tidak secara sederhana bisa kita pahami sebagai tempat duduk, namun merupakan penanda yang merujuk pada kelas sosial atau jabatan tertentu. Terutama ketika kemunculan iklan ini di tahun 2004, hampir berbarengan dengan pemilihan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Inilah yang disebut oleh Roland Barthes* sebagai second-order of signification. Second-order of signification ini selanjutnya bisa kita sebut sebagai konotasi. Menggunakan konsep inilah Barthes* menjelaskan mengenai mitologi. Salah satu teladan yang terdapat dalam bukunya (Mythologies, 1957) yakni foto seorang prajurit berkulit hitam sedang memberi hormat pada bendera Prancis.
Barthes* menambahkan untuk menjelaskan makna dari foto. Lebih jauh, second-order signification (konotasi) harus muncul dari pengalaman yang kita punyai dan mempunyai asosiasi (konotasi) yang telah kita pelajari untuk memasang makna dengan tanda. Bagaimanapun juga konotasi tidak bisa lepas dari kultur di mana kita tinggal dan di antara gejala yang beroperasi sebagai sistem interpretasi tanda. Ini membawa pada apa yang dirujuk Barthes sebagai mitos. Di bawah operasi mitos ini, tanda menjadi penanda tatanan kedua (second-order signifier). Pertandanya yakni Prancis sebagai negara besar, di mana semua anak negerinya, tanpa membedakan warna kulit, mengabdikan diri pada Prancis.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Belum ada Komentar untuk "Aliran Filsafat. Strukturalisme"
Posting Komentar